Selasa, 30 Oktober 2007

Cristina Fernandez, Sejak Muda Sudah "Gila" Politik


Budi Suwarna

Orang menjuluki Cristina Fernandez de Kirchner (54) sebagai Evita Peron baru Argentina. Maklum, banyak kesamaan antara Fernandez dan Evita—istri kedua mantan Presiden Argentina Juan Peron yang menyedot perhatian dunia lebih dari 50 tahun lalu. Keduanya adalah ibu negara yang pintar, ambisius, pandai berpidato, cantik, glamor, dan memiliki pengaruh atas suaminya.

Perbedaannya adalah Fernandez bisa menduduki jabatan presiden menggantikan suaminya, Nestor Kirchner, sedangkan Evita tidak.

Pada pemilu presiden yang digelar, Minggu (28/10), Fernandez mengalahkan dua pesaingnya, yakni Elisa Carrio (50) dan Roberto Lavagna, dalam satu putaran. Fernandez memperoleh 44 persen suara, Elisa 23 persen, dan Roberto 17 persen suara.

Dengan hasil itu, Fernandez mencatat sejarah sebagai perempuan Argentina pertama yang terpilih sebagai presiden. Sebelumnya, memang ada perempuan Argentina lain, yakni Isabel Peron—istri ketiga Presiden Juan Peron—yang menjadi presiden menggantikan Peron yang meninggal tahun 1974. Namun, ia menjadi presiden tanpa melalui pemilu.

Secara resmi, Fernandez akan mengambil alih jabatan itu dari suaminya, Kirchner, 10 Desember 2007. Saat itu, keduanya akan bertukar peran. Jika sebelumnya Fernandez menjadi ibu negara yang mendampingi Presiden Kirchner, mulai Desember giliran Kirchner yang menjadi "bapak negara" yang mendampingi Presiden Fernandez.

Kisah seperti ini jarang terjadi sehingga menarik perhatian banyak orang. Kisah ini menjadi lebih menarik lagi setelah media massa dan para analis memberi "bumbu penyedap" dengan mengatakan, kemenangan Fernandez ini merupakan awal terbentuknya dinasti baru penguasa Argentina sejak "dinasti Peron".

Kemenangan Fernandez juga semakin "seksi" sebagai sebuah cerita karena jauh sebelum pemilu, sosoknya sudah diasosiasikan dengan Evita—ikon politik yang pernah ada di Argentina. Gaya pidatonya yang menggebu-gebu, pengaruh Fernandez terhadap suaminya, kecerdasan, arogansi, cara berpakaian, hingga dandanannya dikaitkan dengan Evita.

Sampai-sampai sosok Fernandez seolah-olah tenggelam dalam sosok Evita.

Sepak terjang Fernandez dalam berpolitik seolah-olah menjadi bagian dari "dongeng" tentang Evita.

Hillary Amerika Latin

Di Barat, media massa juga seperti latah membandingkan Fernandez dengan mantan ibu negara Hillary Clinton. Mereka, bahkan, menyebut Fernandez sebagai Hillary-nya Amerika Latin.

Media pun menonjolkan persamaan di antara keduanya. Fernandez dan Hillary sama-sama ibu negara, sama-sama senator, sama-sama kawin dengan gubernur yang terpilih menjadi presiden, sama-sama ahli hukum, dan sama-sama berambisi menjadi presiden.

Bedanya, Fernandez telah berhasil menggapai ambisinya, sedangkan Hillary masih berjuang menjadi kandidat unggulan presiden AS dari Partai Demokrat.

Dengan kenyataan itu, media massa Argentina berkelakar. Bukan Fernandez yang diasosiasikan dengan Hillary, tetapi Hillary yang harusnya diasosiasikan dengan Fernandez. Hillary seharusnya disebut sebagai Fernandez-nya AS.

Bagaimanapun, pengasosiasian dengan Evita atau Hillary tampaknya lebih memberi keuntungan daripada kerugian bagi Fernandez. Setidaknya Fernandez yang sudah sangat populer di Argentina menjadi tambah populer. Orang di luar Argentina pun menjadi lebih mudah mengenal Fernandez.

Mantan aktivis

Fernandez lahir pada 19 Februari 1953 di La Plata. Ia kuliah di Sekolah Ilmu Hukum dan Sosial Universitas La Plata dan lulus sebagai sarjana hukum tahun 1970-an. Sejak kuliah ia tercatat sebagai aktivis kiri dalam gerakan Peronis. Ia cerdas dan menyukai debat politik. Ia menganggap politik sebagai hal paling berharga dalam hidupnya.

Fernandez memulai karier politik di fraksi Tendencia Revolucionaria dari Partai Justisialis pada tahun 1970-an. Tahun 1991, ia terpilih sebagai senator dan menjadi anggota parlemen nasional. Prestasi ini diulanginya tahun 2001.

Fernandez menikah dengan sesama mahasiswa hukum di Universitas La Plata, Kirchner, pada tahun 1976. Pernikahan ini tidak hanya menguatkan cinta mereka, tetapi juga memperkuat kemitraan mereka dalam berpolitik. Pasangan ini diketahui menabung uang untuk mendanai ambisi politik mereka. Keduanya juga saling bahu-membahu memperkuat posisi masing-masing.

Tengok saja, ketika menjadi Senator, Fernandez sangat aktif memperkuat posisi suaminya. Sebaliknya, Kirchner aktif mempromosikan kualitas istrinya.

Kemitraan pasangan itu membuahkan hasil manis pada tahun 2003. Dengan dukungan penuh Fernandez, Kirchner berhasil merebut kursi presiden. Setelah itu, Fernandez menjadi pendukung utama kebijakan suaminya.

Selama memerintah sebagai presiden, Kirchner berhasil memperbaiki perekonomian Argentina yang hancur pada tahun 2001.

Pemerintahannya berhasil meningkatkan pertumbuhan hampir 50 persen dan membayar seluruh utang Argentina sebesar 9,5 miliar dollar AS kepada IMF.

Ketika kampanye presiden, Fernandez mengingatkan pendukungnya bahwa ia memiliki andil dalam keberhasilan pemerintahan suaminya. "Kami telah mereposisi negara, memerangi kemiskinan dan pengangguran. Ini semua adalah tragedi yang menghantam Argentina," ujarnya seperti dikutip AFP, Senin.

Meski keberhasilan pemerintahan Kirchner menjadi tema kampanyenya, Fernandez tidak senang jika dirinya disebut memanfaatkan pamor suaminya atau siapa pun.

"Saya tidak ingin mewarisi apa pun dari Eva (Evita Peron) atau dari Kirchner. Semua yang saya peroleh adalah buah dari prestasi saya sendiri, begitu pula kekurangan saya (timbul karena saya sendiri)," ujarnya seperti dikutip kantor berita Reuters, Senin.

Senin, 29 Oktober 2007

Chissano Mengalah demi Demokrasi


Luki Aulia

Tidak mudah menjadi pemimpin di Mozambik, negara yang pernah masuk kategori salah satu negara termiskin di dunia. Apalagi, mengingat bahwa negara itu pernah didera perang saudara selama 16 tahun. Namun, mantan Presiden Joaquim Chissano (68) berhasil menggiring Mozambik meraih perdamaian.

Meski kini Mozambik telah menjadi negara yang stabil, modern, dan demokratis, Chissano tidak keblinger meraup lebih banyak kekuasaan. Chissano dengan legowo memilih mengundurkan diri setelah 18 tahun berkuasa (1986-2004).

Padahal, sebenarnya menurut Konstitusi 1990, ia masih berhak duduk di kursi kepresidenan untuk satu periode lagi atau lima tahun. Alasan Chissano ketika itu, ia ingin memberikan kesempatan demokrasi berkembang.

Berkat upaya dan perannya dalam menciptakan perdamaian, rekonsiliasi, demokrasi yang stabil, dan perkembangan ekonomi di Mozambik, Chissano menerima penghargaan pertama Mo Ibrahim untuk Prestasi Kepemimpinan Afrika, 22 Oktober lalu. Harian The New York Times menyebutkan nilai materi sebesar 5 juta dollar AS akan Chissano terima setiap tahun, selama 10 tahun.

"Saya senang mendapat penghargaan ini dan semoga bisa menjadi contoh bagi para pemimpin lain. Saya akan berusaha berbuat sesuatu untuk rakyat dan negeri saya," kata Chissano saat berada di Kampala, ibu kota Uganda.

Banyak pihak menilai Chissano layak mendapatkan penghargaan itu. Selain karena berbagai kebijakan yang pragmatis, kemampuan negosiasi dan kompromi Chissano juga diakui.

Kelihaian bernegosiasi Chissano terbukti ketika ia berhasil mengakhiri konflik antara pemerintah dan kelompok gerilyawan Renamo yang berlangsung selama 16 tahun. Setelah tercapai kesepakatan damai tahun 1992, untuk pertama kalinya Mozambik menggelar pemilu multipartai tahun 1994.

Bukan hanya itu. Penandatanganan Kesepakatan Lusaka, 7 September 1974, juga menjadi bukti lain. Kesepakatan antara Frelimo dan Pemerintah Portugis itu berisi tentang Kemerdekaan Mozambik.

Atas jasanya mengakhiri penjajahan, Chissano ditunjuk menjadi Perdana Menteri Pemerintahan Transisi tahun 1974 hingga Mozambik berhasil meraih kemerdekaan tanggal 25 Juni 1975. Setelah kemerdekaan Mozambik, Chissano ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri.

Berkat tangan dingin Chissano dalam negosiasi dan diplomasi, nama Mozambik mulai dipandang oleh komunitas internasional. Chissano pula tokoh yang membangun kebijakan luar negeri Mozambik yang nonblok.

Justru dengan kebijakan nonblok itu, Mozambik meraih simpati dari negara-negara Barat sekaligus rezim-rezim Marxist.

Chissano kemudian menjadi presiden kedua Mozambik menggantikan presiden pertama yang juga pejuang kemerdekaan, Samora Machel. Machel tewas dalam kecelakaan pesawat tahun 1986.

Sebagai presiden, Chissano dianggap berhasil melakukan reformasi ekonomi dengan mengubah Marxisme menjadi perekonomian pasar bebas.

Multipartai

Pada tahun 1994, Chissano menang dalam pemilu multipartai pertama kali di Mozambik. Kemudian tahun 1999 ia terpilih kembali.

Meski Pasal 118 Ayat 5 Konstitusi Mozambik tahun 1990 memperbolehkan Chissano kembali mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tahun 2004, ia memilih untuk mundur dan beraktivitas di kancah internasional.

Puncaknya, tahun 2005 dia ditunjuk Sekretaris Jenderal PBB (kini mantan) Kofi Annan untuk menjadi Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Pertemuan Tingkat Tinggi Peninjauan Kembali Pelaksanaan Deklarasi Milenium, September 2005. Ia juga ditunjuk menjadi Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Guinea-Bissau.

Mantan Ketua Uni Afrika itu juga ikut mencarikan solusi perang di Burundi, Kongo, Pantai Gading, dan Sudan.

Saat ini, Chissano tengah dipercaya menjadi Utusan Khusus PBB untuk perundingan perdamaian antara Pemerintah Uganda dan kelompok gerilyawan Lord’s Resistance Army (LRA).

Sebelumnya, tahun 2005 Chissano pernah bekerja sama dengan Pengadilan Kejahatan Internasional di Den Haag, Belanda, yang menangani kejahatan perang yang dilakukan lima komandan LRA.

"Chissano itu pribadi yang unik dan jarang ditemui. Ia bisa berbicara dengan oposisi, menghargai mereka, dan mengajak mereka duduk bersama di meja perundingan. Di situlah letak kekuatan kepemimpinannya. Coba, berapa banyak pemimpin seperti itu?" kata anggota komite penghargaan Mo Ibrahim, Aicha Bah Diallo.

Kerap protes

Berada di tengah-tengah konflik sudah biasa bagi Chissano. Chissano yang lahir di Desa Malehice, Distrik Chibuto, Provinsi Gaza, tanggal 22 Oktober 1939 itu pernah menjadi pemimpin Front Pembebasan Mozambik (Frelimo).

Pertama kali bergabung dengan Frelimo tahun 1962, kemudian tahun 1963 ia menjadi anggota Komite Pusat Frelimo.

Selain konflik, sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, Chissano muda sudah aktif dalam berbagai kegiatan dan organisasi kepemudaan. Meski menjadi siswa kulit hitam pertama di Sekolah Licue Salazar dan dipandang sebelah mata, Chissano tak peduli.

Chissano muda yang kerap bicara mengenai politik dan berbagai masalah sosial lain di Mozambik membuat ia dipercaya memimpin berbagai organisasi, antara lain Organisasi Sekolah Tingkat Lanjutan Afrika di Mozambik (NESAM).

Akhir tahun 1960 Chissano kuliah farmasi di Portugal. Pada usia sekitar 20 tahun Chissano makin dipercaya memimpin banyak organisasi. Apalagi, karena tingkat pendidikan Chissano jauh melebihi mayoritas warga kulit hitam Mozambik.

Kemampuan berdebat dan membakar semangat politik publik membuatnya dihormati tokoh-tokoh nasionalis Mozambik. Namun, karena aktivitas politiknya dan vokal melawan penjajahan, dia terpaksa meninggalkan Portugal diam-diam pada tahun 1961 dan pindah ke Paris.

Chissano kemudian kembali ke Mozambik dan bergabung dengan Frelimo. Pada saat itu pria yang mahir berbahasa Changana, Portugis, Kiswahili, Inggris, Perancis, Spanyol, Italia, dan Rusia itu bertemu dengan Marcelina Rafael. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai empat anak.

Sebelum penghargaan Mo Ibrahim, Chissano sudah menerima penghargaan dari berbagai negara, antara lain Mozambik, Angola, Portugal, Afrika Selatan, Brasil, Cabo, Verde, Nikaragua, Perancis, Bulgaria, Madagaskar, Kuba, Benin, Romania, Uganda, Inggris, Irlandia Utara, dan Lesotho.

Mantan Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan berharap penghargaan ini akan dapat menggugah kesadaran para pemimpin Afrika untuk memerhatikan dan memperbaiki persoalan hak asasi manusia dan demokrasi. "Saya berharap dengan penghargaan ini akan muncul tokoh-tokoh seperti Nelson Mandela," ujarnya seperti dikutip di kantor berita Reuters.

Selasa, 23 Oktober 2007

"In Memoriam" Soedarpo Sastrosatomo


Rosihan Anwar


Selama dua jam, saya di sisi ranjangnya di RS Medistra, Jumat (19/10/2007). Empat tahun ini kesehatannya turun-naik, penyakit orang tua, keluar masuk rawat inap, malah berobat ke Singapura dan Kuala Lumpur.

Lebaran lalu kena demam berdarah. Lelap-lelap ayam dia mengenal saya saat tiba. "He Tjian," katanya. Dia minta saya memijit-mijit ibu jari tangan kirinya, agar bisa tidur. Lalu bangun lagi dan berbicara tentang "rakyat yang kini susah hidupnya".

Menurut Benny yang menungguinya, dia bicara begitu. Pemimpin itu dari rakyat, bukan? Saat menjadi pemimpin sikapnya tidak peduli. Rakyat tak disejahterakan, tetap miskin. "Hei, mainin tangan saya," ujarnya. Ia minta saya memijit terus. Tiba-tiba dia sebut satu nama pemimpin "Belum mati dia?" Saat pamit saya bilang, "Kamu baik-baik saja, ya." Dia mengangguk.

Itulah pertemuan terakhir saya dengan Soedarpo Sastrosatomo. Ia meninggal pukul 04.45, Senin (22 Oktober 2007) dalam usia 87 tahun. Saya tahu, apa yang dipikirkan di saat-saat terakhir sebelum meninggal, soal nasib rakyat yang terus sengsara, soal daulat rakyat yang perlu terus ditegakkan, soal pemimpin yang tidak bertanggung jawab. Itulah pikiran terakhir seorang sosialis, sebelum meninggal dunia.

Diplomat dan pengusaha

Siapakah Soedarpo? Jawabannya tergantung dari sudut pandang dan watak yang dipakai. Dia bisa dibilang pengusaha sukses, bergerak di bidang pelayaran dan perkapalan, dalam Samoedera Indonesia, yang kendati mengalami berbagai ganjalan dan saingan, benderanya tetap berkibar. Kegiatannya juga di bidang komputer dan teknologi informasi.

Dia juga diplomat dari saat-saat pertama Revolusi, bersama LN Palar, Dr Soemitro Djojohadikusumo, dan Soedjatmoko mengoperasikan perwakilan Indonesia di New York tahun 1948-1950 melawan politik Belanda yang mau mengembalikan penjajahan di Indonesia.

Dia kurir yang membawa pesan PM Sjahrir kepada Presiden Soekarno yang saat itu di Malang agar datang bersama Wapres Hatta ke perundingan di Linggarjati November 1946 untuk menunjukkan kepada internasional bahwa politik Sjahrir menghadapi Belanda, yaitu diplomasi dan perjuangan bersenjata dijalankan berbarengan, adalah didukung Soekarno-Hatta. Sekaligus menghilangkan pengecapan Belanda kepada Soekarno sebagai "kolaborator Jepang dan penjahat perang", menokohkan Soekarno sebagai pemimpin bangsa Indonesia. Misi Soedarpo berhasil.

Dia aktivis yang gesit, bersama Soebadio Sastrosatomo dan Soedjatmoko disebut the Sjahrir boys, pemuda-pemuda yang membantu PM Sjahrir yang memimpin pemerintah 14 November 1945. Mereka bergerak di bidang politik dan penerangan untuk menangani aneka masalah. Mereka mampu memenuhi get things done. Ditugaskan jemput Bung Karno di Sukabumi supaya serah terima kabinet bisa dilaksanakan, beres. Ditugaskan menemui Sultan Hamengku Buwono IX agar mulai 4 Januari 1946 kota Yogyakarta jadi tempat kediaman Presiden dan Wapres RI, beres.

Semasa mahasiswa

Aspek karakter Soedarpo ialah Bertumbuh Melawan Arus yang merupakan judul biografinya. Ketika jadi mahasiswa kedokteran di Ika Dai Gaku zaman Jepang, kepala para mahasiswa digundulkan secara paksa. Sekelompok mahasiswa menentang. Akibatnya, mereka disekap Kenpeitai Jepang, lalu dikeluarkan dari sekolah kedokteran. Soedarpo, Soedjatmoko ada di antara mereka.

Tentu banyak hal lain dapat saya paparkan tentang Soedarpo. Pergaulannya luas. Orangnya luwes. Saat jadi pelajar sekolah menengah AMS Yogyakarta dia dikenal sebagai atlet wahid, kampiun lari loncat gawang. Dia dermawan mendukung berbagai usaha amal di masyarakat. Dia haji, dan tertib melakukan ibadah. Tidak heran bila setelah kabar wafatnya tersiar di radio dan di SMS, berbagai lapisan masyarakat datang, bertakziah di rumahnya, Pegangsaan Barat No 16. Sepertinya toute Jakarta datang melayat di rumah, tempat pada 28 Maret 1947 dia menikah dengan Minarsih Wiranatakusuma. Mereka sempat merayakan HUT perkawinan intan (ke-60) bersama ketiga putri, menantu, cucu, dan cicit.

Betapa banyaknya orang datang menyampaikan dukacita, tidak sedikit di antaranya sudah lanjut usia 80 tahun ke atas berkereta roda, bertongkat, yang oleh seorang hadirin dinamai "Golongan AA, alias Antre Ajal". Begitulah kenyataannya, kita semua akan kembali ke Ilahi.

Saya dengar setelah jenazah Soedarpo dimandikan, dikafankan, disemayamkan di ruang belakang, seorang ustadz yang memimpin upacara berkata dan bertanya kepada hadirin, kita saksikan jenazah H Soedarpo Sastrosatomo bin Sadeli Sastrosatomo adalah orang saleh dan baik, yang disambut hadirin serentak, "Baik, baik," dalam bahasa Arab Khair, khair. Berangkatlah sahabatku fi amanillah.

Rosihan Anwar Wartawan Senior

Soedarpo, Peringatan Itu Akhirnya Tiba

Soedarpo, Peringatan Itu Akhirnya Tiba

Jakarta, Kompas - Salah seorang pejuang revolusi, Soedarpo Sastrosatomo (87), meninggal dunia di Rumah Sakit Medistra, Jakarta, Senin (22/10), pukul 04.45, karena usia yang telah lanjut. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta, Senin siang.

Soedarpo meninggalkan seorang istri, Minarsih Wiranatakoesoemah (84), dan tiga anak, yakni Shanti Poesposoecipto (59), Ratna Djuwita Tunggul (57), Chandra Leka Malimulia (55), serta enam cucu dan dua cicit.

Pria kelahiran Pangkalansusu, Sumatera Utara, 30 Juni 1920, ini dirawat di RS Medistra sejak 15 Oktober.

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, ia adalah orang pertama yang dikirim Soekarno ke Amerika Serikat untuk urusan perdagangan. Pada masa perjuangan ia juga merupakan rekan seangkatan Muhammad Hatta. Soedarpo merupakan pemilik perusahaan Samudera Indonesia yang bergerak di bidang pelayaran, pendiri Bank Niaga, dan pendiri Soedarpo Corporation.

Di rumah duka para pelayat terus berdatangan, di antaranya Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sebelumnya sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu. "Kita kehilangan seorang pejuang, pengusaha," kata Wapres.

Hari Kamis, 19 April 2007, Soedarpo duduk di kursi roda dengan alat bantu pendengaran. Penyempitan pembuluh darah di otak amat membatasi geraknya. Meskipun dengan penuh perhatian Soedarpo berusaha mengikuti perbincangan Kompas dengan sang istri, ia tak banyak berkata-kata.

Selama perbincangan, hanya dua pesan yang ia sampaikan, tentang "tugas" kehidupan yang sudah harus selesai bagi dirinya dan harapan yang ia titipkan bagi orang-orang muda.

"Kalaupun masih ada cita-cita, sekarang ini sudah harus saya lepaskan karena saya sakit dan penyakit ini, menurut saya, suatu peringatan bahwa sudah harus cukup semuanya ini bagi saya," ujarnya.

Melanjutkan ucapan itu, Soedarpo mengatakan, satu-satunya harapan yang ia inginkan terwujud adalah melihat anak-cucu dan generasi memberdayakan diri mereka untuk mengisi kemerdekaan dengan kemandirian berkarya.

"Kemerdekaan di negeri ini masih kemerdekaan administratif. Banyak urusan di negeri ini masih dikerjakan orang asing. Makanya, jangan gampang saja jadi pegawai negeri, kerjakan yang di luar itu. Isi kekosongan di masyarakat," tuturnya.

(DAY/HAR/FAJ)

Senin, 22 Oktober 2007

Oke Rosgana, "Yoyo Man! Indonesia!"


Irma Tambunan

Kedatangannya ke Sudan di Benua Afrika menjadikan Oke Rosgana bak pahlawan muda. "Yoyo man! Indonesia!" demikian anak-anak kecil setempat memanggil-manggil saat ia melintasi sebuah pasar di kota Medanny. Orang yang juga mengenalinya menyebut: Rosgana, the yoyo hero from Indonesia.

Oke lalu disambut puluhan jurnalis, dari enam media elektronik dan 15 surat kabar, melalui sebuah acara jumpa pers. Salah satu televisi swasta di Khartoum bahkan secara khusus menghadirkannya sebagai bintang tamu untuk acara Step By Step.

Program semi talk show yang disajikan untuk kalangan anak muda ini mengupas perjalanan seseorang menjadi bintang. Oke disorot atas keberhasilannya sebagai bintang yoyo yang mendunia meski di negeri sendiri belum banyak dikenal.

Kedatangannya ke negeri itu, Juni 2007, bukanlah kebetulan. Oke dilirik sebuah perusahaan susu terkemuka setempat untuk mengakrabkan anak-anak terhadap permainan yoyo ke sejumlah kota secara khusus selama lima pekan. Permainan yang mungkin telah diakrabi oleh mayoritas anak-anak itu ternyata mendunia dan cukup bergengsi. Ada anggapan, seorang remaja tidak lagi akan diremehkan apabila telah memiliki kemampuan memainkan yoyo. Semakin tinggi teknik yang dikuasai, orang akan semakin terkagum-kagum kepadanya.

Selama pertunjukan keliling, Oke bermain yoyo di atas truk besar yang diubah menjadi panggung. Setiap hari dilaksanakan dua kali pertunjukan pada sekolah-sekolah internasional di Khartoum. Pertunjukan yoyo juga digelar di kawasan perkampungan, tengah lapangan, taman-taman bermain, pasar, hingga mal. Yoyo diperkenalkan kepada siapa saja tanpa mengenal kelas ekonomi atau warna kulit.

"Banyak orang yang melihat dan antusiasme masyarakat sangat besar terhadap pertunjukan yoyo, bahkan tak hanya anak-anak. Orang tua juga tertarik," ujarnya.

Hari terakhir di Sudan, Oke dijemput lebih pagi dari biasanya oleh pihak pabrik. Ia sebenarnya mengira bahwa hari itu akan lebih santai karena tidak ada pertunjukan. Ternyata tidak. Serombongan motor polisi, 12 truk, dan puluhan mobil lain mengajaknya berkonvoi sebagai salam perpisahan.

"Aku sangat terharu dengan penghargaan yang mereka berikan," tuturnya.

Permainan anak kecil

Bagaimana rasa haru itu tidak muncul. Di negerinya sendiri, yoyo masih lebih dikenal sebagai permainan anak kecil di kampung-kampung. Sekarang ini tidak banyak anak yang bisa memainkannya. Yoyo pun sudah jarang beredar di toko-toko mainan.

Oke sendiri baru tertarik kembali pada yoyo sekitar tahun 2000. Saat itu, juara kompetisi yoyo sedunia, Yohanes van Elzen dari Amerika Serikat (AS), datang ke Indonesia untuk mempromosikan yoyo tipe high end.

Teknik bermainnya jauh dari bayangan Oke semasa kecil. "Yang aku tahu, yoyo hanya mainan dari kayu yang dilepas ke bawah dengan tali, lalu ditarik kembali sampai ke genggaman tangan. Tapi, permainan yoyo yang ini ternyata dahsyat," tuturnya.

Misalnya saja, ada teknik string tricks, memainkan yoyo saat berputar di salah satu ujung tali. Ada lagi, double looping, trik memainkan dua yoyo sekaligus pada kedua tangan. Ini tentu rumit karena otak kiri maupun kanan dimanfaatkan betul. Kalau teknik off string, tali tidak terikat. Yoyo dimainkan di tengah-tengah tali yang dikendalikan oleh kedua tangan.

Van Elzen telah kembali ke negerinya, namun ketertarikan Oke justru semakin tumbuh. Ia pun menjelajahi dunia internet, mencari tahu seluk-beluk permainan ini. Dari situlah bapak satu anak ini baru mengetahui bahwa yoyo adalah mainan tertua kedua di dunia, tentunya setelah boneka. Di Yunani, yoyo dijadikan indikator kedewasaan seseorang. Ketika mampu memainkannya dengan mahir, seorang remaja dapat dinyatakan mulai dewasa dan cerdas.

Dari internet juga Oke mengetahui ada banyak orang yang bergelut dengan yoyo secara profesional. Mereka membentuk milis komunitas pencinta yoyo. Mereka menggelar kompetisi hingga bertaraf dunia. Sejumlah pabrik khusus dibangun untuk memproduksi yoyo-yoyo keluaran terbaru dengan bentuk dan desain beragam.

Saking terobsesinya, Oke membeli tiga yoyo sekaligus seharga Rp 1 juta melalui internet. Bahannya bukan dari kayu, tapi karet padat. "Dulu kita tahu harga yoyo paling-paling Rp 500. Tapi, karena begitu tertarik untuk mempelajarinya lagi, aku bela-belain beli yoyo yang ini. Saat itu aku menganggap, ini yoyo termahalku," ujarnya sambil menunjukkan koleksi yoyonya yang kini berjumlah 150-an buah.

Mungkin karena sadar harganya mahal, Oke bertekad serius bergelut dengan mainan ini. Dari situlah, ia kemudian menguasai sekitar 30 trik yoyo berikut turunan-turunannya. Ia juga memadukan permainan yoyo dengan gasing.

Desainer yoyo

Ketertarikan Oke tidak hanya bermain, tetapi juga mendesain yoyo. Setelah memenangi sebuah kontes desain yoyo yang diadakan sebuah pabrik di AS, hasil karyanya mulai beredar. Berikutnya, tawaran membikin desain yoyo mulai berdatangan. Pabrik yoyo Hispin dan Radiyoactive di Afrika Selatan, serta YoyoGuy dan Skill Toys di AS, menjadi pelanggan desain buatannya. Tak puas sampai di situ, ia memproduksi sendiri yoyo dengan merek "RozzoR".

Pakar yoyo dunia mulai meliriknya, lalu mengundang Oke menjadi juri dalam Asia Pacific Yoyo Contest 2006 di Genting Highland, Malaysia. Lalu, sekembalinya ke Tanah Air, staf Dinas Pariwisata Kabupaten Subang, Jawa Barat, ini mencoba mempromosikan yoyo ke sekolah. Di SMAN I Subang, permainan yoyo berhasil menjadi ekstrakurikuler sejak satu tahun terakhir dan Oke menjadi gurunya. Ia juga membentuk komunitas yoyo yang kini beranggotakan sekitar 140 orang di sekitar Subang, Bandung, dan Jakarta.

Yoyo tentunya tidak sekadar permainan. Oke meyakini ini salah satu alat pengolahan otak kanan dan kiri manusia. Ia sendiri merasakan dan memerhatikan, sejak menekuninya, pola berpikir menjadi lebih positif, emosi lebih terkendali, dan jadi lebih tekun. Ia pun menyemangati anak-anak didiknya dalam ekstrakurikuler bahwa permainan ini mendukung aktivitas belajar mereka.

Biodata
Nama: Oke Rosgana
Lahir: Bandung, 20 Oktober 1975
Pendidikan: S-1 Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, tamat 2002
Pekerjaan: Staf Dinas Pariwisata Kabupaten Subang
Istri: Milda Halida (30)
Anak: Hasya Azka Syahida (tujuh bulan)
Membentuk komunitas pencinta yoyo, sekaligus membangun milis yoyoindonesia@yahoogroups.com
Memenangi kontes "30 Menit Menjadi Bintang" yang diadakan salah satu televisi swasta
Menjadi peserta Asia Pacific Yoyo Contest 2005
Menjadi juri Asia Pacific Yoyo Contest 2006 di Malaysia
Mengajar anak-anak bermain yoyo selama lima bulan di Sudan
Desain-desainnya telah dipakai empat pabrik yoyo yang dipasarkan ke seluruh dunia

Sabtu, 20 Oktober 2007

miliarder Filipina


Andrew Tan, Si Jetset Putra Buruh Migran

Ungkapan si kaya makin kaya mungkin tak berlaku bagi Andrew Tan (57). Ia adalah jetset baru Filipina, putra seorang buruh migran asal China. Bapaknya datang dengan kemiskinan dan kemudian bekerja sebagai buruh pabrik di Filipina. Tan kini orang kaya baru Filipina dan juga baru masuk dalam daftar warga terkaya Filipina tahun 2007 versi majalah Forbes Asia edisi 18 Oktober 2007.

Setelah merestrukturisasi perusahaan induk miliknya, Alliance Global, kekayaan bersih Tan menjadi dua kali lipat, yakni 1,1 miliar dollar AS dari tahun sebelumnya yang sebesar 480 juta dollar AS. Tan meraih keberuntungan dari tiga bisnis utamanya, properti, alkohol, dan restoran cepat saji. Semuanya ada di bawah Alliance Global. Ia kini menempati urutan ke-4 dari 40 orang warga terkaya Filipina.

The Manila Times menuliskan, bisnis properti dijalankan lewat Megaworld Corp, minuman lewat Emperador Distillers Inc, dan restoran lewat Golden Arches Development Corp.

Tan sekaligus menjadi sumber inspirasi, bukan saja bagi sekitar 70 persen penduduk Filipina yang hidup miskin, ia juga menjadi inspirasi bagi pengusaha lainnya, setidaknya di Filipina.

Tan, bapak dari empat anak ini, mulai menggeluti bisnis properti tahun 1989. Di Manila, misalnya, perusahaan ini membangun berbagai kompleks yang merupakan paduan dari perumahan, perkantoran, dan usaha bisnis.

Perusahaannya kini sedang membangun kawasan bisnis khusus untuk perusahaan teknologi. Juga baru saja perusahaan ini membangun fondasi Hotel Marriott di Newport City.

Bisnis properti mulai menghadapi masalah tahun 1994, sebagaimana juga dialami Thailand, Indonesia, dan negara di Asia lainnya. Perusahaan milik Andrew Tan bahkan pernah diisukan sedang dalam kesulitan.

Pada dekade 1990-an, ekonomi Asia ditandai dengan krisis perumahan, lalu merambat ke krisis mata uang, krisis ekonomi dan krisis multidimensi.

Inovasi dan visi

Tan membantah tak terpuruk dalam kesulitan. Kini ucapan Tan terbukti. Kepada Philippinesnews.com Tan mengatakan, kelebihannya adalah pada inovasi dan visi. Ia melihat Filipina, setidaknya Manila, tetap butuh perumahan. Ia pun mendalami, perumahan seperti apa yang paling dibutuhkan rakyat.

Tan melihat konsep pengembangan kondominium dan residen, di mana warga kelas menengah lebih suka bekerja sembari dekat dengan keluarga dan mendapatkan kenyamanan di lingkungan huniannya. Oleh karena itu, Tan melengkapi bangunan properti dengan keberadaan restoran. Intinya, ia membangun perumahan yang layak jual, bukan sekadar ikut-ikutan.

Di saat pengusaha properti Filipina menghindari bisnis properti di era krisis, Tan malah melanjutkannya. Kini banyak perusahaan lain bangkit, tetapi Tan sudah berada jauh di depan.

Pada 2006, majalah Finance Asia menyatakan Megaworld sebagai perusahaan dengan manajemen terbaik, mengalahkan perusahaan besar dan sudah lebih lama usianya, seperti Philippine Long Distance Telephone Co, Ayala Corp, Jollibee Foods, dan Ayala Land. Megaworld juga dianugerahi sebagai terbaik untuk kategori "corporate governance" oleh majalah yang sama. (AFP/MON)

Rabu, 17 Oktober 2007

Al GORE

Nobel bagi Para Pencegah Bahaya Laten

Pieter P Gero

Mencegah merupakan tindakan yang jauh lebih baik daripada mengatasi. Peran ini yang lagi diemban Albert Arnold "Al" Gore dan Panel Antarpemerintahan PBB soal Perubahan Iklim atau IPCC. Gore dan IPCC terus giat meyakinkan dunia bahwa pemanasan global dan perubahan iklim adalah bahaya laten yang harus dicegah.

Tak bisa ditampik juga, mencegah jelas sebuah pekerjaan melelahkan lahir batin karena berkaitan erat dengan hal yang belum terjadi. Kejadiannya masih puluhan tahun lagi. Abstrak. Semakin kian samar-samar, bahkan gelap gulita ketika menjelaskan bahwa pemanasan global bisa menimbulkan perang, pertikaian.

Beruntung bagi Al Gore dan IPCC karena Komite Nobel di Oslo, Norwegia, menangkap pesan yang disampaikan mereka selama ini. Mantan Wakil Presiden AS di era pemerintahan Presiden Bill Clinton (tahun 1993-2001) ini, dan IPCC yang berisi 3.000 ilmuwan dari berbagai negara ini, hari Jumat (12/10) ditunjuk sebagai peraih Nobel Perdamaian 2007.

"Kami ingin menempatkan iklim dunia pada agenda yang berkaitan dengan perdamaian," ujar Ole Danbolt Mjoes, Ketua Komite Nobel, di balik alasan memilih Al Gore dan IPCC. Lebih bermakna lagi, pilihan ini guna mendorong adanya aksi simultan sekarang ini, sebelum perubahan iklim sudah tak mungkin lagi diatasi manusia.

Soal Al Gore, Komite Nobel mengatakan, "Dia mungkin satu-satunya individu yang berbuat lebih dalam mendorong pemahaman dunia yang lebih luas akan perlunya langkah-langkah pencegahan pemanasan global." Adapun IPCC dinilai berhasil menciptakan sebuah konsensus yang lebih luas menyangkut hubungan antara aktivitas manusia dan pemanasan global.

Penjelasan Komite Nobel ini untuk meminimalisasi pro dan kontra. Maklum, Nobel Perdamaian selalu dikaitkan dengan perang, perlucutan senjata, pengurangan atau penghapusan pasukan. Apalagi ada 181 calon lainnya yang bersaing. Juga ada pemahaman bahwa isu lingkungan tak pas untuk perdamaian. Sekali lagi, karena ini berkenaan dengan tindakan mencegah. Belum jelas hasilnya.

Academy Award

Al Gore, kelahiran Washington DC, 31 Maret 1948, baru muncul sembilan jam setelah dipastikan meraih Nobel Perdamaian 2007. Perlu menahan diri. Jangan sampai memunculkan kesan bahwa dia numpang populer dengan kampanye pemanasan global. Suatu yang bisa membalik keadaan, merugikan.

"Saya akan semakin giat bekerja mulai sekarang," ujar suami dari Mary Elizabeth "Tipper" Aitcheson ini. Mereka dikarunia tiga putri dan seorang putra. Nobel Perdamaian ini akan digunakan untuk mempercepat pemahaman akan perubahan iklim dan segera diambil langkah pencegahannya.

Al Gore yang kalah tipis dari George Walker Bush pada pemilu presiden tahun 1992 seperti memperoleh mesin pendorong baru dalam kampanyenya. Banyak pemimpin dunia memberi selamat dan siap mendukungnya. PBB juga sudah mengantisipasi dengan menggelar sebuah konferensi soal perubahan iklim di Bali, Desember nanti.

Sebelumnya, dia mendapat dorongan cukup berarti dari film dokumenter An Inconvenient Truth (tahun 2006) yang dibintanginya soal krisis iklim. Film ini meraih Academy Award 2007 sebagai film dokumentasi terbaik. Gore mencoba menjelaskan dampak buruk dari pemanasan global.

Semua ini setelah lebih dari 20 tahun dia tak kenal lelah memberikan ceramah soal pemanasan global. Kadang peserta ceramah tak lebih dari 10 orang. Al Gore juga di belakang konser Live Earth setiap bulan Juli soal penyelamatan bumi. Gore pun akrab dengan banyak artis, seperti Cameron Diaz, demi kampanye mencegah bumi ini menjadi nestapa.

"Ini peluang untuk meningkatkan kesadaran global menyangkut tantangan yang kita hadapi kini," ujar Gore mengutip laporan terakhir bahwa es di Kutub Utara akan mencair lebih cepat dari yang diduga. "Kecuali ada aksi pencegahan, seluruh es di Kutub Utara akan hilang kurang dari 23 tahun," ujarnya.

Pepatah Afrika

Gore yang murah senyum ini merasa beruntung meraih Nobel Perdamaian bersama IPCC. Berarti dia kini semakin kuat serta bisa semakin cepat dan jauh dalam menyerukan dilakukan langkah-langkah pencegahan. IPCC pimpinan Rajendra Pachauri, dengan sekitar 3.000 ilmuwan dari 130 negara, giat mengingatkan pemerintah soal perubahan iklim akibat ulah keliru manusia.

"Jika kita ingin cepat, lakukan sendiri. Tetapi jika ingin jauh, lakukan bersama," ujar Gore mengutip sebuah pepatah Afrika. "Kita bersama-sama harus jauh dan cepat. Berarti kita harus segera menemukan jalan untuk mengubah kesadaran dunia soal ancaman pasti yang ada, dan mengapa kita harus mengatasinya," tambahnya.

"Saya gembira dan tersanjung berbagi hadiah ini bersama Gore," ujar Pachauri di New Delhi, India. "Ini pengakuan sekaligus sebuah tanggung jawab baru di pundak kami," tegasnya. IPCC dibentuk tahun 1988 guna membantu pemerintah negara anggota PBB soal perubahan iklim.

Gelombang panas, banjir, dan kekeringan adalah ulah manusia. Bencana ini kian marak belakangan ini. "Kami masih harus berbuat banyak dan masih banyak jarak yang harus ditempuh," tegas Pachauri menyadarkan pemerintah dan penduduk dunia soal perubahan iklim yang berbahaya bagi kehidupan penghuni planet ini.

Menempatkan masalah lingkungan dalam agenda perdamaian jelas sebuah hubungan yang sepertinya perlu melewati beberapa titian. Ini yang mengundang pro dan kontra, apakah penghargaan Nobel yang sudah ada sejak tahun 1895 ini tidak keliru dalam menunjukkan Al Gore dan IPCC.

Akan tetapi, seperti dikatakan Martin Taylor dari Royal Society (Akademi Sains Inggris) ataupun Jeffrey Sachs dari Earth Institute Columbia University, New York, AS, perubahan iklim ataupun pemanasan global rentan sebagai pemicu pertikaian antarsuku, bangsa, dan negara. Kekeringan, gagal panen, ataupun banjir menimbulkan pengungsian. Ini erat dengan kualitas hidup manusia, kemiskinan.

Sachs yang pemerhati masalah kemiskinan menuturkan, wilayah Darfur, Sudan, menjadi ajang pertumpahan darah. Perubahan iklim dan peningkatan penduduk membuat ketersediaan air terbatas. "Kemiskinan dan kesulitan hidup rentan bentrokan," ujarnya.

Jadi jelas, penunjukan Al Gore dan IPCC peraih Nobel Perdamaian 2007 sudah tepat. Saatnya mendukung mereka.

Senin, 15 Oktober 2007

Pengarang-Teolog Marianne Katoppo Berpulang


Jakarta, Kompas - Tepat tengah hari pada hari Idul Fitri, 13 Oktober 2007, jenazah novelis, pemikir, dan teolog feminis, Henriette Marianne Katoppo (64), diberangkatkan dari rumah duka di RS PGI menuju Krematorium Oasis Tangerang. Ia berpulang pada hari Jumat (12/10) siang, kemungkinan karena serangan jantung.

”Prosesnya cepat sekali,” ujar kakak iparnya, Jeanne Katoppo-Mambu. Ketika hendak turun dari mobil sepulang jalan-jalan dengan kakaknya, kepala Marianne Katoppo tiba-tiba terkulai.

Ia langsung dibawa ke RS Azra, Bogor, tetapi tidak terkejar. Kremasi merupakan permintaan Marianne lewat salah satu keponakannya sebelum ia meninggal.

Kakak iparnya yang lain, Ny Mimis Katoppo, menambahkan, Marianne sempat dirawat karena stroke di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan beberapa hari setelah ulang tahunnya. Setelah membaik, ia tinggal bersama kakaknya di Bogor.

Kepergian Marianne yang begitu mendadak, seperti diungkapkan Jeanne, mengagetkan teman-temannya, termasuk Gus Dur. Mereka pernah terlibat bekerja untuk urusan agama dan perdamaian dunia.

Meski dikenal sebagai feminis teolog pertama di Asia, Marianne tidak masuk ke arus utama gerakan feminisme di Indonesia. Padahal, bukunya, Compassionate and Free (1979), sudah membahas akar perempuan sebagai ”liyan”.

”She was a lone fighter,” ujar Bondan Winarno, penulis, salah seorang sahabatnya.

Demi prinsip, Marianne tak peduli pada popularitas. Ia tak peduli dipandang sebagai ”musuh” Kartini karena kekritisannya pada Kartini.

Padahal, ia sangat menghargai pikiran-pikiran Kartini, dan karenanya menolak perjuangan mengejar simbol.

Karya-karya Marianne, menurut pengamat sastra dan pembaca buku-bukunya, Maman S Mahayana, lahir di tengah tekanan kultur yang kurang apresiatif terhadap karya sastra.

Menurut sastrawan Budidarma, karya-karya Marianne berada di kawasan sastra non-mainstream, dan ia tampaknya tidak begitu memedulikan komunitas yang menurut konsensus sastra dianggap sebagai komunitas sastra dalam arti sebenarnya.

Lulusan Institut Oecumenique Bossey, Swiss, yang menguasai 12 bahasa asing itu konsisten menggunakan istilah ”perempuan”.

Lewat berbagai tulisan ia mengupas akar dari istilah-istilah yang membuat perempuan terus disubordinasikan meskipun karyanya, Raumanen, mengundang perdebatan karena memosisikan perempuan di wilayah abu-abu.

Sampai akhir hayatnya, Marianne tenggelam dalam proses kreatifnya meski belakangan tak lagi mengajar. Sebagian waktunya dipakai untuk merawat 30-an kucingnya di sebuah rumah kontrakan berukuran 45 meter persegi di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan.

Buku terjemahan Compassionate and Free akan diluncurkan awal November 2007. Tanpa Marianne. Selamat jalan…. (MH)

Marianne H Katoppo

Lahir: 9 Juni 1943 di Tomohon, Sulawesi Utara, anak bungsu dari 10 bersaudara pasangan Elvianus Katoppo dan Agnes Rumokoij.

Karya: Dunia Tak Bermusim (1974), Anggrek Tak Pernah Berdusta, (1977), Terbangnya Punai (1978), Rumah di Atas Jembatan (1981). Karya teologi (feminis)-nya Compassionate and Free: An Asian Woman's Theology (1979) adalah bahan ajar di berbagai sekolah teologi dan seminari di dunia. Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia: Tersentuh dan Bebas (2007).

Penghargaan, antara lain: Dewan Kesenian Jakarta untuk Raumanen (1975), dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef (Yayasan Buku Utama), 1978, novelis perempuan pertama Indonesia penerima South East Asia Write Award dari Ratu Sirikit, tahun 1982

Pada tahun 1995 ia mewakili Pramoedya Ananta Toer menerima Penghargaan Magsaysay di Manila, Filipina. (MH)

Ilham Aidit, "Saya Menderita 15 Tahun"

Nasib Keluarga PKI Pasca-Peristiwa Gestapu

"15 Tahun Pisah Dengan Ibu
Dua Kali Ditolak Jadi PNS"

Gerakan 30 September 1965 (G-30-S) atau sering juga disebut Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh) atau Gestok (Gerakan Satu Oktober) memasuki usia yang ke-42 tahun.

Mulanya, peristiwa itu disebut sebagai “kudeta” militer yang dirancang Partai Komunis Indonesia (PKI) dibawah komando Dipa Nusantara (DN) Aidit, yang waktu itu menjadi ketua komite sentral PKI. Tapi, kini sejarah kelam ini sedang diluruskan para petinggi negeri ini. Bahkan Kejaksaan Agung saat masih dipimpin Abdul Rahman Saleh menyita buku-buku sekolah yang memuat peristiwa ini. Alasannya, karena banyak isi ceritanya yang tidak sesuai.

Terlepas dari kesimpangsiuran sejarah dalam kasus yang telah menewaskan enam jenderal plus satu kapten yang kemudian dikenang sebagai pahlawan revolusi ini, anak-anak dari keluarga PKI mengaku mengalami nasib yang tragis pasca-kejadian tersebut. Untuk mengungkapnya, Rakyat Merdeka mewawancarai putra DN Aidit, Ilham Aidit, yang kini menjadi seorang pengusaha real estate dan artsitek ini. Berikut penuturannya.

Anda memaknai peristiawa Gerakan 30 September ini seperti apa?

Buat negara, peringatan G-30-S merupakan momentum dimana negara harus berani melihat ke belakang dan mengakui peristiwa yang sebenarnya terjadi. Keberanian untuk mengakui kesalahannya merupakan langkah yang terbaik bagi negara ini. Kalau negara pernah salah dimasa yang lalu, pemerintahan sekarang boleh dan harus mengambil kesalahan itu dan meminta maaf kepada korban. Jepang saja meminta maaf kepada Cina untuk masalah perang dunia ke II, kenapa kita tidak?

PKI juga disalahkan…

PKI memang bersalah dalam peristiwa itu, tapi kenapa keluarga dan simpatisannya sampai harus dibunuh.

Sebagai putra orang tertinggi PKI, apa yang Anda alamai pasca-peristiwa itu?

Pasca peristiwa berdarah itu, kami khususnya keluarga DN Aidit, mengalami penyiksaan batin dan trauma yang begitu mendalam. Kami sekeluarga tercerai berai dari orang tua, adik, kakak dan sanak saudara. Kebebasan yang selama ini kita miliki terenggut begitu saja dengan kejadian itu.

Berapa lama Anda tercerai berai?

Sejak 1 Oktober 1965, saya terpisah dari ibu selama enam belas tahun, dengan kakak lebih dari dua puluh tahun. Bahkan, kini kakak saya terpaksa tinggal di luar negeri karena tidak bisa lagi kembali ke Indonesia.

Bagaimana ceritanya Anda bisa tidak ditangkap?

Saya diselamatkan paman-paman, dan beruntung saya masih bisa sekolah dengan baik sampai kuliah jurusan arsitek di Universitas Parahiyangan (Unpar) Bandung.

Setelah lulus kuliah, Anda pernah daftar Pegawai Negeri Sipil (PNS)?

Sebagai warga Indonesia, saya punya cita-cita tinggi menjadi PNS seperti yang lainnya. Saya pernah mencoba melamar PNS sampai dua kali, namun gagal karena ada catatan mantan keluarga PKI.

Berapa lama perlakuan diskriminasi ini Anda alami?

Sebenarnya diskriminasi itu sampai sekarang masih terjadi. Tetapi arah rekonsiliasi yang dimulai pada tahun 1998 telah merubah persepsi keluarga korban PKI. Persoalannya, langkah ini pun masih masih jalan di tempat.

Anda dikenal vokal terhadap pengakuan hak bekas keluarga PKI, apakah sering mendapat ancaman?

Selepas saya kuliah dan berkerja secara mandiri, tahun 1992 saya sering mendapat telepon dengan nada ancaman dan interogasi.

Isi interogasinya…

Saya dilarang tidak terlibat dalam segala kegiatan yang berhubungan dengan partai politik dan organisasi kemasyarakatan apapun.

Siapa yang telepon Anda?

Mereka tidak pernah mengaku dari mana. Tapi saya yakin mereka memang petugas negara. Ancaman berlangsung secara intens terus sampai tahun 1997. Saya yakin, ancaman itu terkait dengan usia saya yang potensial untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dalam pikiran mereka akan menjadi ancaman.

Sikap Anda dengan ancaman itu?

Saya tanggapi dengan biasa-biasa saja, saya juga bisa berhitung dengan keadaan pada waktu itu.

Terakhir, kapan Anda diancam?

Tahun 2003/2004, ketika wacana rekonsiliasi sedang ramai dibicarakan, dan saya selalu berbicara di forum tentang pentingnya rekonsiliasi, saya sering ditelepon orang yang tak dikenal. Yang isinya melarang saya bicara tentang masa lalu.

Memang, rekonsiliasi apa yang Anda inginkan?

Rekonsiliasi boleh dilakukan asalkan melalu pengungkapan fakta-fakta kebenaran, pelurusan sejarah dan permintaan maaf dari pelaku.

Sekarang, sudah dibentuk forum silaturahmi anak bangsa yang didalamnya ada Anda, Amelia Yani (putri Jenderal Ahmad Yani), termasuk anak-anak tokoh gerakan DI/TII…

Forum ini merupakan inspirasi untuk memberikan kontribusi yang lebih baik. Forum ini sudah cukup bagus. Para anak korban tidak lagi mewariskan dendam yang berkelanjutan. Tapi sebagai rekonsiliasi yang menyeluruh, tidak semudah itu karena rekonsiliasi itu hanya dilakukan orang-orang yang terkait langsung. Antara pelakunya dengan mereka yang menjadi korban, jadi bukan dari anak-anaknya.

Bagi Anda, apakah rekonsiliasi itu sudah terwujud?

Rekonsiliasi yang hakiki belum pernah ada dan belum pernah dilaksanakan. Bahkan upaya-upaya yang mengarah kesana dengan pembentukan undang-undang komisi kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) dibatalkan kembali, padahal sudah jadi. Upaya kesana saja belum terlaksana, bagaimana rekonsiliasi sejati?

Maksud rekonsiliasi sejati?

Kejadian itu harus diinvestigasi dulu kemudian ada pengakuan perbuatan, permohonan maaf dan pemberian maaf dari setiap orang yang terzolimi.

Optimis terlaksana…
Ini harus terjadi, walaupun entah kapan terjadinya.

Tapi, apa harapan Anda dalam kasus ini?

Banyak catatan di buku-buku sejarah yang selalu menyebutkan keterkaitan PKI dengan peristiwa itu, sementara peristiwanya sendiri masih kontroversial. Apakah PKI menjadi dalang tunggal? Sejauh mana PKI terlibat? Hanya peritiwa itu saja yang selalu diangkat. Sementara dampak dari peristiwa itu tidak pernah ada yang tulis. Misalnya, sekitar tujuh ratus ribu orang terbunuh, dua ratus ribu orang dipenjara dan belasan ribu dibuang ke pulau Buru dan sekitar empat ribu orang tidak bisa balik lagi ke Indonesia.

Manfaatnya apa?

Ini untuk kepentingan sejarah, peristiwa itu memang harus disebutkan, karena peristiwanya yang cukup menggemparkan. Ini tidak pernah terungkapkan dalam buku-buku sejarah yang beredar padahal fakta historisnya jelas. Sekarang kan yang muncul adalah yang namanya PKI perlu dibunuh dan harus dilenyapkan.

Bukan berarti menutupi kesalahan PKI…

PKI memang bersalah tapi jangan dijadikan dalang tunggal dari kesalahan. Harus objektif. Persoalan 30 September ini tidak hanya menyangkut PKI saja tapi juga yang lainnya. Jangan disederhanakan.

Untuk meluruskan sejarah ini, sudah sampai mana perjuangan Anda?

Saya bersama kawan-kawan korban selalu menyuarakan tentang rehabilitasi korban. Beberapa kawan kemudian saya dorong untuk mencatat dan menerbitkan buku peristiwa-peristiwa yang sesungguhnya biar warna sejarah ini menjadi warna-warni. Kita juga mendorong pemerintah melihat kemungkinan adanya rehabilitasi. Perlu diingat, generasi muda punya hak untuk mendapatkan cerita sejarah yang benar tanpa dimanifulasi.

Terkait rehabilitasi ini, langkah pemerintah sudah sampai mana?

Rehabilitasi itu sebenarnya erat kaitannya dengan rekonsiliasi. Tapi, kalau undang-undangnya sendiri gugur dan dibatalkan, maka rehabilitasi ini tidak akan ketemu lagi caranya. Saya tidak melihat upaya yang serius dari pemerintah untuk melaksanakan rekonsiliasi ini bukan hanya untuk G-30-S nya saja, tapi juga peristiwa-peristiwa lainnya.

Yang paling mendesak?

Kita minta kompensasi ganti rugi. Rehabilitasi itu harus diberikan karena kita sudah cukup lama menderita dan tersandera di negara kita sendiri.

Sekarang, anak keluarga PKI masih berani unjuk diri?

Saya bersama anak PKI lainnya tidak perlu takut lagi menerangkan identitas kita. Kita sudah menjadi warga negara biasa yang berhak mendapatkan hak-hak sipil yang sama juga. Walaupun sekarang ada aturan boleh menjadi anggota dewan tapi tetap saja untuk birokrasi dan pegawai negeri sipil masih tidak ada atau larangan yang tertera dalam peraturan dalam negeri, ini harus segera dihilangkan. Karena aturan itu diskriminatif. rm

Minggu, 07 Oktober 2007

Frans Hendra, Pendampingan untuk Kaum Papa

Yulvianus Harjono

Advokat senior Frans Hendra Winarta berbangga hati. Jumat (28/9) lalu ia berhasil lulus ujian program doktor pada program pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, dengan nilai cumlaude. Istimewanya, gelar itu diperolehnya pada usia 64 tahun. Hal yang tak lazim pada penekun profesi advokat.

Tampil di hadapan para penguji yang mayoritas rekan sesama praktisi hukum dan sebagian lebih muda darinya, seperti Prof Romli Atmasasmita, Prof Andi Hamzah, dan Prof Indrianto Seno Adji, ia menyampaikan pemikiran dalam disertasi berjudul Hak Konstitusional Fakir Miskin Memperoleh Bantuan Hukum dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional.

Disertasi itu berangkat dari kegalauan dan keresahannya bahwa ada yang salah dengan konsep bantuan hukum yang dijalankan negara ini, terutama pada era pascareformasi. Ini mengingat, dalam kondisi faktual maupun yang teramati lewat media, tak sedikit kaum papa yang hingga kini masih termarjinalkan secara hukum. Mereka tak tersentuh bantuan hukum ataupun sekadar penyuluhan.

"Jumlah kaum miskin di Indonesia sangat banyak. Pada saat ini, meski katanya berkurang, jumlahnya kurang lebih 37,17 juta. Dalam kondisi yang demikian besar, jika tetap mengandalkan pola bantuan hukum yang ada, yaitu struktural, tak akan sampai ke desa-desa. Padahal, penduduk di desa mencapai 63 persen lebih," ungkapnya.

Agar pembelaan kaum miskin lebih efektif, sudah saatnya Indonesia menerapkan pola bantuan hukum responsif. Pemerintah ditempatkan pada posisi yang lebih aktif; konsekuensinya, penyediaan fasilitas dan anggaran menjadi tanggung jawab pemerintah. India, Filipina, dan Amerika Serikat berhasil menerapkan pola ini dan mendorong iklim perlindungan hukum yang baik bagi warganya.

Menurut dia, sulit mengandalkan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum sebagai ujung tombak perlindungan bantuan hukum bagi kaum papa. Apalagi pada praktiknya, bantuan hukum bagi kaum papa terbatas pada hak-hak sipil dan politik saja. "Yang terjadi saat ini umumnya penolakan-penolakan kasus, terutama pada individu," kata Frans.

Terinspirasi film

Dilahirkan di Bandung, 17 September 1943, pria yang aktif di berbagai organisasi profesi dan akademik ini tertarik bidang hukum sejak menginjak usia sekolah menengah. Ketertarikan ini kian bertambah setelah menyaksikan film Too Kill a Mockingbird (1962) yang dibintangi Gregory Peck.

Film ini berkisah tentang perjuangan advokat Atticus Finch membela seorang negro di tengah kuatnya praktik perbudakan (apartheid). "Kisah ini the gloriest age of trial lawyers (kejayaan pengacara). Di situlah law enforcement (penegakan hukum) dan justice for all (keadilan untuk semua) dimunculkan tanpa pandang bulu," paparnya.

Upaya anggota Komisi Hukum Nasional ini dalam mewujudkan cita-citanya sebagai advokat tak mudah. Seusai menamatkan pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pada 1970, ia "dipaksa" langsung bekerja seadanya menyusul meninggalnya salah satu orangtuanya.

Tahun 1979 ia mengikuti kursus notariat untuk memperdalam keilmuannya pada praktik hukum bidang perdata. Lalu pada 1981, ia memberanikan diri mendirikan firma hukum Frans Winarta & Partners. Sejak itu kariernya sebagai pengacara (advokat) melesat. Pada 1990 ia ditunjuk sebagai Ketua Hubungan Internasional Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) sekaligus aktivis Lembaga Pembela HAM.

Pada masa ini ia kerap menangani kasus-kasus para aktivis. Salah satunya, kasus penghinaan terhadap Presiden (Soeharto) yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Gadjah Mada asal Timor Timur. Di situ ia merasakan kuatnya pengaruh kekuasaan dalam politik.

Tahun-tahun berikutnya ia beralih pada kompetensi hukum bisnis. Frans sering ditunjuk sebagai arbiter yang terdaftar dalam International Chamber of Commerce (ICC). Tahun 2005 pada jurnal Asialaw, ia dinobatkan sebagai salah satu pengacara bisnis terkemuka. Kariernya tak berhenti di sini. Pada 2007 ia direkomendasikan sebagai Asia-Pacific Focused Lawyer in Intelectual Property.

Diberondong peluru

Lika-liku karier diakuinya tak selalu menyenangkan. Selama melakukan pembelaan atau pendampingan terhadap klien, intimidasi dan godaan dari pihak lain berjalan seimbang, yang mencoba mengooptasi idealismenya sebagai advokat. Terparah terjadi akhir 2001 ketika kantornya diberondong peluru oleh segerombolan orang tak dikenal.

Beruntung tak ada yang terluka, apalagi terbunuh. Upaya intimidasi itu diduga terkait dengan kasus lelang yang ditanganinya. Atas kejadian itu, ia mengaku tak lagi gentar dengan berbagai intimidasi. Ia berkata singkat, "Itulah hidup."

Ia punya pandangan khusus terhadap buramnya hukum di negeri ini akibat kuatnya praktik mafia peradilan. Menurut dia, advokat hendaknya tak hanya mengandalkan otak dan keahlian, tetapi juga hati nurani. Itu sebabnya ia tak segan-segan hanya membela untuk mengurangi hukuman, bahkan menolak kasus, jika ia tahu bahwa kliennya memang bersalah.

"Nuranilah yang berbicara. Seorang advokat berpengalaman, dalam waktu satu jam wawancara, tahu sesungguhnya kliennya itu salah atau benar. Kecuali jika dia berbohong," ucapnya.

Karena hati nurani pula ia kerap menolak tawaran "suap" yang praktiknya muncul dalam berbagai cara, mulai dari cek, uang kontan, hingga fasilitas lain dari pihak lawan.

Inilah yang membuatnya sempat terkucil selama 10 tahun lebih dalam percaturan pembelaan hukum. Untuk menghasilkan kemenangan bagi klien yang dinilainya benar, ia melakukan praktik strategi berbeda, seperti melalui pengembangan diskursus atau wacana publik. Bisa juga ia menulis di media. "Hakim kan takut jika ditulis (diamati) pers," ucapnya.

Pada usianya kini, Frans masih aktif mengajar di Universitas Pelita Harapan. Ia juga tetap berkeinginan mengejar gelar akademis tertinggi, yaitu profesor (guru besar). "Mudah-mudahan lewat pendidikan kita bisa mendapat banyak manfaat, baik pengembangan teori maupun filsafat," ucapnya.

Biodata

Nama: Frans Hendra Winarta
Lahir: Bandung, 17 September 1943
Istri: Jatty Tanuwidjaja (58)
Anak:
- Patricia Winata (33)
- Randy Winata (29)

Pendidikan:
- Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, 1970
- Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1979-1980
- Magister Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996-1998
- Program Doktor di University of Leiden, Belanda
- Gelar "cum laude" pada Program Doktor Universitas Padjadjaran, 2007

Prestasi:

1. Pengacara yang direkomendasikan sebagai Praktisi Penyelesaian Perselisihan (Dispute Resolution) di Indonesia, 2003-2004
2. 2005 Survei Pengacara Bisnis Terkemuka, sebagai salah satu Pengacara Bisnis Terkemuka (Alternatif Penyelesaian Perselisihan), diterbitkan "Asialaw", 2005
3. Pengacara yang direkomendasikan "Asialaw", edisi 2005
4. A Highly Recommended Asia-Pacific Focused Lawyer in Intellectual Property by Asialaw Leading Lawyers, 2007