Kamis, 15 Mei 2008

Ali Abd Al-Raziq (1888-1966)

By Luthfi Assyaukanie

Sebagian ulama tradisional Mesir menyamakan Ali Abd al-Raziq dengan Mustafa Kamal Ataturk, bahkan menganggapnya lebih buruk dan lebih berbahaya dari tokoh sekularisme Turki itu. Kedua tokoh ini memang hidup sejaman dan memiliki ideologi politik yang kurang lebih sama. Jika pada tahun 1924 Ataturk mengumumkan penghapusan lembaga khilafah dan menyatakan pemisahan urusan agama dari negara, pada tahun 1925, Abd al-Raziq menerbitkan sebuah buku yang intinya mendukung langkah yang dilakukan Ataturk, bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu yang harus dilaksanakan oleh kaum Muslim. Persoalan politik adalah persoalan duniawi yang tidak ada campur tangan agama di dalamnya.

Kedua tokoh Islam itu mendapat hujatan luar biasa dari mayoritas kaum Muslim. Beruntunglah Ataturk, karena ia seorang kepala negara, ia bisa leluasa menerapkan ideologinya di Turki. Sementara Abd al-Raziq mendapatkan kecaman dan hinaan dari rakyat Mesir. Sejak ia menerbitkan buku kontroversialnya itu, satu persatu jabatan pentingnya dicopot, diasingkan dari komunitas al-Azhar, dan mendapat perlakuan kasar dari masyarakat.

Ali Abd al-Raziq dilahirkan di sebuah desa kecil di provinsi Minya, Mesir tengah, pada tahun 1888. Ia adalah adik kandung dari Mustafa Abd al-Raziq, intelektual Mesir yang terkenal dengan teori filsafat Islam-nya. Sama seperti Mustafa, Ali Abd al-Raziq melewati masa kecilnya dengan mempelajari ilmu-ilmu agama. Dalam usia sepuluh tahun, ia masuk al-Azhar dan menghadiri beberapa kuliah umum yang disampaikan oleh Muhammad Abduh.

Pemikiran-pemikiran progresifnya, tak pelak lagi, dipengaruhi oleh sang Imam. Pada tahun 1910, ia masuk ke Universitas Mesir dan berkesempatan mendengarkan ceramah ilmiah yang disampaikan oleh dua orientalis terkenal, Nallino tentang literatur dan Santillana tentang filsafat. Ia mendapat ijazah al-Azhar pada tahun 1911 dan dua tahun kemudian mendapat kesempatan beasiswa belajar di Oxford, Inggris. Ia mengambil jurusan Ekonomi dan Ilmu Politik.

Kembali dari Oxford, ia diangkat menjadi hakim di Alexandria dan wilayah sekitarnya. Disamping itu, ia mengajar Sejarah Peradaban Arab Islam di sebuah perguruan tinggi al-Azhar cabang Alexandria. Di kota inilah ia mulai menyiapkan bahan-bahan untuk bukunya yang terkenal, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam (Islam dan dasar-dasar pemerintahan: Kajian tentang khilafah dan pemerintahan dalam Islam) yang diterbitkan beberapa tahun kemudian. Selain buku ini, Abd al-Raziq menulis beberapa buku lain, di antaranya, al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamiyyah (konsesnsus dalam hukum Islam) yang diterbitkan pada tahun 1947.

Tak Ada Negara Islam

Abd al-Raziq meyakini bahwa Islam adalah agama moral, sebelum menjadi agama lainnya. Nabi Muhammad diutus kepada bangsa Arab untuk memperbaiki moralitas mereka. Tugas utama Nabi adalah menyampaikan risalah kenabian yang mengandung ajaran-ajaran moral. Ketika Nabi membangun sebuah komunitas di Madinah, dia tidak pernah menyatakan satu bentuk pemerintahan yang harus diterapkan, tidak juga memerintahkan penerusnya (khulafa al-rasyidun) untuk membuat satu sistem politik tertentu.

Apa yang diasumsikan oleh sebagian orang bahwa Islam menganjurkan umatnya mendirikan negara dengan sistem politik, aturan perundangan, serta pemerintahan “islami” adalah asumsi keliru yang ditarik dari kenyataan sejarah. Padahal fakta sejarah membuktikan bahwa apa yang dianggap sistem “islami” tak lain merupakan ijtihad politik dari para tokoh-tokoh Islam sepeninggal Nabi. Bukankah pemilihan kepala negara dan sistem pemerintahan yang dijalankan Abu Bakar berbeda dengan yang diterapkan Umar ibn Khattab. Begitu juga, apa yang dijalankan Umar berbeda dengan Utsman dan Ali. Dan bukankah sistem khilafah model Umayyah dan Abbasiyyah tak lebih dari ijtihad politik sebagian orang-orang dari klan itu. Khilafah, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai suatu keharusan mutlak, ternyata merupakan bentukan sejarah yang dimulai oleh Abu Bakar dan Umar dan dimatangkan oleh Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah.

Berdasarkan fakta sejarah itu, Abd al-Raziq menyimpulkan bahwa sistem khilafah bukanlah sebuah keharusan bagi kaum Muslim untuk mendirikannya, dan bahkan ia bukan sama sekali bagian dari Islam. Ia menulis:
Agama Islam terbebas dari khilafah yang dikenal kaum Muslim selama ini, dan juga terbebas dari apa yang mereka bangun dalam bentuk kejayaan dan kekuatan. Khilafah bukanlah bagian dari rencana atau takdir agama tentang urusan kenegaraan. Tapi ia semata-mata hanyalah rancangan politik murni yang tak ada urusan sama sekali dengan agama. Agama tidak pernah mengenalnya, menolaknya, memerintahkannya, ataupun melarangnya. Tapi, ia adalah sesuatu yang ditinggalkan kepada kita agar kita menentukannya berdasarkan kaedah rasional, pengalaman, dan aturan-aturan politik. Begitu juga, pendirian lembaga militer, pembangunan kota, dan pengaturan administrasii negara tak ada kaitannya dengan agama. Tapi, semua itu diserahkan kepada akal dan pengalaman manusia untuk memutuskannya yang terbaik. (Ali Abd al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm. Cetakan pertama, Cairo, 1342/1925. Hal. 103).

Abd al-Raziq sangat percaya dengan sejarah. Ia meyakini bahwa beberapa doktrin dan konsep Islam atau yang diyakini sebagai bagian dari Islam adalah ciptaan dari sejarah. Sebagian dari rekaan sejarah itu ada yang sesuai dengan ajaran aseli Islam dan sebagian lainnya keliru atau bahkan sesat. Sistem politik adalah salah satu ciptaan sejarah yang tak memiliki rujukan dalam ajaran aseli Islam. Menurutnya, Islam seolah-olah sengaja tidak memberikan satu standar baku sistem pemerintahan, demi memudahkan kaum Muslim agar menentukan sistem politik yang terbaik bagi mereka. Ini tak lain merupakan hikmah tersembunyi dari Islam yang tak banyak dipahami orang.

Pandangan historis Abd al-Raziq tak pelak memancing kontroversi, bukan hanya dari ulama tradisional yang secara turun temurun meyakini secara taken for granted bahwa khilafah merupakan bagian dari doktrin Islam, tapi juga dari kalangan intelektual Muslim yang masih menaruh harapan pada lembaga khilafah. Rasyid Ridha dan murid-muridnya, seperti Hassan al-Banna, pendiri gerakan ikhwan al-muslimin, menganggap pandangan Abd al-Raziq itu sebagai gagasan berbahaya yang harus diluruskan.

Bagi mereka, penolakan terhadap khilafah atau sistem pemerintahan Islam hanya akan menjauhkan agama ini dari urusan dunia dan akan membuka peluang sekularisme dengan memisah-misahkan urusan dunia dari agama, satu pengalaman yang pernah terjadi dalam agama Kristen. Bagi Ridha, penolakan terhadap sistem khilafah dianggap sangat berbahaya karena itu akan memperlemah posisi umat Islam yang memang sudah tercabik-cabik oleh kolonialisme. Patut diingat, ketika Abd al-Raziq mengumumkan gagasannya itu, hampir semua negara Muslim berada di bawah kekuasaan penjajah dan satu-satunya benteng pertahanan terakhir –yakni khilafah Utsmaniyyah di Turki—juga telah dibubarkan oleh Ataturk.

Abd al-Raziq bukan tidak memiliki perasaan persatuan dan bukan seperti yang dituduhkan sebagian orang bahwa ia ingin menerapkan gagasan sekularisme Barat terhadap Islam. Sebagai seorang ‘alim al-Azhar yang luas pengetahuan agamanya dan sebagai seorang intelektual yang pernah mengecap pendidikan Barat serta berpengalaman melihat negara-negara lain selain Mesir, Abd al-Raziq tentunya memiliki wawasan dan pertimbangan yang matang hingga ia mengeluarkan ijtihad kontroversial itu.

Pengetahuan sejarahnya yang mendalam membuatnya merasa sangat yakin bahwa sistem politik yang berlaku sepanjang sejarah Islam bukan cuma satu. Ia sangat bergantung dan dipengaruhi oleh penguasa yang memegang pemerintahan. Apa yang disebut khilafah oleh setiap penguasa memiliki makna dan implikasi politisnya masing-masing yang berbeda antara satu khalifah dengan lainnya. Perbedaan ini hanya bisa dipahami bahwa penerapan sistem pemerintahan yang disebut khilafah itu berasal dari ijtihad dan pendapat yang terbaik dari para pemegang kekuasaan dalam sistem tersebut. Karenanya, sistem itu tidak bisa disebut sebagai sistem “islami” dengan pengertian bahwa model politik dan segala implikasinya yang diterapkan dalam kelembagaan khilafaah berasal dari Islam. Bahkan pernyataan seperti ini, menurut Abd al-Raziq, bisa sangat berbahaya. Khususnya jika sebuah khilafah berjalan tidak sesuai dengan nilai-nilai dasar Islam, seperti despotisme dan kesewenang-wenangan yang terjadi pada sebagian pemerintahan dinasti Umayyah, Abbasiyyah, dan Utsmaniyyah.

Karenanya, pernyataan bahwa Islam tidak memiliki sistem politik tertentu bagi kaum Muslim, dalam pandangan Abd al-Raziq, menjadi positif, karena hal itu berarti menyelamatkan Islam dari pengalaman-pengalaman politik negatif yang terjadi sepanjang sejarah Islam. Pendapat itu sekaligus menempatkan Islam sebagai agama agung yang memberikan ruang bagi manusia untuk berkreasi bagi urusan dunia mereka. Abd al-Raziq mengkritik sebagian ulama yang mengagung-agungkan khalifah sebagai penguasa tunggal yang memiliki kekuasaan mutlak, suci, dan dianggap sebagai wakil Tuhan, dan karenanya, menolak khalifah berarti menolak kesucian dan perintah Tuhan. Padahal, perintah Islam sesungguhnya, pemimpin haruslah dipilih dari rakyat (ummah), dibay’at oleh rakyat dan diturunkan oleh rakyat. Tak ada seorang pun yang mengatakan bahwa pemimpin ditunjuk oleh ayat atau hadits Nabi. Jadi, pemberian kepercayaan dan pengagung-agungan secara berlebihan kepada khalifah seperti yang dilakukan oleh kaum Muslim masa silam sama sekali bukanlah sikap yang berasal dari ajaran murni Islam. Tapi berasal dari tradisi Romawi, Persia, atau dinasti-dinasti besar sebelum Islam.

Selain menggunakan argumen historis, Abd al-Raziq juga mengutip sumber-sumber agama, termasuk Alquran dan hadits yang memperkuat pendapatnya bahwa khilafah dan sistem politik bukanlah bagian dari doktrin Islam. Ia menjawab para pengkritiknya yang mengatakan bahwa Alquran menyebut soal “khalifah” dan “ulil amri” yang keduanya merupakan konsep politik yang ditawarkan Islam. Menurutnya, para ulama dan mufasir telah memanipulasi ayat-ayat Alquran sehingga dua istilah itu menjadi bermakna politik. Padahal sesungguhnya ayat-ayat yang menyinggung tentang dua konsep itu tak ada kaitannya dengan urusan politik. Konsep “ulil amri” misalnya, yang dianggap oleh kalangan Sunni sebagai konsep paling kuat dalam mendukung adanya “teori politik Islam,” menurut Abd al-Raziq tidaklah seperti yang mereka duga. Dengan mengutip beberapa karya tafsir tradisional seperti al-Baydhawi dan al-Zamakhsyari, mantan syaikh al-Azhar itu menjelaskan bahwa “ulil amri” bermakna sahabat-sahabat Nabi (al-Baydhawi) atau para ulama (al-Zamakhsyari), dan bukan “khalifah” atau “pemimpin negara” seperti yang selama ini dipahami oleh sebagian ulama. Abd al-Raziq juga sangat berhati-hati dengan hadist-hadist tentang “politik” yang sering dijadikan rujukan oleh sebagian orang. Dengan metodologi kritik hadits, ia membuktikan bahwa hadits-hadits semacam itu sangat lemah atau jika silsilah periwayatannya baik, maknanya bertentangan dengan akal sehat.

Demikianlah pandangan Abd al-Raziq tentang khilafah dan sistem politik yang menyebabkannya dihujat oleh sebagian besar ulama dan sekaligus menjadikannya sebagai tokoh paling terkenal dalam wacana politik Islam. Kendati penolakan terhadap sistem khilafah dan negara Islam merupakan ide sentral Abd al-Raziq, pendapat itu bukanlah gagasan orisinil satu-satunya. Beberapa pandangannya yang lain juga dianggap kontroversial, karena tidak sesuai dengan mainstream penafsiran yang dianut mayoritas ulama.

Gagasan tentang jihad misalnya. Menurutnya, jihad dalam artian perang untuk menyebarkan agama Islam adalah konsep yang keliru. Bahkan konsep jihad dalam artian perang sama sekali tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari risalah kenabian. Tapi merupakan strategi Nabi Muhammad semata-mata untuk memperluas wilayah kekuasaan Islam yang saat itu memang menuntut demikian. Dengan kata lain, jihad bersifat politis duniawi semata yang sangat terbatas pada konteks zaman di mana Nabi hidup. Keberatan Abd al-Raziq terhadap konsep jihad yang berarti perang karena ia bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menganjurkan perdamaian dan keadilan. Bagaimana mungkin agama yang membawa risalah damai menganjurkan umatnya memerangi agama dan bangsa lain.

Karenanya, Abd al-Raziq membedakan peran Muhammad sebagai seorang Nabi pembawa risalah dan Muhammad sebagai kepala negara. Muhammad sebagai Nabi adalah Muhammad yang semua ucapan dan tindakannya menjadi panutan bagi kita semua, sedangkan Muhammad sebagai kepala negara adalah Muhammad yang keputusan-keputusan serta tindakan-tindakannya dibatasi oleh konteks kesejarahan ruang dan tempat di mana ia hidup.

Dengan pandangan-pandangan kontroversialnya itu, Abd al-Raziq ingin mengatakan dua hal. Pertama, bahwa Islam adalah agama moral-spiritual par-excellence. Ia bebas dari campur tangan manusia yang cenderung mengejar kepentingan-kepentingan duniawi jangka pendek, termasuk kepentingan-kepentingan politik. Kedua, Islam adalah agama yang fleksibel yang selalu memberikan kemudahan kepada umatnya. Dalam masalah politik, ia tidak menentukan satu standar sistem, tapi menyerahkannya kepada keputusan terbaik manusia.

Rabu, 14 Mei 2008

SOSOK DAN PEMIKIRAN


Seperti Kita Ini Bukan Indonesia...
Bambang Shergi Laksmono
Sabtu, 26 April 2008 | 00:52 WIB

Oleh Imam Prihadiyoko

Mei ini, Indonesia memperingati seabad kebangkitannya. Sebuah pelajaran sejarah yang mengingatkan kepada anak bangsa agar saling peduli dengan sesama anak bangsa. Apalagi, problem kebangsaan, kesejahteraan yang dihadapi masyarakat saat ini, memang menakutkan.

Ada rakyat yang tidak diurus negara, bahkan meninggal karena kelaparan, saat saudara sebangsanya yang lain sedang berpesta demokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Ada ketidakpedulian yang meluas di antara masyarakat pascakeruntuhan rezim Orde Baru. Lebih menakutkan lagi, ketika negara seperti tidak berbuat apa pun untuk mengatasi problem kerakyatan saat ini.

Cerita lama rakyat antre minyak semasa era Orde Lama sekarang terjadi lagi. Bahkan, saat sebagian rakyat kesulitan menghadapi harga beras yang naik, dan bangsa ini mulai surplus beras, malah ada ide untuk mengekspornya.

”Sepertinya, keindonesiaan kita ini bukan Indonesia,” ujar guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Bambang Shergi Laksmono di Kampus UI Depok, Senin (21/4).

Bambang, sosiolog yang masa kecilnya di berbagai negara, menuturkan, menyejahterakan rakyat adalah bagian dari cita-cita kehidupan bernegara yang diamanatkan konstitusi. Tetapi, bentuk kesejahteraan seperti apa yang dilakukan negara, tampaknya tidak kunjung terwujud. Tak heran kalau di antara rakyat mulai muncul apatisme dan keraguan tentang untuk apa bernegara jika fakir miskin dan anak telantar yang seharusnya dipelihara negara dibiarkan hidup tanpa bantuan negara.

Apa mungkin karena banyak orang Indonesia yang tidak mengenal lagi keindonesiaan sehingga tidak muncul kepedulian sosial terhadap sesama warga bangsa? Berikut perbincangan itu:

Apa ingatan masa kecil Anda tentang kebangsaan Indonesia?

Sewaktu kecil, rasanya saya bangga sekali dengan Indonesia. Saya tidak pernah merasa minder mengaku berasal dari Indonesia. Tak heran kalau saya merasa sama dan sejajar dengan bangsa lain. Sewaktu kecil, saya tinggal di beberapa negara karena mengikuti tugas orangtua.

Saya juga sedih, kok kita dengan Malaysia saja rasanya sudah tidak dihargai lagi. Padahal, dulu orang Malaysia sangat menghormati orang Indonesia. Bahkan, banyak guru dari Indonesia yang ikut mendidik warga Malaysia. Sekarang tampaknya kita yang harus belajar dari berbagai kemajuan yang diraih Malaysia.

Bambang adalah sosok yang tak banyak berbicara. Kalau berbicara, gayanya tenang, hampir tak ada ledakan emosi yang terlontar. Sempat gundah dengan kondisi rakyat Indonesia yang saat ini seperti tak punya pegangan, ia juga sedih melihat di negara tetangga pun tidak sedikit warga negara Indonesia yang dihina dan dikejar-kejar, seperti penjahat.

Bambang juga gundah dengan lulusan perguruan tinggi yang menurut dia juga lemah tentang pengetahuan kewilayahan Indonesia.

Lulusan perguruan tinggi banyak yang tidak mengenal lagi wilayah Indonesia, apalagi tentang keindonesiaan. Bisa dibayangkan bagaimana menyedihkannya masyarakat kita kalau kaum cendekiawannya saja tak mengenal wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin mereka bangga dengan Indonesia? Mungkin karena mahasiswa hanya dibekali pemahaman konseptual yang sering kali tidak menjejakkan kakinya di bumi. Mereka lebih ngawang-awang dan sering kali tidak melihat kenyataan. Ini mungkin disebabkan perspektif ilmu yang dikembangkan kita selama ini tidak cukup menuntun mahasiswa kita untuk mengenal kondisi Indonesia yang sangat luas.

Komposisi mahasiswa dan sarjana juga tak mencerminkan perwakilan daerah dan budaya yang memungkinkan saling mengenal daerah di negeri ini. Kita tidak seperti orang Singapura yang konsisten mengembangkan pengetahuan regional ASEAN- Asia dan lintas lingkaran yang menjangkau kawasan dunia, di mana negaranya menjadi sentral kekuatan keuangan dunia. Saya kira mestinya, dimensi kewilayahan, khususnya yang strategik, harus masuk dalam perhatian seluruh anak bangsa.

Daerah perbatasan, daerah pertambangan utama, daerah isolasi, dan daerah pusat pertumbuhan harusnya lebih sering dibicarakan secara holistik dan menjadi salah satu kompetensi lulusan pendidikan di Indonesia, apalagi jika dari FISIP. Syukur wawasan kewilayahan ini minimal bisa mencakup wawasan geopolitik Indonesia, Malaysia, Singapura, ASEAN, dan seterusnya Asia-Australia.

Pada tahun 1992, Bambang sudah menjadi Ketua Jurusan (sekarang disebut Departemen) Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ia juga merintis pengembangan jurusan kesejahteraan dengan mendirikan program Pascasarjana Bidang Ilmu Kesejahteraan Sosial yang pertama di Indonesia.

Terkait dengan kondisi bangsa, apa yang diharapkan rakyat?

Rakyat saat ini sebenarnya berharap proses demokratisasi berjalan dengan cepat. Bukan demokrasinya yang dinantikan, tetapi hasil dari pelaksanaan demokrasi itu, yaitu meningkatnya kesejahteraan rakyat. Sayangnya, proses demokrasi yang melewati masa pemilihan presiden langsung pun tidak menawarkan solusi yang diharapkan. Rakyat yang sudah disodori pilkada pun belum merasakan keuntungan dari proses demokrasi itu. Proses demokrasi baru dinikmati elite. Tidak heran kalau rakyat saat ini banyak yang menanti dengan tidak sabar atas hasil demokrasi yang dilaksanakan sekarang.

Rakyat saat ini cenderung tak peduli dengan proses demokrasi yang ada. Ini secara langsung bisa dilihat dari jumlah rakyat yang apatis pada pilkada terus bertambah. Ini semua karena rakyat tidak merasakan buah demokrasi, yaitu kesejahteraan. Banyak rakyat yang merasakan hidupnya seperti tikus yang mati di lumbung padi.

Mengapa demokrasi kita belum menyejahterakan rakyat?

Dalam sistem demokrasi yang dibangun dengan dasar kepartaian saat ini, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, partai harus bisa menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai agenda berbangsa dan bernegara. Jika partai tidak peduli, bukan saja kehidupan rakyat kian terpuruk, tetapi kelangsungan kehidupan bangsa ini juga akan terancam.

Secara ideal, konsolidasi demokrasi harus berjalan seiring dengan konsolidasi ekonomi sehingga kesejahteraan terwujud.


Imam Prihadiyoko

Selasa, 06 Mei 2008

Irsyad Manji

Diusir, Diancam, Dipuji
Minggu, 4 Mei 2008 | 01:24 WIB

Terima kasih, Idi Amin. Justru akibat diusir diktator Uganda itu, saya bisa memperoleh kesempatan hidup di dunia yang relatif bebas untuk menggunakan pikiran dan memberdayakan potensi sebagai perempuan muda Muslim.”

Begitu Irshad Manji memandang positif sejarah pengusiran yang jadi titik balik perjalanan hidupnya itu. Perempuan ini lahir di Uganda, Afrika Timur. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Keluarga ayahnya berasal dari Gujarat, India, sedangkan ibunya dari Mesir selatan.

Tahun 1972, Idi Amin mengusir ribuan pendatang nonkulit hitam yang dianggap menguasai ekonomi negeri itu. Saat berusia empat tahun, keluarganya mengungsi ke Vancouver, Kanada. Meski sudah pindah ke tempat baru, gadis kecil itu masih harus menghadapi perlakuan kasar ayahnya.

”Saat saya berusia sembilan tahun, Ayah mengejar saya keliling rumah dengan pisau, mengancam akan memotong telinga saya. Saya lari ke atap rumah,” kenang Irshad.

Ayah dan ibu Irshad akhirnya berpisah saat perempuan ini berusia sekitar 16 tahun. Sang Ibu membesarkan Irshad bersama dua saudarinya dengan bekerja sebagai pembersih rumah.

”Setiap bangun tidur, saya bersyukur dapat memperoleh kemerdekaan,” ujar dia.

Irshad keluar dari pendidikan madrasah saat usia 14 tahun setelah memprotes posisi perempuan yang inferior dalam Islam tradisional dan mengajukan berbagai pertanyaan kritis yang tidak direspons baik oleh guru madrasahnya. Selama 20 tahun berikutnya, gadis ini membenamkan diri di perpustakaan untuk mempelajari Islam dari Al Quran dan berbagai literatur lain.

Tahun 1990, setelah lulus S-1 dengan penghargaan untuk bidang sejarah pemikiran dari University of British Columbia, Irshad yang secara terbuka mengatakan dirinya lesbian lebih banyak berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Dia jadi pembawa acara (host) di Vision TV, lantas jadi produser dan host di City TV, Toronto. Pada usia 24 tahun, dia jadi editor di koran terbesar di Kanada, Ottawa Citizen.

Sambil menekuni jurnalistik, Irshad semakin mematangkan gagasan reformasi Islam. Dia menyebut dirinya sebagai ”Muslim refusenik”: berpikiran independen, liberal, dan anti-fundamentalis. Pemikirannya banyak dipublikasikan lewat surat kabar, wawancara, dan situs internetnya.

Mulai Januari 2008 Irshad bergabung dengan New York University dan mendirikan serta memimpin The Moral Courage Project yang membantu generasi muda memperjuangkan kebenaran dan memberdayakan diri. Pemikirannya yang kritis terhadap Islam ortodoks dan perjuangannya membela hak-hak asasi manusia—terutama di kalangan perempuan Muslim—membuat aktivis ini memperoleh banyak dukungan.

”Mei ini saya memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universtity of Washington,” kata Irshad.

Di sisi lain, sikap kritis itu harus ditebus dengan munculnya berbagai ancaman dari kalangan Muslim radikal. Sebagian besar ancaman berasal dari Pakistan, Mesir, dan kelompok Muslim di Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman.

”Di Kanada, jendela rumah saya antipeluru. Saya harus berhati-hati menggunakan telepon. Kehidupan saya sering ada dalam situasi bahaya sehingga saya memilih tidak menikah dan punya anak,” kata dia. (iam/nmp)

Berpikir Kritis Irshad Manji

KOMPAS/ILHAM KHOIRI / Kompas Images
Minggu, 4 Mei 2008 | 01:19 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Ilham Khoiri

Nama Irshad Manji (40) mungkin belum dikenal luas di Indonesia, meskipun bukunya yang berjudul asli ”The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change” (2003) telah diterjemahkan di 30 negara.

Buku dalam terjemahan bahasa Indonesia, Beriman Tanpa Rasa Takut, Tantangan Umat Islam Saat Ini yang diterbitkan Koalisi Perempuan Indonesia dan Nun Publisher diluncurkan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Selasa (22/4).

”Ini kunjungan pertama saya ke Indonesia dan insya Allah bukan yang terakhir,” kata Irshad ketika ditemui hari Senin (21/4) di Jakarta.

Selain untuk peluncuran buku, Irshad juga ingin mengenal lebih jauh toleransi beragama bangsa Indonesia yang menurut dia dapat menjadi contoh bagi dunia. Dia melakukan diskusi dengan kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, bertemu dengan ormas perempuan di Pesantren Krapyak, dan seniman di Yogyakarta.

”Sebelum terbang ke Jakarta, saya memberi wawancara tentang Proyek Keberanian Moral di New York University yang saya ketuai. Saya katakan, saya akan ke Indonesia untuk peluncuran buku. Saya sampaikan, seharusnya dunia melihat ke Indonesia, bukan hanya ke Timur Tengah, untuk mencari tanda Islam yang lebih progresif—kadang tidak terlalu progresif, tetapi kerap progresif—mencari tanda bagaimana kaya dan kompleksnya Islam,” kata Irshad.

Setelah diterbitkan tahun 2003, terjemahan buku tersebut dalam bahasa Urdu, Arab, Farsi, Malaysia, dan sekarang juga bahasa Indonesia, dapat diunduh cuma-cuma dari situs Irshad, www.irshadmanji.com. ”Dalam waktu 1,5 tahun setelah terbit terjemahannya, ada 500.000 pengunduh dalam bahasa Arab, Urdu, dan Farsi,” kata Irshad.

Irshad menulis bukunya ini seperti surat terbuka. Dia mengajak umat Muslim berpikir kritis dan selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mengecek dengan fakta dan menyuarakan pertanyaan itu.

Salah satu yang dia tekankan adalah pentingnya umat Islam terus melakukan ijtihad untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini. Dalam tradisi Islam, ijtihad selama ini dimaknai sebagai upaya ulama mencari gagasan baru dari Al Quran dan hadis demi menjawab persoalan di masyarakat.

Berpikir kritis

Menurut Anda, apa itu ijtihad?

Ijtihad memiliki arti berbeda-beda untuk beragam orang. Ada yang mengatakan hanya ulama dengan pengetahuan tertentu dapat melakukan ijtihad. Tetapi, menurut saya bukan hanya tradisi fikih (legal tradition) yang dapat melakukannya, tetapi juga semangat menggunakan akal kita, hal yang diizinkan Allah setiap orang menggunakannya.

Al Quran mengandung tiga kali lebih banyak ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir, menganalisis, daripada ayat yang mengatakan ”ikuti”.

Jadi, hanya atas dasar itu saja, saya rasa benar bila saya katakan, berpikir bukan hanya hak kita sebagai manusia, tetapi tanggung jawab. Di dalam situs (internet) saya, saya membuat tulisan akademis bahwa dalam berabad sejarah Islam, ijtihad menjadi semangat utama kaum Muslim.

Misalnya, ada hadis yang mengatakan, jika kamu melakukan ijtihad dan kesimpulan yang didapat secara teknis salah karena kebajikanmu berpikir kamu akan mendapat satu pahala dari Allah. Dan, jika kesimpulanmu benar, kamu akan mendapat pahala dua kali. Intinya, terus berpikir, menganalisis, terus menginterpretasi dan reinterpretasi tempat-tempat baru, kebudayaan baru, lingkungan baru.

Tragisnya, banyak umat Islam saat ini yang hanya menelan tanpa berpikir kritis pendapat pemuka agama seakan-akan mereka Tuhan.

Karena itu menjadi tujuan hidup saya meyakinkan umat Islam, terutama kaum muda, kita bisa menjadi umat yang berpikir sekaligus beriman. Kita tidak harus memilih salah satunya.

Ada prinsip yang tidak bisa dan ada yang bisa ditawar.

Ada sejumlah prinsip dalam Islam yang tidak bisa ditawar-tawar, seperti konsep tauhid. Ada prinsip dalam Islam yang harus dilakukan semua umat Islam, yaitu prinsip tentang keadilan, kasih sayang, dan memaafkan.

Mengenai isu sosial, sangat tergantung dari konteks, situasi, tempat, dan waktu. Karena itu, saya sampai pada satu hal yang sering dilupakan banyak orang, yaitu justru karena Tuhan hanya satu maka hanya Tuhan yang Maha Tahu yang mana sepenuhnya benar tentang segala hal.

Karena itu, kita orang Muslim, karena kita adalah hamba-Nya, tidak boleh bertindak seolah-olah tahu segalanya. Itu sebabnya kita harus mau melibatkan diri dalam perdebatan dan berdiskusi secara damai.

Ketika kita berdebat dan berdiskusi, sesungguhnya kita sedang menjalani keyakinan agama kita karena dengan itu kita, manusia, memperlihatkan hanya Tuhan yang maha mengetahui segala kebenaran.

Mengapa orang Muslim membutuhkan ijtihad?

Karena saat ini banyak orang Muslim hidup dalam ketakutan, takut menyuarakan terbuka pikiran mereka. Ini bukan hanya pada masyarakat yang tradisional, tetapi juga kepada masyarakat Muslim modern seperti di Kanada dan Amerika Serikat.

Ketika berbicara di universitas di Kanada dan AS, saya mendapat banyak kemarahan dan celaan dari pendengar. Tetapi, saat penandatanganan buku setelah ceramah, anak-anak muda Muslim berbaris dan berbisik, terima kasih untuk yang saya katakan.

Saya tanyakan mengapa tidak mengatakannya terbuka. Jawaban yang mereka berikan dan sudah sering saya dengar, mereka tidak memiliki kesempatan dan kemewahan seperti yang saya miliki, yaitu berjalan keluar ruangan dengan bebas. Mereka tahu mereka akan diawasi dan tahu siapa yang mengawasi, mereka tidak ingin dimonitor karena mendukung gagasan saya.

Bukan hanya kekerasan yang membuat mereka takut. Mereka juga mengatakan, bila mendukung pikiran saya mengenai berpikir kritis, debat, dan melakukan reinterpretasi, keluarga mereka akan menuduh mereka mencoreng kehormatan keluarga dan mereka bilang, tidak sanggup membuat keluarga mereka tercoreng kehormatannya.

Ini terjadi pada generasi ketiga Muslim Amerika yang masih hidup dalam mentalitas budaya kesukuan Arab tentang kehormatan keluarga.

Itu sebabnya saya memberi penekanan pada buku saya tentang imperialisme yang jauh lebih besar yang menjajah pikiran banyak Muslim di dunia, termasuk juga di Indonesia saya berani berdebat mengenai ini, yaitu imperialisme kebudayaan Arab.

Ketika kita menentang imperialisme, tanya diri kita sendiri, mengapa kita selalu menganggap imperialisme datang dari Barat? Kita orang Muslim juga menghadapi imperialisme kebudayaan Arab.

Memilih Islam

Irshad menuturkan, cara pengajaran di madrasah yang dia hadiri setiap Sabtu ketika di Kanada tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaan kritis seorang anak perempuan.

”Guru madrasah saya mengatakan, perempuan inferior dibandingkan laki-laki, tetapi pengalaman saya memperlihatkan hal lain. Ibu saya membesarkan tiga putrinya dengan baik dengan bekerja sebagai pembersih rumah orang lain. Bukankah itu membutuhkan keberanian dan kecerdasan? Tidak mungkin seorang yang inferior dari laki-laki dapat melakukan hal itu,” kata Irshad.

Dia memilih keluar dari madrasah ketika gurunya mengultimatum menerima saja ajaran dia atau keluar dari madrasah karena pertanyaan kritisnya kepada gurunya. Pengalaman pada usia 14 tahun itu sempat membuat Irshad berpikir apakah akan tetap menjadi Muslim.

”Tetapi, saya ingin adil, mungkin guru agama saya bukan guru yang baik, lalu mengapa keyakinan saya harus dihukum untuk kesalahan guru saya,” kata dia.

”Saya sepenuhnya yakin umat Muslim dapat berubah. Ini sebabnya saya tetap menjadi Muslim dan menjalani ajaran (practicing) Islam,” papar Irshad.

Irshad kemudian belajar sendiri dengan membandingkan berbagai buku mengenai Al Quran dan Islam di perpustakaan umum. Dia juga kerja paruh waktu untuk dapat membayar guru bahasa Arab yang membantu dia memahami Al Quran dalam bahasa aslinya.

”Hal paling menakjubkan dengan belajar tanpa guru agama adalah kebebasan informasi yang ditakuti guru madrasah saya akan membuat saya menjadi tidak Muslim, ternyata malah menyelamatkan keyakinan saya,” kata Irshad.

Dengan belajar sendiri itu pula Irshad mengetahui mengenai Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad, pebisnis kaya yang mempekerjakan Nabi Muhammad. Artinya, perempuan Muslim dapat bekerja di ruang publik dan punya penghasilan sendiri. Dia juga mengetahui tentang perempuan sufi, Rabiah Adawiyah, yang sangat dihormati dan memilih tidak menikah sepanjang hidupnya, pilihan yang menurut Irshad dibolehkan di dalam Al Quran.

Apa saran Anda untuk perempuan di negara Muslim?

Kenali apa yang diajarkan tentang interpretasi yang sempit dan dogmatis, belajar membaca sendiri dan memahami Al Quran dan Anda akan menemukan semua ayat yang berisi penghargaan pada perempuan. Anda juga akan menyadari hak setiap manusia untuk berpikir dan menggunakan akal adalah pemberian Allah.

Bila Anda menjadi pemimpin di kelompok, bebaskan bakat perempuan lain di kelompok Anda sehingga kelompok Anda tumbuh dari bakat-bakat itu seperti pada masa keemasan Islam ketika ijtihad tumbuh subur. Orang Muslim melahirkan apa yang di Barat sekarang diterima sebagai yang terberi, mulai dari gitar, kopi moka, hingga universitas pertama di Baghdad pada abad ke-9.

Seorang filsuf Arab, Ibn Rusyd, pada 1.000 tahun lalu mengatakan, mengapa kemampuan perempuan belum dimanfaatkan adalah karena kemampuan perempuan direduksi menjadi makhluk prokreasi dan membesarkan anak. Hal itu penting, tetapi bila perempuan diberi kesempatan mereka dapat melakukan lebih dari itu. Yang lebih penting, Ibn Rusyd mengatakan, mengapa kebudayaan-kebudayaan besar runtuh adalah karena mereka memperlakukan perempuan seolah-olah beban daripada sebagai ciptaan Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan kemanusiaan.

Bayangkan, 1.000 tahun lalu, seorang Muslim mengakui hal itu. Di mana kita saat ini? Itu sebabnya bukan Islam yang harus berubah, tetapi umat Islam harus memiliki keberanian untuk bangkit ke semangat terbaik Islam, ijtihad, yang sudah ada dalam tradisi Islam.