Senin, 23 Juli 2007

Kemenangan Perempuan India

Hari Sabtu lalu adalah hari istimewa bagi ratusan juta perempuan India. Setelah 60 tahun merdeka, India memiliki seorang presiden perempuan.

Pratibha Patil (72), seorang pengacara terpilih, menjadi presiden setelah mengalahkan Wakil Presiden Bhairon Singh Shekhawat. Kemenangan Patil ini menjadi penting bukan hanya karena India merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk 1,12 miliar jiwa, melainkan lebih karena selama ini perempuan di negeri itu dikenal acap kali mengalami diskriminasi.

Karena itu, kemenangan Patil disebut sebagai kemenangan kaum perempuan India. Meskipun India pernah memiliki seorang perdana menteri perempuan yang begitu hebat, yakni Indira Gandhi (1966-1977 dan 1980-1984), terpilihnya Patil memberikan arti lain bagi demokrasi dan perempuan India.

Konstitusi India memang menjamin tiadanya diskriminasi bagi semua kaum perempuan, memiliki kesempatan yang sama, gaji yang sama dalam pekerjaan. Namun, dalam hidup keseharian mereka menjadi warga negara kelas dua. Banyak keluarga di India melihat anak perempuan sebagai beban karena secara tradisi mereka harus membayar mahar kawin yang mahal kepada keluarga pria. Bahkan, Amartya Sen mengatakan, anak perempuan India sudah tidak untung sejak lahir.

Sejarah mencatat, ketika sistem negara demokrasi pertama berkembang di Yunani, perempuan tidak langsung dianggap sebagai bagian dari demos (rakyat) yang aktif secara politik. Perlu waktu hampir 2.500 tahun bagi berkembangnya secara signifikan peranan perempuan dalam dunia politik.

Olympe de Gouges pada abad ke-18 pernah mengatakan di Paris Commune, "Jika seorang perempuan berhak menaiki tangga, ia harus juga berhak untuk naik mimbar." Barulah pada awal abad ke-20, perempuan secara umum berhasil memperoleh haknya untuk ambil bagian dalam dunia politik secara resmi.

Ketika demokrasi menjadi pilihan banyak negara, maka peranan perempuan pun makin diperhitungkan. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan kolektif akan mendasarkan pada pertimbangan publik yang luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan.

Akan tetapi, dalam praktiknya, demokrasi tidak secara otomatis memuaskan. Sebab, demokrasi adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi. Demokrasi bukanlah sebuah sistem politik yang instan, segera jadi. Demokrasi membutuhkan proses dan membutuhkan partisipasi semua warga negara, termasuk perempuan. Dengan kata lain, demokrasi tanpa perempuan bukanlah demokrasi.<>

Tidak ada komentar: