Selasa, 25 September 2007

Jose Marinho

Eksentrik dan Unik, Khas "The Special One"

Terlepas dari sosok Jose Mourinho yang bicara ceplas-ceplos dan seenaknya, pelatih yang kini belum menentukan ke mana akan "berlabuh" itu, memberi suasana positif bagi kompetisi Liga Inggris, yang sebelumnya sangat kaku oleh gaya aristokrat khas pelatih Inggris.

Dengan pernyataan-pernyataan yang serba high profile, suami Matilde, yang dinikahi pada tahun 1989 itu memacu persaingan antarklub di Inggris menjadi lebih ketat. Tak hanya statement, polah tingkah Mourinho pun kerap membuat tim lain "panas." Sejumlah pengamat menilai, tutur dan gaya Mourinho adalah bagian dari strategi si pelatih untuk mengacau konsentrasi lawan.

Akhir Desember 2006, misalnya, gaya Mourinho dalam merayakan gol memicu rasa sebel pelatih lain. Sikap Mourinho yang sering merayakan lahirnya gol- gol Chelsea dengan berlutut di pinggir lapangan, atau berlari sekitar 20 meter memotong bangku pemain cadangan lawan, dianggap berlebihan dan arogan.

"Terkadang gaya demikian menjadi bagian dari luapan emosi dan persaingan panas di lapangan. Siapa saja bisa melakukan hal seperti itu. Hanya saja, saya berharap tidak pernah melakukannya," kata Pelatih Wigan Athletic Paul Jewell.

Toh, akhirnya Jewell maklum bahwa orang harus memahami Mourinho seperti apa adanya. Seperti halnya orang lain memahami bagaimana Mourinho pernah berujar, "Kami (Chelsea) mempunyai pemain-pemain top, dan—maaf jika saya arogan—kami juga punya pelatih top."

"Hobi" main tuding

Itu belum termasuk tudingan Mourinho terhadap sesama pelatih dan juga wasit, yang ia yakini menjalankan praktik tak terpuji. Meski itu juga sulit dibuktikan. Sebut saja saat ia menuding Pelatih Barcelona Frank Rijkaard melobi wasit Anders Frisk, saat turun minum laga pertama 16 besar Liga Champions antara Chelsea vs Barca, Februari 2005.

"Ketika saya melihat Rijkaard memasuki kamar ganti wasit, itu benar-benar sulit saya percaya. Tak heran Drogba kemudian (pada babak kedua) diusir dari lapangan. Saya jadi yakin, untuk partai di London, seharusnya yang bertugas adalah (Pierluigi) Collina, wasit terbaik di dunia. Wasit yang sempurna dalam kualitas profesional dan keteguhan pribadi," katanya.

Akibat pernyataan ini, Mourinho dilarang berada di bangku tim cadangan Chelsea dalam dua pertandingan dan dikenai denda 9.000 pound (Rp 166,6 juta) oleh UEFA, Badan Sepak Bola Eropa. UEFA menilai, dengan pernyataan itu, Mourinho merendahkan martabat sportivitas sepak bola.

Apa daya, Liga Inggris kini harus rela kehilangan pelatih bertangan dingin, yang suka melontarkan pernyataan high profile serta tingkah meledak-ledak dan emosional yang sama sekali di luar "pakem" budaya sepak bola Inggris.

Tak mengherankan, jika Pelatih MU Sir Alex Ferguson pun mengaku kehilangan. "Sumbangan Mourinho luar biasa pada sepak bola dan Chelsea, dan saya menikmati kompetisi dengannya," ujar Ferguson. (ADP)

Marinho Clelsea

Berpijak dari Kegagalan

Jose Maria dos Santos Mourinho Felix menjadi salah satu pelatih sepak bola "langka" karena mengawali karier sebagai interpreter, bukan terlahir dari pemain seperti kebanyakan pelatih lain. Mungkin karena latar belakang itu pula, Mourinho punya keyakinan diri begitu besar, yang oleh sebagian koleganya dinilai menyebalkan.

Pemerhati sepak bola ingat betul ketika pada akhir Desember 2006, Mourinho, yang Kamis (20/9) lalu mengundurkan diri dari jabatan pelatih Chelsea, berpolemik dengan Pelatih Manchester United (MU) Sir Alex Ferguson. Gara-garanya, terkait persaingan MU dan Chelsea di puncak klasemen Premiership, Mourinho sesumbar bahwa "The Red Devils" akan kehilangan poin di akhir kompetisi. Dan, itulah saat bagi Chelsea untuk menggaet keuntungan.

Celaka bagi "The Blues". Pada laga 27 Desember, mereka ditahan imbang 2-2 oleh Reading, sedangkan MU memukul Wigan 3-1. Ferguson yang sudah lama meradang dengan gaya Mourinho berkata kepada pers, "Jose pernah bilang, suatu hari kami akan kehilangan poin sebelum akhir kompetisi. Namun, dia tak perhitungkan bahwa dia kehilangan poin mulai saat ini hingga akhir kompetisi," kata Fergie.

Bukan Mourinho kalau tak jago ngeles. Ia berkilah, kemenangan MU bukan luar biasa. Pelatih kelahiran 26 Januari 1963 itu bahkan mengaku gembira masih bisa membuntuti MU di posisi runner-up, meski tanpa empat pemain inti yang cedera: Petr Cech, John Terry, Joe Cole, dan Arjen Robben. Kilah yang cerdas plus licik bukan main.

Situs berita olahraga ESPN mengelompokkan 11 pernyataan Mourinho selama ia membesut Chelsea, 2004 hingga 2007, dengan sebutan "Komentar-komentar Ngetop Mourinho". Salah satunya, dan sekaligus yang paling mendunia, tak lain pernyataan di hadapan wartawan Inggris sewaktu ia akan mulai bertugas di Stamford Bridge.

"Tolong jangan anggap saya arogan, tetapi saya ini pelatih dengan predikat juara Eropa, dan tergolong tokoh yang sangat spesial." Begitu kata Mourinho. Setelah pernyataan itulah Mourinho akrab disebut sebagai "the special one".

Gagal jadi pemain hebat

Meski ia anak kandung Felix Mourinho, mantan kiper tim nasional Portugal, sama sekali tak ada rekam jejak seputar aksi Mourinho di klub sepak bola ternama. Ia hanya disebutkan pernah bermain di sejumlah klub kecil Portugal dan berakhir tanpa prestasi mengesankan. Bisa dikatakan, ia gagal mengukir rekam jejak hebat sebagai pemain.

Yang menonjol justru bakatnya sebagai manajer data, plus kepiawaian dalam mengorganisasi staf klub sebelum, selama, dan seusai laga. Tak heran, begitu menyadari kiprahnya sebagai pemain sudah mentok, ia lalu bekerja sebagai periset dokumen di klub sang ayah. Pekerjaan ini ditunjang gelar sarjananya di bidang Pendidikan Fisik, dengan spesialisasi metodologi olahraga serta aktivitas mengajar di SMA.

Selepas mengabdi sebagai petugas klub di Estrela da Amadora dan klub kota kelahirannya, Vitoria de Setubal di awal 1990, Mourinho lalu akrab dengan julukan tradutor ketika ia bekerja sebagai interpreter pelatih top Sir Bobby Robson. Ketika itu, Robson yang eks pelatih tim nasional Inggris melatih Sporting Lisbon dan FC Porto.

Dia pun ikut hengkang ke Barcelona saat Robson hijrah ke klub Catalan, Spanyol, itu. Saat Sir Robson meninggalkan Barca, Mourinho memilih bertahan dan bekerja dengan pelatih pengganti, Louis van Gaal. Sikap percaya diri yang oke membuatnya secara perlahan makin mendapat tempat di bawah Van Gaal. Tak heran, dia mulai bekerja tak hanya sebagai interpreter, tetapi berpartisipasi dalam latihan dan rapat-rapat manajemen serta mulai melatih tim B Barcelona.

Mourinho pertama kali menangani tim senior saat membesut Benfica, tahun 2000. Namun, pengabdian perdana sebagai pelatih itu tak menorehkan prestasi signifikan. Setelah sempat singgah di Uniao de Leiria dan mengantar klub tersebut ke posisi ketiga klasemen Liga Portugal, dari sebelumnya langganan papan tengah, Mourinho hijrah ke klub yang membuat namanya melejit: FC Porto.

Menyulap Porto

Ia hadir di Porto dalam kondisi pemain yang miskin motivasi dan suasana tim yang serba murung. Porto ketika itu adalah Porto yang tak diperhitungkan bersaing dalam perebutan gelar Liga Portugal dan tak lolos kualifikasi kompetisi antarklub Eropa.

Musim 2002/2003, Mourinho mengantarkan Porto ke urutan ketiga klasemen akhir, dengan riwayat performa mengesankan dalam 15 kali tampil: 11 kali menang, dua kali seri, dan dua kali kalah. Pada saat itu pula, dia berjanji membawa Porto juara Liga Champions musim depan.

Untuk mewujudkan janji itu, dengan cepat Mourinho mengidentifikasi pemain-pemain inti yang dia yakini mampu menjadikan Porto sebagai tim tangguh: Vitor Baia, Ricardo Carvalho, Costinha, Deco, Dmitri Alenichev, dan Helder Postiga. Ia juga memanggil kembali Jorge Costa setelah enam bulan dipinjamkan ke Charlton Athletic.

Upayanya menghadirkan sejumlah pemain dari klub lain, seperti Nuno Valente dan Derlei (dari Leiria), Paulo Ferreira (Vitoria Setubal), Pedro Emanuel (Boavista), serta Edgaras Jankauskas dan Maniche yang saat itu lepas kontrak dari Benfica, membuat performa Porto lebih ofensif dari sebelumnya. Pendekatan Mourinho yang inovatif—bersandar pada peningkatan fisik pemain dan pendekatan ilmu pengetahuan—berbeda dengan gaya konservatif Portugal; membuat serangan Porto sulit dimatikan lawan.

Ketahanan fisik yang tangguh plus kemampuan menyerang bek dan gelandang Porto seperti Derlei, Maniche, dan Deco membuat lawan gampang kehilangan bola atau terpaksa memainkan umpan-umpan panjang yang mudah dihentikan.

Bersama FC Porto-lah Mourinho meraih dua kali gelar juara Liga Portugal dan sekali Liga Champions. Ia pun dilirik manajemen Chelsea dan mulai melatih "The Blues" sejak 2004. Persis dengan Porto, Chelsea pun dia pimpin hingga menjuarai Liga Inggris dua musim berturut-turut. Di Stamford Bridge, ia hadir sebagai "dirigen" ahli yang meramu kapasitas bintang seperti John Terry, Frank Lampard, Petr Cech, dan Didier Drogba.

Tahun 2007 menjadi pertaruhan prestasi Mourinho seiring dengan melambungnya harapan bos klub Roman Abramovich yang ingin Chelsea menjuarai Liga Champions, seperti ia raih bersama Porto tiga tahun sebelumnya. Celakanya, "The Blues" tersisih di semifinal turnamen antarklub Eropa itu oleh Liverpool sehingga meski saat itu Chelsea meraih Piala FA dan Piala Liga, performa Mourinho dinilai kurang memuaskan.

Bersamaan dengan itu, mencuat pula rumor hubungan kurang harmonis antara dirinya dan Abramovich. Salah satu penyulutnya, pemain yang direkrut atas intervensi Abramovich, seperti striker Andriy Shevchenko, gagal tampil impresif bersama "The Blues". Sheva, panggilan akrab penyerang Ukraina itu, gagal menghadirkan performa gemilang sebagaimana saat memperkuat AC Milan. Mourinho secara terbuka pernah mengungkapkan kekecewaan terhadap Sheva dengan kalimat, "Sebenarnya saya ingin dia bisa bermain seperti (baca: segemilang) Drogba."

Mourinho sebenarnya masih punya asa untuk meraih trofi Liga Champions 2007/2008. Setidaknya itu tersirat dari pernyataan "the special one", yang menegaskan bahwa tak ada beda pendapat sedikit pun antara dirinya dan Abramovich. Semua problem teratasi dalam pertemuan dari hati ke hati sebelum musim kompetisi 2007/2008 bergulir.

Akan tetapi, hasil seri 1-1 melawan Rosenborg (Swedia) pada penyisihan Grup B Liga Champions di Stamford Bridge menambah pening kepala Mourinho. Betapa tidak? Rosenborg sama sekali bukan klub mapan di daratan Eropa. Bahwa Chelsea berhasil dipaksa main imbang di kandang sendiri sama artinya "The Blues" tak punya taji yang tajam untuk bersaing di turnamen para juara itu. Sadar bahwa Chelsea sulit memenuhi harapan klub, ia mundur sejak Kamis, 20 September 2007. (ADI PRINANTYO)

Sabtu, 22 September 2007

Martti Ahtisaari


Setiap Konflik Bisa Diatasi

Budi Suwarna

Nama Martti Ahtisaari mulai dikenal secara luas di Indonesia sejak berlangsung perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, tahun 2005. Dialah tokoh yang memediasi perundingan tersebut. Tanpa bantuan Martti mungkin belum ada perundingan di Aceh saat ini.

Selain di Aceh, mantan Presiden Finlandia ini juga terlibat sebagai mediator di berbagai belahan dunia, mulai Kosovo hingga beberapa negara di Afrika. Saat ini dia juga mulai ambil bagian dalam upaya mendamaikan fraksi-fraksi yang bertikai di Irak. Tanggal 3 September lalu, dia berhasil membawa pemimpin Syiah dan Sunni untuk memulai perundingan di Helsinki. Dia yakin semua konflik, tak terkecuali konflik Irak, bisa diatasi.

Berikut petikan wawancara Kompas dengan Martti yang berlangsung 6 September lalu di kantornya yang sederhana, Crisis Management Initiative (CMI), di Helsinki.

Apa yang memotivasi Anda terlibat dalam mediasi konflik?

Mungkin ini ada hubungannya dengan masa kecil saya. Saya lahir di kota Viipuri—kini menjadi bagian Rusia—pada tahun 1937 atau dua tahun sebelum Uni Soviet menyerang Finlandia. Akibat serangan itu, sekitar 400.000 orang kehilangan tempat tinggal. Saya merasakan betul betapa susahnya menjadi rakyat ketika konflik terjadi. Saya bersama ibu saya harus pergi menuju bagian timur Finlandia untuk menghindari perang. Saya kemudian ditampung komunitas petani sebagai pengungsi selama beberapa bulan. Setelah itu, saya memulai karier internasional pada tahun 1960 dan saya banyak terlibat dalam upaya perdamaian. Jadi, perdamaian sangat melekat di hati saya.

Jadi, pengalaman hidup mendorong Anda untuk menjadi mediator perdamaian?

Ya. Hingga kini saya masih diminta (untuk menjadi mediator). Saya telah bekerja 30 tahun bersama PBB sejak tahun 1977 hingga sekarang dan saya telah bekerja sama dengan lima sekjen PBB.

Apa tujuan utama yang ingin Anda dicapai dalam setiap proses negosiasi damai?

Saya kira seorang mediator harus tahu pintu masuk untuk memulai sebuah negosiasi. Dalam kasus Aceh, sangat jelas bahwa Pemerintah Indonesia menawarkan otonomi khusus. Kami kemudian meminta penjelasan apa makna otonomi itu. Dengan demikian, pihak lain dapat mengetahui masyarakat macam apa di Aceh yang bisa didukung pemerintah. Kami memulai dengan cara itu sehingga kami tidak menghabiskan banyak waktu. Anda tahu, saat itu kami sedang didesak waktu karena ada bencana tsunami.

Apa syarat yang harus dimiliki seorang mediator?

Syaratnya bisa berbeda untuk setiap kasus. Saya kira kebanyakan dari kita bisa mengerjakan hal ini jika diberi kesempatan sebab mediasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja dan di dalam keluarga. Saya sendiri mulai terlibat dalam mediasi (konflik) ketika saya melatih tim basket sekitar 50 tahun lalu.

Tetapi ada orang yang bisa menjadi mediator yang ulung, ada yang tidak....

Tidak juga. Saya kira seorang mediator hanya perlu mencoba menyederhanakan masalah. Jangan membuat masalah menjadi lebih rumit. Anda harus bisa menyampaikan masalah apa yang paling penting untuk diselesaikan karena kadang-kadang orang membawa begitu banyak isu ke meja perundingan.

Berdasarkan pengalaman Anda, apakah model perdamaian di Aceh bisa diterapkan di wilayah konflik lain di dunia seperti di Irak?

Ini sangat bergantung pada situasi sebab setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh, ada pemerintah baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Selain itu, konflik Aceh terkonsentrasi di sejumlah daerah. Sebaliknya, konflik di Irak jauh lebih kompleks dan masyarakatnya terbelah dalam kelompok Sunni, Syiah, Kurdi, dan lain-lain. Selain itu, ada banyak aktor independen. Saya tidak berani mengatakan bahwa prinsip-prinsip perdamaian Aceh bisa diterapkan di Irak.

Anda berhasil membawa pemimpin Sunni dan Syiah Irak bertemu di Helsinki. Apakah itu bisa menjadi awal negosiasi damai?

Saya harap begitu. Seluruh proses (pertemuan) itu dimulai ketika saya mengunjungi Afrika Selatan dalam kapasitas saya sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Kosovo. Saat itu, teman-teman saya di sana bertanya apakah mungkin membawa pemimpin Irak ke Helsinki guna memulai proses negosiasi. Saya meminta informasi lebih banyak dari mereka, lalu saya berbicara dengan Pemerintah Finlandia, dan pemerintah memberi lampu hijau. Saya kemudian menawarkan CMI sebagai saluran. Pertemuan pun terjadi. Orang-orang Afsel dan Irlandia Utara didatangkan untuk membagi pengalaman kepada pemimpin Irak bagaimana membuat perdamaian. Kemudian, para pemimpin Irak duduk bersama. Saya pikir mereka telah memanfaatkan waktu mereka dengan baik di sini dan kantor saya (CMI) akan membantu mengatur beberapa pertemuan dengan mediator dari Afsel dan Irlandia Utara.

Mengapa Anda tidak mengajak Indonesia untuk menyelesaikan konflik Irak?

Saya kira Indonesia tidak punya banyak pengalaman seperti Afsel dan Irlandia Utara. Lagi pula tidak baik membawa terlalu banyak pihak luar di awal perundingan.

Apa persoalan terbesar yang bisa menghalangi negosiasi damai antara Sunni dan Syiah Irak?

Saya bukan ahli masalah Irak, tetapi penting bagi mereka untuk memperbaiki pembagian kekuasaan antara Sunni, Syiah, dan Kurdi. Ini bergantung pada mereka, bukan pihak luar.

Menurut saya, penyelesaian masalah Irak bergantung pada kebijakan luar negeri AS. Kalau pandangan Anda sendiri bagaimana?

Saya kira hampir semua orang ingin pasukan asing keluar dari Irak. Tetapi mereka juga tahu bahwa penarikan pasukan tidak bisa dilakukan begitu saja sebab ada masalah keamanan di sana. Tantangan utama saat ini adalah bagaimana mulai membangun masyarakat Irak, bagaimana menenangkan situasi, mencegah pertikaian internal, dan mencegah pasukan asing mencampuri urusan internal Irak.

Bagaimana Anda menghadapi AS yang masih mendominasi urusan Irak?

Ini bukan masalah orang AS saja. Dunia punya kepentingan untuk memastikan pembangunan di Irak berlanjut. Saya kira peran sentral harus diserahkan kepada rakyat Irak sebab mereka yang harus berpikir untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Apakah upaya Anda mendamaikan Irak secara total terpisah dari upaya AS?

Ya. Di sini tidak ada satu pun pemerintahan yang ikut terlibat dalam negosiasi. Pemerintah Finlandia, misalnya, hanya memberikan fasilitas seperti memberi visa dan membantu pemimpin Irak hadir di sini. Inilah prinsip kami sebab kami tidak sedang mengorganisasi pihak-pihak yang bertikai, kami hanya memfasilitasi. Orang-orang (Irak) yang ada di sini sendiri ingin memulai proses (perundingan). Ini adalah pertanda baik sebab orang-orang dengan pandangan berbeda bisa duduk bersama dan berdebat.

Beberapa kawasan di dunia rentan terhadap konflik, seperti Sahara Barat, Sudan, Afganistan, dan tentu saja Timur Tengah. Apakah kawasan itu akan tetap menjadi titik api konflik pada masa mendatang?

Saya cenderung mengatakan bahwa setiap konflik sekarang ini bisa diatasi. Kuncinya adalah kita bisa mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masalah kemanusiaan, dan memperbaiki demokrasi di mana pun.

Body Shop


Dame Anita Roddick Telah Pergi

Ninuk Mardiana Pambudy

Ketika kami mewawancarai Anita Roddick, pendiri industri kecantikan Body Shop dari Inggris, April 2006, dia tampak sehat. Anita tidak menutupi kerut di wajahnya. Orang lebih terpesona pada pribadinya yang hangat, terbuka, serta siap mendengar dan berbagi.

Dalam acara di Jakarta tersebut Anita lebih banyak berbicara sebagai aktivis hak asasi manusia dan berkampanye tentang tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. Dia mengkritik kebijakan Presiden Bush di Irak.

Anita Roddick meninggal di St Richard’s Hospital, Chichester, West Sussex, Inggris, Senin (10/9) pukul 18.30, pada usia 64 tahun karena perdarahan otak. Dia ditemani suaminya, Gordon, dan putrinya, Sam dan Justine. Minggu sore dia dibawa ke rumah sakit setelah mengeluh sakit kepala.

Pionir

Anita Roddick patut dikenang karena dia adalah pionir dalam mengembangkan bisnis yang menjalankan tanggung jawab sosial terhadap komunitas dan lingkungan, jauh sebelum orang-orang membicarakannya.

Mendirikan Body Shop pada tahun 1976 dengan toko pertama di Brighton di pantai selatan Inggris, putri imigran Italia ini memelopori produk kosmetik yang tidak melakukan percobaan pada hewan. Dia bekerja bersama komunitas masyarakat penghasil bahan baku produk dari alam di negara ketiga agar mereka mendapat harga yang adil dan melindungi lingkungan, jauh sebelum Perserikatan Bangsa-Bangsa meluncurkan Sasaran Pembangunan Milenium dan masyarakat menuntut perdagangan yang adil dalam globalisasi. Dia juga berkampanye untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan di dalam keluarga.

Kampanyenya mengenai kecantikan perempuan tidak terikat pada konvensi yang diciptakan industri kosmetik. Dia mengatakan, tidak ada produk yang dapat membuat seseorang tetap muda atau semakin cantik, tetapi menjanjikan produknya akan membuat pemakai merasa nyaman. Kampanye ini menjadi budaya tanding terhadap cara pemasaran perusahaan kosmetik yang canggih dan mengilat.

Sebagai generasi 1960-an, Anita menggabungkan antara sensualitas, feminisme, aktivisme lingkungan, politik, dan hak asasi ke dalam bisnisnya dan berhasil. Body Shop punya 2.100 toko di 55 negara. Tak heran bila Ratu Inggris memberinya gelar kebangsawanan Dame pada 2003.

Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyebut Dame Anita, "salah satu pionir Inggris" dan "inspirasi" untuk pengusaha perempuan.

Tahun lalu, demikian BBC News, Body Shop dijual kepada L’Oreal senilai 652 juta poundsterling, meskipun Body Shop tetap menjalankan bisnis secara independen. Pelanggannya yang berusia muda kecewa dan khawatir nilai-nilai Body Shop akan ditinggalkan. Namun, Dame Anita meyakinkan, dengan cara itu dia dapat menularkan nilai etika Body Shop ke L’Oreal sebab dia percaya bisnis memiliki kekuatan untuk melakukan hal-hal baik.

Selasa, 11 September 2007

MARTA TILAAR

Perempuan Harus Mandiri

Jakarta, Kompas - Perempuan Indonesia harus bisa berusaha mandiri dengan mengembangkan kemampuannya. Oleh karena itu, pendidikan menjadi sangat penting bagi perempuan.

"Kami ingin perempuan Indonesia maju. Oleh karena itu, kami akan memberi beasiswa untuk perempuan di Nusa Tenggara Timur," kata pakar kecantikan Martha Tilaar saat perayaan 37 Tahun Martha Tilaar Berkarya di Sasono Utomo Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Jumat (7/9) malam.

Pada kesempatan tersebut diluncurkan buku biografi Prof HAR Tilaar dan Martha Tilaar dengan tema "Untukmu Indonesia". Buku biografi Prof HAR Tilaar berjudul Indonesiaku! Sebentuk Manikam Untukmu-Dedikasi Seorang Guru dan biografi Martha Tilaar berjudul Bagi Indonesia Perjalanan Seorang Perempuan Enterpreuner-Mengubah Mimpi Menjadi Nyata.

Buku tersebut diluncurkan bertepatan dengan peringatan ulang tahun Prof HAR Tilaar ke-75 dan Martha Tilaar ke-70. "Jadi semua serba tujuh. Tujuh ini adalah angka keberuntungan saya," kata Martha Tilaar.

Dalam biografinya Prof HAR Tilaar memberikan satu pelajaran bahwa sesuatu yang instan tidak akan bertahan lama karena tidak mendapat akar yang cukup kuat untuk menopangnya. Anak-anak yang ditempa dalam budaya instan mudah berbelok-belok arah sehingga tidak dapat diharapkan menjadi generasi penerus yang andal.

Sementara itu, dalam biografinya, Martha Tilaar membagi pengalamannya mengembangkan produk kosmetik. Dan kini ia memimpin pabrik dengan 6.000 pekerja. Ini adalah perjuangan panjang. Sukses seorang tokoh kerap dilihat bagaimana ia pada hari ini. Padahal, semua yang diraih hari ini tidak serta-merta didapat begitu saja. Di dalamnya terdapat perjuangan dan perjalanan panjang yang diwarnai jatuh bangun dengan segenap upaya yang sering tidak diketahui orang.

Kini perjuangan panjang Martha Tilaar telah membawa hasil. Bahkan, beberapa usahanya mendapatkan penghargaan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya perempuan Indonesia bisa mencontoh perjuangan Martha Tilaar menjadi perempuan mandiri melalui karyanya. (LOK)

Dunia Sunyi SK Trimurti


Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana P

Tubuhnya terkulai di tempat tidur. Selang makan dipasang di lubang hidung. Matanya hampir selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruang VIP Anggrek di RS PGI Cikini, Jakarta, tempat Soerastri Karma Trimurti (95) dirawat tiga pekan terakhir ini.

Ketika Sainah (46) memberi tahu ada yang berkunjung, Bu Tri, begitu ia disapa, mengeluarkan suara yang jelas, dalam bahasa Jawa, "Kowe sapa Ndhuk?" (Kalian siapa, Nak?)

Jawabannya tidak terlalu berarti karena tampaknya ia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Bu Tri melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.

Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, "Saya lupa judulnya, itu lho... Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna." (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan).

Sesekali Bu Tri membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.

Kata Sainah, Bu Tri suka berontak, dengan menggaruk-garuk tubuhnya, dan menarik selang makan. Mungkin karena itu kedua tangannya diikat longgar dengan kain. Posisi tidurnya telentang dengan dua tangan melencang.

Pejuang

Sudah dua tahun terakhir ini perempuan yang pernah menjadi Menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Syarifuddin I dan Kabinet Amir Syarifuddin II itu berada dalam kondisi seperti itu, setelah berkali-kali terjatuh. Kata putra bungsunya, Heru Baskoro (65), tahun 2000, Bu Tri jatuh sehingga harus dicangkok besi tulang pinggulnya.

Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Bu Tri.

"Orang menyangka Ibu meninggal saat itu," kenang Heru. Bu Tri dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.

"Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun Ibu masih naik bus," lanjut Heru. "Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju," ujar Sainah.

Hidupnya sederhana. Sebagai mantan menteri, Bu Tri sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. "Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial," tutur Heru.

Sejak dirawat di rumah sakit tahun 2005 selama setahun, Bu Tri harus dibantu semuanya. "Ibu mau makan?" Sainah menawari, "Aku durung luwe (Aku belum lapar)," jawab Bu Tri. "Kalau makan pakai selang cukup banyak. Kalau langsung, hanya sedikit sekali," lanjut Sainah.

Kata Heru, mengutip diagnosis dokter, di perut ibunya ada semacam varises. "Jantungnya bagus, paru-paru bagus. Ibu sakit tua," katanya.

Ingatan Bu Tri timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. "Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin," sambung Heru.

Nama SK Trimurti tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dan punya tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Putri pasangan R Ngabehi Salim Banjaransari dan RA Saparinten binti Mangunbisomo yang dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, tanggal 11 Mei 1912 itu tertarik masuk ke dunia pergerakan setelah mendengarkan pidato-pidato Bung Karno.

Ia mengikuti kursus kader yang diadakan Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 setelah lulus dari Tweede Indlandche School atau Sekolah Ongko Loro dan sempat mengajar. Bu Tri menjadi pejuang militan, sampai dipenjarakan Belanda di Semarang tahun 1936 karena menyebarkan pamflet antipenjajah.

Ia kembali masuk penjara tahun 1939 karena tulisantulisannya di media massa dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Saat itu ia baru setahun menikah dengan Sayuti Melik, tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi, dan mengetik naskah proklamasi.

Anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman (meninggal tahun 2005), lahir dalam penjara. Bu Tri baru keluar dari penjara pada tahun 1943.

Dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Hubungan Bu Tri dengan Bung Karno terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Bu Tri dikenal antipoligami. Namun, sikap itu tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.

Tahun 1956 ia memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.

Tidur tenang

Sebelum dirawat di RS Cikini, Bu Tri dirawat di RS MMC dan di RS Mitra Keluarga. "Waktu di Mitra Keluarga itu dibantu seluruhnya oleh Pak Fauzi Bowo," ujar Heru.

Biaya rumah sakit pada tahun 2005, menurut Heru, banyak dibantu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Sekretariat Negara, selain bantuan Departemen Sosial. Ketika di RS MMC, keluarga mendapatkan bantuan dari Departemen Sosial sebesar Rp 10 juta.

"Biaya yang sekarang masih belum tahu," ujar Heru. Acara Peluncuran Buku 95 Tahun Perjuangan SK Trimurti yang dihadiri antara lain oleh Guruh Soekarnoputra dan Herawati Diah di Jakarta, beberapa waktu lalu, juga digunakan untuk mengumpulkan dana, dengan menjual edisi hard cover-nya seharga Rp 1 juta per buku.

Sayuti Melik berpulang tahun 1989. "Mungkin Ibu menangis di kamar, tetapi saya tak pernah melihat Ibu menangis di depan umum," ujar Heru.

Sekarang pun, Bu Tri terlihat tidur tenang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Hanya sesekali ia kembali dan menggumamkan tembang, lir ilir lir ilir...

Selasa, 04 September 2007

Retno Tranggono dan Edukasi Konsumen

Edna C Pattisina

Suatu siang di kantornya di Graha Ristra, Retno Iswari Tranggono sibuk membongkar koleksi buku. "Saya tadi dengar kabar ada kandungan formalin di salah satu produk. Itu aneh sekali. Makanya saya cari referensi. Semoga bisa jadi masukan buat Badan Pengawas Obat dan Makanan," katanya.

Di tengah-tengah obrolan tentang buku biografinya, The Entrepreneur Behind The Science of Beauty, Inspirator Kosmetik Indonesia, Retno Tranggono yang diluncurkan Senin (3/9), Retno Tranggono (68) bercerita bahwa hal-hal yang membahayakan konsumen seperti itu sering terjadi sejak masa awal dia berpraktik sebagai dokter kulit. "Makanya, konsumen sebaiknya sadar, selalu berhati-hati," katanya.

Bagi Retno, misi hidupnya adalah mengedukasi masyarakat. Sekitar tahun 1960-an ia berusaha meyakinkan orang untuk mencuci muka dengan sabun. "Waktu itu, kalau kulit jerawatan, malah ditutupin bedak. Ini menurut ilmu turunan dari Belanda, muka itu enggak boleh disabunin," ungkapnya.

Awal tahun 1970-an banyak produk kosmetik dari China, Taiwan, dan Thailand membanjiri Indonesia. Sebagai dokter, ia melihat banyak produk kosmetik yang bisa meracuni orang. Retno lalu melapor kepada Departemen Kesehatan. Ia mengkritik, kenapa komposisi produk tak ditulis pada kemasan? Setahun kemudian terbukti produk-produk itu mengandung merkuri yang berbahaya untuk otak, ginjal, dan lever.

Kini ia menggarisbawahi, berbagai produk dan perawatan kecantikan yang ditawarkan teknologi modern sering salah dimengerti. Ia mencontohkan, chemical peeling yang dalam prosesnya mengelupasi kulit. Akibatnya, lapisan dalam kulit jadi menipis. Proses yang diadopsi dari negara-negara subtropik ini memiliki efek yang berbeda jika diterapkan di Indonesia.

"Pertama, intensitas cahaya matahari berbeda. Kedua, pigmen melanin kita lebih besar dan banyak dibandingkan orang bule. Ini membuat penyerapan sinar matahari lebih banyak dan kulit kita bisa bertambah hitam, atau merah kayak udang rebus sebab ada masalah dengan pembuluh darah," paparnya.

Ada lagi salah kaprah tentang sun protecting factor (SPF) pada tabir surya. Tingginya angka SPF, walau memberi perlindungan terhadap ultraviolet B, akan membuat pembentukan pigmen kita lebih cepat. Sementara buat orang bule, mereka memang ingin kulitnya menjadi coklat.

"Kalau buat kita, kulit malah jadi tambah hitam. Untuk daerah tropis seperti Indonesia, dibutuhkan SPF yang terintegrasi. Prinsipnya, kita enggak bisa langsung pakai kosmetik asal negara-negara subtropik."

Bukan sekali saja perempuan yang menyebut dirinya "gasing"—gara-gara ia merasa tak bisa diam—merasa harus tetap mengambil sikap di tengah arus yang berbeda. "Saya percaya, Tuhan punya rencana untuk hidup. Jadi, setiap kali saya merasa ’ada sesuatu’, ya saya kemukakan, saya jalan terus," kata nenek dari enam cucu ini.

Penyakit kotor

Kiprah Retno di bidang pendidikan ditandai dengan tantangan Kepala Bagian Kulit dan Kelamin Prof Dr M Djoewari saat ia lulus program spesialisasi pada 1968. Saat itu spesialisasi kulit dan kelamin dipandang sebagai bagian yang mengurusi penyakit kotor pada pelaut.

Dari pengalaman dia dengan berbagai pasien, Retno melihat masalah kosmetik untuk kecantikan dan kesehatan tak bisa dipisahkan. Ia lalu berjuang untuk mendirikan Subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit. "Kalau kamu yakin ilmu itu diminati oleh para dokter dan masyarakat membutuhkan, dirikan dan kembangkan!" kata Retno mengutip perkataan Djoewari.

Perjalanannya mewujudkan apa yang disebut sebagai The Science of Beauty tak mulus. Pada langkah pertama memasuki Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, mental Retno sudah teruji saat ia dijuluki "janda bopeng" dalam masa plonco.

"Itu saking banyaknya saya punya jerawat. Memang mereka pada jahat ya ngasih julukan seperti itu. Tetapi, buat saya sendiri, kalau istilah sekarang, ya cuek saja," kenangnya.

Pengalaman pribadi tersebut menjadi salah satu pendorong pilihan hidupnya untuk menjadi "dokter jerawat". Meski persentuhan Retno dengan dunia kosmetik diawali dengan sebuah "kebetulan".

Suatu hari ia menyerempet pohon bugenvil milik Bo Tan Tjoa. Perkenalan yang kebetulan itu membuat Bo Tan Tjoa, yang merupakan pendiri Viva Cosmetic, mengundang Retno untuk menjadi guru di Viva Health and Beauty Institute. Ini terjadi pada tahun 1963.

"Waktu saya mendirikan Subbagian Kosmetik dan Bedah Kulit, ada empat suster dari FKUI yang saya ’sekolahkan’ ke salon. Kalau sebelumnya saya memasukkan unsur medis ke salon, sekarang pengalaman praktis di salon masuk dunia medis," katanya.

Belajar sendiri

Hasratnya menggabungkan ilmu medis dan perawatan kecantikan banyak berkembang lewat proses belajar sendiri. Ia memasuki cabang ilmu yang ketika itu belum berkembang. Sudah tentu buku yang tersedia pun amat terbatas. Buku pegangan pertamanya tentang kecantikan dibawakan sang suami, Tranggono, sepulang melawat ke Eropa untuk tugas belajar sebagai dokter AURI sekitar 1965.

"Sampai sekarang buku itu, The Structure and Function of The Skin, masih saya simpan karena menjadi inspirasi bagi saya," tuturnya.

Retno mengakui, dukungan keluarga dan suami adalah hal penting dalam hidupnya. Berkali-kali ia menceritakan, dukungan suaminya saat mereka memutuskan mendirikan usaha kosmetik Ristra. "Bapak mengajukan pensiun dini tahun 1983 dan kami mendirikan Ristra tahun itu juga," cerita Retno tentang usaha yang namanya merupakan akronim dari Retno Iswari dan Suharto Tranggono itu.

Sebagai dokter, ia mengaku gamang ketika mulai menjadi pebisnis. Namun, keinginan dia menjadikan Ristra sebagai kosmetik bagi orang Indonesia, membuat semangat Retno melambung. "Bapak (Tranggono) bekerja di bagian manajemen dan saya berkutat di research and development-nya."

Formulasi asli yang diramu Retno adalah hasil dari pengalaman bertahun-tahun menangani berbagai masalah pasien. Julukannya sebagai "dokter jerawat" menjadi modal awal, selain modal dana.

Sejak awal ia bertujuan mengusung merek yang menggabungkan antara kosmetik dan medis. Oleh karena itu, kata dia, Ristra mengambil posisi bisnis berbeda dengan produk-produk tradisional yang sudah berakar lama. Dalam buku biografinya, Retno menyinggung hal ini.

Ristra memang berhasil bertahan selama 24 tahun. Namun, pencapaian ini tak berarti perjalanan usaha Retno selalu mulus. Tiga tahun pertama merek Ristra langsung melonjak. Beberapa perusahaan internasional, seperti Sara Lee dan British Petroleum, sampai menawar untuk membeli perusahaan itu. Tawaran itu ditolaknya.

Tahun 1987 Retno menghadapi masalah. Walaupun barangnya laku di pasaran, uangnya tidak masuk perusahaan. "Kami ditipu orang. Ketika itu kami rugi sampai sekitar setengah miliar rupiah. Modal kami tinggal sepuluh juta, jadi ya harus pinjam kepada bank," ungkapnya.

Ibarat gasing yang terus berputar, meski merugi, Ristra tak jatuh dan tamat. Dia berhasil bangkit. Bagi Retno, turun-naik sebuah usaha itu adalah hal yang lumrah, seperti roda kehidupan.

Kini Retno berencana menyerahkan "estafet" usahanya kepada pebisnis profesional yang diharapkan lebih piawai. Dia akan tetap mendukung di belakang layar. "Saya mau kuliah filsafat," kata perempuan energik ini menyebutkan alasannya.

Penderitaan Onghokham Telah Berakhir

Toeti Kakiailatu

Penelitiannya tentang sejarah masyarakat Jawa, sejarah revolusi Perancis, dan sejarah Eropa secara umum sangat reflektif. Sejarawan yang membujang ini terkena stroke sejak 2001. Namun, nafsu makan enaknya tetap digemarinya. Kegemarannya akan makan telah mendorongnya untuk meneliti kajian makanan Indonesia.

Petang itu, sekitar jam 17.00, adalah jam makan malam Onghokham. Kamis, 31 Agustus, Rochmat, salah seorang yang mengurus Ong semenjak sakit, yang melayani makan malam. Menunya, kentang goreng dan bistik kakap merah. Semuanya dimakan habis. Setelah itu kursi roda Ong pun disorong ke kamar tidurnya, menghadap ke televisi. Sekitar jam 18.00, kepala Ong miring ke kiri dan menunduk. Ternyata Ong telah meninggal. Tanpa pesan dan rasa sakit.

Ong lahir pada 1 Mei 1922 di Surabaya. Almarhum adalah cucu dari seorang kapitan China di Pasuruan. Han, begitu nama keluarga ibunya, terkenal dari golongan elite yang mungkin jadi konglomerat pertama waktu itu. Ayahnya, setamat dari Hogere Burger School (HBS), berjalan-jalan ke Eropa dan setelah itu bekerja pada kantor asuransi. Dari pasangan ini, lahir empat bersaudara, tiga laki-laki dan seorang perempuan, masing-masing diasuh oleh pengasuhnya. Ong sendiri mengaku diasuh oleh seorang embok yang mengajarinya sedikit tentang budaya Jawa. Adapun orangtuanya yang berkelimpahan uang, sepanjang hari asyik main mahyong.

Baru pada malam hari orangtua dan anak-anak berkumpul untuk makan malam. Makan bersama ini menjadi peristiwa istimewa karena ruang makan yang mewah dan makanan yang melimpah. Para pelayan sibuk melayani makan malam gaya Belanda dengan konversasi antara mereka juga dalam bahasa Belanda. Keluarga Ong hidup bergaya Belanda. Bicara, makanan, dan cara berpakaian, semua bergaya Belanda. Ong sendiri sewaktu kecil dipanggil Sinyo Hansje. Gaya hidup yang serba Blandis ini kurang begitu disenanginya. Keluarga kaya yang kebelanda-belandaan dan hanya hidup bergaul untuk keluarga saja. Oleh karena itu, Ong kurang akrab.

Hanya kegemaran makan enak dan berpesta yang diturunkan dari kebiasaan keluarganya kepada Ong. Jadi semasa masih sehat, tidak ada undangan pesta dari orang-orang kaya di Jakarta yang Ong lewatkan begitu saja. Ong sendiri gemar mengundang beberapa temannya untuk makan malam. Dia sendiri yang belanja dan memasak makanan yang akan dihidangkan. Dengan naik kendaraan umum, karena tidak punya mobil, dia pergi belanja. Ong tahu daging babi yang baik ada di Pasar Senen, daging sapi berkualitas di Blok M, dan ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dengan berpanas-panas, tak segan dia menyeberang jalan dengan menenteng belanjaan.

Baru pada malam hari Ong berpakaian bersih, melayani tamu yang diundangnya. Sitting dinner dengan menggelar tatanan meja bertaplak indah, penuh dengan garpu pisau perak, porselen antik, serta bunga dan tebaran bunga melati. Di rumahnya yang bergaya Bali, di samping ruang makan yang terbuka tumbuh sebatang pohon melati gambir yang kalau malam hari mengeluarkan bau harum. Masakan yang digemarinya adalah sambal gandaria, bandeng bakar, dan babi hong. Yang terakhir, tentu saja tidak disuguhkan bagi pemakan nonbabi.

Lebih-lebih kalau pada HUT-nya, setiap 1 Mei. Undangannya selalu dimulai dengan sebutan Mayday, mayday… dan itu pasti undangan dari Sinyo Hansje. Pesta ulang tahun Sinyo Hansje ini selalu ramai. Rumahnya penuh sesak oleh berbagai tamu yang datang, mulai orang-orang kedutaan, tokoh nasional, sampai ke artis-artis, berjejalan. Makanan dan berbagai minuman memeriahkan pesta ulang tahun Onghokham.

Namun, mulai kapan Ong menjadi ahli masak? Dia menjadi kuliner terkenal ketika kuliah untuk mengambil gelar doktornya di Universitas Yale (1968-1974). Disertasinya cukup terkenal, yang berjudul The Residency of Madiun, Priyayi and Peasant during the Nineteenth Century. Kemudian ketika berkunjung ke Eropa, dia mencoba bereksperimen dengan makanan Italia, Perancis, dan China. Di Italia, Ong berteman baik dengan Ruth McVey, sejarawati yang mempunyai kastil di dekat Roma. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1975, Ong berkata kepada David Reeve, sejarawan Australia, yang tengah menulis biografi Onghokham, "Saya kembali dengan dua keahlian. Gelar PhD dan memasak. Namun, memasak rasanya lebih penting."

Dosen "killer"

Kegemarannya akan Ilmu Sejarah mulai saat dia di HBS. Entah mengapa untuk pertama kali dia memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), baru kemudian pindah ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI. Setamatnya dari Jurusan Sejarah, Ong sempat mengajar di fakultas. Sebagai dosen, Ong terkenal killer. Tidak senang dengan mahasiswa belajar asalan saja. Kalau jengkel, dia melempar apa saja yang ada di genggamannya ke mahasiswa. Para mahasiswi yang berdandan menor terpaksa harus menghapus make-up-nya karena kalau si mahasiswi dianggap bodoh, Ong mengomel dengan ucapan, "Huuh, waktumu dihabiskan dengan berpupur dan bergincu saja."

Tahun 1989 Ong pensiun. Usianya baru 56 tahun. Sekitar setahun Onghokham jadi Direktur Sekolah Tinggi dan Akademi BUDDI di Tangerang. Namun, Ong bukan tipe orang yang senang jabatan atau duduk di belakang meja jadi budak manajemen. Sekitar satu tahun saja dia minta berhenti. Ong kemudian bebas menulis di berbagai media antara lain di Kompas, Tempo, atau Prisma.

Unik dan orisinal

Pada 14 Februari 2001 Ong mendapat serangan stroke di Yogyakarta ketika hadir dalam perayaan ulang tahun ke-80 Prof Sartono Kartodidjo. Sebulan kemudian sekelompok teman dekat Ong berniat mendirikan Yayasan Lembaga Studi Sejarah Indonesia (LSSI), yang didukung oleh Freedom Institute, majalah Tempo, dan QB World Books. Pada HUTnya yang ke-68 diresmikanlah yayasan itu dalam sebuah pesta di Gedung Arsip, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Dua tahun kemudian, pada usia yang ke-70, ia meluncurkan dua bukunya di Auditorium Perpustakaan Nasional (Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang dan The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord).

Namun, penyakitnya semakin payah. Bicaranya sulit dimengerti, Ong tidak disiplin dalam hal makan dan minum. Wines masih diminumnya, tetapi perutnya tak kuat lagi meneguk whiskey. Ong tak mungkin lagi pergi ke pesta, sedangkan teman-temannya semakin berkurang. Pesta ulang tahunnya yang terakhir, 1 Mei 2007, kurang meriah. Dan Ong sendiri juga tampak sedih.

Adalah Hardi Halim (teman Yoop Ave), Andi Achdian, dan Ardi Apian, Agustus 2006 mendirikan OngHokHam Institute (OHHI). Berkat nama Onghokham, institut berhasil mendapat sumbangan sebesar 100.000 dollar AS dari Ford Foundation. Tiga atau empat orang kini setiap harinya bekerja di ruang studi Ong. Karena dalam pengelolaan oleh OHHI ruang studi Ong harus memakai AC, pintu harus ditutup. Ong merasa tidak bebas lagi di rumahnya. Dia tidak bisa melewati ruang studinya untuk duduk di teras depan. Tentu agak sulit untuk memutar dengan kursi rodanya menuju teras. Si pemilik rumah cuma bisa berada di kamarnya yang di depannya ada taman seluas sekitar 2 x 3 meter. Ong menjadi seorang jaba tengah di rumah Bali-nya sendiri. Tempat favoritnya ialah teras depan dan yang biasa dilakukan Ong sambil tiduran, dekat kolam ikan dan beberapa pohon bunga, tak bisa dijamahnya. Hanya kalau akhir minggu, saat staf OHHI libur, barulah Ong boleh berada di teras depan.

Konon Yayasan LSSI nasibnya ada di ujung tanduk. Yayasan yang nonprofit dan nonpartisan ini konon akan dibubarkan oleh OHHI. Dapatkah?

Dalam suasana berkecamuk seperti itulah, sejarawan yang mempertahankan ketionghoannya, tokoh yang unik dan orisinal, pergi untuk selamanya.

Sebelum dikremasi, Ong dibaringkan dalam peti dengan memakai baju China berwarna merah maroon hadiah dari perancang pakaian Peter Sie di ulang tahun terakhirnya. Pada bibirnya diselipi sebutir mutiara. Menurut kepercayaan Buddha, itu agar Ong "nun di sana" tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor. Upacara pemakaman di Rumah Duka Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, dilakukan dengan upacara Buddha, Katolik, dan Khonghucu pada Minggu malam. Senin, 3 September, jenazahnya dikremasikan di Tangerang.

Terimalah Onghokham seadanya, dengan segala kebiasaannya, segala keunikan dan keanehan, serta segala keistimewaan dan kekhususannya. Amien.

Toeti Kakiailatu Sahabat Onghokham