Mengenang Pemikir Pejuang
Oleh :
Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam dan Graduate Research
Assistant di Universitas Sains Malaysia Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema 'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin orientalisme.
Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.
Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.
Karya-karya penting
Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi, kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di negeri ini.
Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.
Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas' dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.
Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.
Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang diciptakan 'penjajah'.
Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan, termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna, beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara dalam kehidupan masyarakat.
Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.
Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.
Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju pada tahun 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar