Rakhmad Zailani Kiki,
Staf Seksi Pengkajian CC-JIC
Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah bersama pasukan dari Cirebon dan Banten melakukan pengepungan terhadap Kalapa dengan mematahkan kekuatan Portugis dibawah Francisco de Sa, untuk kemudian mengibarkan panji-panji keislaman.
Nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta yang dipetik dari Alquran ayat pertama surat Alfath : Fathan Mubina, artinya :
kemenangan nyata. Kemudian secara kontinyu penguasa-penguasa di Demak, Cirebon dan Banten yang memang telah menjadi kantong para ulama, baik para Syarif, Habaib ataupun Sunan, secara berkesinambungan mengutus sejumlah besar mubaligh dan para pengajar yang dipersiapkan berdakwah untuk perluasan dan pendalaman keislaman bagi para muslim di Jayakarta.
Masih menurut Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun, pada tanggal 12 Mei 1619 Jayakarta dikepung pasukan VOC dipimpin langsung JP Coen. Pangeran Wijakrama diloloskan oleh Mangkubumi ke Banten, dan pada pertempuran yang meletus pada 30 Mei, Coen telah efektif menguasai Jayakarta sepenuhnya dan kemudian menggantinya dengan nama Batavia.
Keluarga Pangeran Wijakrama didorong mundur dan bertahan di kawasan yang sekarang dikenal daerah Jatinegara Kaum di sini kita masih dapat singgahi pemakaman keluarga dan kerabatnya. Sementara para prajurit dan pengikut setia beliau termasuk para ulama, dato, guru-guru agama, berhamburan ke daerah-daerah sekitar, membentuk cekungan baru untuk pengajaran agama Islam, perekonomian, perdagangan, seni budaya, sambil sesekali bergerak melakukan perlawanan sporadik terhadap kolonial.
Pada paruh kedua abad 18, atau sekitar tahun 1736, 117 tahun setelah Jayakarta tumbang, Alhabib Husein bin Abi Bakr Alaydrus, seorang dai dari al Miqab, Hadramaut - kini Yaman Selatan -- menginjakkan kakinya di tanah Betawi. Selain alim, bijak dan menyimpan banyak karomah, Alhabib juga dikenal teramat santun kepada lingkungan dan khalayak yang tidak saja ngaji kepada beliau, tapi juga berharap doa restu untuk arungi kehidupan, agar tetap berada di jalur yang baik dan benar. Duet Habib Husein - Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mempunyai garis genealogis versi Demak, adalah keturunan dari Sunan Giri yang dikenal juga sebagai Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin, mereka kemudian menjadi cikal mata rantai keulamaan di tanah Betawi dan Jawa Barat.
Pada 1834, 98 tahun dari kedatangan Habib Husein, lahir al ‘Allaamah Tuan Guru atau Syaikh Junaid Al-Betawi, Pekojan, yang diyakini banyak pakar, bahwa beliau adalah guru dari semua guru di Betawi, Kiprah guru Junaid di latar keilmuan, telah menjadikan poros Pekodjan sampai Kampung Sawah -tempat lahirnya Guru Mansur, ahli falak kenamaan, sebagai pusat keilmuan Betawi saat itu.
Tahun 1918 atau 84 tahun kemudian, dari tangan Junaid terlahir sejumlah ulama Betawi, di antaranya Tuan Guru Wan Abdulhalim (cucu pewakaf tanah masjid tua Alma’mur, Tanah Abang yang dibangun pada tahun 1915 oleh seorang ulama dari garis keturunan Gusti Pangeran Ageng Samandi, Demak, dimakamkan di kompleks Keramat Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara) belasan tahun menjadi pengajar di masjid yang terletak bersebelahan dengan pasar regional Tanah Abang. Dan secara turun temurun, lahir Muallim Muhammad Nafe Rawa Belong-Kebon Sirih, Guru Abdurrahim Kebon Sirih, yang menancapkan pengaruhnya di Sumbawa NTB, dan Waingapu NTT.
Muallim Muhammad Radjiun, Pekojan, ayah dari KH. Abdurrahim Radjiun, adalah generasi berikutnya. Setelah menyunting Siti Chadidjah, seorang Syarifah Hadrami, Radjiun yang memboyong sejumlah pengetahuan keislaman dari Mekkah turut ambil bagian dalam upaya penanaman akidah di kalangan ummat, utamanya di kawasan Jakarta Pusat, Barat hingga Kepulauan Seribu. Tidak jauh berbeda dengan Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun, budayawan Alwi Shahab yang membahas tentang ulama Betawi di abad ke-19, juga menyebut nama Syekh Junaid Al-Betawi.
Namun, ia lebih menekankan peran alim ulama di Pekojan, Jakarta yang banyak menghasilkan ulama terkemuka pada abad ke-19 dan 20 yang menjadikan Pekojan sebagai pusat intelektual Islam. Di antara ulama terkemuka tersebut yang lahir atau terdidik dari kawasan Pekojan, selain Syekh Junaid Al-Betawi, adalah Muallim Radjiun, Kiai Syamun, guru Mansyur. Sedangkan dari kalangan habaib yang lahir di Pekojan adalah Habib Usman bin Yahya yang memiliki murid terkemuka, yaitu Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi yang memiliki murid-murid terkemuka, yaitu KH. Abdullah Syafei , KH. Tohir Rohili, dan Muallim KH Syafei Hadzami.
Sedangkan Prof Dr Yasmine Zaki Shahab menyatakan bahwa dari berbagai tulisan tentang Betawi dikatakan orang Betawi merupakan masyarakat yang relegius. Betawi dan Islam merupakan dua sisi dari keping mata uang sampai saat ini, yang satu tak mungkin hadir tanpa yang lain, keduanya merupakan satu kesatuan dan ini tidak terlepas dari peran para ulamanya. Tidak heran jika sampai saat ini masyarakat Betawi pada umumnya masih menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi.
( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar