Selasa, 03 Juli 2007

Minggu, 10 Juni 2007
Supriyanto
Agar Tabah Menjadi Guru

Oleh : bur

Seorang siswa kelas 1 SD Cikutra, Bandung, bersemangat mengikuti langkah kaki gurunya dari rumah ke sekolah dan dari sekolah ke rumah. Siswa itu selalu mengikutinya dari belakang. Ia merasa bangga membawakan tas gurunya.

Kenangan awal tahun 1970-an itu masih terbayang di pelupuk mata Supriyanto. Peristiwa itu tetap ia kenang saat menjadi guru, meski dalam kondisi yang berbeda, tak berjalan kaki seperti guru SD-nya dulu. ''Saya pergi ke sekolah dan pulang ke rumah menyetir sendiri kijang ekstra tua tahun 1993. Tas kerja saya tak dibawakan siswa saya, sebab tergeletak begitu saja di jok kiri,'' tuturnya.

Sang guru mungkin tak pernah membayangkan, siswa yang kerap membawakan tasnya itu telah melangkah lebih jauh. Prestasi membanggakan. Predikat guru berprestasi telah digenggamnya, disematkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Anugerah
Di acara puncak peringatan Hari Pendidikan Nasional di Yogyakarta, Sabtu (26/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyematkan medali di kiri atas jas yang ia kenakan. Supriyanto menerima anugerah guru berprestasi 2007.

Saat namanya disebut untuk maju, ia melangkah pelan, melintasi kerumunan banyak orang. Dadanya terasa sesak dipenuhi perasaan haru. Mukanya berkaca-kaca, bayangannya menerawang jauh ke belakang, mengenang hari-hari yang telah dilalui bersama kedua orangtuanya.

''Jujur saja, saat nama saya disebut oleh protokoler Presiden dan dibacakan SK-nya oleh Sekretaris Militer, lantas saya berjalan menuju podium, entah mengapa ada air mata yang menetes. Saya teringat ibu dan ayah saya yang telah mendidik saya sehingga menjadi orang yang layak diberi Satyalancana Pendidikan,'' ungkap guru SMPN Unggulan Sindang, Indramayu, Jawa Barat, itu.

Anugerah ini menyentakkannya, saat ia menerima pemberitahuan itu. Ia mengaku tidak pernah membayangkan sebelumnya. ''Saya bahkan tak tahu jika Presiden memiliki kegiatan memberikan Satyalancana Pendidikan untuk guru berprestasi. Setahu saya, hal seperti itu hanya dilakukan untuk guru-guru terpencil,'' tuturnya. Dia bangga sebab penghargaan diberikan melalui proses pengkajian oleh tim independen.

Disiplin Jepang
Semuanya bermula ketika sekali waktu telepon genggamnya berdering. Sang penelepon mengaku dari Departemen Pendidikan Nasional. Suara dari seberang minta Supriyanto mengirimkan SK pertamanya. Permintaan ia penuhi, lalu ia melupakannya.

Beberapa pekan berselang, teleponnya kembali berdering. Kali ini dari Dinas Pendidikan Kabupaten Indramayu, mengabarkan adanya surat dari Jakarta. Isinya undangan pemberian Satyalancana Pendidikan dari Presiden di Yogyakarta.

Kabar gembira itu segera ia sampaikan kepada Uminah, istrinya. ''Mungkin Allah kasihan melihat saya, maka melalui tangan Depdiknas dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saya dihibur agar tetap tabah menjadi guru,'' ujar guru matematika dan fisika itu.

Lima tahun silam, 2002, Supriyanto menduduki peringkat tiga guru teladan nasional. Tidak seperti guru teladan yang umumnya mulus mendapatkan jabatan, seperti kepala sekolah atau pengawas, ia tetap menjadi guru. Tapi, itu tak soal. Baginya, ''Menjadi guru merupakan jalan untuk beribadah dan lahan pengabdian seperti dianjurkan mantan presiden AS, mendiang John F Kennedy.''

Pria kelahiran Bandung, 9 April 1967 ini menjalani profesi guru setamat dari Jurusan Pendidikan FPMIPA IKIP Bandung (sekarang Universitas Pendidikan Indonesia, UPI), 1991. Sembari mengajar, ia banyak mengikuti kegiatan di luar sekolah. Ia kerap menulis artikel di media massa dan merampungkan program pascasarjana Universitas Islam Bandung, 2005.

Predikat guru teladan 2002 memberinya kesempatan melanglang ke Jepang, setahun berselang. Dari perjalanan itu, kini ia telah merampungkan buku berjudul Nihon kara Omiyage, berisi memoar pribadi hasil perjalanan guru teladan ke Negeri Sakura tersebut.

Pengalaman itu mengasah kemampuannya dalam mengatur waktu. Ia meniru orang Jepang dalam mendisiplinkan diri. ''Hasilnya, saya sudah banyak berubah. Saya ingin berhasil dalam bekerja dan berkarier, juga mengatur waktu. Ya, seperti orang-orang Jepang bisa melakukannya. Jika mereka bisa, mengapa saya tidak,'' ucapnya.

Itulah yang ia terapkan dalam mengisi hari-harinya. Dia bilang, ''Sebagai guru jelas saya sibuk dengan rutinitas mengajar baik di sekolah maupun di luar sekolah. Di luar itu saya menjadi editor di tabloid dwimingguan Mulih Harja yang diterbitkan oleh Pemkab Indramayu. Selebihnya, saya banyak mengisi waktu dengan menulis berbagai bentuk tulisan. Jadi, ke mana pun saya pergi, laptop selalu dijinjing.''

Bagaimana perhatian pemerintah terhadap guru selama ini? Ayah dua anak --Windu Arini (5 tahun) dan Anisa Lazuardi Imani (3 tahun)-- ini menyadari, pemerintah sebenarnya sudah berbuat banyak untuk guru. Tapi, kondisi belum memungkinkan untuk mensejahterakan guru, sesuai harapan guru. Baginya, diperhatikan atau tidak, itu bukan soal. ''Sebab saya hanya ingin diperhatikan oleh Allah, diberi umur panjang, diberi kesehatan, dan diberikan rezeki berlimpah agar saya bisa beribadah dan beramal lebih dari sekadar mengajar dan mendidik anak orang di sekolah dan di luar sekolah,'' tuturnya.

''Bukankah perhatian Allah lebih berharga daripada perhatian pemerintah?'' Toh, pemenang pertama Sayembara Penulisan Esai Sastra Indonesia untuk Guru SLTP pada 1994 yang diselenggarakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, ini masih menyimpan impiannya. ''Saya berharap ada sponsor yang membiayai saya sekolah di jenjang S3 di luar negeri,'' kata dia berharap.

Tidak ada komentar: