Oleh :
M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Mohammad Natsir, sosok yang dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai tokoh pendidikan, tokoh politik, negarawan, dan pemimpin Islam terkemuka. Natsir lahir 17 Juli 1908, di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, sedang kampung asalnya Maninjau. Tokoh yang produktif menulis itu wafat 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun.
Semasa sekolah di Padang dan Bandung ia aktif dalam organisasi di antaranya Jong Islamieten Bond. Natsir murid intelektual ulama terkemuka A Hassan Bandung dan Haji Agus Salim. Di zaman penjajahan Belanda, tahun 1932, Natsir berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang mempunyai tingkat Frobel (TK), HIS (SD) dan MULO (SMP).
Sebagai pelaku sejarah, Natsir adalah anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946) yang merupakan parlemen pertama RI. Natsir juga salah seorang anggota KNIP yang mendukung dibentuknya Kementerian Agama tahun 1946. Beliau pernah menjabat Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), dan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958).
Dalam Majelis Konstituante (1957-1959) yang bertugas merumuskan kembali dasar negara RI, Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam format yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Perjuangan fraksi-fraksi Islam hanya mencapai separuh jalan, kemudian di-by pass oleh Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.
Natsir adalah contoh seorang demokrat par excellence dan ideolog yang berpandangan luas. Menarik disimak pandangannya tentang Pancasila, bahwa tidak ada pertentangan Pancasila dan Islam, kecuali bila Pancasila itu sengaja diisi dengan paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Sikap dan watak kenegarawanan Natsir sebagai tokoh politik dan guru bangsa patut menjadi cermin bagi generasi sekarang. Sikap demikian terlihat dalam pandangan Natsir tentang Bung Karno. Dalam buku yang disusun oleh Solichin Salam, Bung Karno Dalam Kenangan (1981), Natsir menulis, "Saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain. Mudah-mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan bangsa di kalangan generasi penerus."
Natsir adalah contoh pejuang yang ikhlas dan tak penat memandu umat. Pembubaran partai Masyumi oleh rezim orde lama tidak menghentikan langkah Natsir untuk memperjuangkan aspirasi Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada atau tidak ada partai politik Islam, kepentingan umat harus tetap dibela melalui jalan yang masih terbuka. Pada 1967 Natsir bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya mendirikan wadah berbentuk yayasan yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Natsir menjabat Ketua Umum DDII sampai wafat. Ia tidak henti-hentinya menyumbangkan buah pikiran untuk kepentingan bangsa dan negara, walaupun dianggap tidak sehaluan dengan pemerintah orde baru saat itu.
Sejarah mencatat, mosi integral Mohammad Natsir tahun 1949 merupakan pangkal proses yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, sehingga kembali menjadi NKRI. Adapun keterlibatan Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan beberapa tokoh nasional dalam perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat) dilatarbelakangi tujuan untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia dari bahaya Komunisme/PKI dan menuntut keadilan pemerintah pusat terhadap pembangunan daerah-daerah di luar Jawa.
Pada awal orde baru, Natsir turut membantu pemerintah dalam pemulihan hubungan diplomatik dengan Malaysia pascakonfrontasi 'Ganyang Malaysia' di masa pemerintahan Soekarno. Dari balik tembok tahanan, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menolak menerima utusan pemerintah Indonesia yaitu Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Natsir menjadi tahanan politik rezim Soekarno selama 4 tahun (1962-1966).
Hati nurani umat
Seorang pejabat KBRI di Jeddah bercerita kepada alm KH Hasan Basri (mantan Ketua Umum MUI). Sewaktu Menlu Dr Soebandrio menunaikan haji tahun 1965, ia dapat bertemu Raja Faisal bin Abdul Aziz. Ia melaporkan, Islam di Indonesia berkembang pesat. Tanggapan Raja Faisal, "Kenapa Saudara tahan Mohammad Natsir? Saudara tahu, Mohammad Natsir bukan saja pemimpin umat Islam Indonesia, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini!" Peran Natsir yang menonjol di dunia Islam ialah sebagai wakil presiden Muktamar Alam Al-Islami (World Muslim Congress), anggota inti Rabithah Alam Islami di Makkah, anggota inti Dewan Masjid Sedunia, dan lain-lain. Ia pun pernah diusulkan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Konperensi Islam (OKI), tapi tidak disetujui Pemerintah RI.
Pada 1980 Natsir menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal (Faisal Award) dari Kerajaan Saudi Arabia atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada dunia Islam. Sebagai tokoh pembaruan dan intelektual Muslim, Natsir menempuh cara dakwah dan pendidikan untuk memperbaiki pemahaman dan pengamalan agama masyarakat Islam di Indonesia. Kata Natsir, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni.
Sebuah ironi sejarah di zaman orde baru, sejak 1980 sampai meninggal Natsir kena cekal, karena menandatangani 'Pernyataan Keprihatinan' yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 berisi kritik terhadap Pak Harto yang sedang di puncak kekuasaan. Dalam tahun-tahun terakhir menjelang tutup usia, seperti diungkap Prof George Mc Turnan Kahin dari Cornell University USA, Natsir benar-benar sedih dan prihatin melihat kondisi negerinya. Bukan hanya karena melihat pemerintah waktu itu yang otoriter, juga karena menyaksikan masyarakat yang semakin materialistis dan individualistis. Penulis bersyukur beberapa kali bertemu Pak Natsir semasa hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar