Sabtu, 30 Juni 2007

Jubing, "Menyulap" Gitar Tunggal Jadi Orkestra

PEPIH NUGRAHA

Bintang Soedibjo yang lebih dikenal sebagai Ibu Sud, pencipta lagu anak-anak, tentu tidak mengira kalau lagu Hai Becak ciptaannya bisa menjadi satu komposisi musik orkestra. Jubing Kristanto menyulap lagu sederhana dan akrab di telinga anak-anak sampai orang dewasa itu menjadi sebuah orkestra hanya dengan satu alat musik: gitar!

Jubing dan gitar benar-benar menyatu, ibarat dua sisi dalam satu keping uang. Saat kami menunggu Jubing untuk wawancara di Wisma Relasi, Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pekan lalu, dia datang dengan menenteng gitar yang dibungkus dalam sebuah koper. Gitar tidak monoton. Di tangan Jubing, alat musik bersenar itu bisa menghasilkan "seribu satu" suara, mulai perkusi sampai gamelan dan tetabuhan rebana.

Mengapa lagu anak-anak Hai Becak yang kemudian menjadi judul album Becak Fantasy dalam bentuk compact disc (CD), dan baru beredar itu menjadi perbincangan? Pada lagu itulah terdapat sejumlah teknik permainan gitar yang tidak biasa dijumpai dalam komposisi gitar klasik pada umumnya. Tidak salah kalau dia menjuluki gitar sebagai one man band instrument.

Nada tanpa kata-kata yang dihasilkan pun penuh filosofi. Simak, misalnya, efek gamelan Jawa yang biasa disebut kepyak bergemerincing sebelum lagu itu tiba-tiba nyelonong ke nada minor, nada melankolis syarat kesedihan yang bukan "khitah" dari lagu Hai Becak yang dominan mayor.

Nada minor itu lalu masuk ke irama padang pasir, nada gambus yang meliuk-liuk dan terseret-seret pun terdengar. Pindah lagi ke suara mandolin, dan tidak lama kemudian secara mengejutkan Jubing menyisipkan irama dangdut dengan teknik kontrapung, saling bersahutan antara bas, melodi, sekaligus akor.

"Saya sengaja menyelipkan nada minor sebab saya merasa hidup tukang becak kadang-kadang melankolis. Tetapi, pada akhir lagu saya hidupkan lagi kepedihan itu menjadi suasana riang gembira, kembali ke nada mayor untuk membangkitkan lagi semangat hidup. Sedih tidak boleh berlarut-larut," papar Jubing setelah menunjukkan kebolehannya memainkan Hai Becak, komposisi yang ditulisnya selama tiga bulan pada tahun 1986.

Dari tangannya, lagu-lagu Tanah Air seperti Ayam den Lapeh dan Beungong Jeumpa, juga lagu anak-anak seperti Hai Becak tadi, Naik Delman, Burung Kakatua, dan Hujan, menjadi sebuah komposisi musik yang indah. Komposisi itu tidak hanya dimainkan Jubing sendiri, tetapi gitaris seluruh dunia juga bisa mengunduh (download) notasi musik gratis tersebut dari situs miliknya.

Misi menghibur

Beralih profesi dari jurnalis ke gitaris, itu pilihan hidup yang biasa. Tetapi, ketika puncak prestasi jurnalis tengah berada di genggaman lalu dilepas "hanya" untuk bermain gitar dengan penghasilan tidak menentu, Jubinglah yang melakukan.

Ia ingin mengisi hidupnya hanya dengan bermain gitar. Terungkaplah bahwa selama ini apa yang dijalaninya hanya ingin memuaskan keinginan orangtua. Mereka ingin anak pertama dari enam bersaudara ini hidup "normal" seperti anak-anak pada umumnya. Belajar dari sekolah dasar sampai kuliah, lalu bekerja mencari nafkah. "Padahal, sejak SD saya maunya main gitar terus," ceritanya.

Saat kuliah pada jurusan Kriminologi FISIP Universitas Indonesia pun, Jubing sekadar ikut arus orang banyak. Pun saat dia diterima bekerja di sebuah tabloid wanita tahun 1990, dua tahun sebelum ia lulus kuliah.

Saking kuatnya hasrat bermain gitar, Jubing sampai berucap, "Kalau boleh saya tidak sekolah, saya lebih memilih tidak sekolah dan hanya bermain gitar."

Tekad yang berbumbu nekat itu tiba pada 2003. Setelah 13 tahun bekerja sebagai jurnalis sampai berpuncak menjadi redaktur pelaksana sebuah tabloid wanita, dia mengajukan diri berhenti. Sebagai pengajar gitar saat itu, gajinya Rp 500.000, jauh lebih kecil dibanding penghasilannya sebagai redaktur pelaksana yang berbilang jutaan rupiah.

"Saat menjadi redaktur, saya stres dan pikiran menjadi berat. Kalau begini terus, saya bisa sakit. Lalu saya kembali kepada gitar, sebab saya yakin dengan kemampuan sendiri," kata suami Renny Yaniar, penulis cerita anak-anak ini.

Jubing mengenal gitar sejak usia sekolah dasar. Ayahnya, Wibowo, dan ibunya, Swanny, keduanya penyuka musik dan mengajari anak-anaknya bermusik. Pada usia 12 tahun, ia sudah tampil mengiringi teman-teman sekolahnya dengan gitar.

Tentang pilihannya mengaransemen lagu anak-anak, Jubing yang kini pengajar gitar itu berujar, "Saya sering melihat penonton musik klasik berwajah serius tanpa senyum. Saat saya mainkan lagu anak-anak di panggung, penonton langsung gembira dan bertepuk tangan, sebab mereka sudah mengenal lagu itu. Inilah tujuan saya bermain gitar, agar orang lain senang dan bisa ikut menikmati."

Dengan dana Rp 8 juta, awal tahun 2006 Jubing menyelesaikan master (rekaman induk) berisi 12 komposisi ciptaannya. Ia coba tawarkan kepada dua produser untuk diperbanyak. Hasilnya? "Keduanya memuji, tetapi keduanya menolak dengan alasan terlalu segmented," ucapnya.

Beruntung, seorang rekannya di Semarang mau memperbanyak master itu dalam bentuk CD. Tidak banyak, hanya 1.000 keping. Jubing dijanjikan baru bisa mendapat royalti jika penjualan cakram digitalnya sudah di atas 3.000 keping. Tetapi, dengan lahirnya CD ini pun ia mengaku senang, sebab inilah cita-citanya sejak dia mengenal gitar.

Setidaknya kini Jubing bisa menghibur orang tanpa harus tampil di panggung. Orang cukup mendengarkan orkestra gitar tunggalnya yang ramai. Kadang sulit dipercaya orkestra itu dia mainkan sendirian.

Senin, 25 Juni 2007

Otto Hasibuan:
Menginginkan advokat pro wong cilik

oleh : S. Hadysusanto

Tidak mudah beracara di pengadilan, dan tidak semua orang mampu melakukan hal itu. Sekalipun menyandang gelar sarjana hukum, belum tentu mereka andal membela perkara. Sedikit sekali advokat atau pengacara memiliki talenta untuk itu.

Membela perkara atau beracara di muka sidang punya seni tersendiri, sama seperti halnya pekerja teater, pemeran film atau pelaku karya seni dan budaya lainnya.

Tidak bedanya pekerja seni yang kadang melenceng dari kejujuran atas tuntutan karya seni, advokat pun banyak yang mbalelo dari ketentuan-ketentuan hukum yang notebene diketahuinya.

Tentu saja hal itu akan merugikan pencari keadilan yang umumnya adalah rakyat kecil. Sementara itu, mereka yang dari kaum rakyat besar selalu merasakan keadilan karena mampu 'membayar' perkara.

Kenyataan itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Tindakan tercela advokat seperti itu harus ditekan bahkan kalau perlu dihilangkan. Jika penegak hukum saja sudah bertindak melenceng, bagaimana kondisi negara yang berdaulat atas hukum?

Itu sebabnya, 11 organisasi advokat pada 2004 bersatu untuk membentuk wadah tunggal bernama Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan menunjuk Doctor of Legal Science Universitas Gajah Mada Otto Hasibuan sebagai ketua umum.

Mantan 'anak buah' advokat senior Adnan Buyung Nasution itu dinilai mampu menekan perangai para pembela kasus yang kurang baik. Bukan hanya itu, meski belum terlihat secara signifikan, dia mampu mengajak advokat di Peradi membela rakyat miskin secara cuma-cuma.

Yang sudah terlihat nyata atas pembelaan tersebut selama ini adalah yang dilakukan oleh anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).

Organisasi yang juga dipimpin lelaki kelahiran Pematang Siantar 1955 itu sejak 2003 ba-nyak berperan membantu masyarakat kurang mampu.

Sanksi cabut izin

Bahkan, seperti pengakuannya, Ikadin punya aturan sendiri bagi anggotanya untuk berkewajiban membela rakyat kecil serta tidak berperilaku tercela ketika menjalankan profesinya.

"Sanksinya, mulai dari teguran hingga pencabutan izin praktik beracara di pengadilan. Nah, jika advokat tidak punya izin lagi, tentu tidak bisa beracara di pengadilan," kata Otto yang juga anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia periode 2006-2011.

Peringatan itu, jelas dia, diingatkan kembali kepada anggota Ikadin yang menggelar Munas ke IV 2007 di Hotel Novotel Balikpapan pekan lalu.

"Saya tidak menoleransi oknum advokat tercela. Saya juga akan menindak tegas mereka tidak membantu masyarakat kurang mampu," tegas ayah empat putra itu.

Menurut Otto, advokat idealnya memprioritaskan masyarakat kurang mampu sehingga keadilan bukan hanya milik golongan ekonomi atas. Rakyat kecil pun harus dibela.

Otto membenarkan pemberian jasa pembelaan hukum di pengadilan oleh advokat terbatas kepada yang mampu membayar tinggi saja, sedangkan masyarakat kecil lebih memilih lembaga bantuan hukum (LBH) karena layanan yang diberikan gratis.

Pandangan buruk itu diharapkan bisa dihapus setelah terbentuknya wadah tunggal Peradi, serta diberlakukannya UU No.18 tentang Advokat. Memang tidak semudah membalik telapan tangan, tapi setidaknya kesatuan organisasi itu bisa menekan perilaku oknum advokat.

"Setidaknya, dalam konteks penegakan hukum, para advokat dapat memberikan layanan jasa profesinya secara cuma-cuma kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan," kata Ketua Umum Ikadin terpilih untuk periode 2007-20011.

Otto menambahkan ketentuan yang sudah disepakati bersama-sama anggota Ikadin kini tengah digodok di Peradi, dan akan menjadikan kewajiban bagi advokat anggota Peradi membela masyarakat kurang mampu yang tengah mencari keadilan.

"Nantinya setiap angota Peradi berkewajiban membela rakyat kecil. Seperti halnya jasa yang dilakukan penegak hukum lainnya, yakni jaksa dan polisi," kata Otto yang pernah mendalami Comparative Law di Univercity of Technology Sydney, Australia (1990).

Sarjana hukum jebolan Universitas Gajah Mada itu saat ini memang dipercaya oleh banyak advokat di negeri ini. Termasuk beberapa organisasi di luar hukum.

Pada Munas Ikadin ke IV di Balikpapan dia kembali dipercaya untuk memimpin organisasi itu mengungguli advokat senior lainnya seperti Henry Yosodiningrat dan Teguh Samudera, yang masing-masing mendapat suara 19 dan 5. Sebanyak 80 dari 105 Dewan Pimpinan Cabang Ikadin, 71 suara di antaranya memilih Otto.

Artinya, advokat yang ingin memosisikan diri sebagai penegak hukum sangat berharap Otto kembali memimpin, meneruskan perjuangan yang tengah digalang sejak beberapa tahun belakangan ini.

Lewis Hamilton:
'Tiger Woods' di lintasan balap

oleh : Algooth Putranto

Tidak bisa dibantah, asal usul dan warna kulit Lewis Hamilton memang sudah menjadi perhatian sejak pembalap kelahiran Hertfordshire, Inggris, itu disebut bos Mercedes McLaren Ron Dennis sebagai pembalap kedua mereka.

Menjadi heboh karena di Formula 1 sebuah tim terkenal tidak biasa memasang pembalap yang belum pernah bertanding sama sekali di ajang ini.

Apalagi, Lewis Carl Hamilton-nama yang diambil sang ayah, Anthony Hamilton, karena terpukau dengan kecepatan pelari AS nomor 100 m Carl Lewis di Olimpiade 1984 di Los Angeles-punya darah Karibia.

Hadirnya pemuda kelahiran Stevenage, Hertfordshire, 7 Januari 1985, ini melengkapi ras yang bertanding di Formula setelah ras kuning diwakili Toranosuke Takagi yang mengikuti dua musim lomba balap F1 pada 1998.

McLaren melabrak tradisi di F1 ketika pada Oktober 2006 mereka memasukkan Hamilton sebagai pembalap kedua sebagai pendamping juara dunia Fernando Alonso.

Jawara F3000 dan GP2 ini lebih banyak merendah setiap kali media memancingnya berkomentar. Hamilton justru memilih untuk memberikan jawaban di lintasan.

Tak terbantahkan

Hasilnya fantastis, seri pertama F1 musim 2007 yang dilangsungkan di Melbourne, pembalap baru McLaren Mercedes itu menandai debutnya dengan menempati posisi ketiga di belakang Kimi Raikkonen dan Fernando Alonso.

Tak seorangpun akan membantah aksi Hamilton merupakan penampilan terbaik seorang debutan Grand Prix dalam 10 tahun terakhir mendekati penampilan pembalap Williams asal Kanada Jacques Villeneuve pada 1996 di Grand Prix Australia.

Setelah itu Hamilton terus-menerus menempati urutan podium kedua di empat seri berikutnya a.l. Malaysia, Bahrain, Spanyol, dan Monaco.

Torehan itu saja sudah memecahkan dan melampaui rekor pembalap Lotus asal Inggris, Peter Arundell, yang sudah bertahan 43 tahun.

Sejarah makin lengkap saat dia menyabet kemenangan di Kanada dan AS yang menempatkan Hamilton menjadi pembalap debutan yang tujuh kali berturut-turut selalu-menempati podium.

Tak salah jika media kemudian menjuluki Hamilton adalah Tiger Woods di lintasan balap. Apalagi pacar dari cewek Hong Kong, Jodia Ma, ini sanggup juara berturut-turut (back-to-back) di tempat yang baru dia datangi.

Dari segi teknik Hamilton sangat sempurna bahkan lebih stabil dibandingkan pemilik rekor juara termuda Alonso ataupun si sensasional nan nyentrik Michael Schumacher.

Juara tiga kali F1 Niki Lauda mengaku belum pernah melihat fenomena ini sebelumnya. Pembalap legendaris Jackie Stewart menyebutnya pembalap yang dipersiapkan paling baik pada tahun pertama mengikuti balapan F1 yang ada selama ini.

Munculnya Hamilton tak pelak membuat Inggris kini pantas berbangga, mereka kini punya pembalap hebat di lintasan Formula 1 setelah Nigel Mansel dan Damon Hill pensiun.

James Gwee dengan Ide-ide Bisnisnya

ST SULARTO

Positive Business Ideas, begitu dia awali setiap acara Smart Business Talk di Radio Smart FM. "James Gwee selalu kaya dengan ide yang praktis dan mudah dijalankan," komentar Hermawan Kertajaya, pakar marketing dari Surabaya. "Buku ini memang sederhana, tetapi tips-tips yang disampaikan James Gwee sangat aplikatif," tulis Andrie Wongso, motivator laris dengan semboyan success is my right.

Buku berukuran saku, Positive Business Ideas (193 halaman), terbitan Gramedia yang dikomentari Hermawan Kertajaya dan Andrie Wongso hanya jendela kecil ceramah-ceramah James Gwee. Selain dibukukan dan dimasukkan CD, gagasan-gagasan bisnis dia sampaikan lewat radio dalam acara Smart Business Talk di Radio Smart FM. "Lewat acara itu kita merasakan denyut jantung James yang mencintai Indonesia," komentar pemilik Radio Smart FM, Fachry Mochamad.

Saat berceramah, pria bernama lengkap James Gwee Thian Hoe ini suka berjalan hilir mudik, naik turun podium, menyapa peserta dan melontarkan ide-ide bisnis, bak sedang bermain drama, bahkan berakrobat.

Motivator yang lahir dan besar di Singapura, tetapi lebih dari 19 tahun tinggal di Indonesia, itu berkisah panjang lebar tentang "cara isi bensin" otaknya dengan ide-ide praktis training yang dilakukan. "Para pendengar training saya adalah narasumber saya," katanya.

Cara menggali bahan dari narasumber dilakukannya dengan menemui para klien. Dia bertanya detail, apa yang menjadi problem mereka, isu apa yang mereka inginkan, perubahan apa yang diharapkan dan akan dilakukan. Dari jawaban-jawaban itu, Gwee mendapatkan ide yang jelas tentang situasi secara menyeluruh.

"Ini sungguh membantu saya membuat desain isi ceramah yang relevan. Saya lantas tahu apa yang harus saya katakan, apa yang tak boleh saya katakan, dan bagaimana memotivasi bahkan menyentil mereka."

Menurut Gwee, ide-ide bisnis yang positif berkeliaran di sekitar kita. Kefasihannya memadu bahasa Indonesia dan Inggris membuatnya bisa menghayati sisi-sisi kultur dan kebiasaan orang Indonesia. Para pendengar ceramahnya mengomentari ide-idenya membumi, realistis. Contoh-contoh dipungut dari pengalaman sehari-hari para pendengar, di kantor, di rumah, dan dalam masyarakat.

Kesibukan dia memberikan training—selama 15 tahun terakhir untuk lebih dari 1.000 organisasi di Indonesia dan 300.000 peserta pelatihan, dari Lhok Seumawe, Manado, hingga Bali—membuatnya hampir tak punya waktu tersisa. Jelajah training-nya juga sampai di India, Thailand, Rusia, Malaysia, dan Singapura.

Kelemahan dan kekurangan

Mengenai kebiasaan-kebiasaan suku bangsa, Gwee membantah pendapat bahwa kultur orang Singapura lebih baik dari orang Indonesia. "Orang Singapura dan orang Indonesia memang beda, ya. Tetapi, keliru kalau yang satu lebih baik dari yang lain. Masing-masing punya kelemahan dan kekuatan. Kunci keberhasilan adalah mengoptimalkan kekuatan masing-masing, dan mendesain sistem dalam organisasi untuk meminimalisir kelemahan masing-masing".

Di antara suku-suku bangsa, menurut pengamatannya, lebih banyak kemiripan daripada kebedaan. Itu terlihat antara lain dari tanggapan audiensnya. "Mereka tertawa mendengar lelucon saya, dan memberi jawab dengan cara yang sama," kata Gwee.

Pendengar ceramah yang dijumpainya di Jakarta mirip dengan apa yang dialaminya di New Delhi, Mumbay, atau Moskwa. "Very similar! Mereka pun akrab dengan tantangan dan kesulitan yang sama dengan yang dihadapi orang-orang Indonesia."

Meski demikian, dia mengakui audiens dari perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, dan PNS di Indonesia berbeda-beda dalam penampilan dan sikap. Audiens perusahaan swasta relatif lebih dinamis dan termotivasi. Hal itu disebabkan kultur dan kepemimpinan masing-masing lembaga. Sangat mungkin melakukan perubahan kebiasaan dan kultur, tetapi itu menuntut kepemimpinan yang jelas, tertentu, dan konsisten. Dalam hal ini ia memuji Rhenald Khasali dalam buku Change maupun Re-code yang menunjukkan cara mengatasinya.

Kultur, pembawaan, lingkungan, memengaruhi tindakan dan kelakuan orang. Setiap kebudayaan itu berbeda-beda. Cara orang China mengasuh anak mereka berbeda dengan orang India. Anak-anak melihat contoh yang berbeda dari orangtua mereka. Orangtua mengajarkan nilai-nilai yang berbeda-beda pula. Sebagian orangtua mengatakan no venture no gain, tetapi yang lain bilang be happy and grateful with what you have.

Nilai-nilai yang berbeda berdampak pada cara berpikir anak muda, lalu kebiasaan hidup mereka di kemudian hari. Manajer dan orang penjualan harus mengerti ini, dan menggunakannya untuk pendekatan yang berbeda-beda. Different fish different bait—lain ladang lain ikannya. Selagi kita melakukan tawar-menawar dengan manusia, kekhasan ini perlu dipahami.

Menjadi motivator bisnis membuatnya harus mengenali perilaku dan kebiasaan masyarakat. Dia merasa bukan psikolog, bukan antropolog, bukan filsuf; tetapi pekerjaan memotivasi orang membuatnya paham segala disiplin ilmu sebagai bagian dari pendekatan bisnis.

"Saya punya pengalaman sebagai karyawan bagian penjualan, manajer, direktur, juga wiraswasta." Usaha bisnisnya dimulai dari nol, berkembang hingga menjadi bisnis besar, tetapi bangkrut. Dia memulai lagi dengan bisnis waralaba.

Mengenai pertemuannya dengan orang-orang bisnis, Gwee—saat ini Direktur Academia Education & Training—melukiskannya sebagai bagian dari bisnis. Bisnis selalu cepat berubah, dengan tingkat naik-turun amat rentan. Misalnya, pada usia 28 tahun dia hilir mudik dengan Jaguar 4000 cc di Singapura sebagai salah satu hasil usaha, tetapi di Indonesia dia harus memulai usaha dari nol. Mobil sehari-harinya Daihatsu charade tua, dan pelan-pelan usahanya pun berkembang.

"Pengalaman sukses dan gagal dalam bisnis, karier, dan kehidupan, saya kaya."

Bacaannya? Setiap pakar manajemen dan pemasaran punya kelebihan dan kekhasan. "Saya mengambil sisi-sisi kelebihan mereka," ucap Gwee.

"Norman Vincent Peale, Dale Carnegie, Steven Covey memberi saya peta jalan, Robert Kiyosaki mengubah pandangan saya dan membuatkan peta lebih jelas. Buku-buku John Gray, Allan & Barbara Pease sangat saya nikmati, juga John Maxwell dan Jack Welch," tutur Gwee yang membaca buku Mark Twain sebagai selingan. "Untuk roti kehidupan saya baca Injil," tambah penyuka masakan sunda, penggemar laksa, penikmat musik klasik, dan pemetik gitar ini.

Prof. Saleh Mangundiningrat dan Prof. Koestedjo
Oleh H. ROSIHAN ANWAR

SEORANG dokter dari generasi yang lebih tua tamatan Stovia, perlu saya sebutkan, Prof. Dr. KRMT Saleh Mangundiningrat dari Solo. Almarhum adalah contoh dokter yang tak keluar dari jalur profesinya.

Dalam ceramah saya mengenai "Dimensi Pendidikan Kedokteran" di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), 22 Mei 2007, bercerita tentang dr. Abdul Rivai, dr. AK. Gani, dr. Abdul Halim, dr. Abu Hanifah yang selain jadi dokter pernah jadi wartawan, politikus, diplomat, menteri. Saya kemukakan ada pula dokter yang terus jadi dokter. Yaitu Dr. Saleh Mangundiningrat (1891-1962). Dia lulus sekolah Stovia tahun 1917.

Setelah bekerja sebagai dokter gubernemen di Jawa dan turut dalam usaha pemberantasan penyakit sampar (pest), ia dipindahkan ke kota tambang batu bara di Sumatera Barat yakni Sawah Lunto dan menjadi direktur rumah sakit umum di sana. Kemudian dia berangkat ke negeri Belanda bersama keluarganya belajar ilmu kedokteran di Universitas Utrecht, dan dia meraih gelar doktor. Ia tidak lagi di Indisch arts, tapi Europees arts. Sekembalinya ke Indonesia dia ditempatkan di Menado, Sulawesi Utara. Kemudian pindah ke Surabaya, seterusnya ke Solo, kemudian dia menjadi dokter pribadi Susuhunan Paku Buwono X yang menganugerahkan kepadanya gelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT).

Dr. Saleh adalah ayah empat putra yang semuanya "jadi orang" dalam masyarakat. Yaitu Siti Wahyunah Poppy Sjahrir, S.H. tamatan Universitas Leiden, Dr. Soedjatmoko mantan Dubes RI di Washington , Rektor Universitas PBB di Tokyo, Prof. Miriam Budiardjo guru besar ilmu politik UI, dan Nugroho Wisnumurti, S.H. mantan Dubes Kepala Perwakilan RI di PBB. Dr. Saleh berasal dari keluarga santri dan kiai di daerah Balerejo, Madiun. Dia pandai mengaji Alquran di waktu remaja.

Semasa jadi dokter sebagaimana umumnya kaum intelektual di Hindia Belanda masa itu, dia terpengaruh oleh ajaran Theosofi dan Annie Besant dan memberikan kebebasan dalam pendidikan kepada anak-anaknya sehingga mereka kurang akrab dengan suasana kehidupan Muslim. Tapi di masa tua ia berbalik, lalu serius mendalami Alquran dan ajaran Islam. Prof. KRMT Saleh Mangundiningrat lalu menjadi Rektor Universitas Cokroaminoto di Solo sampai akhir hayatnya.

Dr. Saleh banyak membantu pasien yang berobat padanya. Ia dermawan. Sebagai intelektual didirikannya sekolah menengah darurat di tempat kediamannya, tatkala Solo diduduki tentara Belanda setelah aksi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, Dr. Saleh berusaha supaya pasien-pasiennya bisa melanjutkan studi. Mereka itu di antaranya itu adalah Prof. Dr. Sri Edi Swasono.

Kemudian dia aktif dalam mendirikan Universitas Cokroaminoto di Solo, yang salah satu mahasiswanya adalah kini Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Dia filosof. Nasihatnya kepada saya ialah agar saya jangan pergi meditasi ke tempat sunyi, tapi tetap berada di tengah kehidupan ramai dan sibuk serta berbakti kepada rakyat. Meskipun dia mertua PM Sjahrir, pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), namun dia tidak ikut politik praktis. Dr. Saleh adalah murni seorang dokter. Tidak ada politik pada dirinya.

Dokter panutan

Ketika diadakan seminar di Fakultas Kedokteran UI berbarengan digelar pameran foto-foto zaman Stovia. Prof. Dr. R. Koestedjo dari Bandung diminta waktu itu memberikan keterangan mengenai foto-foto tersebut kepada pihak yang bertanya. Di antara foto-foto itu terdapat "Keluarga Dr. Saleh tahun 1917" pada hari wisuda tahun 1917.

Prof. Koestedjo berusia 91 tahun. Lahir tanggal 5 Agustus 1916 di Purbalingga, lulus sebagai dokter dari Ikadaigaku pada masa Jepang, sekitar awal 1944. Bersama dr. Djamaludin dan dr. Tiam, dia diterima sebagai dokter PETA (Pembela Tanah Air) di Bali dengan pangkat Eiseityudancho. Setelah kemerdekaan dia bergabung dengan BKR (Barisan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI (Tentara Rakyat Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Tahun 1950 dia mengundurkan diri sebagai dokter tentara untuk mengikuti pendidikan ahli bedah di Semarang dan di Universitas Indonesia di Jakarta.

Sejak awal Januari 1957, dia menetap di Bandung. Dengan dibukanya Universitas Pajajaran (Unpad) terbuka lebar kesempatan untuk mendidik mahasiswa menjadi dokter umum. Baru pada tahun 1964 dimulai pendidikan calon ahli bedah yang ditangani oleh Ikabi (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). Tahun 1971-1972 dia menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Unpad. Dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Bedah di Unpad tahun 1968 dia mendapat follow ship dari DAAD (Deutsche Akademische Austausch Dienst) untuk meninjau beberapa universitas di Jerman Barat. Setelah pulang dia merasakan meningkatnya kepercayaan diri sendiri. "Dalam hati saya tidak mau kalah di bidang keterampilan dengan Ahli Bedah Barat," ujarnya.

Pada peringatan 60 tahun sebagai dokter pada tahun 2004, Prof. Dr. R. Koestedjo dinamakan oleh Dekan Fakultas Kedokteran Unpad waktu itu sebagai "seorang panutan yang sangat pantas untuk diteladani".

Prof. Kustedjo yang tinggal di Jalan Dago, Bandung di masa tuanya juga aktif di Lembaga Lansia (lanjut usia) mulai didirikan tahun 2003 dengan ketuanya Prof. Soegana. Inilah orang tua yang berkhidmat terus kepada bangsa dan tanah air Indonesia.***