Jumat, 23 November 2007

Pergulatan Karim Raslan


Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana Pambudy


Menemui Karim Raslan (44) di tengah hubungan masyarakat Indonesia-Malaysia yang tengah mendingin adalah menemui kejernihan cara pandang. Ia tampak telah melampaui perbatasan identitas. Malaysia adalah tanah kelahirannya, Inggris adalah tempatnya bertumbuh, dan Indonesia adalah negeri di mana ia selalu ingin "pulang".

Mungkin karena akarnya dipertautkan oleh cintanya akan kehidupan, tak sulit bagi Karim melihat duduk soal secara lebih terbuka.

"Sangat memalukan," ujarnya, suatu petang, di kantornya di Jakarta Selatan. "Sebagai negara serumpun dengan banyak persamaan, seharusnya itu tidak terjadi."

Ia mengenali kelemahan dan kekuatan kedua negara, tetapi menolak membenturkannya karena akan memperlebar jurang perbedaan. Ia hanya mengatakan, "Masa bulan madu sudah berakhir. Sebuah hubungan tak bisa disikapi dengan taken for granted. Sekarang waktunya meninjau kembali hubungan itu."

Yang menjadi masalah adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di sektor informal yang sekitar 1,5 juta orang, ditambah perkiraan 1,5 juta yang "ilegal". Bersama tenaga kerja dari negara lain, jumlah tenaga kerja asing di Malaysia mencapai 4 juta atau seperlima jumlah penduduknya.

"Ini membangunkan perasaan takut pada orang Malaysia. Tetapi, itulah biaya sosial kalau mau tenaga kerja yang bisa dibayar murah," kata Karim.

Ia melihatnya pentingnya kebijakan jangka panjang kedua negara untuk mempertemukan kebutuhan akan lapangan kerja dengan kebutuhan tenaga kerja untuk jenis pekerjaan yang tak lagi dilakukan warga Malaysia.

Kebijakan pada masa lalu, menurut Karim, adalah naturalisasi. "Kebanyakan orang Melayu di Malaysia berasal dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Malaysia tahun 1930-an," ia melanjutkan.

Isu TKI di sektor informal menggusur kenyataan adanya TKI dari kelompok intelektual profesional yang bekerja di tempat-tempat bergengsi di Malaysia. Media massa kurang memberi gambaran kepada masyarakat bahwa TKI di Malaysia bukan hanya pekerja rumah tangga atau buruh perkebunan.

"Dibutuhkan kesempatan untuk menemukan pijakan bersama demi kebaikan bersama secara setara," ujar Karim. "Bukan membesarkan isu yang berpotensi memperburuk hubungan kedua negara. Itu hanya membuat kita menjadi pecundang."

Warga dunia

Karim mendefinisikan dirinya sebagai warga dunia yang merdeka, tidak diikat oleh isu-isu yang secara politik diciptakan untuk memecah-mecah kemanusiaan. Tempat tinggalnya tidak dibatasi ruang, tetapi oleh rasa.

Ia terbang dari satu tempat ke tempat lain untuk merawat sesuatu yang lebih hakiki di dalam diri. Karena itu, pekerjaan ia perlakukan sebagai hobi. Tak pernah membosankan.

Dalam sebulan ia membagi hari-harinya antara Kuala Lumpur, Jakarta, dan Singapura, Bangkok kadang-kadang. Ketika ingin hening, sebuah rumah berhalaman hijau dengan pohon bambu di Ubud, Bali, yang ia sewa, telah menunggu. Di situ ia dimanjakan suasana yang mampu meredam seluruh kesesakan.

"Negeri ini fantastis, dinamis, dan exciting," kata Karim, "Bahasa Indonesia lebih dari bahasa komunikasi...."

Di sini ia merasakan kebinekaan budaya, keterbukaan, kebebasan berpendapat, pers yang bebas, dan identitas yang tidak dilembagakan oleh agama dan etnis; suatu keadaan yang menurut Karim tak bisa dilepaskan dari sejarah.

Inilah negeri di mana dia merasa berutang secara kultural maupun spiritual atas berjuta inspirasi yang terlahir lewat kehidupan sehari-hari warganya; sesuatu selalu yang mengingatkan Karim pada masa kecilnya.

"Waktu kecil saya sering pulang ke kampung ayah saya di Kuala Kangsar. Di situ, ayah mengundang orang kampung untuk bercerita kepada kami tentang hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari," ia mengenang sang ayah yang tewas pada usia 39 tahun dalam kecelakaan mobil. Saat itu Karim berusia 7 tahun. Kuala Kangsar tampaknya selalu berada di ruang khusus di dalam hatinya.

Ayahnya, almarhum Mohammad Raslan, adalah akuntan pertama di Malaysia dan pendiri Bank Bumiputera di Malaysia. Ibunya, warga Inggris, Dorothy Elizabeth Raslan, kembali ke Inggris dan membesarkan sendiri ketiga anak laki-lakinya setelah sang suami meninggal. Karim berusia 8 tahun waktu itu dan bermukim di negeri ibunya selama 15 tahun. Anak kedua dari tiga bersaudara itu belajar ilmu hukum karena ingin membahagiakan ibunya.

"Setahun terakhir ini ibu saya tinggal di Kuala Lumpur, dekat dengan cucu-cucunya dan semua kerabat dari Ayah."

Pengalaman masa kecil di Kuala Kangsar itu memberinya pengetahuan tentang komunikasi yang lebih luas dari sekadar ilmu komunikasi di buku teks. Mungkin itu juga yang membuat Karim memilih jenis kerja yang memungkinkannya berhubungan dengan banyak orang dari banyak kebudayaan.

Sebagai konsultan di bidang komunikasi, ia tak hanya melayani kepentingan perusahaan. Banyak klien mengungkapkan persoalan keluarga kepadanya. Itu mungkin karena ia mampu meletakkan diri pada posisi orang lain; sesuatu yang kental dipengaruhi profesinya sebagai penulis.

Multidimensi

Sungguh tak mudah mengenali sosok Karim hanya dari sepotong perjumpaan. Ia pernah menjadi pengacara perusahaan sebelum menjadi penulis dan pejalan. Ia juga penikmat seni.

Karim dikenal sebagai kolumnis di berbagai surat kabar nasional di Malaysia dan surat kabar internasional, menyoroti isu-isu politik dan budaya di Asia Tenggara. Ia juga penulis sastra.

Kumpulan cerita pendeknya tentang masyarakat Malaysia kontemporer, Heroes and Other Stories, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kolom-kolomnya yang dibukukan dikomentari para tokoh terkemuka, di antaranya VS Naipaul, penerima Nobel Sastra 2001 kelahiran Trinidad.

Seluruh kegiatannya senantiasa terkait dengan perjumpaan-perjumpaan. Itulah caranya mengenal suatu negeri. Kebudayaan yang bernapas dalam denyut kehidupan manusianya mendorong dia masuk ke tempat-tempat yang tidak banyak diperhatikan di Asia Tenggara.

Pun di Indonesia. Ia berusaha menyentuh jantung negeri ini, antara lain dengan memasuki kehidupan di akar rumput agar bisa merasakan getarnya.

"Saya bertemu diva ludruk yang hartanya habis digulung lumpur di Sidoarjo," ia berkisah. "Tetapi, ia tetap naik pentas, masuk ke setiap tokoh yang dia perankan. Saya kira inilah sumber kekuatannya," ujar Karim yang mengikuti permainan Ludruk Perdana itu sampai dini hari.

Proses "keluar-masuk" ke dalam diri tokoh-tokoh yang ia ciptakan terjadi ketika menulis fiksi, proses yang memberi Karim keasyikan khas, yang membuatnya selalu rindu untuk duduk dan menulis. Sayang, suasana hatinya itu sering terkikis oleh target-target yang tak kunjung habis.

Di mejanya, sebuah novel menunggu penyempurnaan.

Pendekar Itu Telah Pergi


Dunia ilmu-ilmu sosial di Indonesia, khususnya antropologi, kembali kehilangan salah seorang tokoh ilmuwan terbaiknya. Profesor Parsudi Suparlan, ahli antropologi dari Universitas Indonesia, meninggal dunia hari Kamis, 22 November 2007, di rumahnya, Perumahan Dosen UI Ciputat, dalam usia 69 tahun. Beliau adalah seorang anthropologist by training.

Dikatakan demikian karena beliau menempuh pendidikan mulai dari jenjang sarjana, MA, hingga PhD semuanya dalam antropologi.

Kariernya sebagai pengajar di Departemen Antropologi Fakultas Sastra UI (waktu itu Departemen Antropologi belum pindah ke Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI) dimulai sejak lulus sarjana antropologi dari Universitas Indonesia tahun 1964.

Profesor Koentjaraningrat memperkenalkan Parsudi Suparlan kepada Profesor Edward M Bruner, antropolog dari University of Illinois, Urbana Campaign, Amerika Serikat, yang melakukan penelitian mengenai hubungan antarsuku bangsa di Bandung dan Medan pada tahun 1966-1968. Perkenalan itu berlanjut dengan rekomendasi Profesor Koentjaraningrat yang mengirim Parsudi ke Amerika Serikat untuk menempuh jenjang MA dan PhD dalam antropologi di bawah bimbingan Profesor Bruner. Beliau lulus MA (1972) dan PhD (1976). Semenjak itu Dr Parsudi Suparlan kembali ke Tanah Air dan kembali mengajar di UI hingga akhir hayatnya. Beliau mencapai gelar guru besar antropologi Universitas Indonesia tahun 1998.

Generasi kedua

Profesor Parsudi Suparlan adalah salah satu antropolog generasi kedua di Indonesia, khususnya di Universitas Indonesia. Ahli antropologi di UI yang segenerasi dengan beliau adalah Profesor S Boedhisantoso, Profesor James Danandjaja, Profesor M Junus Melalatoa (alm), dan Profesor Nico S Kalangie.

Di bawah bimbingan Profesor Koentjaraningrat, tokoh-tokoh inilah sebenarnya yang pertama kali mengembangkan antropologi di Indonesia hingga wujudnya yang kita kenal sekarang. Apabila Koentjaraningrat dikenal sebagai pendiri, perintis, dan pembuka jalan bagi antropologi di Indonesia yang kini sudah berusia 50 tahun, maka Parsudi Suparlan, menurut pendapat saya, adalah pemberi corak dan pengisi kualitas antropologi di Indonesia, yang diawali di Departemen Antropologi UI.

Kekuatan analisis

Secara pribadi saya beruntung menjadi salah satu mahasiswa jenjang sarjana yang pertama memperoleh kuliah dari beliau tahun 1976/1977, segera setelah beliau kembali dari Amerika Serikat. Dengan gaya yang khas dan cara-cara kuliah yang ketat dan kerap kali menegangkan, beliau menanamkan sikap belajar yang keras dan konsisten. Nyata benar warna teori yang kuat dalam setiap kuliah dan diskusi yang beliau asuh. Banyak tulisan yang harus dipelajari dan dikuasai setiap minggu dan tidak ada maaf bagi yang tidak siap diskusi di kelas.

Kami yang tadinya ber-12 di kelas tersebut hanya tinggal berempat karena yang lain tidak tahan, kemudian mengundurkan diri. Banyak pelajaran yang saya petik dari proses pembelajaran semacam itu. Misalnya, saya sangat tertolong oleh disiplin belajar seperti itu ketika saya sendiri melanjutkan belajar antropologi di Amerika Serikat beberapa tahun kemudian.

Pentingnya model (teori), ketajaman analisis, dan ketepatan metodologi yang selalu menjadi aura dalam kuliah-kuliah beliau menjadikan antropologi tampak sebagai sosok disiplin yang kuat, tidak hanya sekadar mengurai- uraikan data. Berkali-kali beliau menekankan pentingnya pemahaman yang kuat mengenai konsep kebudayaan dan struktur sosial. Jadi, barangkali tidak berlebihan kalau saya menyebut beliau sebagai salah satu tokoh antropologi Indonesia, ilmuwan sejati, yang berjasa menjadikan antropologi di Indonesia memiliki sosok dan corak yang tegas sebagai disiplin ilmiah, yang tak lain adalah karena pentingnya penguasaan teori.

Hal ini tidak terlepas dari perjuangan beliau turut membangun antropologi di Indonesia yang dimulai dari membangun kuliah-kuliah pengkhususan, seperti hubungan antarsuku bangsa, antropologi agama, antropologi perkotaan, dan antropologi politik pada jenjang sarjana, magister hingga doktor antropologi.

Beliau menyadari benar bahwa kelemahan pembangunan nasional Indonesia antara lain karena manusia sebagai subyek pembangunan masih belum diperhatikan. Pembangunan masih bercorak obyektif, yang artinya manusia semata-mata dipandang sebagai penerima dan pelaksana program.

Kalau kita menyaksikan terjadinya perubahan penting dalam pendekatan ilmiah sosial dalam penelitian-penelitian di berbagai lembaga penelitian di luar antropologi, hal ini juga tidak terlepas dari upaya beliau. Kita dapat menyebut berbagai kajian sosial budaya di lembaga-lembaga penelitian departemen agama, departemen sosial, kepolisian, dan belum terhitung kajian-kajian di perguruan tinggi seperti Institut Agama Islam Negeri, dan Kajian Wilayah Amerika. Buku-buku ataupun artikel-artikelnya yang banyak jumlahnya tersebar luas di Indonesia turut memberi warna dan pengaruh dengan berbagai intensitasnya pada berbagai kajian sosial budaya di Indonesia masa kini.

Menggambarkan sosok Profesor Parsudi Suparlan, seumpama kita belajar silat di suatu perguruan silat seperti dalam film Drunken Master. Latihan yang luar biasa berat dengan suhu (guru silat) yang kusen dan disegani di dunia kangouw (dunia persilatan), tetapi nyentrik dan aneh. Di balik gerakan-gerakan silat yang aneh itu terkandung hikmah yang tinggi nilainya, yang seharusnya kita mau mempelajari yang baik-baik saja darinya.

Dalam berbagai bukunya, Profesor Koentjaraningrat sering menyebut para tokoh antropologi dunia sebagai pendekar antropologi. Kini seorang lagi pendekar antropologi Indonesia telah pergi meninggalkan kita. Rasanya semakin langka ilmuwan sosial yang dengan konsisten tetap setia mengabdi kepada ilmu pengetahuan seperti beliau. Namun, jejak langkah, semangat, dan pemikirannya harus tetap kita pelihara bagi memajukan ilmu-ilmu sosial, khususnya antropologi di Indonesia.

Selamat jalan profesor.

Achmad Fedyani Saifuddin Pengajar pada Departemen Antropologi FISIP-UI, Anggota Forum Kajian Antropologi Indonesia

Kamis, 22 November 2007

Mengenang Pak Natsir


Oleh : Asro Kamal Rokan

Ratusan orang memenuhi auditorium Mahkamah Konstitusi pekan lalu. Banyak tokoh hadir dalam seminar dan pengukuhan panitia nasional Seabad M Natsir; di antaranya Jimly Asshiddiqie, AM Fatwa, Ketua Umum DDII Syuhada Bahri, Laode M Kamaludin, Lukman Hakiem, tokoh-tokoh politik, dan anak-anak muda. Sebagian di antara mereka memiliki kedekatan emosional dengan Pak Natsir, sebagian lainnya terutama anak-anak muda dan mahasiswa boleh jadi bertanya-tanya siapa Mohammad Natsir itu.

Anak-anak muda dan mahasiswa itu, yang dilahirkan pada zaman Orde Baru, adalah produk dari buku sejarah yang tidak jujur. Orde Baru menyingkirkan tokoh pejuang, perdana menteri, negarawan, dan intelektual Muslim itu dalam alam pikiran anak-anak muda. Nama Pak Natsir dan rangkaian perjuangannya termasuk mempersatukan kembali Indonesia yang pecah dalam negara-negara bagian semakin sayup. Ironisnya, tahun ini nama Pak Natsir pun dicoret dari daftar nama penerima gelar pahlawan.

Pak Natsir yang wafat pada 14 Maret 1993, merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia modern. Sejarawan dari Cornell University Amerika Serikat, George Mc T Kahin, yang menulis buku tentang Pak Natsir, menjuluki pemimpin Masyumi ini sebagai the last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders raksasa terakhir di antara tokoh nasionalis dan pemimpin politik revolusioner Indonesia.

George Kahin, PM Jepang Takeo Fukuda, dan berbagai organisasi internasional menghormati tokoh santun dan bersuara lembut itu. Namun, Orde Lama dan Orde Baru menempatkannya sebagai tokoh yang harus dijauhi. Soekarno menahan Natsir selama enam tahun tanpa proses hukum karena terkait Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. PRRI adalah reaksi terhadap Soekarno yang dinilai otoriter dan di bawah pengaruh PKI. Natsir sangat menentang komunisme.

Orde Baru membebaskan Pak Natsir, namun mengucilkannya. Sebagai pemimpin Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress), Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, dan anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A'la al-'Alami li al-Masajid), Pak Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Ia dicekal, terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.

Meski diperlakukan demikian, Pak Natsir tetap tidak dendam. Ketika Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu Indonesia, Pak Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. ''Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonsia,'' kata Fukuda ketika itu. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI).

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi, intelektual, dan pejuang, sejarah yang diukir Natsir yang banyak dilupakan adalah menyatukan Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan dan perjuangan besar itu dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Ketika Belanda menahan Soekarno Hatta dan menduduki Yogyakarta sebagai ibu kota Negara, Van Mook -akil Belanda di Indonesia membentuk 17 negara bagian, termasuk di antaranya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Yogyakarta, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, dan Negara Madura.

Negara-negara bagian itu tidak mudah disatukan. Bahkan, beberapa negara menolak gagasan untuk meleburkan diri dalam RIS. Alasannya, posisi RIS dan negara bagian itu sama. Perang antarnegara bagian bisa saja terjadi. Melalui perdebatan di parlemen, Pak Natsir tampil dengan gagasannya: Semua negara bagian, termasuk RIS, meleburkan diri dalam NKRI.

Mosi Integral Natsir pada 2 April 1950 itu diterima parlemen. Namun, tak mudah meyakinkan negara-negara bagian itu, termasuk Mr Assad, pejabat presiden RIS. Berkat usaha tak kenal lelah dan perundingan terus-menerus, Pak Natsir berhasil meyakinkan pimpinan negara-negara bagian untuk meleburkan diri dalam NKRI dan dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Mosi Integral Natsir ini, oleh sejumlah sejarawan, disebut sebagai Proklamasi kedua yang menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah NKRI terbentuk, Soekarno menetapkan Natsir sebagai Perdana Menteri (1950-1951). Beliau perdana menteri pertama NKRI.

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi yang gigih memperjuangkan dan mempertahankan prinsip-prinsip Islam dalam bernegara Pak Natsir memperkenalkan zaken kabinet. Beliau melibatkan pemimpin partai Kristen dan Katolik dalam kabinetnya, di antaranya Johanes Leimena (Partai Kristen), FS Haryadi (Partai Katolik), Herman Johannes, dan MA Pallaupessy, selain kalangan sosialis. Bagi Pak Natsir, negara ini harus diurus bersama. ''Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,'' kata Pak Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor tahun 1988.

Penggemar karya-karya Mozart dan Ludwig van Beethoven itu telah lama tiada. Beliau tokoh besar dalam sejarah bangsa ini. Namun, namanya tidak ditulis di buku-buku resmi sejarah, tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, Pak Natsir tetap ada. Almarhum pahlawan bagi para aktivis Islam. Pemikiran, sikap, perjuangan, dan kenegarawan Pak Natsir adalah pohon berakar kuat, berdaun hijau, dan berbuah banyak. Buah itu menjadi bibit yang terus berkembang. Berbuah dan berkembang lagi, berbuah dan berkembang lagi. Tanpa henti.

Rabu, 21 November 2007

Semangat Sains dan Teknologi dari Abdul Kalam...


...

"Siapa yang ingin pergi ke Mars?" tanya mantan Presiden India APJ Abdul Kalam kepada para siswa di Gandhi Memorial International School di Jakarta, Selasa (20/11). Serentak, seluruh siswa yang hadir di aula mengangkat tangan.

"Ya, semua orang bermimpi ingin ke Mars. Lalu, untuk mewujudkan mimpi itu, apa yang kalian perlukan?" ujar Kalam. Beberapa siswa melontarkan jawaban.

Dengan penuh semangat, Kalam kemudian memaparkan bahwa anak-anak muda seperti mereka perlu memiliki pengetahuan, kebajikan, dan semangat. Semua faktor itu akan menuntun pada kehidupan yang harmonis dan tertata menuju dunia yang damai.

Kalam dikenal selalu memberi semangat kepada kaum muda. Kepada mereka, Kalam selalu mengatakan, "Bermimpilah! Karena mimpi akan menuntun kepada pikiran dan pikiran menuntun pada tindakan."

Sebagai ilmuwan, Kalam juga selalu mendorong anak-anak muda untuk mencintai sains dan teknologi. Menurut dia, sains adalah fenomena global yang bisa dimanfaatkan oleh siapa pun untuk memajukan negaranya.

India adalah salah satu buktinya. Dengan menggeluti dan mengembangkan teknologi, India kini bisa berdiri sejajar dengan negara-negara maju di bidang senjata nuklir.

Berkat Kalam, India memiliki lima jenis rudal, yaitu Nag, rudal antitank; Prithvi, rudal balistik darat ke udara; Akash, rudal jarak menengah dari darat ke udara; Trishul, rudal jarak pendek reaksi cepat dari darat ke udara; dan Agni, rudal jarak menengah.

"Negara harus memiliki kapasitas untuk menyediakan teknologi bagi rakyatnya. Negara juga harus menyediakan cukup ilmu pengetahuan bagi kaum mudanya," ujar Kalam.

Hanya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan negara bisa terpecahkan. India, seperti juga Indonesia, masih menghadapi persoalan tingginya angka kemiskinan. Angka pengangguran juga tidak jauh berbeda. Pendidikan belum dinikmati semua kalangan.

India, kata Kalam, menggenjot sektor pendidikan untuk menghadapi persoalan tersebut. "Pendidikan adalah jalan terbaik untuk mengatasi kemiskinan dan membawa negara kita menjadi negara maju," ujarnya.

Kalam menjabat sebagai presiden India ke-11 sejak Juli 2002 hingga Juli 2007. Salah satu visi Kalam yang paling terkenal adalah menjadikan India sebagai negara maju tahun 2020. (fro)

Abdul Kalam Pres. India 2002-2007

Visi Teknologi untuk Mencapai Kemakmuran

Jakarta, Kompas - Untuk mencapai kemakmuran nasional, India kini bervisi teknologi. Banyak pengembangan yang dilakukan. Kemandirian teknologi adalah satu-satunya.

"India dan Indonesia memiliki banyak kesamaan. Kita bisa bekerja sama," kata mantan Presiden India periode 2002-2007, Dr APJ Abdul Kalam, saat menjadi pembicara kunci pada Konferensi Ilmu Pengetahuan Nasional (Kipnas) IX yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di Jakarta, Selasa (20/11).

Acara Kipnas IX kemarin dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla. Konferensi ini berlangsung 20-22 November 2007, diikuti 600 peserta dari berbagai lembaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga pemerintah dan swasta serta BUMN yang terkait iptek.

Abdul Kalam yang kemarin menjadi pembicara kunci adalah seorang aeronautical engineer dan pakar peroketan balistik. Sebelum menyampaikan paparannya, ia melakukan temu wicara dengan para peneliti.

Menurut Kepala LIPI Prof Dr Umar Anggara Jenie, di kalangan ilmuwan Abdul Kalam dikenal sebagai bapak perintis kemandirian teknologi India. "Dengan semangat swadesinya: ’Kalau bisa buat, mengapa harus beli’, sangat mendorong India menjadi bangsa yang kuat," kata Umar.

Abdul Kalam menyampaikan paparan berjudul "Visi Teknologi dan Kemakmuran Nasional" yang merujuk pada pengalaman India sebagai bangsa yang besar.

Dia memaparkan, India dan Indonesia memiliki banyak kesamaan dan keberagaman. Salah satunya adalah meraih kemerdekaan di saat yang berdekatan. Dua negara ini memiliki sejarah panjang warisan kebudayaan.

Seusai penjajahan Belanda atas Indonesia dan penjajahan Inggris atas India, kedua negara harus berbenah. Secara umum keberagaman yang dimiliki India dan Indonesia adalah jumlah populasi yang besar, keberagaman agama, bahasa, dan budaya.

"Kita memiliki tradisi sendiri, mimpi-mimpi dan masalah yang melingkupi. Kini dapatkah teknologi membantu India dan Indonesia mencapai kemakmuran dan menghapuskan luka bencana yang beruntun?" katanya.

Menurut Abdul Kalam, teknologi dapat memberi nilai tambah pada produk-produk lokal untuk pasar nasional dan internasional.

Di India yang populasinya satu miliar, sebanyak 700 juta penduduknya tinggal di 600.000 desa. Sebanyak 220 juta (22 persen) penduduk perlu ditingkatkan kualitas hidupnya. "Ini tantangan. Mereka memerlukan pekerjaan dengan pendapatan memadai, mereka memerlukan makanan, memerlukan akses cepat pada pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pada akhirnya perlu hidup yang lebih baik," papar Abdul Kalam. Angka GDP India tumbuh menjadi 9 persen per tahun.

Abdul Kalam memaparkan langkah-langkah pengembangan India, salah satunya adalah dengan program PURA (Providing Urban Amenities in Rural Area). Misalnya, tambah Abdul Kalam, antara lain dengan membangun jaringan fisik (ring road, rel, infrastruktur publik, klinik bergerak), jaringan elektronik (telepon, internet, e-governance, tele-medicine, tele-education), jaringan ilmu pengetahuan (sekolah, rumah sakit, pelayanan kesehatan yang proaktif), serta jaringan ekonomi (agro industri, pasar, rumah sakit, pergudangan, dan micro power plant). (HAR/LOK)

Senin, 19 November 2007

Bloomberg, Kebijakan "Bunuh Diri"

Luki Aulia

Kota New York pascaserangan teroris 11 September 2001 nyaris lumpuh. Gedung kembar World Trade Center yang ambruk menghentikan denyut kehidupan New York. Wall Street pun pernah dikabarkan akan pindah ke tempat yang lebih aman, seperti New Jersey atau Connecticut. Berbagai proyek rehabilitasi pasca-9/11 pada masa Wali Kota Rudolph W Giuliani habis-habisan menguras anggaran New York hingga defisit.

Pada kondisi itulah Michael Rubens Bloomberg (65) dilantik menjadi Wali Kota New York yang ke-108. Pada hari pelantikannya, 1 Januari 2002, miliarder ini sudah membayangkan apa yang bakal dia lakukan untuk membangun kembali New York.

Dia punya tiga pilihan, yakni mengurangi pelayanan publik, meningkatkan pajak, atau keduanya. Bloomberg lalu mengambil keputusan yang tak pernah berani diambil wali kota-wali kota New York sebelum dia, menaikkan pajak properti hingga 18 persen. Dia juga mengurangi banyak pengeluaran, termasuk menutup beberapa kantor pemadam kebakaran.

Ia juga mengambil alih sekolah-sekolah bermasalah dan memberlakukan larangan merokok di restoran dan bar. Selama ini New York dikenal sebagai kota yang "sulit diatur". Selain itu, kriminalitas, kepadatan penduduk, dan kemacetan hanya sebagian dari persoalan New York. Untuk menekan tingkat kriminalitas, Bloomberg dengan tegas mengendalikan peredaran senjata api. Ia bahkan pernah menuntut puluhan pedagang senjata api ke pengadilan.

Banyak pihak menilai kebijakan Bloomberg sama dengan bunuh diri politik. Dukungan untuk Bloomberg pun melorot hingga tersisa 14 persen. Namun, dia tetap menuai hasil. Tingkat kejahatan menurun hingga 30 persen, kelulusan dan jumlah perolehan nilai di sekolah meningkat, tingkat pengangguran menurun, proyek konstruksi meningkat, dan yang terpenting simpanan uang kota surplus. Sejak dua tahun terakhir dukungan untuk Bloomberg mencapai 70 persen. "Dia lebih mengutamakan menyelesaikan masalah, tidak mencari popularitas," sebut editorial harian The New York Times.

Sikap dan pandangan Bloomberg dianggap berbeda. Majalah Newsweek edisi 12 November 2007 bahkan menyebutnya tokoh revolusioner. Sikap dan pandangan dia dianggap berbeda, di antaranya karena mendukung pernikahan sesama jenis dan memilih pro-choice dalam menyikapi aborsi. Dia juga peduli terhadap isu kesehatan dan perubahan iklim. Karena itu, ia menandatangani hukum yang melarang penggunaan lemak di restoran cepat saji.

Khusus isu pemanasan global, majalah Time edisi 14 Juni 2007 memaparkan program PlaNYC Bloomberg yang bertujuan mengurangi 30 persen emisi gas rumah kaca pada 2030. Jalur sepeda akan diperbanyak dan semua taksi diganti dengan mobil hibrida. Untuk mengurangi polusi udara, suara, dan kemacetan, dia juga memberlakukan biaya kemacetan sebesar 8 dollar AS bagi setiap pengguna kendaraan pribadi yang melaju di Manhattan pada hari kerja.

Banyak yang pesimistis dan marah dengan aturan ini. Tetapi, lama-kelamaan orang "terpaksa" meninggalkan kendaraan pribadi dan memanfaatkan transportasi umum. Biaya kemacetan itu lalu digunakan untuk menyubsidi perbaikan transportasi umum.

Media finansial

Bagi siapa pun yang bergelut di bidang perekonomian, nama Bloomberg pasti tak asing. Perusahaan swasta penyedia data finansial seketika (real-time) Bloomberg L.P itu memiliki sedikitnya 165.000 pelanggan di dunia. Dia mulai membangun Bloomberg L.P dari hasil penjualan saham Salomon Brothers di Wall Street senilai 10 juta dollar AS.

Ketika bergabung dengan Salomon 1972-1981, Bloomberg dipasrahi mengawasi semua perdagangan saham Salomon berikut sistem informasinya. Berbekal pengalaman di Salomon itulah Bloomberg mulai mengembangkan sayap Bloomberg L.P di bisnis media tahun 1990 dengan meluncurkan kantor berita, televisi, radio, internet, dan penerbitan.

Tak pernah ada yang menyangka bocah laki-laki yang lahir di tengah keluarga kelas menengah atas Yahudi-Amerika di Medford, Massachusetts, 14 Februari 1942, itu kini berada di urutan ke-142 jajaran orang terkaya di dunia (Forbes).

Harian The Washington Post menyebutkan bahwa Bloomberg mengantongi kekayaan sedikitnya 5,5 miliar dollar AS. Kekayaan itulah yang sedikit banyak menolong dia memenangi pemilihan wali kota. Pada pemilihan kedua tahun 2005, ia merogoh kocek hingga 85 juta dollar AS untuk kampanye.

Menampik komentar miring orang-orang yang tak bersimpati kepadanya, Bloomberg dengan enteng berkata, "Jika mau mencalonkan diri menjadi aparat pemerintah, akan lebih baik jika menjadi miliarder dulu, sehingga bisa fokus dalam bekerja."

Bloomberg yang memperoleh gelar insinyur dari John Hopkins University dan Harvard Business School (lulus 1966) itu belajar banyak dari sang ayah yang bekerja keras sebagai pemegang buku di perusahaan susu setempat.

Mantan suami Susan Brown selama 19 tahun (telah bercerai) dan ayah dari dua anak perempuan, Emma (27) dan Georgina (24) itu pernah mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan akibat diskriminasi hanya karena ia Yahudi.

"Orangtua saya pernah kesulitan mencari rumah karena tak ada yang mau menjual rumah kepada orang Yahudi. Ayah juga pernah dilarang menginap di sebuah hotel setelah dia ketahuan Yahudi," tutur Bloomberg kepada majalah Newsweek.

Pengalaman diskriminasi inilah yang membentuk Bloomberg menjadi pribadi yang egaliter dan lebih senang berbaur dengan siapa pun tanpa memandang perbedaan status, kelas, ras, etnis, dan agama. Interior kantor balaikota pun ia sulap menjadi ruangan tanpa sekat, seperti ruangan redaksi media. Meja dia berada di tengah-tengah meja 50 asistennya.

Berbekal pengalaman menjadi wali kota, banyak teman Bloomberg mendorongnya ikut menjadi kandidat presiden AS. Meski Bloomberg berkali-kali menolak, teman-teman dekatnya memperkirakan Bloomberg tergelitik dengan tawaran itu. Sebab, salah satu sifat Bloomberg adalah ingin mencoba sesuatu yang baru.

Menjawab dorongan itu, Bloomberg baru akan memutuskan tawaran itu awal tahun depan. Jika ikut, ia akan menjadi kandidat pertama yang tak berasal dari dua partai politik besar di AS. Dia akan berhadapan dengan dua kandidat lain yang juga berasal dari New York, yakni Rudolph W Giuliani (Republik) dan Hillary Rodham Clinton (Demokrat).

"Dalam dunia nyata, baik dunia bisnis maupun pemerintah, jika ingin sukses, maka segala sesuatu harus dilakukan setahap demi setahap. Jangan pernah menyerah. Kita toh tak bisa menghindari rintangan itu. So, let’s just do it!," kata Bloomberg yang berperan sebagai Wali Kota New York dalam film Sex and the City: The Movie itu.