Senin, 31 Maret 2008

Taufiq Ismail

55 Tahun Kiprah Sastrawan Taufiq Ismail
Jumat, 28 Maret 2008 | 00:56 WIB

Jakarta, Kompas - Menandai 55 tahun kiprah Taufiq Ismail di panggung kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, serangkaian kegiatan apresiasi diselenggarakan oleh majalah sastra Horison. Di antaranya lomba karya tulis bagi mahasiswa, seminar, penerbitan buku, dan pembacaan puisi.

”Tak hanya di bidang sastra dan kebudayaan pada umumnya, Taufiq Ismail juga tergolong penulis lagu yang kreatif,” kata sastrawan Jamal D Rahman, Pemimpin Redaksi Horison sekaligus wakil ketua panitia kegiatan ini, Kamis (27/3).

Lomba karya tulis yang khusus diperuntukkan bagi mahasiswa mengambil tema tentang Taufiq Ismail dalam sastra dan kebudayaan Indonesia. Lomba memperebutkan total hadiah senilai Rp 25 juta ini berakhir 30 Maret 2008. Pemenang lomba akan diumumkan pada 17 Mei 2008, bersamaan seminar nasional tentang Taufiq Ismail di Jakarta. Acara seminar juga digelar di Padang pada 28 Mei 2008.

Sebelumnya, pada 14 Mei 2008, sejumlah buku Taufiq Ismail akan diluncurkan di Aula Gedung Mahkamah Konstitusi, ditandai pidato kebudayaan oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan dan budayawan Emha Ainun Nadjib. Informasi lebih lanjut bisa diperoleh di majalah sastra Horison, telepon (021) 85903045. (ken)


 

Selasa, 25 Maret 2008

Hamka Amat Patut Dikenang

Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta akhir 2007 telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka, dihitung sejak tanggal lahirnya, 17 Februari 1908. Hamka wafat pada 23 Juli 1981 dengan meninggalkan karya tulis yang dahsyat, lebih dari 100. Puncak karya itu adalah Tafsir Alquran Al-Azhar, lengkap 30 juz, mendekati 9.000 halaman. Draf awal disiapkan dalam penjara dalam tenggang waktu dua tahun pada 1960-an. Pada 8 April 2008 akan ada seminar internasional mengenang tokoh ini dan sumbangan pemikirannya terhadap kemanusiaan. Hamka telah mulai menulis pada 1925 dalam usia 17 tahun.

Untuk seminar April, saya juga diminta untuk turut mengisi. Kalimat pertama makalah saya untuk seminar itu berbunyi: ''Semakin jauh Hamka berpisah secara fisikal dengan kita, semakin dalam dan mencekam kerinduan kita kepadanya.'' Mengapa tidak akan rindu? Hamka adalah pribadi dengan wajah 1.000 dimensi. Jauh sebelum muncul sebagai seorang alim kaliber dunia, Hamka adalah novelis dengan beberapa karya sastra yang masih dicetak sampai hari ini. Tiga tahun sebelum wafat, menurut catatan alm Iwan Simatupang, dalam orasi kebudayaan tanpa teks di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 11 Maret 1970, Hamka bertutur: ''Saya adalah pengarang! Pada mulanya, dan pada akhirnya.'' Merangkai dan menganyam kata adalah pilihan hidup Hamka sepanjang hayat. Tidak tanggung-tanggung, ranah sastra dijelajahnya, sejarah ditelitinya, filsafat dan tasawuf dikajinya, ushul fikih dan manthiq dipelajarinya di bawah bimbingan sang ayah, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, seorang alim berwatak keras, dan puncaknya adalah Tafsir Al-Azhar telah dipersembahkannya kepada bangsa Indonesia yang sangat dicintainya. Hamka telah menjadi milik semua orang, hampir tanpa kecuali.

Universitas Prof Hamka telah merintis sebuah langkah besar: Menyiapkan pusat kajian Hamka, sebuah upaya akademik yang bernilai strategis untuk bangsa ini, untuk Islam, dan untuk kemanusiaan. Sebagai seorang yang dilahirkan di sekitar Danau Maninjau, Ranah Minang, Hamka telah lama bergumul dengan kultur kearifan kata melalui pepatah, petitih, gurindam, bidal, pantun, syair, dan mamang, yang memang menjadi kebanggaan anak suku bangsa itu, di samping juga terkenal sebagai pusat cemeeh di muka bumi. Dua pengarang Minang yang lain: Rosihan Anwar dan alm AA Navis sangat mahir dalam perkara cemeeh ini, tetapi justru dengan cara itu semakin menghidupkan suasana percakapan, sekalipun mungkin saja ada yang tersinggung.

Hamka adalah fenomenal dalam sejarah Indonesia modern. Karyanya dibaca tidak saja di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Saya tidak tahu pasti sudah berapa tesis dan disertasi yang ditulis orang tentang buah pemikiran si alim ini, sementara dia sendiri berkarya tanpa ijazah, tidak SD, tidak sekolah menengah, apalagi perguruan tinggi. Ajaibnya, mahasiswa S3 perguruan tinggi telah mengkaji Hamka utnuk meraih gelar doktor. Maka, dengan ungkapan: ''Saya adalah pengarang! Pada mulanya, dan pada akhirnya,'' Hamka telah meneruka kawasan kebudayaan yang sangat luas untuk diteruskan oleh anak-anak bangsa ini, demi peradaban Indonesia yang berkualitas tinggi di masa depan. Pilar-pilar moral dan kearifan yang telah dipancangkan Hamka tidak boleh dibiarkan melapuk, sebab itu merupakan pengkhianatan kultural yang tidak dapat dimaafkan, jika memang kita ingin melihat bangsa ini punya harga diri, sehingga dihormati bangsa-bangsa lain.

Sebagai manusia biasa, tentu di sana-sini Hamka punya kekurangan dan kelemahan, tetapi semuanya itu telah ditebusnya dengan karier hidup yang penuh makna dan karya tulis yang terus saja dikaji dan diminati orang, entah sampai kapan. Karya yang berjibun itu telah lama menjadi sumber inspirasi dan sumber kearifan bagi berbagai kalangan. Nilai profetiknya justru terasa semakin mendesak pada saat bangsa ini sedang berada pada posisi papa inspirasi dan tunakearifan. Di samping tokoh-tokoh moralis yang lain, Hamka adalah salah seorang yang berada di garis depan. Selamat memperingati 100 tahun Buya Hamka!

Senin, 24 Maret 2008

Kepuasan dari Ayat-ayat Cinta

Salman Aristo
Kepuasan dari Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi

Telepon gengang Salman Aristo berdering. Dari seberang, terdengar suara sutradara film Hanung Bramantyo. Sejatinya, bagi Salman dan Hanung, telpon-telponan bukan hal yang tak lazim. Keduanya memang sudah saling kenal, kerap bekerja sama dalam menggarap film. Hanung menjadi sutradara, Salman menulis skenario. Film Brownies, salah satu di antaranya.

Tapi, telepon dari Hanung kali ini membuat Salman sempat tersentak. Sutradara film itu mengajaknya untuk menuliskan skenario film Ayat-ayat Cinta yang diadaptasi dari novel laris karya Habiburrahman El Shirazy terbitan Republika dengan judul yang sama. Bagi Salman, ini tantangan sekaligus peluang. Tapi, saat bersamaan, ia mengakui kala itu belum membaca novel dengan latar belakang kota Mesir dan Timur Tengah tersebut.

''Saya tidak pernah membayangkan ditawari,'' ucap pemenang Kompetisi Pengembangan Naskah untuk kategori Feature Film di Jiffest 2006 itu. Tapi, ia merasa beruntung. Istrinya, Ginatri S Noer, sudah membaca novel itu. Penjelasan Ginatri ihwal cerita dalam novel ini mengesankan hati Salman. Semangatnya kian besar menggarap skenario film ini. Ia pun membacanya. Benar. ''Kami melihat, ini novel yang berhasil membawa pesan. Sayang sekali kalau dibiarkan,'' kata pria kelahiran Jakarta, 13 April 1976 itu.

Pasangan muda ini lalu menulis skenario film, mengadaptasi dari novel Ayat-ayat Cinta. Ginatri banyak membantu membuat story line. Tak sekadar membaca novel laris itu, keduanya pun melakukan riset, baik yang berkaitan dengan masalah fikih maupun tentang keislaman. Ini dilakukan untuk memperkaya wawasan dalam penulisan skenario.

Di balik itu, diam-diam ada keinginan lain yang tersimpan di lubuk hati Salman. Ia ingin berkarya sebaik mungkin dan mengajak orang-orang yang selama ini segan ke bioskop untuk mau menyisihkan waktu, datang di gedung pertunjukan film.

Adaptasi
Mengadaptasi sebuah novel ke dalam skenario film, tentu bukan perkara sepele. Apalagi bila novel yang akan diadaptasi itu tergolong laris, sudah dibaca banyak orang. Salman menyadari itu. ''Jelas ada beban,'' ucapnya.

Beban itu, dirasakannya bukan dalam soal teknis. Tapi, ''Apakah skenario punya sistematika yang sama dengan pemahaman orang yang sudah membaca novelnya?''

Bagaimanapun, media tontonan tidak sama persis dengan media baca. Salman 'terpaksa menyimpang' dari novel yang diadaptasinya itu. Tokoh Fahri, misalnya. Di dalam novel, pria ini dikesankan sebagai sosok yang cerdas dan teladan bagi teman-temannya, tapi dalam film menjadi terkesan sebaliknya: Lugu, sehingga dinasihati temannya soal ta'aruf.

Salman tidak sekadar mengubah cerita. Nomine The Best Adaptation Screeplay of Jomblo dalam Festival Film Indonesia 2006 ini punya alasan untuk itu. Dia bilang, ''Kalau seperti novel, akan membuat penonton berjarak.'' Syukurlah, menurut mantan redaktur pelaksana majalah Fourfour Two Indonesia ini, Habiburrahman sang penulis cerita bisa memahaminya.

Toh, proses penulisan tidak semulus jalan tol Jagorawi. Berulang kali Salman menulis ulang draf skenario film ini. Setidaknya, 12 kali ia menulis draf skenario hingga sampai dinyatakan oke. Tapi, bagi lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung ini, penulisan ulang draf skenario sudah menjadi sebuah kewajaran. ''Saya percaya, film yang bagus adalah yang ditulis ulang,'' tutur mantan wartawan Trax Magazine ini.

Laskar Pelangi
Tak lama merampungkan skenario Ayat-ayat Cinta, tawaran lain menghampirinya. Ia diminta menulis skenario film Laskar Pelangi, mengadaptasi novel laris karya Andrea Hirata. Berbeda dengan Ayat-ayat Cinta, ia mengaku sudah membaca novel Laskar Pelangi sebelum tawaran menulis skenario menghampirinya. Dari bacaan itu ia mengaku sempat terbetik dalam hati, ''Wah, ini bagus banget dibuat film.''

Keinginan itu lalu ia beritahukan ke sutradara film Riri Reza melalui pesan pendek (SMS). Tak ia nyana, tiba-tiba telepon genggamnya kembali berdering. Dari seberang, suara Mira Lesmana, produser Miles Film, membuka pembicaraan dengan basa-basi. ''Dia tanya jadwal (saya),'' ucap Salman.

Pembicaraan pun berlangsung. Salman diajak bekerja sama memproduksi film dengan mengadaptasi novel Laskar Pelangi. Salman setuju. Bersama Andrea Hirata, mereka langsung ke Belitung, melakukan observasi ke lokasi setting cerita dalam novel tersebut. Mereka menemui tokoh-tokoh dalam novel. Di perjalanan, diam-diam dia menggali informasi lebih banyak dari sang penulis. ''Dibandingkan dengan Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi lebih mudah. Ayat-ayat Cinta lebih rumit karena kompleksitas ceritanya harus direnungkan. Laskar Pelangi cenderung lebih linier,'' ucapnya.

Kini, penulisan skenario Laskar Pelangi tengah dalam proses akhir. Sebagaimana Ayat-ayat Cinta yang tengah diputar di bioskop-bioskop, Salman juga berharap Laskar Pelangi versi layar lebar mendapat sambutan dari penonton film di Indonesia. Film Ayat-ayat Cinta, menurut dia, telah memberi kepuasaan batin.

Mengutip ucapan penonton film Ayat-ayat Cinta yang pernah ia dengar, pria yang mengawali kariernya sebagai penulis skenario melalui film Brownies (2004) ini bilang, ''Dulu gue diajak ortu ke bioskop. Kini gue ajak ibu gue ke bioskop.'' Agaknya, ajakan penulis skenario film Alexandria (2005) itu untuk menarik orang-orang yang segan ke bioskop mulai menunjukkan tanda-tanda menggembirakan.bur

( )

Sabtu, 22 Maret 2008

Paterson, Gubernur Buta yang Pantang Menyerah


David Alexander Paterson















Sabtu, 22 Maret 2008 | 05:04 WIB


”Perkenankan saya memperkenalkan diri lagi. Saya David Paterson dan saya Gubernur Negara Bagian New York,” ujar Paterson dalam pidato pelantikan pada 17 Maret 2008. Dia adalah orang kulit hitam pertama yang menjabat sebagai Gubernur New York. Dia juga orang buta pertama yang menduduki jabatan itu di Amerika Serikat.


David Alexander Paterson (58) diangkat menggantikan Eliot Spitzer, Gubernur New York sebelumnya, yang mengundurkan diri setelah terjerat skandal seks. Paterson, yang menjabat wakil gubernur, otomatis menjadi gubernur sesuai dengan konstitusi New York. Paterson, gubernur ke-55 New York, akan meneruskan masa jabatan Spitzer hingga tahun 2010.

Paterson kehilangan penglihatan saat berusia tiga bulan akibat infeksi telinga yang menjalar ke saraf optik. Mata kirinya buta, mata kanannya bisa melihat tetapi sangat terbatas. Namun, sepanjang karier politiknya selama 20 tahun, kebutaannya tidak pernah dipersoalkan.

Kecerdasan dan kepribadiannya yang menyenangkan mengalahkan cacat yang disandangnya. Dia sangat dihormati baik oleh kalangan Partai Demokrat maupun Partai Republik di New York. Mantan Wali Kota New York Edward Koch menilai Paterson sebagai orang yang sangat pandai. ”Kekurangan dalam hal penglihatan tidak menghalangi aktivitas publik atau pribadinya. Dia bisa mengatasi kekurangannya dengan cara yang luar biasa,” kata Koch.

Sebagai orang buta, Paterson tidak mau menggunakan tongkat atau anjing pemandu. Paterson masih suka mengenang ketika dulu dia pernah kehilangan kepercayaan diri semasa remaja akibat kebutaannya. Dia ingat tidak diundang ke berbagai pesta karena orang takut dia jatuh atau melukai dirinya sendiri.

Pantang menyerah dengan kekurangan, Paterson membuktikan dia sama dengan orang normal. Dia mendapatkan gelar sarjana muda sejarah dari Universitas Columbia tahun 1977 dan sarjana hukum dari Sekolah Hukum Hofstra tahun 1983.

Lulus dari Sekolah Hukum Hofstra, Paterson kemudian bekerja untuk Kantor Jaksa Distrik Queens. Sayang, dia gagal dalam ujian pengacara. Kegagalan itu, menurut Paterson, disebabkan akomodasi yang tidak memadai bagi kebutaannya. Sejak saat itu dia aktif memperjuangkan hak-hak orang cacat, baik cacat visual maupun fisik.

Dia dipilih sebagai anggota Yayasan Amerika untuk Orang Buta dan anggota dewan direksi Achilles Track Club, sebuah organisasi yang mensponsori atlet dan veteran cacat untuk berlomba maraton. Paterson berhasil menyelesaikan lomba maraton Kota New York tahun 1999.

Selera humor

Karier politik Paterson dimulai tahun 1985 saat dia bergabung dengan tim kampanye David Dinkins untuk jabatan Presiden Manhattan Borough. Pada Oktober tahun yang sama, Paterson memenangi ”kursi panas” dalam pemilu senat khusus di distrik ke-30 setelah senator sebelumnya, Leon Bogues, meninggal. Dia membawahkan Distrik Harlem, Manhattan Valley, dan Upper West Side, distrik yang pernah diwakili ayahnya, Basil Paterson.

Tahun 2002, Paterson terpilih sebagai Ketua Minoritas Senat melalui Konvensi Nasional Partai Demokrat. Pemilihan itu membuat Paterson menjadi orang nonkulit putih pertama yang menjabat pemimpin legislatif di negara bagian sekaligus jabatan tertinggi yang pernah diduduki seorang Afrika-Amerika di New York. Dia dikenal karena gayanya yang mengutamakan pencapaian konsensus dan keterampilan politik yang tajam.

Paterson mengejutkan banyak pihak saat menerima ”pinangan” Spitzer untuk menjadi wakilnya pada pemilu gubernur New York tahun 2006. Sebelumnya, dia digadang-gadang sebagai pemimpin mayoritas Senat saat Partai Demokrat diperkirakan bakal mengambil alih parlemen negara bagian. Bahkan, nama Paterson disebut-sebut sebagai pengganti Senator Hillary Rodham Clinton jika berhasil memenangi nomine Partai Demokrat atau pemilu presiden AS.

Pasangan Spitzer-Paterson meraih kemenangan mutlak dengan 69 persen suara, tertinggi dalam sejarah pemilihan Gubernur New York. Paterson memiliki pribadi yang kontras dengan Spitzer, dan beberapa kali mereka terlibat perdebatan sengit dalam pengambilan keputusan.

”Dia (Paterson) memiliki selera humor. Dia adalah kebalikan Eliot,” kata Betsy Gotbaum, anggota ombudsman kota New York kepada The New York Times. Dengan latar belakang keanggotaan di Senat, Paterson diperkirakan bisa menjalin hubungan yang lebih lunak dengan anggota legislatif New York dibandingkan dengan Spitzer.

Bahkan, anggota legislatif New York kubu Partai Republik menghormati Paterson. ”Saya kira tak ada isu yang saya sepakati dengan David Paterson, tetapi dia adalah orang yang paling terhormat yang pernah saya kenal,” ujar Peter King, wakil Long Island. Paterson juga menjalin hubungan baik dengan ketua mayoritas di Senat, Joseph Bruno, yang sementara akan mengisi jabatan Wakil Gubernur New York.

Progresif

Tumbuh dalam lingkungan keluarga politisi besar di New York, Paterson seperti dipersiapkan untuk menjadi pemimpin progresif yang berpengalaman dan berkemampuan. Dia memiliki riwayat kuat dalam posisinya membela hak-hak rakyat sipil, terutama hak kaum gay. Dia juga pernah mengajukan rancangan undang-undang tentang inisiatif penelitian stem cell senilai 1 miliar dollar AS yang hingga kini masih kontroversial.

Sebagai pembela hak-hak sipil, Paterson, ayahnya, bersama mantan Presiden Manhattan Borough Percy Sutton, dan 55 aktivis lainnya pernah ditahan oleh Kepolisian New York tahun 1999 dengan tuduhan perilaku menyimpang. Mereka ambil bagian dalam protes menyusul tewasnya seorang imigran asal Afrika, Amadou Diallo, yang ditembak empat polisi kulit putih.

Tahun 2006, dia mengajukan rancangan undang-undang untuk membatasi penggunaan kekuatan mematikan oleh polisi. Dia juga mendukung hak memilih bagi bukan penduduk New York dalam pemilu lokal. Oleh New York Post, Paterson dikatakan ”menorehkan catatan sangat liberal”.

Pada hari pertamanya sebagai gubernur, Paterson sudah dihadapkan pada tugas mengajukan anggaran selambat-lambatnya 1 April. Dia hanya memiliki waktu dua pekan untuk berunding dengan para pengambil keputusan untuk menutup defisit sebesar 4,7 miliar dollar AS dan meloloskan anggaran sebesar 124 miliar dollar AS peninggalan pemerintahan Spitzer. Terkait kesulitan ekonomi yang kini melanda rakyat AS, Paterson mengatakan akan menyesuaikan anggaran dengan hati-hati.

Dengan dilantiknya Paterson, Newsday menuliskan, ”banyak kelompok yang memperjuangkan pemerintahan yang baik berharap upaya membersihkan Albany terus berjalan”.

Paterson tinggal di Harlem bersama keluarganya. Istrinya, Michelle Paige Paterson, adalah pejabat pelayanan kesehatan yang dinikahinya tahun 1992. Paterson memiliki dua anak, Ashley (19), putri Michelle dari pernikahan sebelumnya, dan Alex (13), putra mereka ber- dua yang bersekolah di New York. (Fransisca Romana Ninik)

Senin, 17 Maret 2008

"Surga" Yon Koeswoyo


Budi Suwarna

Siapa tak kenal Yon Koeswoyo. Pemilik nama asli Koesyono Koeswoyo inilah vokalis utama Koes Plus, grup musik tahun 1970-an yang melegenda di Indonesia dan lagunya masih dinyanyikan orang di mana-mana. Kini Yon berusia 68 tahun. Sebagian masa tuanya dia habiskan dengan ”ngamen” dan memotong rumput.

Yon tinggal di sebuah perkampungan di Pamulang, Tangerang, Banten. Jalan masuk ke rumahnya berlubang-lubang dan becek. Rumahnya tidak besar dan mewah untuk ukuran penyanyi yang namanya melegenda. Namun, halamannya luas, yakni sekitar 2.500 meter persegi.

Di halaman itu Yon menanam berbagai jenis pohon, seperti durian, ketapang jati, mangga, rambutan, dan palem. ”Semua saya tanam sendiri. Rumput di halaman ini juga saya beli dan tanam sendiri,” ujarnya sambil menunjuk hamparan rumput hijau yang terpelihara baik.

Yon mengatakan, semua tanamannya dia rawat dengan tangannya sendiri. Setiap tiga atau empat hari sekali dia memotong rumput, menyapu halaman, dan memangkas batang-batang pohon yang tidak beraturan. Dengan kegiatan itu, Yon merasa sehat lahir batin.

”Setiap kali manggung saya teriak kepada penonton, ’Saya ini sudah berumur 68 tahun. Tapi, lihat saya masih sehat kan’,” katanya sambil berdiri dan mengangkat kedua tangan, berpose seperti binaraga.

Yon menambahkan, kegiatan memotong rumput dan menyapu halaman membuatnya tenang. ”Saya memotong rumput untuk melupakan segala penderitaan,” ujar Yon ketika melayani wawancara pada Kamis (13/3) pagi yang cerah.

”Kalau lagi susah (tidak punya duit), saya berpikir bahwa daun-daun yang saya pungut dari halaman adalah duit yang bertebaran. Ternyata beberapa hari kemudian saya benar-benar dapat order dan uang, ha-ha...,” kata Yon tertawa keras.

Karena rumah itu memberikannya kedamaian dan membuatnya bisa melupakan penderitaan, Yon menganggap rumahnya ”surga”. ”Meski jelek, ini surgaku,” tambahnya.

Pedesaan

Rumah yang dibangun tahun 1990 itu dia beli dari jerih payahnya bermusik selama bertahun-tahun. Di rumah ini dia tinggal bersama istrinya, Bonita Angelia, dan dua dari empat anaknya, yakni Bela Aron (12) dan Kenas Berton (6). Selain itu, ada Agus (sopir) dan Ika (pembantu rumah tangga).

Yon menyebut rumahnya berkonsep rumah pedesaan. ”Tapi yo embuh, kok malah berantakan, ha-ha-ha,” ujar Yon sambil tertawa.

Rumah itu terdiri dari tiga bangunan terpisah. Yon dan keluarga tinggal di bangunan utama. Di sampingnya ada sebuah bangunan terpisah yang difungsikan sebagai ruang tamu. Di seberang bangunan utama ada sebuah galeri tempat Yon menyimpan puluhan lukisan karyanya. Dia juga biasa bermain gitar di sana.

Semua bangunan yang ada memiliki ciri hampir serupa, yakni dibangun dengan batako dan bata merah yang dibiarkan polos tanpa plesteran. Semua bangunan juga memiliki jendela-jendela besar sehingga kita bisa melongok langsung ke halaman luas, asri, dan hijau.

Tidak ada yang tampak mewah dan berlebihan dari setiap sudut rumah Yon dan keluarga. Pintu kamar mandi di ruang keluarga bahkan hanya terbuat dari plastik PVC yang banyak dijual di toko material. Di ruangan itu ada beberapa perabot yang biasa-biasa saja: seperangkat sofa, meja, televisi, dan kulkas. Hiasannya beberapa foto keluarga.

Di ruang galeri yang memuat 50-an lukisan Yon hanya ada sebuah sofa, meja, dan dua gitar. Di dinding tidak ada hiasan, kecuali beberapa lembar piagam dan foto-foto tua Yon bersama personel Koes Plus.

Di ruang tamu hanya ada sebuah sofa yang sudah kusam, tumpukan bingkai foto, dan sebuah piano. Tidak ada hiasan mewah seperti lampu kristal atau guci-guci mahal. Di ruang ini Yon biasa bernyanyi dan main piano. Pagi itu dia memainkan beberapa lagu Koes Plus, seperti Telaga Sunyi, Manis dan Sayang, serta Hidup yang Sepi. Dia juga memainkan beberapa lagu Beatles untuk kami.

Suaranya masih jernih dan khas, sama seperti Yon yang dulu. Tak terasa kami mengenang kembali kejayaan Koes Plus dan mengingat lagu-lagunya yang abadi, seperti Bujangan, Cubit-cubitan, Pelangi, Kapan-kapan, Bunga di Tepi Jalan, Terlambat, dan masih banyak lagi. Ketika diingatkan bahwa lagu-lagu Koes Plus masih digemari bahkan oleh anak-anak muda yang lahir tahun 1980-an, dengan mimik tidak percaya, Yon berkata, ”Opo iyo?”

Kami juga mengingatkan bahwa banyak anak muda yang membuat komunitas penggemar lagu Koes Plus. ”Jadi, kalau begitu, Koes Plus masih terkenal sampai sekarang,” ujarnya setengah tak percaya.

Di antara anggota Koes Plus yang lain, bisa dikatakan hanya Yon yang masih aktif bernyanyi. Pengiringnya bukan lagi Tonny Koeswoyo (almarhum), Yok Koeswoyo, Nomo Koeswoyo, atau Muri, melainkan Danang, Sony, dan Seno. Mereka, kata Yon, adalah anak-anak muda usia 20-an dan 30-an yang sangat piawai memainkan lagu-lagu Koes Plus. ”Mungkin mereka main lebih bagus dari kami dulu,” kata Yon, yang mengaku bertemu dengan mereka secara tidak sengaja di sebuah studio.

Hingga sekarang Yon masih mendapat tawaran manggung di mana-mana. Rabu lalu dia baru pulang manggung dari Samarinda, Kalimantan Timur. ”Sabtu (15/3) saya akan berangkat ke Blora (Jatim) untuk manggung,” kata Yon.

Yon mengaku dalam satu bulan dia setidaknya manggung di tiga atau empat tempat. ”Yah, kami sekarang hidup dari ngamen sebab kami tidak dapat royalti seperti artis-artis sekarang. Kalau tidak ngamen, ya tidak hidup,” kata Yon.

Begitulah kehidupan Yon sekarang. Nama dan karya-karya besar, tetapi zaman yang glamor dan instan sekarang meninggalkannya.

Buffett, Kaya karena Sabar dan Telaten


GETTY IMAGES/DAVID SILVERMAN / Kompas Images
Warren Buffett
Senin, 17 Maret 2008 | 00:42 WIB

JOICE TAURIS SANTI

Majalah Forbes menobatkan investor kawakan Wall Street, Warren Buffett, menjadi orang terkaya di jagat ini, menggantikan posisi Bill Gates yang sudah 13 tahun terakhir mendominasi daftar orang terkaya. Gates kini ada di posisi ketiga dengan kekayaan 58 miliar dollar AS. Posisi kedua ditempati jutawan telekomunikasi dari Meksiko, Carlos Slim HelĂș, yang memiliki 60 miliar dollar AS.

Kekayaan Buffett tahun 2007 naik dari 52 miliar dollar AS menjadi 62 miliar dollar AS, setara dengan Rp 570 triliun. Kekayaan Buffett, yang sering disebut ”Oracle from Omaha” ini, dihitung berdasarkan nilai sahamnya di perusahaan Berkshire Hathaway dan aset lain yang dia miliki.

Saham kelas A Berkshire naik 25 persen selama periode Juli 2006-Februari 2008. Harga saham itu sempat mencapai 150.000 dollar per lembar. Buffett membeli saham Berkshire 46 tahun lalu seharga 8 dollar per lembar, pada saat perusahaan itu merupakan perusahaan tekstil.

Kekayaannya tak datang dalam satu-dua tahun. Sejak muda Buffett memutar otak untuk mencari uang dan mengembangkan aset. Kemampuan finansialnya terasah sejak muda, pada saat anak seusianya senang bermain sepak bola.

Langkahnya dalam berinvestasi selalu menjadi perhatian investor perorangan. Tahun lalu muncul rumor dalam milis investor perorangan bursa Jakarta, sang investor fundamental Warren Buffett ”berbelanja” saham di Bursa Efek Indonesia. Segera para anggota milis ramai menebak saham apa yang kira-kira diborong investor kawakan ini. Tak hanya itu, di toko-toko buku tidak sedikit buku panduan investasi yang mengupas cara-cara sukses berinvestasi ala Buffett.

Dia bukan investor ”ji-go-bur”, investor yang mendapat kentungan ala jigo-gocap, beli saham pada harga Rp 25 lalu kabur saat harga Rp 50. Ia tak mengambil untung dari aksi beli saham pagi hari, lalu menjualnya pada sore hari.

Investasinya didasarkan pada nilai intrinsik perusahaan, bukan pada kenaikan harga saham yang didongkrak alias ”digoreng”. Dia memegang saham dalam jangka panjang dan tak melakukan perdagangan saham dalam tempo singkat.

Ada satu hal yang dilakukan Buffett dan banyak orang tak tahu. Saat membeli saham perusahaan, hal yang dia lihat adalah apakah cerobong asap perusahaan masih mengepul. Ini adalah salah satu indikator baginya, perusahaan itu benar-benar eksis dan operasional.

Sabar

Anak kedua dari tiga bersaudara ini pada usia enam tahun membeli enam Coca-Cola dari toko kakeknya seharga 24 sen. Dia menjual kembali kaleng-kaleng bekas minuman itu dengan harga nikel dan mendapatkan untung sebesar 5 sen.

Pada usia 11 tahun, Buffett membeli tiga unit saham Cities Service Preferred seharga 38 dollar per saham untuk dia dan kakaknya, Doris. Tak lama setelah dia membeli saham itu, harganya melorot menjadi 27 dollar per saham. Dengan sabar Buffett menunggu hingga harga saham naik menjadi 40 dollar, lalu menjualnya.

Buffett menyesal karena akhirnya saham Cities Service Preferred menjadi 200 dollar per saham. Peristiwa ini membawa pesan penting bagi dia dalam berinvestasi: bersabarlah!

Tak lama setelah membeli saham Berkshire tahun 1962, dia lalu menjadi pemegang saham pengendali pada 1965. Dia lalu membeli perusahaan asuransi dan dengan cerdik menginvestasikan cadangan kas perusahaan itu.

Kemudian, Berkshire menginvestasikan uangnya pada perusahaan asuransi seperti GEICO dan General Re, perhiasan Borsheim, perusahaan makanan Diary Queen, dan perusahaan permen See’s Candies. Perusahaan itu juga menjadi pemegang saham bukan pengendali pada Anheuser-Busch, Coca-Cola, dan Wells Fargo.

Strategi investasinya sederhana. Dia tak dipusingkan oleh rumor yang setiap hari berseliweran di kalangan para investor saham. Buffett fokus pada perusahaan dengan saham berharga murah, tetapi punya kesempatan berkembang.

Buffett hanya mau berinvestasi pada saham-saham perusahaan yang bisnisnya dia kenal dengan baik. Ia memiliki saham Coca-Cola dan tak pernah menjualnya. Pada saat bisnis internet meledak, semua orang di pasar saham seakan terlanda eforia dan beramai-ramai membeli saham-saham dotcom. Ia tak tergoda. Saham perusahaan berbasis internet seperti Global Crossing dan Etoys.com pernah seharga 80 dollar per unit, tetapi kini saham-saham tersebut tak berharga. Dia tidak pernah membeli saham perusahaan dotcom. Tentu penilaian Buffett tidak pas untuk saham Google.

Lepas dari itu, saat membeli saham, Buffett tak pusing dengan tabel, rumus, grafis, dan analisis teknikal. Dia lebih menganalisis secara fundamental perusahaan yang hendak dibeli. Buku favoritnya adalah The Intelligent Investor karya Ben Graham, gurunya. Graham menulis, berinvestasi adalah mengenai kemampuan untuk memahami gambaran besar, bukan terpaku pada detail-detail teknis.

Akan tetapi, strategi Buffett berlandaskan kesabaran dan ketelatenan itu hanya bisa diterapkan di negara dengan bursa yang memiliki sistem kuat. Artinya, dalam bursa itu pengawas harus kuat dan emiten (perusahaan penerbit saham) mesti jujur. Masalahnya, ada juga bursa di dunia yang berisi perusahaan tak kredibel dan pengawas bursa yang bisa disuap.

Sederhana dan murah hati

Buffett tetap sederhana dan tinggal di kawasan Dundee, Omaha, yang dia beli tahun 1958. Ia bersahabat baik dengan pasangan Bill dan Melinda Gates.

Buffett memberikan 10 juta saham Berkshire untuk Yayasan Bill & Melinda Gates senilai 30,7 miliar dollar. Jumlah itu merupakan sumbangan terbesar sepanjang sejarah.

Dia juga menyumbangkan saham Berkshire senilai 6,7 miliar kepada Yayasan Susan Thompson Buffett. Orang kaya ini juga merupakan penyumbang untuk calon presiden Hillary Clinton ataupun Barack Obama.

Kehidupan rumah tangganya agak membingungkan. Istrinya, Susan, yang dinikahi tahun 1952, meninggalkan dia pada 1977, pindah ke San Francisco. Tetapi, secara hukum mereka tidak pernah bercerai hingga Susan meninggal pada 2004. Hubungan keduanya tetap baik walaupun tidak tinggal satu atap.

Susan, penyanyi kabaret, pun masih sering mendampingi Buffett. Susan pula yang memperkenalkan Buffett kepada Astrid Menks, pelayan restoran di sebuah kafe di Omaha. Satu tahun setelah Susan meninggalkan Buffett, Astrid hidup bersama Buffett atas restu Susan.

Dalam banyak kesempatan, mereka bertiga tampil bersama. Dua tahun setelah Susan meninggal, barulah Buffett secara resmi meminang Astrid sebagai istrinya. (Forbes/Berkshire)

'Persaingan itu Justru Menguntungkan Konsumen'

Berbicara dengan 'orang buku' memang terasa berbeda. Waktu seolah berjalan lebih cepat seiring menariknya obrolan. Banyak hal bernas juga terkuak dalam obrolan.

Itu pula yang terasa saat Republika berbincang dengan Putut Widjanarko, vice president operation Mizan Publika. Ayah tiga putera ini bercerita tentang pengalamannya bergelut dan membesarkan Mizan, serta alasan yang membuatnya tetap merasa harus berkiprah di salah satu penerbit terbesar di Indonesia tersebut. Berikut petikan wawancara Rima Ria Lestari dan pewarta foto Nurhayati dengan Putut.

Sejak kapan Anda bergerak di bidang penerbitan buku?
Sejak saya bergabung dengan Mizan. Waktu itu Mizan sudah berkiprah 10 tahun, tahun 1993. Saya diajak bergabung menjadi GM produksi. Saya bertanggung jawab pada produksi buku, baik isi maupun pencetakannya. Sebelumnya saya bekerja di Survei Riset Indonesia (SRI) di market research, yang sekarang menjadi AC Nielsen Indonesia selama dua tahun.

Mengapa Anda meninggalkan SRI dan lebih memilih Mizan?
Begini, banyak orang tumbuh bersama Mizan. Mizan bisa dianggap penerbit paling berpengaruh di era 1980-an, yang memberikan semacam agenda bagi kaum muda Muslim saat itu, serta umat Islam tentang apa-apa yang perlu didiskusikan. Mizan mengemasnya dalam buku yang merupakan wilayah intelektual. Sebagai aktivis kampus, saya melihat tahun 1980-an itu tahun di mana dinamika kampus luar biasa ramai. Mereka (penerbit) mendapat momentum adanya aktivitas dari kaum muda kampus.

Itu pula yang membuat sebagian penerbit menyediakan bacaan yang relatif agak berbeda dari yang ada sebelumnya. Diantaranya Mizan, yang saat itu menjadi penerbit utama dan Insya Allah sampai sekarang. Jadi memang itu awal ketertarikan saya.

Kalau dengan dunia buku, sejak kapan Anda mulai tertarik?
Begini, walaupun saya bersekolah di Teknik Fisika ITB, tapi sudah lama saya tidak berminat untuk bergerak di bidang industri. Saya lebih aktif di Masjid Salman ITB, ketimbang kuliah. Saya menghabiskan waktu di Salman Komunikasi Aspirasi Umat (SKAU), dan itu praktis memakan waktu. Saya merasa di sanalah saya membentuk pengalaman intelektual saya. Saya merasa tidak akan cocok untuk terjun ke pabrik. Saya lebih cocok di bidang sosial. Saya bercanda dengan teman-teman kalau saya sekolah di Salman dan ekstrakurikulernya di Teknik Fisika ITB. Ha ha ha...(Putut tertawa).

Waktu saya menjadi mahasiswa, saya aktif di media Salman. Di situ kita membahas berbagai macam hal seputar Islam, modernitas, kerusakan lingkungan. Seperti itulah. Itu membuat saya enak bergabung dengan Mizan. Pasalnya, itu juga yang menjadi perhatian Mizan. Semacam pucuk dicinta ulam tiba juga, bahwa ternyata saya kemudian diajak bergabung dengan Mizan meski SRI memberi saya lebih banyak pemahaman mengenai market, konsumen, promosi.

Sampai sekarang saya kerasan di sini. Mizan adalah tempat mengamalkan ilmu, mendapatkan pahala, sekaligus mendapat penghidupan. Sampai saat ini saya pikir Mizan tempat paling tepat untuk saya.

Anda menduduki posisi yang bertolak belakang, dari penikmat buku menjadi penerbit buku. Apakah ada hambatannya?
Saya tidak merasakan hambatan. Praktis saya bisa bergaul dengan teman-teman, berinteraksi, kemudian ikut serta dalam mengambil keputusan penting. Saya tidak merasakan hambatan bekerja di Mizan, bahkan dari awal.

Mizan selalu tumbuh dengan baik. Tahun lalu kita naik 60 persen lebih, mungkin sampai 70 persen. Waktu krisis kita memang kurang tumbuh, tapi itu dialami semua orang. Saat krisis ekonomi, kita tidak mengalami penurunan sales, hanya pengurangan profit karena naiknya ongkos produksi. Itu yang terjadi. Selama ini Mizan selalu berkembang memberikan penawaran baru untuk melayani konsumen.

Kalau dulu saya hanya menikmati buku, sekarang menjadi produsen. Itu menjadi tantangan tersendiri. Kita harus bisa memahami konsumen dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka. Bukan tidak mungkin kesenangan saya membaca buku itu justru menjadikan saya lebih peka memenuhi kebutuhan. Itu menjadi bekal saya karena suka membaca produk Mizan dan penerbit lain.

Saat ini muncul penerbit-penerbit baru yang mendompleng nama Mizan. Bagaimana Mizan menghadapi persaingan yang semakin ketat?
Dari dulu begitu. Ada yang datang, lalu menghilang. Datang yang lain dan menerbitkan buku bagus, lalu hilang. Itu fenomena. Namanya bisnis, ada yang berkembang, ada juga yang mengikuti. Itu sudah biasa.

Malah makin bagus buat Mizan. Begini, persaingan sehat itu sangat bagus karena kita bersaing. Artinya, kita harus menampilkan sebaik mungkin untuk konsumen. Jadi yang untung konsumen. Dan yang diuntungkan dari persaingan yang sehat itu adalah entitas bisnis yang siap kualitas, konsistensi kualitas, kemampuan komunikasi yang baik, produksi yang lebih baik.

Mizan bisa melakukan itu. Artinya, kalau kita sendirian atau mendominasi, mungkin kita tidak bisa menghasilkan produk yang bagus karena tidak ada pembandingnya. Tapi kalau ada penerbit yang memproduksi buku bagus, kita jadi berpikir, bagaimana supaya bisa lebih bagus lagi. Layanan apa yang bisa diberikan kepada konsumen yang tidak diberikan pihak lain supaya lebih bagus? Mizan selalu bilang, kita siap untuk bersaing.

Persaingan yang baik juga akan menurunkan ''ongkos produksi'' karena membuat orang aware adanya persaingan. Sebagai contoh, Coca Cola dan Pepsi Cola bersaing mengeluarkan produk dan iklan baru. Akhirnya mereka membuat program yang dilihat masyarakat. Kalau sendirian, mungkin harga iklannya luar biasa besar untuk meraih awarness publik. Tapi karena dua pihak, jadinya lebih murah. Sangat menguntungkan untuk industri.

Nah, yang mengambil keuntungan dari persaingan yang sehat adalah institusi yang siap. Mizan merasa siap untuk itu. Meski banyak yang bermunculan dan menerbitkan buku bagus, itu membuat kita lebih bagus. Itu filosofi kita dalam memandang kompetisi. Semakin banyak kompetitor, semakin bagus buat Mizan.

Mizan memiliki banyak anak usaha. Apakah ini dalam tujuan untuk menjadi raksasa media?
Kalau nanti jadi raksasa, Alhamdulillaah ha ha ha (Putut kembali tertawa). Penerbitan Mizan Pustaka memang punya beberapa tren. Kaifa, yang mengutamakan buku pengembangan diri, bisnis, dan Qanita mengenai sastra.

Untuk anak-anak ada Mizan DAR. Hikmah menerbitkan buku-buku best seller, seperti Rahasia Bisnis Cina, Rahasia Shalat Tahajud. Kemudian di Yogyakarta kita punya Bentang yang sukses dengan Laskar Pelangi. Ada juga penerbit khusus buku-buku lux yang dijual secara direct selling. Terakhir kami menerbitkan ILMA, I Love My Alquran untuk anak-anak, yang dijual sekitar Rp 2 juta. Kami juga punya usaha distribusi Dian Semesta, toko buku MP Bookpoint yang bersifat komunitas. Yang mau dikembangkan adalah Mizan New Media.

Tahun ini kami akan melakukan peluncurannya dalam rangka era konvergensi media (baca selengkapnya di Republika, edisi Ahad (17/2)). Kami juga tahun ini akan membuat film Laskar Pelangi, bekerja sama dengan Miles Production, dengan Riri Riza sebagai sutradara. Peluncurannya pada liburan Lebaran, karena untuk film, peak-nya saat liburan.

Kami belum menjadi raksasa. Kan belum punya koran (tertawa). Kita ingin memberi layanan sebanyak mungkin kepada khalayak Indonesia karena Mizan sudah merumuskan diri sebagai perusahaan yang bergerak di bidang informasi. Kemampuan inti Mizan dalam pengemasan informasi. Medianya bisa apa saja. Mulai dari film, talkshow di televisi, phonovella (membaca novel melalui telepon seluler). Walaupun tentu, inti bisnis kita tetap penerbitan buku.

Tahun ini menjadi babak baru Mizan menuju era konvergensi media. Bagaimana perkembangannya?
Perkembangan new media, baik. Begini, ini masih awal dan sudah ada pembelian lewat phonovella, e-book, juga lewat talking book.

Ini proyek rintisan, meski saya punya keyakinan waktunya akan tiba, di mana kita menerima content dalam berbagai media. Itulah makanya, kita menghadapi era konvergensi media. Tidak bisa dibayangkan, ke depan kita bisa memiliki alat yang bisa apa saja. Tapi bagaimana content info-info dari koran, lagu-lagu, bisa compatible dengan beragam jenis gadget, alat. Isi yang berjalan, bukan hanya alat. Menurut saya, usaha bisnis yang bergerak di bidang content menjadi penting. Entah itu penerbit buku, koran, karena bukan koran yang dijual tapi informasinya.

Anda melihat penerbit lain juga melakukan hal yang sama?
Saya kira sudah banyak yang memikirkannya. Bagi Mizan, kita siap sesegera mungkin untuk segala sesuatu yang akan terjadi. Sebenarnya kita bersiap sudah lama. Tahun 2001 kita punya e-book, tahun 2006 kita meluncurkan website yang komunikatif. Lalu kita juga menjadi penerbit yang punya unit mendirikan era konvergensi media sebagai satu kebijakan yang harus bisa direngkuh. Meski medianya macam-macam, tetapi intinya konvergensi media. Dulu punya ekuator.com, satu toko buku online. Tapi memang tidak begitu berhasil. Ini jadi pembelajaran.

Kini kita push lagi, tapi ide mengenai pengelolaan content melalui teknologi sudah lama. Buat Mizan, teknologi bukan yang asing sama sekali. Sekarang ini diformalkan jadi unit yang mengelola info konvergensi.

Berarti new media ini juga potensial ditiru penerbit lain?
Saya duga, iya. Ini wilayah yang perlu kita rengkuh. Model bisnisnya belum tahu. Masih banyak variasi dan perkembangan yang perlu kita perbaiki. Jadi tidak establish. Itu yang jadi menarik. Itulah yang membuat kita belajar. Dugaan kita, penerbit lain akan melakukan hal yang sama. Buat kita kurang fun kalau kita sendirian yang berpikir. Mungkin ada tawaran lain yang tidak kita pikirkan. Jadinya kita bisa berkembang. Akan lebih menyenangkan.

Tampaknya Anda masih memiliki banyak impian bersama Mizan. Apakah Anda tidak bercita-cita memiliki penerbit sendiri setelah lama berkecimpung di dunia penerbitan?
Insya Allah, saya tetap bertahan di sini. Saya kira Mizan tempat ideal buat saya. Kalau buat penerbitan sendiri, saya harus memikirkan hal-hal lain, dan itu membutuhkan waktu. Jadi bagi saya, inilah tempat ideal untuk berkarier dan berkarya.

Anda masih sempat menulis?
Kadang-kadang. Saya sekarang sedang menulis buku. Saya belum menulis dengan rutin. Hanya sekali-sekali. Saya kira lebih baik menampung penulis saja karena tidak ada waktu yang cukup untuk duduk. Buat saya menulis adalah proses yang melelahkan karena saya tidak bisa menulis fiksi. Saya senang menulis artikel sehingga harus ada riset.

Seperti sat saya menulis rubrik Selisik di Republika dulu. (Selama 1997-1998 Putut mengisi rubrik Selisik di Republika). Prosesnya relatif melelahkan, painful. Sama ketika bikin disertasi. Energi terkuras, terbayang-bayang terus, di samping ada pressure untuk segera selesai.

Bagaimana Anda memandang penulis Indonesia saat ini?
Sekarang ada market untuk penulis dalam negeri dalam range yang luas. Baik untuk fiksi dan non fiksi. Motivator yang andal sudah mendapatkan momentumnya di Indonesia. Orang-orang seperti Andre Wongso, Hermawan Kertajaya, mereka mendapat pasarnya. Fiksi juga. Sekarang kita tumbuh dan boleh optimistis. Ada best seller seperti Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi. Tidak seperti dulu yang mengandalkan terjemahan. Banyak talenta yang muncul dan sering out of blue. Tidak dikenal tapi meledak. Saya yakin akan terus berkembang.

Kita dikenal sebagai negerin surga barang bajakan. Tidak sedikit pula produksi Mizan yang dibajak. Bagaimana dalam pandangan Anda?
Memang buku-buku yang laku banyak yang dibajak. Tapi kalau di toko buku kecil, semacam Palasari di Bandung atau Senen di Jakarta, sebagian besar bukan bajakan. Mekanisme distribusi kita adalah memberikan diskon, katakanlah 50 persen, kepada distributor. Nah, mereka membagi diskon itu kepada konsumen. Karena mereka tidak perlu membayar karyawan yang banyak dan tempat yang seadanya, makanya jatuhnya lebih murah. Berbeda dengan di toko buku besar seperti Gramedia.

Untuk buku bajakan, kita juga tidak setuju. Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) melakukan penggerebekan dengan kepolisian, meski kemudian muncul dan muncul lagi. Ini sudah klasik karena di masyarakat berlaku,"Kalau bisa beli murah, kenapa tidak?" Kita harus melakukan sesuatu, tetapi saya rasa (pembajakan) akan berlangsung terus sampai ekonomi kita semakin bagus, penghargaan hak cipta juga bagus. Harus secepat mungkin.

Apakah buku juga harus lebih murah untuk meningkatkan minat baca?
Ini masih jadi perdebatan. Apakah benar minat baca kita kurang? Buktinya taman bacaan selalu ramai. Intinya, ketersediaan buku belum merata. Perpustakaan publik juga terlalu jauh. Kalau memang minat baca kurang, industri buku faktanya meningkat terus. Penerbit baru terus bermunculan. Makanya apa sebenarnya? Perlu riset mendalam antara minat baca dan harga murah, mana yang benar.

Buku harus lebih murah, iya. Tapi begini. Penerbit harus tumbuh untuk mengeluarkan produk baru. Mereka tidak bisa semena-mena menetapkan harga. Buku itu pasar bebas sehingga tidak mungkin menetapkan harga semahal mungkin untuk untung besar. Juga tidak ada kartel, murni market. Kerja penerbit kan begini, mencetak 5.000 eksemplar tapi hanya mengeluarkan 1.000. Lainnya untuk jaga-jaga. Kalau laku, bagus. Kalau tidak? Makanya ada program diskon besar-besaran dalam rangka mempercepat cash flow.

Begini, penduduk kita 250 juta. Katakanlah 10-15 persen berada di kelas atas yang pendapatannya tinggi. Tapi orang-orang kaya ini belum punya minat yang tinggi (untuk membeli buku). Kalau sudah berminat, industri buku sudah maju. Kalau minatnya bagus, bisa menekan harga sehingga cakupan pembeli menjadi lebih luas.

Waktu saya di Amerika, ada yang memberi data perbandingan kepada saya. Katanya, orang-orang Indonesia ini salah mengalokasikan harta. Angka alokasi untuk rokok dan narkoba di atas buku. Menurut saya, kalau habit-nya berubah ke buku, akan luar biasa.

Jadi sebenarnya kita punya potensi. Tinggal bagaimana menarik perhatian mereka yang 10-15 persen ini untuk membeli buku. Padahal secara kasar saja, mereka yang ada di kelas atas itu tentunya berpendidikan perguruan tinggi. Kalau mereka membeli satu buku satu bulan saja, sudah berapa? Tapi kenyataannya tidak begitu.

Putut Widjanarko

'Persaingan itu Justru Menguntungkan Konsumen'

Berbicara dengan 'orang buku' memang terasa berbeda. Waktu seolah berjalan lebih cepat seiring menariknya obrolan. Banyak hal bernas juga terkuak dalam obrolan.

Itu pula yang terasa saat Republika berbincang dengan Putut Widjanarko, vice president operation Mizan Publika. Ayah tiga putera ini bercerita tentang pengalamannya bergelut dan membesarkan Mizan, serta alasan yang membuatnya tetap merasa harus berkiprah di salah satu penerbit terbesar di Indonesia tersebut. Berikut petikan wawancara Rima Ria Lestari dan pewarta foto Nurhayati dengan Putut.

Sejak kapan Anda bergerak di bidang penerbitan buku?
Sejak saya bergabung dengan Mizan. Waktu itu Mizan sudah berkiprah 10 tahun, tahun 1993. Saya diajak bergabung menjadi GM produksi. Saya bertanggung jawab pada produksi buku, baik isi maupun pencetakannya. Sebelumnya saya bekerja di Survei Riset Indonesia (SRI) di market research, yang sekarang menjadi AC Nielsen Indonesia selama dua tahun.

Mengapa Anda meninggalkan SRI dan lebih memilih Mizan?
Begini, banyak orang tumbuh bersama Mizan. Mizan bisa dianggap penerbit paling berpengaruh di era 1980-an, yang memberikan semacam agenda bagi kaum muda Muslim saat itu, serta umat Islam tentang apa-apa yang perlu didiskusikan. Mizan mengemasnya dalam buku yang merupakan wilayah intelektual. Sebagai aktivis kampus, saya melihat tahun 1980-an itu tahun di mana dinamika kampus luar biasa ramai. Mereka (penerbit) mendapat momentum adanya aktivitas dari kaum muda kampus.

Itu pula yang membuat sebagian penerbit menyediakan bacaan yang relatif agak berbeda dari yang ada sebelumnya. Diantaranya Mizan, yang saat itu menjadi penerbit utama dan Insya Allah sampai sekarang. Jadi memang itu awal ketertarikan saya.

Kalau dengan dunia buku, sejak kapan Anda mulai tertarik?
Begini, walaupun saya bersekolah di Teknik Fisika ITB, tapi sudah lama saya tidak berminat untuk bergerak di bidang industri. Saya lebih aktif di Masjid Salman ITB, ketimbang kuliah. Saya menghabiskan waktu di Salman Komunikasi Aspirasi Umat (SKAU), dan itu praktis memakan waktu. Saya merasa di sanalah saya membentuk pengalaman intelektual saya. Saya merasa tidak akan cocok untuk terjun ke pabrik. Saya lebih cocok di bidang sosial. Saya bercanda dengan teman-teman kalau saya sekolah di Salman dan ekstrakurikulernya di Teknik Fisika ITB. Ha ha ha...(Putut tertawa).

Waktu saya menjadi mahasiswa, saya aktif di media Salman. Di situ kita membahas berbagai macam hal seputar Islam, modernitas, kerusakan lingkungan. Seperti itulah. Itu membuat saya enak bergabung dengan Mizan. Pasalnya, itu juga yang menjadi perhatian Mizan. Semacam pucuk dicinta ulam tiba juga, bahwa ternyata saya kemudian diajak bergabung dengan Mizan meski SRI memberi saya lebih banyak pemahaman mengenai market, konsumen, promosi.

Sampai sekarang saya kerasan di sini. Mizan adalah tempat mengamalkan ilmu, mendapatkan pahala, sekaligus mendapat penghidupan. Sampai saat ini saya pikir Mizan tempat paling tepat untuk saya.

Anda menduduki posisi yang bertolak belakang, dari penikmat buku menjadi penerbit buku. Apakah ada hambatannya?
Saya tidak merasakan hambatan. Praktis saya bisa bergaul dengan teman-teman, berinteraksi, kemudian ikut serta dalam mengambil keputusan penting. Saya tidak merasakan hambatan bekerja di Mizan, bahkan dari awal.

Mizan selalu tumbuh dengan baik. Tahun lalu kita naik 60 persen lebih, mungkin sampai 70 persen. Waktu krisis kita memang kurang tumbuh, tapi itu dialami semua orang. Saat krisis ekonomi, kita tidak mengalami penurunan sales, hanya pengurangan profit karena naiknya ongkos produksi. Itu yang terjadi. Selama ini Mizan selalu berkembang memberikan penawaran baru untuk melayani konsumen.

Kalau dulu saya hanya menikmati buku, sekarang menjadi produsen. Itu menjadi tantangan tersendiri. Kita harus bisa memahami konsumen dan mencoba memenuhi kebutuhan mereka. Bukan tidak mungkin kesenangan saya membaca buku itu justru menjadikan saya lebih peka memenuhi kebutuhan. Itu menjadi bekal saya karena suka membaca produk Mizan dan penerbit lain.

Saat ini muncul penerbit-penerbit baru yang mendompleng nama Mizan. Bagaimana Mizan menghadapi persaingan yang semakin ketat?
Dari dulu begitu. Ada yang datang, lalu menghilang. Datang yang lain dan menerbitkan buku bagus, lalu hilang. Itu fenomena. Namanya bisnis, ada yang berkembang, ada juga yang mengikuti. Itu sudah biasa.

Malah makin bagus buat Mizan. Begini, persaingan sehat itu sangat bagus karena kita bersaing. Artinya, kita harus menampilkan sebaik mungkin untuk konsumen. Jadi yang untung konsumen. Dan yang diuntungkan dari persaingan yang sehat itu adalah entitas bisnis yang siap kualitas, konsistensi kualitas, kemampuan komunikasi yang baik, produksi yang lebih baik.

Mizan bisa melakukan itu. Artinya, kalau kita sendirian atau mendominasi, mungkin kita tidak bisa menghasilkan produk yang bagus karena tidak ada pembandingnya. Tapi kalau ada penerbit yang memproduksi buku bagus, kita jadi berpikir, bagaimana supaya bisa lebih bagus lagi. Layanan apa yang bisa diberikan kepada konsumen yang tidak diberikan pihak lain supaya lebih bagus? Mizan selalu bilang, kita siap untuk bersaing.

Persaingan yang baik juga akan menurunkan ''ongkos produksi'' karena membuat orang aware adanya persaingan. Sebagai contoh, Coca Cola dan Pepsi Cola bersaing mengeluarkan produk dan iklan baru. Akhirnya mereka membuat program yang dilihat masyarakat. Kalau sendirian, mungkin harga iklannya luar biasa besar untuk meraih awarness publik. Tapi karena dua pihak, jadinya lebih murah. Sangat menguntungkan untuk industri.

Nah, yang mengambil keuntungan dari persaingan yang sehat adalah institusi yang siap. Mizan merasa siap untuk itu. Meski banyak yang bermunculan dan menerbitkan buku bagus, itu membuat kita lebih bagus. Itu filosofi kita dalam memandang kompetisi. Semakin banyak kompetitor, semakin bagus buat Mizan.

Mizan memiliki banyak anak usaha. Apakah ini dalam tujuan untuk menjadi raksasa media?
Kalau nanti jadi raksasa, Alhamdulillaah ha ha ha (Putut kembali tertawa). Penerbitan Mizan Pustaka memang punya beberapa tren. Kaifa, yang mengutamakan buku pengembangan diri, bisnis, dan Qanita mengenai sastra.

Untuk anak-anak ada Mizan DAR. Hikmah menerbitkan buku-buku best seller, seperti Rahasia Bisnis Cina, Rahasia Shalat Tahajud. Kemudian di Yogyakarta kita punya Bentang yang sukses dengan Laskar Pelangi. Ada juga penerbit khusus buku-buku lux yang dijual secara direct selling. Terakhir kami menerbitkan ILMA, I Love My Alquran untuk anak-anak, yang dijual sekitar Rp 2 juta. Kami juga punya usaha distribusi Dian Semesta, toko buku MP Bookpoint yang bersifat komunitas. Yang mau dikembangkan adalah Mizan New Media.

Tahun ini kami akan melakukan peluncurannya dalam rangka era konvergensi media (baca selengkapnya di Republika, edisi Ahad (17/2)). Kami juga tahun ini akan membuat film Laskar Pelangi, bekerja sama dengan Miles Production, dengan Riri Riza sebagai sutradara. Peluncurannya pada liburan Lebaran, karena untuk film, peak-nya saat liburan.

Kami belum menjadi raksasa. Kan belum punya koran (tertawa). Kita ingin memberi layanan sebanyak mungkin kepada khalayak Indonesia karena Mizan sudah merumuskan diri sebagai perusahaan yang bergerak di bidang informasi. Kemampuan inti Mizan dalam pengemasan informasi. Medianya bisa apa saja. Mulai dari film, talkshow di televisi, phonovella (membaca novel melalui telepon seluler). Walaupun tentu, inti bisnis kita tetap penerbitan buku.

Tahun ini menjadi babak baru Mizan menuju era konvergensi media. Bagaimana perkembangannya?
Perkembangan new media, baik. Begini, ini masih awal dan sudah ada pembelian lewat phonovella, e-book, juga lewat talking book.

Ini proyek rintisan, meski saya punya keyakinan waktunya akan tiba, di mana kita menerima content dalam berbagai media. Itulah makanya, kita menghadapi era konvergensi media. Tidak bisa dibayangkan, ke depan kita bisa memiliki alat yang bisa apa saja. Tapi bagaimana content info-info dari koran, lagu-lagu, bisa compatible dengan beragam jenis gadget, alat. Isi yang berjalan, bukan hanya alat. Menurut saya, usaha bisnis yang bergerak di bidang content menjadi penting. Entah itu penerbit buku, koran, karena bukan koran yang dijual tapi informasinya.

Anda melihat penerbit lain juga melakukan hal yang sama?
Saya kira sudah banyak yang memikirkannya. Bagi Mizan, kita siap sesegera mungkin untuk segala sesuatu yang akan terjadi. Sebenarnya kita bersiap sudah lama. Tahun 2001 kita punya e-book, tahun 2006 kita meluncurkan website yang komunikatif. Lalu kita juga menjadi penerbit yang punya unit mendirikan era konvergensi media sebagai satu kebijakan yang harus bisa direngkuh. Meski medianya macam-macam, tetapi intinya konvergensi media. Dulu punya ekuator.com, satu toko buku online. Tapi memang tidak begitu berhasil. Ini jadi pembelajaran.

Kini kita push lagi, tapi ide mengenai pengelolaan content melalui teknologi sudah lama. Buat Mizan, teknologi bukan yang asing sama sekali. Sekarang ini diformalkan jadi unit yang mengelola info konvergensi.

Berarti new media ini juga potensial ditiru penerbit lain?
Saya duga, iya. Ini wilayah yang perlu kita rengkuh. Model bisnisnya belum tahu. Masih banyak variasi dan perkembangan yang perlu kita perbaiki. Jadi tidak establish. Itu yang jadi menarik. Itulah yang membuat kita belajar. Dugaan kita, penerbit lain akan melakukan hal yang sama. Buat kita kurang fun kalau kita sendirian yang berpikir. Mungkin ada tawaran lain yang tidak kita pikirkan. Jadinya kita bisa berkembang. Akan lebih menyenangkan.

Tampaknya Anda masih memiliki banyak impian bersama Mizan. Apakah Anda tidak bercita-cita memiliki penerbit sendiri setelah lama berkecimpung di dunia penerbitan?
Insya Allah, saya tetap bertahan di sini. Saya kira Mizan tempat ideal buat saya. Kalau buat penerbitan sendiri, saya harus memikirkan hal-hal lain, dan itu membutuhkan waktu. Jadi bagi saya, inilah tempat ideal untuk berkarier dan berkarya.

Anda masih sempat menulis?
Kadang-kadang. Saya sekarang sedang menulis buku. Saya belum menulis dengan rutin. Hanya sekali-sekali. Saya kira lebih baik menampung penulis saja karena tidak ada waktu yang cukup untuk duduk. Buat saya menulis adalah proses yang melelahkan karena saya tidak bisa menulis fiksi. Saya senang menulis artikel sehingga harus ada riset.

Seperti sat saya menulis rubrik Selisik di Republika dulu. (Selama 1997-1998 Putut mengisi rubrik Selisik di Republika). Prosesnya relatif melelahkan, painful. Sama ketika bikin disertasi. Energi terkuras, terbayang-bayang terus, di samping ada pressure untuk segera selesai.

Bagaimana Anda memandang penulis Indonesia saat ini?
Sekarang ada market untuk penulis dalam negeri dalam range yang luas. Baik untuk fiksi dan non fiksi. Motivator yang andal sudah mendapatkan momentumnya di Indonesia. Orang-orang seperti Andre Wongso, Hermawan Kertajaya, mereka mendapat pasarnya. Fiksi juga. Sekarang kita tumbuh dan boleh optimistis. Ada best seller seperti Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi. Tidak seperti dulu yang mengandalkan terjemahan. Banyak talenta yang muncul dan sering out of blue. Tidak dikenal tapi meledak. Saya yakin akan terus berkembang.

Kita dikenal sebagai negerin surga barang bajakan. Tidak sedikit pula produksi Mizan yang dibajak. Bagaimana dalam pandangan Anda?
Memang buku-buku yang laku banyak yang dibajak. Tapi kalau di toko buku kecil, semacam Palasari di Bandung atau Senen di Jakarta, sebagian besar bukan bajakan. Mekanisme distribusi kita adalah memberikan diskon, katakanlah 50 persen, kepada distributor. Nah, mereka membagi diskon itu kepada konsumen. Karena mereka tidak perlu membayar karyawan yang banyak dan tempat yang seadanya, makanya jatuhnya lebih murah. Berbeda dengan di toko buku besar seperti Gramedia.

Untuk buku bajakan, kita juga tidak setuju. Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia) melakukan penggerebekan dengan kepolisian, meski kemudian muncul dan muncul lagi. Ini sudah klasik karena di masyarakat berlaku,"Kalau bisa beli murah, kenapa tidak?" Kita harus melakukan sesuatu, tetapi saya rasa (pembajakan) akan berlangsung terus sampai ekonomi kita semakin bagus, penghargaan hak cipta juga bagus. Harus secepat mungkin.

Apakah buku juga harus lebih murah untuk meningkatkan minat baca?
Ini masih jadi perdebatan. Apakah benar minat baca kita kurang? Buktinya taman bacaan selalu ramai. Intinya, ketersediaan buku belum merata. Perpustakaan publik juga terlalu jauh. Kalau memang minat baca kurang, industri buku faktanya meningkat terus. Penerbit baru terus bermunculan. Makanya apa sebenarnya? Perlu riset mendalam antara minat baca dan harga murah, mana yang benar.

Buku harus lebih murah, iya. Tapi begini. Penerbit harus tumbuh untuk mengeluarkan produk baru. Mereka tidak bisa semena-mena menetapkan harga. Buku itu pasar bebas sehingga tidak mungkin menetapkan harga semahal mungkin untuk untung besar. Juga tidak ada kartel, murni market. Kerja penerbit kan begini, mencetak 5.000 eksemplar tapi hanya mengeluarkan 1.000. Lainnya untuk jaga-jaga. Kalau laku, bagus. Kalau tidak? Makanya ada program diskon besar-besaran dalam rangka mempercepat cash flow.

Begini, penduduk kita 250 juta. Katakanlah 10-15 persen berada di kelas atas yang pendapatannya tinggi. Tapi orang-orang kaya ini belum punya minat yang tinggi (untuk membeli buku). Kalau sudah berminat, industri buku sudah maju. Kalau minatnya bagus, bisa menekan harga sehingga cakupan pembeli menjadi lebih luas.

Waktu saya di Amerika, ada yang memberi data perbandingan kepada saya. Katanya, orang-orang Indonesia ini salah mengalokasikan harta. Angka alokasi untuk rokok dan narkoba di atas buku. Menurut saya, kalau habit-nya berubah ke buku, akan luar biasa.

Jadi sebenarnya kita punya potensi. Tinggal bagaimana menarik perhatian mereka yang 10-15 persen ini untuk membeli buku. Padahal secara kasar saja, mereka yang ada di kelas atas itu tentunya berpendidikan perguruan tinggi. Kalau mereka membeli satu buku satu bulan saja, sudah berapa? Tapi kenyataannya tidak begitu.

Sabtu, 15 Maret 2008

Kusmayanto Kadiman


Enggan Pakai Gelar


Jumat, 14 Maret 2008 | 01:42 WIB

Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman (54) enggan mencantumkan gelar akademik pada namanya. Dia pun rajin mempromosikan hal itu kepada orang lain.

Pria yang meraih gelar doktor dari Australian National University ini berharap, tak memakai gelar akademik menjadi semacam gerakan moral untuk memotong mata rantai kecurangan atau korupsi di negeri ini.

Mantan Rektor Institut Teknologi Bandung ini prihatin dengan banyaknya kasus ijazah palsu atau sekolah palsu yang menawarkan gelar tanpa proses pendidikan.

”Katakan ’tidak’ pada gelar akademik dan ’ya’ pada kemampuan pengetahuan. Saya lebih senang dikatakan ’bapak itu pintar, omongnya seperti doktor’ ketimbang ’doktor kok omongnya kayak gitu’,” ujarnya saat membuka Kontes Kreativitas Iptek Mahasiswa Nasional di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Rabu (12/3).

Pria yang mengenakan batik biru bermotif kristal salju hasil desain sendiri itu menambahkan perlu keberanian untuk memotong mata rantai kecurangan tersebut.

”Pernah, mobil pribadi yang biasa dipakai anggota keluarga saya letaknya di garasi lebih ke dalam dibanding mobil dinas. Saya lebih suka memindahkan mobil itu, tidak meminjamkan mobil dinas saya. Karena kalau begitu, sama saja saya korupsi...,” ujarnya. (EKI)

Rabu, 12 Maret 2008

Tan Malaka



Biografi Terbesar dalam Sejarah Indonesia
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Senin, 3 Maret 2008 | 04:36 WIB

ASVI WARMAN ADAM

Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.

Buku ini merupakan kelanjutan dari disertasi Harry A Poeze mengenai Tan Malaka tahun 1976 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dua jilid. Jilid pertama berjudul Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 yang terbit tahun 1988, tetapi dilarang beredar setahun kemudian. Sepuluh tahun kemudian terbit jilid kedua berjudul Pergulatan Menuju Republik 1925-1945.

Masing-masing buku memiliki ketebalan lebih dari 400 halaman. Kalau dihitung total halaman, tulisan Poeze mengenai Tan Malaka menjadi lebih dari 3.000 halaman.

Pejuang antikolonialisme

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme ”tanpa henti selama 30 tahun” dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Tan Malaka adalah tokoh pemikir sekaligus eksekutor gagasannya. Ide-ide cemerlangnya lahir di dalam penjara atau di tengah kekejaman pendudukan Jepang. Buku Madilog, misalnya, disusun dengan membaca literatur di perpustakaan nasional Jakarta dan membandingkan dengan pengalamannya sendiri berpuluh tahun di mancanegara.

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. PARI dianggap berbahaya oleh intel Belanda dan aktivisnya diburu. Selama satu dekade PARI mengembangkan sel mereka di kota-kota penting dan di daerah seperti Cepu, Wonogiri, Kediri, Sungai Gerong, Palembang, Medan, Banjarmasin, dan Riau.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia menolak tulisan Efimova, ”Who Gave Instructions to The Indonesian Communitst Leader Musso in 1948”, yang cenderung menganggap Moeso bergerak sendiri tanpa arahan Rusia. Selama ini dikesankan bahwa itu adalah gerakan lokal yang diangkat Soekarno-Hatta sebagai peristiwa nasional agar RI mendapatkan dukungan internasional, terutama dari Amerika Serikat. Menurut Poeze, pada masa itu hierarki dalam partai komunis masih sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politbiro PKI.

Sebelum peristiwa itu meletus, Setiadjid dan Wikana diutus menemui Soemarsono. Ini berbeda dengan situasi tahun 1965, di mana manuver biro khusus PKI tidak diketahui oleh semua pucuk pimpinan partai tersebut.

Poeze juga mengulas long march orang-orang kiri pascaperistiwa Madiun yang jarang disinggung dalam sejarah Indonesia. Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.

Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, Poeze berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Senin, 10 Maret 2008

Debut Politik Harmoni Nurul Izzah


Senin, 10 Maret 2008 | 00:42 WIB

Cukup sudah mengeluh. Sekarang saatnya untuk bertindak. Begitulah tekad Nurul Izzah Anwar, putri sulung mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Tekad itu pula yang mengantar dia memenangi kursi parlemen sebagai wakil Partai Keadilan Rakyat di daerah pemilihan Lembah Pantai, Kuala Lumpur, dalam pemilu Sabtu (8/3).

Inilah debut Nurul Izzah di kancah politik Malaysia. Dia mengawali dengan kemenangan pada pemilu parlemen yang tidak disangka-sangka.

”Saya sendiri tidak mengira akan menang karena media (Malaysia) begitu gencar memberitakan kekalahan saya. Saya menunggu hingga pukul 02.15 untuk memastikan kemenangan saya,” kata Nurul di kediamannya di kawasan Bukit Segambut, Kuala Lumpur, Minggu.

Nurul menang dengan perolehan 2.895 suara, mengalahkan kandidat dari Barisan Nasional yang berkuasa, Shahrizat Abdul Jalil, yang juga Menteri Urusan Perempuan dan Keluarga.

Nurul menjadi anggota termuda parlemen Malaysia yang terpilih pada pemilu tahun ini. Usianya baru menginjak 28 tahun. Dia juga baru saja melahirkan bayi perempuan, Nur Safiyah. Namun, Nurul tidak khawatir dengan semua itu.

”Seperti yang telah saya lakukan selama kampanye dalam 13 hari terakhir. Saya berusaha membagi waktu sebaik-baiknya untuk kampanye dan untuk anak saya. Alhamdulillah, semua berjalan dengan lancar,” tutur perempuan kelahiran November 1980 ini.

Menjadi politisi seperti sekarang memang bukan keinginannya sejak kecil. Sebagai anak politisi, Nurul justru tertarik dengan hal-hal yang berhubungan dengan teknik elektronika. Dia mengantongi gelar sarjana teknik elektro dari Universiti Tenaga Malaysia. Nurul juga mendapat gelar master hubungan internasional dari Universitas John Hopkins, AS.

Baru setelah sang ayah dipecat dan dipenjarakan, dia mulai membuka mata terhadap persoalan politik dan hak asasi manusia. Dengan didampingi sang ibu, Wan Azizah Wan Ismail, dia mulai menekuni dunia ayahnya. Wan Azizah kemudian juga terjun ke dunia politik dan kembali menang tahun ini sebagai anggota parlemen di daerah pemilihan Permatang Pauh, Penang.

”Bagi saya, ayah memberikan pengaruh sangat besar. Dia seorang yang berkarisma. Berkat beliaulah kami bisa belajar memberi ruang bagi teguran dan kritik,” ujar Nurul.

Dari sang ibu, Nurul belajar untuk menjadi perempuan yang bertanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, dan negara. ”Ibu saya adalah superwoman. Dalam masa-masa sulit saya untuk membagi waktu antara menjadi ibu dan menjadi kandidat parlemen, ibu selalu mendampingi saya,” ujarnya.

”Inilah pesan saya bagi kaum muda Malaysia. Sebagai perempuan, kita tetap bisa memberikan bakti kepada masyarakat. Tetapkan pilihan dan mulailah memberikan peran kepada masyarakat,” kata Nurul.

Bukan balas dendam

Bersama sang ibu, Nurul akan memperjuangkan hak-hak warga Malaysia yang belum mereka terima. Dalam kampanyenya, Nurul mengedepankan isu kenaikan angka kriminalitas, perumahan rakyat yang tidak memadai, kesehatan rakyat kecil yang kurang mendapatkan perhatian, sistem pendidikan yang lemah, kenaikan harga barang kebutuhan sehari-hari, dan korupsi.

Nurul juga menyuarakan harmoni antaretnis dan kesetaraan yang harus dinikmati seluruh rakyat Malaysia.

”Saya akan segera bekerja dengan tim saya dan mengatur strategi untuk mengatasi semua persoalan itu. Saya mengajak semua pihak, termasuk Barisan Nasional, untuk bekerja sama. Ini bukan waktunya untuk balas dendam,” ujar Nurul, yang juga aktif sebagai anggota Forum Pemimpin Perempuan Antarbudaya yang berbasis di AS. Selangkah demi selangkah, lanjut Nurul, persoalan itu akan dibawa ke parlemen untuk diselesaikan.

Tidak mudah memang, kata Nurul. Namun, dia akan berjuang dengan dukungan para pemilihnya.

Nurul menampik pendapat bahwa dia menang untuk mengamankan kursi bagi sang ayah dan membuka jalan bagi Anwar masuk kembali ke kancah politik. Dia juga mengatakan tidak gentar di tengah orang-orang yang akan selalu membandingkan kiprahnya dengan kiprah kedua orangtuanya.

”Barangkali orang datang ke kampanye saya karena ada Anwar Ibrahim di sana. Namun, saya percaya saat mereka pulang, mereka akan mengingat dan mengenali saya. Saya memiliki cara saya sendiri,” ujarnya mantap.

Nurul semakin mantap melangkah karena dukungan sang suami, Raja Ahmad Shahrir. Suami Nurul yang bekerja sebagai konsultan menjadi teman diskusi setianya untuk menentukan langkah-langkahnya sebagai kandidat anggota parlemen.

Kini, saatnya membuktikan tekad bulat yang dibawa Nurul ke kursi parlemen. ”Izinkan saya menjadi agen perubahan bagi Anda semua. Biarkan saya membantu memberikan warisan yang lebih baik bagi anak-anak kita. Kita bisa melakukan sesuatu. Kita bisa membuat perbedaan,” kata Nurul. (Fransisca Romana Ninik, dari Malaysia)

70 Tahun Bambang Ismawan


Kesetiaanlah Satu-satunya yang Saya Miliki dan Pertahankan
Senin, 10 Maret 2008 | 00:47 WIB

Kalimat di atas terucap dari bibir Bambang Ismawan ketika memberi sambutan pada perayaan ulang tahunnya yang ke-70 di hadapan ratusan undangan, Jumat (7/3) malam.

Di antara yang hadir, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, budayawan dan rohaniwan Romo Franz Magnis Suseno, mantan Dirut Bank Rakyat Indonesia Rudjito, sosiolog Melly G Tan, dan Imam Prasodjo. Bambang Ismawan memang bukan selebriti yang dicitrakan oleh kekuatan media.

Malam itu, 41 tahun lamanya Bambang Ismawan memimpin Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bina Swadaya, LSM tertua yang mendampingi para petani dengan keterampilan teknis dan bantuan keuangan mikro. Kalau Anda tak cukup mengenal kiprahnya, lembaga itu pula yang melahirkan majalah pertanian, Trubus.

Kini, selain penerbitan, Bina Swadaya memiliki beberapa perseroan terbatas yang bergerak di bidang konsultasi, keuangan mikro, agrobisnis, percetakan, wisata alternatif, penyediaan fasilitas lokakarya, serta akomodasi pelatihan. Tepatnya, Bina Swadaya adalah lembaga kewirausahaan sosial.

Selama 40 tahun berkarya, LSM itu memiliki sekitar 1.000 karyawan, jumlah pekerja yang jauh melampaui LSM-LSM dalam negeri. Bambang, atas masukan guru besar Sosiologi Pedesaan IPB, Sajogyo, kemudian memopulerkan istilah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ketika publik masih menyebutnya organisasi nonpemerintah.

Selama kiprahnya, puluhan ribu petani di seluruh Indonesia sudah didampingi pelatihan teknis pertanian dan pengembangan usaha. Di tengah pusaran aktivitas, Bambang merupakan pengendali seluruh gerakan itu.

Berbagai peran, komitmen, dan hasil yang ditunjukkan Bina Swadaya, Bambang pun dianugerahi Social Entrepeneur of The Year 2006 dari Ernst & Young.

Kesetiaan pada organisasi dan komitmen pemberdayaan wong cilik pulalah yang membuat suami Sylvia Maria Kwee ini bertahan di tengah ”godaan” aktif di partai politik seperti pilihan teman-temannya. ”Menapaki jalan ini akan terus saya jalani sampai hayat di kandung badan,” kata Bambang.

Awal mula

Komitmen dan kesetiaan Bambang pada aktivitas kewirausahaan sosial tak lepas dari inspirasi seorang pastor Belanda, John Dijkstra SJ. Mereka berdua mendirikan Bina Swadaya. Ia pun bertekad membela orang miskin dan mengajarkan hidup sebagai petani yang sejahtera.

Selama puluhan tahun, komitmen itu pula yang ia ajarkan kepada para petani. Tak terhitung berapa kali air matanya menetes mendengar kisah perubahan nasib petani di berbagai daerah.

Pada satu penggalan tulisan dalam buku 70 Tahun Bambang Ismawan Bersama Wong Cilik (berisi kesan dari sekitar 200-an orang) dituliskan, Bambang adalah sosok sukses tanpa karier. Ia bukan selebriti, melainkan dikenal di kalangan akar rumput dan pengambil kebijakan.

Ia dilahirkan tanpa kursi yang dapat membuatnya bertakhta dalam kekuasaan. Ia orang lapangan yang selalu rapi, tetapi berkarya nyata. Bukan bagian dari mereka yang bertakhta, tetapi tak jelas karyanya. (GSA)

Minggu, 09 Maret 2008

Gito Rollies: Nu Bogana Bandung


Minggu, 2 Maret 2008 | 02:31 WIB




Remy Sylado

Gito Rollies dan saya terikat keluarga. Semacam besan. Bukan manusia dengan manusia, tapi anjing dengan anjing. Anjingnya jenis chow chow kawin dengan anjing saya jenis telomian.

Ceritanya, Agus, adik Gito yang mendirikan grup Rollies Junior, membawa anjing chow chow milik Gito itu ke rumah saya di Bandung, 1976, karena katanya, ”Gito tidak mengurusnya lagi, sebab Gito sudah pindah ke Jakarta.” Karena tidak terurus, anjing itu pun menjadi buas, mengejar ayam-ayam tetangga, membunuh dan memakannya.

Gito pindah ke Jakarta sebab kehidupan grup musik rock di Bandung—sebagai barometer musik kareseh-peseh—sejak 1975 sudah redup, semaput, tidak ada lagi pertunjukan-pertunjukan yang bisa menghasilkan uang. Kalaupun ada pertunjukan yang dimaksud, maka kegiatan itu disebut oleh anak-anak band Bandung sebagai ”operation thank you”, artinya, setelah habis pertunjukan, panitia hanya cukup mengucapkan ”terima kasih”, zonder honorarium, wassalam.

Hilangnya kegiatan gegap- gempita rock di panggung-panggung karuan membuat anak-anak band itu menelan pil pahit, tenahak, frustrasi. Akibatnya, gejala yang sudah meluas sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an adalah anak-anak band itu makin gampang tergoda untuk mencari pelepasan dan kemudian menemukan kesenangan semu lewat narkoba.

Gito termasuk salah seorang yang tidak kuasa melawan godaan itu. Di dalam grup Rollies sebetulnya bukan dia satu-satunya yang menjadi hamba barang haram itu. Sebelumnya ada Iwan, pemain drum, yang tewas mengenaskan. Ada juga Deddy Stanza, pemain bas, yang bolak-balik diberitakan ditangkap polisi lantas dikurung di bui. Di kalangan mereka, barang haram yang bisa dibeli dengan bisik-bisik di sekitar alun-alun lazim disebut bowat atau boat. Ukuran pemakaiannya antara lain dibagi dalam cekak dan mata. Sementara melakukannya sampai keadaan tubuh melayang disebut nyetun, dari kata ”stones”, nama grup rock Inggris, Rolling Stones, yang lagu-lagunya memabukkan anak- anak muda Bandung.

Untung Gito cepat menginsyafi kesalahannya di jalan itu. Begitu dia bilang pada saya di tempat latihan teater saya di gedung kesenian YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), Jalan Naripan. Katanya, ”Urang hayang cageur. Urang hayang ngiluan teater maneh.” (Saya ingin sembuh. Saya ingin ikut teatermu). Itu terjadi pada 1975, sebelum dia memutuskan harus pindah saja ke Jakarta, banting setir. Berlatih teater dipahaminya sebagai cara untuk menemukan rasa percaya diri. Kebetulan banyak pemusik dan penyanyi Bandung yang mencebur sebagai cantrik di teater saya, mulai dari Boy Worang, Harry Roesli, sampai Doel Sumbang.

Katanya, dia ingin betul-betul main dalam pertunjukan teater musikal seperti Calcutta, Hair, atau Jesus Christ Superstar yang kebetulan pernah saya garap bagian-bagiannya di gedung YPK pada 1970-an. Terangsangnya Gito untuk masuk dalam seni teater, juga sebab selama itu sebuah majalah yang terbit di Bandung sering memberi arah nilai tambah bagi grup-grup rock yang membuat pertunjukannya dengan adegan-adegan teateral. Misalnya grupnya Setiawan Djody, Trenchem di Solo yang membawa ular ke panggung dan memainkannya; Mickey Michelbach dengan grup Bentul dari Malang membawa kelinci ke atas panggung, menerkamnya, meminum darahnya; Ucok Harahap dengan grup Aka di Surabaya membawa peti mati ke atas panggung dan pura-pura mati dipaku di situ. Adegan-adegan edun-suradun itu disebut oleh majalah Bandung tadi sebagai ”stage act”, entah dari mana asalnya.

Mau Gito, dia tidak lagi sekadar ”stage act”, tapi benar-benar ”acting” di ”stage”. Dia berharap, dengan berlatih teater, pertama dia bisa sembuh dari ketagihannya pada boat, berhubung dalam teater ada disiplin yang ketat, kedua dia bisa menjadi peraga akting, yaitu aktor. Tapi saya bilang, naskah yang sedang saya latih saat dia datang ke gedung YPK tersebut adalah cerita tentang orang Cunghua yang bermata sipit dan berkulit kuning, sedang dia kribo dan berkulit gelap.

Ada cerita tersendiri tentang kribo dan kehitamannya itu, yaitu ketika Gito dan saya melewati Kebon Raja, nama taman di depan Balaikota Bandung antara Jalan Merdeka dan Jalan Wastukencana, pada malam Minggu di tahun-tahun 1970-an. Di situ, pada setiap malam dipenuhi oleh bencong-bencong. Mobil kami dihadang dan dihentikan oleh bencong-bencong itu. Salah seorang melongok, memasukkan kepala ke dalam mobil. Dan demi melihat Gito yang Afro-look itu, lantas menjerit bencong itu keganjenan, ”Aih, aih, Ambon.”

Baru pada 1985, setelah Gito benar-benar memperagakan akting sebagai aktor dalam sejumlah film: Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979), Sepasang Merpati (1980), dia datang ke rumah saya di Jakarta, bicara tentang pertunjukan teater musik, dan saya bilang naskah drama musik saya berjudul AJI (dipentaskan di Balai Sidang dengan pemain-pemain antara lain Ermy Kullit, Voony Sumlang, Diana Nasution dan putranya Rio, Nike Ardilla, serta puluhan anak SD Don Bosco Pulo Mas) ada peran yang saya buat untuknya, yaitu Raja Kribo. Sayang, karena terikat kontrak dengan sebuah film, peran itu digantikan oleh duplikat Gito, penyanyi rock asal Salatiga yang tergila-gila sekali pada Gito; dia meniru kribonya Gito, gaya bicaranya, cara ketawanya, dan petakilannya. Namanya Sali Santosa, tapi digantinya menjadi Sigit Subangun. Memang beda-beda tipis dengan Bangun Sugito nama asli Gito.

Toh ambisi Gito untuk bisa bermain teater musik masih belum padam. Katanya, ”Pokona urang can sugema lamun can ngilu main di teater maneh.” (Pokoknya saya belum puas kalau belum ikut main di teatermu). Dia merasa setengah senang ketika akhirnya pada 1990, dengan diproduseri oleh Ermy Kullit, saya bikin kabaret di Flores Room, Hotel Borobudur, dengan musik yang terdiri dari semua anggota Rollies: Benny, Jimmy, Ronny, Delly, dan menampilkan Noorca Massardi, Renny Jayusman, Connie Constantia, serta Josef Ginting yang bertugas menangani artistik panggung.

Setelah itu dia ingin kami bermain dalam sebuah film untuk mengeksplorasi apa yang disebut dalam metode akting realisme sebagai ”stage interinfluence”. Itu terjadi pada 1992 dalam film yang seluruh pembuatannya di Bali, Di Bawah Matahari Bali, diangkat dari novel dengan judul yang sama oleh Gerson Poyk, disutradarai oleh Djun Saptohadi. Di situ Gito yang lebih muda dua tahun bermain sebagai anak. Lebih aneh, yang menjadi ibunya Rina Hassim, usianya lebih muda satu tahun dari Gito. Namun, apa hendak dikata, itulah film Indonesia, soal logika adalah kentut: tidur dengan bulu mata palsu.

Di masa syuting di Bali itu belum ada tanda-tanda Gito bakal berubah, kecuali bahwa katanya di usia 50 tahun nanti dia harus menjadi seseorang yang tampil beda. Saya pun masih melihat dia sebagai ”nu bogana Bandung” (yang punyanya Bandung), sosok berpengaruh di kalangan anak muda, dengan kesukaan bertutur cerita yang jorang, dan pribadi akrab terhadap semua yang lebih populer dari gubernur Jabar dan walikota Bandung. Di mana-mana orang mengelukannya. Apalagi karena motornya yang nyentrik: sadel dibikin seperti kursi malas dan stang yang setinggi kepala.

Pada 1970 saya membuat naskah Orexas karena terilhami oleh nyentriknya Gito. Orang-orang di sebuah prapatan yang dikenal sebagai ”Prapatan Roti Bakar”, Jalan Dago-Jalan Riau, bisa bercerita bagaimana Gito dengan membuka baju pada pukul 01.00 naik motor ke Lembang pergi-pulang. Bisa dibayangkan Bandung waktu itu tidak seperti sekarang, dinginnya menggigit-gigit.

Rupanya suara nuraninya benar-benar diindahkannya. Pas di usia 50 tahun dia berubah total. Dia mendekatkan diri dengan sang khalik, tekun mengaji, belajar agama Islam, dan sungguh-sungguh mengagumkan sebab akhirnya dia tampil dalam sejumlah pengajian sebagai dai.

Dari pengalamannya itu, menyangkut tekadnya yang teguh untuk berubah, dan menjadi seorang yang saleh, saya belajar tentang kepribadian yang benar-benar hebat. Saya percaya dia wafat di tangan Tuhan. Maka innalillahi wainnailaihi rajiun.

Remy Sylado Budayawan