Selasa, 31 Juli 2007

KH. Maftuh Kholil

“Substansi Demokrasi Sangat Qur’ani”

“Kami terkejut sekaligus terharu. Itu mungkin Natal yang paling berkesan,” kata Pendeta Albertus Patty mengenang Perayaan Natal 2006 di Gereja GKI di Jl. Maulana Yusuf. Kesan itu terpatri di hati Pendeta Berty – sapaan akrabnya –, karena saat itu keluarga besar NU Kota Bandung membagikan 1000 kuntum Mawar kepada umat Kristiani.

KH. Maftuh Kholil

Pembagian Mawar yang dipimpin Ketua Tandfidz PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil juga dilakukan di Gereja Katedral. Kiai Maftuh juga mengalungkan Melati kepada sejumlah agamawan di dua gereja itu.

Aksi Kiai Maftuh dan keluarga besar NU membuat umat Kristiani itu terharu. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Sejumlah media massa nasional dan internasional melansir peristiwa Natal itu. Aksi Kiai Maftuh dinilai fenomenal di tengah ancaman konflik antar agama yang kian menghantui Tanah Air.

Kiai Maftuh sendiri mengatakan, niatnya hanya ingin mewujudkan kerukunan antar umat beragama. “Bunga itu simbol kerukunan umat beragama. Ini pesan damai dari umat Islam kepada umat Kristiani yang sedang merayakan Natal,” katanya kepada Gamal Ferdhi dari the WAHID Institute, akhir Mei lalu.

Dia pun menyadari adanya pro-kontra pembagian bunga itu. “Itu wajar. Tidak ada maksud lain, kecuali menunjukkan pada umat lain bahwa Islam cinta damai,” ujarnya.

Aksi itu, imbuhnya, dilandasi beberapa alasan. “Di Kota Bandung banyak penganut non Islam. Saya tidak ingin seperti Ambon dan Poso. Kalau itu terjadi di Bandung, hancurlah kota ini,” kata pria kelahiran Bandung 11 Desember 1958 ini.

Dari lahiriahnya, kata Kiai Maftuh, konflik di dua daerah itu bermula dari masalah di luar agama. Pelakunya menyeret nama Islam dan Kristen, sehingga konflik kian membesar. “Tidak ada yang diuntungkan. Penganut Islam dan Kristen berkurang karena dari keduanya terdapat korban jiwa,” katanya.

Tak ingin tragedi itu terulang, Kiai Maftuh berharap aksi damainya diikuti kota-kota lain. “Kami ingin Bandung menjadi inspirasi kerukunan umat beragama di Indonesia,” paparnya.

Efek aksinya, kata Maftuh, umat non Islam Kota Bandung tidak canggung lagi bergaul dengan umat Islam, terutama NU. “Hubungan antar agama di Kota Bandung menjadi lebih baik,” jelasnya

Menurut Kiai Maftuh, aksi damai itu adalah tindakan antisipatif menjaga kerukunan umat beragama. “Kita tidak reaktif, tapi antisipatif. Bukan seperti pemadam kebakaran, yang memadamkan kerusuhan jika sudah berkobar,” kilahnya.

Kiai Maftuh mengisahkan, aksi pembagian bunga itu didukung Rais Syuriah PCNU Kota Bandung KH. Imam Sonhaji dan MWC-MWC NU. Bahkan KH. Sonhaji meminta PCNU mengadakan bahtsul masa’il (forum pengkajian masalah, red.) sebelum aksi itu digelar. “Agar kalau ada ormas lain yang menghujat, kita sudah punya dalilnya,” kenangnya.

Sayang, bahtsul masa’il batal karena pelaksananya sakit. Kepastian aksi itu pun mengambang, sementara Natal tinggal tiga hari. Kiai Maftuh segera menemui KH. Sonhaji. “Beliau meminta kita tetap melanjutkan rencana. Bahkan beliau memberikan dalilnya,” kata Kiai Maftuh.

Salah satunya, kata Kiai Maftuh, terdapat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin. Kitab ini memaparkan, seorang muslim wajib melindungi non-muslim dzimmi (yang berdamai, red.). “Kita wajib melindungi minoritas. Karena Islam itu agama yang damai terhadap agama apapun,” tegas ahli faraidh ini.

Pengasuh Ponpes al-Ikhwan, Cigadung Bandung, ini juga menyayangkan sering tampilnya kelompok Islam garang di Bandung di media massa. “Aksi itu sebagai pengimbang bahwa wajah Islam sebenarnya tidak seperti itu. Kami mengedepankan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin,” kata Kiai Maftuh.

Darah campuran mengalir dalam diri Kiai Maftuh. Ibunya, Hj. Hasanah berdarah Bandung dan Cianjur. Ayahnya, KH. Kholil, ajengan dari Cigadung, Bandung, blasteran Pekalongan dan Palembang. Oleh ayahnya, Maftuh muda dimasukkan ke Pesantren Cijawura, Bandung yang waktu itu diasuh Rais Syuriah NU Jawa Barat KH. Muhammad Burhan. “Beliau yang mencetak saya dari 1971-1981,” kata Kiai Maftuh.

Setelah lulus dari pesantren, Kiai Maftuh aktif di NU. “Awalnya pemahaman saya tentang agama sama seperti yang lainnya. Kemudian saya terinspirasi Gus Dur, yang saat itu Ketua Umum PBNU. Ketika memberi tausyiah di PWNU Jawa Barat, dia datang bersama seorang pendeta.”

Inspirasi juga datang dari ayahnya. Kiai Kholil mempunyai teman jogging seorang non muslim. “Si teman sering datang pagi-pagi menjemput ayah. Ketika ia memberi salam, ayah saya membalasnya,” kenangnya. Melihat itu, Maftuh menggugat bahwa umat Islam haram mengucap salam kepada non muslim. “Jawaban ayah saya singkat: dalami lagi ilmu agamamu!” imbuhnya.

Ada pengalaman lain yang membuat Maftuh tergugah. Tetangga terdekatnya adalah keluarga Kristiani. “Saya dulu keras. Saat Qurban, dagingnya saya bagikan kepada yang Muslim saja. Padahal tetangga saya itu kebagian ribut suara kambingnya. Mencium baunya. Melihat ramainya Idul Adha. Tapi sepotong pun saya tidak kasih,” ungkap Maftuh.

Sampai suatu saat jamaah Maftuh mengabarinya. Setiap musim Qurban anak-anak tetangganya menangis, karena tidak pernah diberi daging Qurban. “Mendengar itu, saya terpukul. Akhirnya saya sadar. Kenapa saya bersikap seperti itu? Padahal Islam sangat humanis,” kenang pria yang kerap berbatik ini.

Ada sentilan menarik soal batik ini. Menurutnya ada kelompok Islam yang menilai batik tidak Islami, karena batik dari Jawa . “Harus diakui, tidak sedikit di kalangan Islam yang menganggap apapun yang berasal dari luar, itu tidak Islami. Seperti juga istilah demokrasi yang muncul dari Barat,” jelasnya saat membuka Halqah Islam,Demokrasi dan Penegakan Keadilan, di Ponpes Cijawura, Bandung, Jum’at (15/6/2007).

Menurut Kiai Maftuh, substansi demokrasi justru sangat Qur’ani. Sedikitnya tiga hal diungkap al-Quran dalam menjelaskan demokrasi. Pertama, kebebasan berbicara, berekspresi serta berkeyakinan (Qs. Quraisy: 3). “Dulu umat Islam berupaya mendapatkan kebebasan beribadah. Sekarang jangan kita melarang orang melaksanakan ibadahnya. Kita juga bertanggungjawab memberi kebebasan pada siapa pun melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing,” katanya.

Kedua, menjamin kompetisi dan persaingan sehat (Qs. al-Baqarah: 148). “Realitasnya Allah tidak menginginkan manusia menjadi satu umat, agar manusia ber-fastabiqul khairat (berlomba berbuat kebajikan). Masak kita harus melampaui keinginan Allah?” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Bandung ini.

Karenanya, Kiai Maftuh berpendapat, perbedaan harus disikapi secara positif dan agama bukan sumber konflik. “Agama kerap digunakan dalam konflik, itu akibat nafsu manusianya,” katanya.

Ketiga, terwujudnya keadilan sosial (Qs. Quraisy: 4). “Bagaimanapun, demokrasi itu bertujuan memakmurkan rakyat. Juga jangan takut melangkah, berbuat, berbicara, berpendapat, dan sebagainya,” ungkapnya. “Ini yang ditawarkan al-Qur’an,” imbuhnya.

Dikatakannya, keadilan dalam Islam tidak hanya di bibir. “Tapi juga diaplikasikan dalam kehidupan nyata di bumi ini,” tandasnya.[]

Tidak ada komentar: