Selasa, 25 November 2008

Adnan Buyung Nasution



Adnan Buyung Nasution,
Setelah Perjalanan Panjang



KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Minggu, 23 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Susi Ivvaty

Seperti apa rumah seorang penasihat presiden dan bekas pengacara seperti Adnan Buyung Nasution (74)? Sebuah hunian yang luas dan penuh pepohonan hijau. Rumah di atas bukit itu baru delapan tahun ia miliki, setelah pengembaraan panjangnya mencari tempat pulang. Buyung menyebutnya rumah perjuangan sekaligus rumah idaman.

Beberapa meter kami melangkah dari pintu gerbang rumah Buyung di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tiga burung beo menyapa. Setelah itu, kakatua ikut memanggil. Di kejauhan, terdengar suara murai dan cucak rowo. Burung-burung memang mengerti betul cara berkenalan yang akrab.

Setelah kami duduk sejenak di ruang tamu, lantas pindah ke ruang kaca (ini mulanya teras yang kemudian ditutup dengan dinding dan atap dari kaca), Buyung pun keluar dari ruang kerjanya. Ia tampak kurus, belum lama sembuh dari sakit kulit. Berat badannya turun dari 70 menjadi 60 kilogram.

Buyung di usia 74, tidak lagi sesibuk dulu. Meski masih terus berjuang demi bangsa, katanya, ia kini punya lebih banyak waktu senggang di rumah. Jika dulu hanya sebagai ampiran, tempat ganti koper, kini rumah benar-benar ia nikmati sebagai pencipta kehangatan keluarga. Rumah benar-benar menjadi tempat pulang. Rumah adalah simbol kehidupan berkeluarga dan tempat merefleksi diri. Rumah menjauhkan diri dari segala bentuk kesepian, menyadarkan bahwa hidup tidak pernah kosong, selalu ada orang dekat di sekeliling.

”Dulu mana bisa menikmati damai di rumah. Dalam sehari Abang bisa berada di empat kota. Dari Jakarta ke Singapura, Jakarta lagi lalu Sidney. Apalagi, rumah juga bukan punya sendiri, Abang baru kali ini punya rumah,” tuturnya seraya tertawa.

Sejak tahun 2000

Rumah di atas tanah seluas 2.400 meter persegi itu justru Buyung tempati pada saat empat anak kandung dan seorang anak angkatnya tidak lagi tinggal bersamanya, tepatnya pada tahun 2000. Alhasil, rumah hanya ia tinggali bersama istrinya, Ria Nasution, plus tiga pembantu.

Terdapat tiga kamar tidur, ruang kerja, ruang tengah, ruang tamu, ruang kaca, ruang makan kecil dan besar, ruang fitness, dapur, serta tiga kamar pembantu rumah. Garasi terpisah dari rumah utama.

Kolam renang terletak di samping rumah bagian belakang, bersebelahan dengan kandang burung elang. Jogging track mengelilingi separuh rumah dibuat sebagai alternatif berolahraga selain berenang dan angkat beban. Heh, angkat beban juga? ”Yang ringan. Kalau sekarang Abang lebih banyak jogging saja,” sahut Buyung.

Halaman yang luas selain ditanami tetumbuhan seperti kamboja, palem, anggrek, dan rupa-rupa tanaman di dalam pot, juga ada pohon jambu, pisang, dan rambutan. Sebagian halaman dibiarkan kosong dan terbuka, bertebar rumput.

Kamar tidur Buyung dan Ria di lantai dua disekat menjadi lima bagian. Ruang santai berisi televisi dan kursi pijat, ruang tempat tidur, ruang rias (sebelah kiri untuknya, sebelah kanan untuk istrinya), kamar mandi, dan ruang ganti dengan lemari pakaian di dalamnya. Oya, di samping kamar tidur terletak jacuzzi serta kolam ikan koi.

Lho, ada teropong di kamar? ”O, itu untuk keker-kekeran dengan Bob Sadino di seberang sana tuh,” kata Buyung sambil menunjuk sebuah rumah yang sangat besar di atas bukit di seberang lembah.

Perjalanan panjang

Buyung mengisahkan perjalanan panjang mendapatkan rumah idaman. Rumah pertamanya terletak di Jalan HOS Cokroaminoto, yang ia huni bersama keluarga selama 30 tahun (sekarang ditempati Fuji Film). ”Itu rumah milik negara, sitaan dari orang Belanda pada tahun 1957. Kami hanya punya hak menghuni,” ujarnya. Setelah 30 tahun, rumah dibeli oleh seorang laksamana, namun ia masih mempunyai hak tinggal.

Tiba saatnya Buyung harus kuliah ke Belanda selama tujuh tahun, 1985-1993. Ia mengajak serta dua anak terkecilnya, Aan dan Pia, yang sudah SMA, sedangkan anggota keluarga yang lain tinggal di rumah saudara.

Pulang ke Indonesia tahun 1993, Buyung bingung mau tinggal di mana. Almarhum Sjahrir menawarkan rumahnya, namun Buyung dan keluarga hanya betah selama setahun. Setelah itu, giliran almarhum Ali Sadikin menawari mereka rumah di Cipete. Dua tahun mereka tinggal di sana. ”Rasanya kok hidup kayak Gypsy,” kenang Buyung.

Buyung dan keluarga lantas mengontrak rumah di Jalan Panglima Polim, sementara ia juga membuka kantor pengacara di Kemayoran. ”Kantor Abang kecil banget, sampai Bang Ali Sadikin menangis melihatnya,” imbuhnya.

Saat itu, ibarat bom waktu yang hendak meledak, Buyung merasa sangat capai dengan terus berpindah rumah. ”Abang ingin punya rumah yang luas. Di Belanda Abang pindah sembilan kali, semuanya sempit. Di sini, kantor juga sempit. Abang ingin bisa lihat langit di rumah dan memandang ke kejauhan,” paparnya.

Hingga pada tahun 1997, Buyung mendapat satu perkara dan memenangkannya. Klien tidak bisa membayar, sebaliknya menawarkan rumahnya. ”Ia punya dua rumah, di Pondok Indah dan Lebak Bulus. Kakak (begitu Buyung memanggil istri) tidak suka yang di Pondok Indah karena norak. Kakak tertarik di sini meski rumahnya kecil,” ungkapnya.

Pada tahun 1999, Buyung merenovasi rumah. ”Bob Sadino waktu itu datang. Katanya, siapa yang berani membangun rumah di sini tanpa izin saya, ha-ha-ha. Sekarang kami malah intai-intaian,” ujar Buyung.

Najib Razak, Sang Akuntan Politik


EPA/AHMAD YUSNI / Kompas Images
Mohd Najib bin Tun Abdul Razak
Senin, 24 November 2008 | 03:00 WIB


TRIAS KUNCAHYONO

”Saya bukanlah perokok berat. Ini saya lakukan saat menerima tamu saja. Itu pun di rumah,” kata Najib Razak mengawali cerita perjalanan hidupnya, sambil sesekali mengisap cerutu. Malam itu, orang kedua Malaysia ini tampil dengan baju merah marun lengan panjang, celana warna krem, tanpa sepatu.

Umur saya baru 22 tahun lebih sembilan bulan, ketika pertama terjun ke dunia politik,” kata Najib Razak.

Inilah jalur kehidupan yang tak dikehendaki keluarganya. Padahal, sang ayah, Tunku Abdul Razak, adalah perdana menteri kedua Malaysia. Namun, ia juga tak menginginkan anak lelaki pertama dari lima bersaudara itu menerjuni dunia politik.

”Saya berkeyakinan, politik adalah aktivitas sosial yang bersentuhan langsung dengan rakyat. Lewat politik kita memperjuangkan nasib rakyat,” katanya.

Orangtua mengharapkan Najib menjadi akuntan. Oleh karena itu, ia sekolah di Universitas Nottingham, Inggris, pada jurusan ekonomi. Sekembalinya ke Malaysia tahun 1974, ia bekerja di Central Bank, lalu bergabung dengan Petronas (Petroliam Nasional Berhad), perusahaan minyak dan gas Malaysia yang didirikan pada 1974. Saat Najib bergabung dengan Petronas, perusahaan milik negara itu dipimpin Tengku Razaleigh Hamzah, yang kemudian menjadi salah satu mentor politiknya.

Walaupun Razaleigh Hamzah mentor politiknya, saat Razaleigh terlibat pertarungan politik dengan Mahathir Mohammad, Najib mengambil sikap tegas yang menunjukkan kematangan berpolitiknya. ”Saya tetap setia pada pemimpin saat itu, Dr M,” kata Najib dalam buku Najib Razak, In His Own Right, 2006, karya Chamil Wariya.

Kesetiaan adalah unsur penting dalam berpolitik. Kesetiaan menjadi dasar lahirnya kepercayaan. Sekali aktor politik menunjukkan isyarat bisa dipercaya, kepercayaan rakyat pada politik menguat. Hal itu akan terungkap dalam partisipasi rakyat pada pemilu. ”Kepercayaan rakyat, itulah yang terus saya bangun,” kata kakek satu cucu ini.

Karisma ayah

Jalan hidup Najib berubah setelah ayahnya meninggal tahun 1976 di London. Ia diangkat menjadi anggota Dewan Rakyat sebagai kandidat dari UMNO (Organisasi Nasional Melayu Bersatu) mewakili daerah pemilihan Pekan, yang kosong sepeninggal ayahnya. Ia anggota parlemen termuda.

Mulailah tangga ke panggung politik tersedia baginya. ”Saya tak memungkiri, berkat perjuangan dan karisma almarhum Ayah, karier politik saya maju. Tapi, itu saja tak cukup. Saya juga berjuang sendiri sehingga sampai seperti sekarang,” kata pria yang rajin bermain golf ini. Dulu Najib senang bermain sepak bola, tetapi setelah lututnya cedera ia tak lagi main sepak bola.

Kendati pamannya saat itu menjadi perdana menteri (Hussein Onn), ia tak serta-merta ditarik masuk kabinet. Ia mengawali karier politik dari bawah. ”Melayani rakyat adalah jalan paling baik untuk mengubah perikehidupan rakyat menjadi lebih baik,” katanya.

Ia kemudian dipilih menjadi Ketua Pemuda UMNO Cabang Pekan, juga menjadi anggota Dewan Eksekutif Pemuda UMNO (1976). Pada 1981, Najib dipilih menjadi anggota Dewan Tertinggi UMNO, sebelum memenangi pertarungan memperebutkan jabatan Wakil Presiden Pemuda UMNO (1982). Lima tahun kemudian (1987) ia diangkat menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO menggantikan Anwar Ibrahim yang bertarung memperebutkan jabatan Wakil Presiden UMNO. Jabatan Presiden Pemuda UMNO jatuh kepadanya tahun 1988.

Ketika menjadi Pemangku Ketua Pergerakan Pemuda UMNO itu, ia hampir ditangkap dan dipenjara berdasarkan Undang-Undang Keamanan Nasional (Internal Security Act/ISA) karena menggalang demonstrasi yang diikuti tak kurang dari 2.000 orang. Demonstrasi digelar menjawab gerakan elemen-elemen yang meragukan dominasi Melayu.

Ia mengakui, hingga kini masalah Melayu dan non-Melayu masih belum tuntas sepenuhnya. Orang Melayu ingin mempertahankan dominasi, sebaliknya yang non-Melayu menginginkan persamaan hak dan meritokrasi. Kata Najib, pemerintah terus berupaya menyelesaikan masalah ini. Bahkan di bidang ekonomi, pemerintah berencana mengurangi aturan tentang kepemilikan yang melandasi kebijakan ekonomi proetnis Melayu.

Pilihan rakyat

Tahun 1993, saat Anwar Ibrahim memutuskan untuk bertarung memperebutkan jabatan Deputi Presiden UMNO, Najib dipilih untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Anwar: Wakil Presiden UMNO. Jabatan itu dipertahankan dalam tiga pemilu (1993, 1996, dan 2000).

Perjalanan kariernya memperlihatkan Najib tak sekadar menjalani hidup seperti disebut sang pujangga, vita umbratilis, ”hidup dalam bayang-bayang” ayahnya yang mewariskan sikap tanggung jawab, dedikasi, dan rasa memiliki.

Pada usia 25 tahun, Najib masuk kabinet. Inilah jabatan pertama di kabinet yang dipercayakan kepadanya, sebagai Deputi Menteri Energi, Telekomunikasi, dan Pos (1978). Sekali lagi, ia menjadi orang termuda dalam jabatan politik. Lalu, ia menjadi Deputi Menteri Pendidikan, Deputi Menteri Keuangan, serta Menteri Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga. Kemudian, ia menjadi Menteri Pendidikan, Menteri Pertahanan, dan sejak September lalu menjadi Menteri Keuangan.

”Ketika diangkat menjadi menteri pendidikan, saya merasa dipercaya menyiapkan generasi muda untuk masa depan Malaysia,” kata Najib yang senang membaca buku biografi para tokoh dunia dan tentang kemiliteran ini.

Kini, ia disiapkan oleh PM Abdullah Badawi sebagai penerusnya. ”Saya senantiasa mengingatkan pada diri sendiri, saya adalah nomor dua, nomor satunya Datuk Seri Abdullah,” katanya, sambil mengingatkan bahwa tak semua deputi perdana menteri pada akhirnya menjadi perdana menteri.

”Seorang pemimpin harus menyiapkan kader, pengganti. Seorang pemimpin juga harus mampu menyejahterakan rakyat karena ia dipilih rakyat dan dapat memberikan keuntungan politik bagi pemerintahnya. Bila hal itu tak terlaksana, dapat dikatakan gagallah pemimpin itu,” katanya.

”Seorang pemimpin baru dapat dikatakan berhasil bila dipilih lagi oleh rakyat dalam pemilu,” tambahnya.

Namun, Najib mengingatkan, jabatan politik jangan diraih lewat politik uang. ”Politik uang adalah kanker, karena itu harus diberantas. Seorang politisi yang menggunakan politik uang itu hanya menunjukkan dia tidak memiliki kompetensi, kapabilitas, dan tidak percaya diri,” tegasnya.

Menurut dia, seorang pemimpin tak perlu terlalu lama menjabat, tetapi juga jangan terlalu pendek agar programnya bisa berjalan.

”Ia dapat terus menjabat selama masih efektif dan diterima rakyat. Terlalu lama ia menjabat akan menghambat perubahan. Kekuasaan harus selalu dibagi, dilingkupi dengan batas, dan diperbarui dengan pemilu,” katanya.

Selain itu, pertanggungjawaban kepada rakyat juga penting karena ia bukan diktator. Namun, menjadi pemimpin karena dipilih rakyat.

Sabtu, 15 November 2008

Susan Blackburn dan Perubahan Indonesia

Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih

Banyak akademisi meneliti mengenai politik Indonesia, tetapi tidak banyak yang melihat dari sisi peran perempuan. Dari yang sedikit itu adalah Susan Blackburn, PhD.

Susan banyak meneliti gerakan perempuan Indonesia, meskipun ketika menyusun disertasi doktor dalam ilmu politik di Monash University dia tidak mengambil topik tersebut.

”Sayang sebenarnya. Tetapi, waktu itu tidak ada yang memberi tahu. Juga pembimbing disertasi saya tidak mencetuskan ide ke arah sana,” kenang Susan. Disertasinya tentang gerakan nasionalisme di Indonesia tahun 1930-an, selesai pada 1972.

”Padahal, banyak perempuan Indonesia terlibat aktif dalam gerakan politik nasional pada tahun 1930-an,” tambah Susan dalam bahasa Indonesia yang fasih.

Ia menjadi salah satu narasumber dalam Konferensi Kedua Kartini Asia Network, di Bali, 2-5 November. Dia merefleksikan peran organisasi nonpemerintah (ornop), dalam hal ini Oxfam Australia, di mana ia menjadi anggota dan penentu kebijakan dalam membantu pemulihan kondisi perempuan korban konflik bersenjata di Sri Lanka, Kamboja, dan Timor Leste.

Meskipun ornop berhasil memenuhi kebutuhan praktis, seperti air bersih dan layanan kesehatan, serta kebutuhan strategis, seperti membantu mengatasi trauma dan mengorganisasi perempuan yang kehilangan anggota keluarga, tetapi juga ada kelemahan. Di antaranya, tak menangani semua kelompok perempuan, seperti perempuan bekas prajurit, perempuan usia muda, dan perempuan masyarakat asli, serta peran perempuan dalam perdamaian.

”Dengan mengetahui keberhasilan dan kekurangan tersebut, orang lain bisa belajar,” kata Susan dalam panel diskusi konferensi internasional itu.

Isu perempuan

Perhatian Susan terhadap isu perempuan dan jender muncul awal tahun 1980-an, sejalan dengan semaraknya gerakan feminisme di berbagai belahan dunia. Suatu ketika, ada laki-laki calon doktor mempresentasikan hasil penelitiannya tentang kesadaran berpolitik di tiga desa di Jawa. Peneliti itu tidak dapat menjawab pertanyaan Susan tentang peran perempuan dalam politik.

”Dia bilang, dia tidak bertanya kepada perempuan. Saya kecewa sekali. Saat itu, banyak perempuan terlibat dalam politik karena gerakan PKI sangat kuat di daerah yang dia teliti,” cetus Susan.

Mulai tahun 1988 Susan serius meneliti gerakan perempuan di Indonesia, sejalan dengan kariernya sebagai pengajar. ”Buku pertama saya, History of Jakarta, tahun 1988, mengenai perempuan,” kata Susan, associate professor di Monash University.

Setelah itu dia melahirkan sejumlah buku dan banyak tulisan mengenai perempuan Indonesia, terutama yang berhubungan dengan gerakan dan politik. Beberapa di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Meskipun kini lensa penelitiannya mengarah ke Sri Lanka, Kamboja, dan Timor Leste, tetapi ia tetap mengikuti perkembangan politik Indonesia, termasuk pengesahan UU Pornografi oleh DPR, akhir Oktober lalu.

Isu pornografi, demikian Susan, dapat memecah gerakan perempuan yang, meskipun menguat setelah 1998, tetapi sebetulnya belum cukup kuat. ”Ada isu lebih penting untuk perempuan, seperti kesehatan, kemiskinan, dan pendidikan. Perempuan kembali digunakan, walau tak disengaja, oleh laki-laki dan parpol untuk memenangi simpati masyarakat, juga karena Pemilu 2009,” tambah mantan Presiden International Women's Development Agency itu.

Di Australia, demikian Susan, pornografi dan prostitusi adalah isu yang amat memecah gerakan perempuan selama lebih 100 tahun. Di satu sisi ada yang melihat pornografi dan prostitusi sebagai pemaksaan, isu moral, dan perempuan sebagai korban, di sisi lain ada yang menganggap dua hal itu pilihan dan tak melakukan penilaian atas dasar moral.

”Yang menarik dalam isu ini, seolah-olah yang terlibat hanya perempuan, sementara laki-laki sebagai pengguna, lolos dari perhatian. Ini karena perempuan selalu dilekatkan dengan isu moral. Ada standar ganda,” tambahnya.

Bekerja bersama

Dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, Susan mengatakan, perempuan harus bekerja bersama laki-laki.

Contohnya, dalam mengisi kuota 30 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk perempuan. ”Saya menaruh harapan karena, di Indonesia, laki-laki feminis lebih kuat dukungannya daripada di negara lain,” kata Susan yang bersuamikan warga Amerika itu.

Australia, kata Susan, sudah memberi kursi kepada perempuan sejak 1901, tetapi baru pada 1928 ada perempuan pertama di parlemen federal. Peningkatan cukup tajam terhadap jumlah perempuan di parlemen baru terjadi tahun 1980-an, setelah partai politik memberlakukan kuota untuk perempuan dan melakukan pendidikan politik.

Sebagai peneliti dan akademisi dengan fokus politik Asia, politik pembangunan, dan perempuan dalam pembangunan dengan perhatian khusus pada Indonesia, Susan banyak membimbing mahasiswa asal Indonesia. Ia juga telah berkeliling Indonesia, kecuali Kalimantan dan Papua.

”Indonesia begitu besar. Setiap kali, saya menemukan hal baru, termasuk situasi perempuan,” kata Susan.

Otonomi daerah, misalnya, seharusnya meningkatkan kualitas demokrasi yang juga menguntungkan perempuan. ”Tetapi, lelaki masih dominan sehingga peraturan yang lahir mendiskriminasi perempuan. Di sini, aktivisme perempuan menjadi penting,” tambah dia.

Ia optimistis pada gerakan perempuan di Indonesia. Batalnya rancangan peraturan daerah Sumatera Barat, yang melarang perempuan keluar malam tanpa muhrim karena penolakan oleh gerakan perempuan dan perempuan anggota DPRD, adalah contohnya.

Dinamika politik Indonesia seperti itu amat menarik bagi peneliti seperti Susan. Dia mengaku beruntung dapat melihat perubahan politik Indonesia dari dekat.

”Saat pemerintahan Orde Baru (Orba), saya berpikir, kapan Orba akan berakhir, dan Indonesia akan jadi seperti apa? Masa depan akan berubah, nama-nama jalan (yang memakai nama pahlawan) akan berubah, dan orang-orang akan mengagumi orang-orang berbeda yang bukan militer.”

Tentang Dia

Nama: Susan Blackburn

Lahir: Adelaide, Australia, 26 Februari 1947

Pendidikan:

- BA (Honours) dari Adelaide University

- PhD dan Diploma of Education dari Monash University

Karier:

- Mengajar di Victoria University of Technology (Melbourne), Griffith University (Brisbane), dan sejak 1991 di Monash University

- Meneliti sejarah, politik, gerakan perempuan Indonesia, dan bantuan luar negeri

- Mengajar politik pembangunan, jender dalam politik Asia, politik Asia Tenggara, bantuan luar negeri, dan organisasi nonpemerintah untuk mahasiswa S-1, S-2

Buku di antaranya:

- ”Women and the State in Modern Indonesia” (Cambridge University Press, 2004)

- ”Practical Visionaries: A Study of Community Aid Abroad” (Melbourne University Press, 1993)

- Mengedit dan memberi pengantar buku ”Indonesian Islam in a New Era: How Women Negotiate Their Muslim Identities” (Clayton, Monash Asia Institute, 2007, bersama Bianca Smith dan Siti Syamsiyatun)

- ”The First Indonesian Women’s Congress of 1928” (Clayton, Monash Asia Institute, 2007)

- ”Love, Sex and Power” (Clayton, Monash Asia Institute, 2001)

Adonis, Meretas Sekat dan Batas


KOMPAS/MARIA HARTININGSIH / Kompas Images
Jumat, 14 November 2008 | 03:00 WIB


MARIA HARTININGSIH

”… thus I no longer hesitate to say: / ’the I and the other / are me…” Satu frasa dalam karya Adonis, ”A Desire Moving Through the Maps of the Material” (1986-1987), sudah cukup mengungkapkan pendirian penyair dan esais terkemuka dunia asal Suriah itu tentang ”liyan” (the other) dan ”yang diliyankan”.

Bagi Adonis (78), nama pena Ali Ahmad Sa'id, sejak usia 19 tahun, sang liyan dan sang diri menyatu dalam kesatuan diri; terasing dan diasingkan. Pengasingan tidak berarti secara fisik. Bahasa itu sendiri lahir dalam keterasingan.

Seperti banyak intelektual Arab yang tinggal di negara lain, Adonis hidup di antara dua keterasingan; di dalam dan di luar diri. ”I live between the plague and the fire, with my language, with this speechless worlds…,” begitu tulisnya dalam ”The Fall” (dari Songs of Mihyar).

Beberapa negara Arab menutup pintu baginya karena kritiknya yang tajam mengenai kemandekan sastra dan budaya Arab. Ia pun mengalami bentuk-bentuk pengasingan lain: sensor, larangan, pengusiran, pemenjaraan, dan (ancaman) kekerasan.

Pandangan Adonis tentang kebenaran sebagai sesuatu yang harus terus diuji senantiasa berhadapan dengan pandangan arus utama tentang kebenaran sebagai yang sudah pasti. Itulah jantung perbedaan puisi dan teks agama. Puisi berproses dalam situasi yang terus berubah dan menjadi. Puisi adalah tindakan awal tanpa akhir.

Tujuan puisi adalah pertanyaan, pengamatan, penelitian, dan terobosan. Puisi memberi ruang bagi ”sang liyan” dalam berbagai bentuknya, bahkan menjadi identitas puisi yang terus-menerus melakukan hijrah dalam bahasa. Puisi menembus batas agama.

Adonis, yang banyak disebut sebagai sosok paling berpengaruh dalam kritik sastra, puisi, dan sastra Arab, ditemui pada suatu pagi pekan lalu di Jakarta, beberapa hari setelah memberikan kuliah umum mengenai kebenaran puisi dan kebenaran agama di Salihara, Senin (3/11).

Mohamad Guntur Romli, yang belajar akidah filsafat di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir, membantu menerjemahkan wawancara dalam bahasa Arab.

Pembebasan

Bagi Adonis, teks agama sering kali ditafsirkan sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan politik tertentu. Aliran politik yang despotik dan penafsiran sempit ideologi keagamaan senantiasa melahirkan pemaksaan dan kekerasan. Kemanusiaan yang tanpa sekat tak mendapat tempat.

”Sejarah memperlihatkan, yang kuat yang menafsirkan. Mereka menciptakan kebenaran tunggal,” kata Adonis menambahkan ”mereka” adalah kolaborasi penguasa, intelektual, dan uang.

Pemikiran di luar lingkaran itu dibenamkan. Orang-orangnya dikafirkan, diliyankan. Itu terjadi pada para sufi, filsuf, dan penyair yang pemikirannya tak pernah tunduk pada klaim tertentu. Mereka adalah ”liyan”, si ikan paus biru dalam karyanya, Musiqa al-Hut-al-Azraq (Musik Paus Biru).

”Toleransi sejati tak mungkin dibangun kalau satu pihak mengklaim kebenaran tertinggi,” tegasnya.

Di dalam kebenaran tunggal, kebudayaan tak bisa berkembang karena kreativitas yang melahirkan pembaruan hanya dimungkinkan jika akal dan imajinasi manusia tidak dipenjara oleh sesuatu yang dianggap tak pernah bisa berubah.

Stagnasi, kata Adonis, ”Karena teks menguasai realitas.”

Hal itu pula yang membuat orang malas berpikir untuk mencari solusi atas persoalan- persoalan riil sosial kemasyarakatan. ”Berpikir adalah pekerjaan berat, tetapi merupakan langkah maju. Kemalasan berpikir membuat orang berjalan mundur, mencari solusi persoalan masa kini dari masa lalu,” tegas Adonis.

Pemikiran-pemikiran Adonis dapat dibaca dalam karya monumental Adonis berjudul al-Tsâwabit wal Mutahawwil (Yang Tetap dan Yang Berubah). Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS) Yogyakarta menerbitkan empat jilid edisi bahasa Indonesia. Dalam dua jilid pertama, berjudul Arkeologi Sejarah-Pemikiran Arab-Islam, terpapar pembacaan yang sangat luas tentang pertarungan dua kubu di ranah sastra, teologi, politik, dan budaya Arab- Islam.

Kubu yang ingin menguatkan kemapanan berlindung di balik kekuasaan teks untuk memaksakan satu versi tafsir yang sahih. Kubu lainnya menjadikan teks sebagai khazanah tafsir yang terus mengalami pembaruan dan penyesuaian.

Dipuja dan dikecam

Meskipun kritis terhadap persoalan Islam di Timur Tengah, sebagai penyair, Adonis tampaknya lebih tertarik pada eksperimentasi, bahasa, dan pembebasan puisi dari formalisme tradisi.

Ia dipuja sekaligus dikecam karena mendobrak pakem-pakem puisi Arab yang telah mapan berkurun waktu. Barangkali, di sinilah letak pentingnya karya Adonis, seperti dibaca dalam uraiannya di Salihara; menggedor yang dianggap mapan, dan menguatkan pembaruan dalam dua ranah sekaligus, sastra dan agama.

Adonis lahir di Desa Al-Qassabin, dekat Kota Lakasia, Suriah, tahun 1930. Meski tak duduk di sekolah formal sampai usia 12 tahun, anak pertama dari enam bersaudara ini sudah belajar membaca dan menulis pada seorang guru desa dan mendapat pendidikan Islam tradisional dari ayahnya, seorang petani dan imam masjid.

Ketika membacakan puisi- puisi heroik karyanya di depan Presiden Suriah Shukri al-Quwatli, tahun 1944, Sang Presiden terpesona, lalu mengirim Adonis ke sekolah Perancis di Kota Tartus. Adonis yang cerdas melompati tingkat-tingkat kelas.

Ia menyelesaikan studi di bidang hukum dan filsafat di Universitas Damaskus, dan sempat belajar di Perancis. Tahun 1973, ia memperoleh PhD dalam Sastra Arab dari Universitas St Joseph di Beirut.

Semangat pembaharu terkandung dalam pilihan nama pena yang diambilnya dari mitologi Yunani. Ia sempat merasakan dinginnya lantai penjara pada tahun 1955.

Bersama istrinya, kritikus sastra, Khalida Said (kini 76 tahun), mereka pindah ke Lebanon tahun 1956. Ia mendirikan jurnal Shi'ir yang memperkenalkan gagasan modernitas ke dalam puisi Arab, dan langsung dilarang di beberapa negara Arab. Ia juga mendirikan jurnal kebudayaan, Mawaqif.

Adonis mengajar Sastra Arab di Universitas Lebanon sebelum menetap di Paris awal tahun 1980-an karena perang saudara di Lebanon. Ia mengajar di Sorbonne Paris III, dan menjadi dosen tamu beberapa universitas di AS dan Swiss.

Meski berpindah-pindah tempat tinggal, ia tak pernah dirisaukan soal identitas. Bagi dia, identitas adalah proses ”menjadi” yang terus-menerus.

Ayah dua anak perempuan, Arwad (50) dan Ninar (35), ini dikenal sebagai intelektual Muslim dan penulis dunia yang membangun jembatan-jembatan pemikiran. Ia menerima berbagai penghargaan dari berbagai negara. Namanya berada dalam daftar pendek nominasi Nobel untuk Kesusasteraan sejak tahun 2003.

Karya Adonis lainnya

Beberapa karya Adonis antara lain lebih dari 20 buku puisi. Puisi pertamanya terbit tahun 1957, ”Leaves in the Wind” (1958). Adikaryanya, ”Aghani Mihyar al-Dimashqi” atau ”Songs of Mihyar the Damascene” (1961), baru diluncurkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Karya Adonis lainnya antara lain ”A Time Between Ashes and Roses” (2004), ”If Only the Sea Could Sleep” (2003), ”The Pages of Day and Night” (2001), dan ”The Blood of Adonis” (1971).

Adonis juga editor dari buku-buku antologi, ahli teoretisi puisi, dan penerjemah buku-buku berbahasa asing ke bahasa Arab.

Rabu, 12 November 2008

Natsir, Negarawan Santun Bertutur Kata


Rabu, 12 November 2008 | 00:43 WIB

Agus Basri

Tokoh-tokoh seratusan, demikian sejarawan Taufik Abdullah—mungkin bercanda—mengistilahkan, menjadi amat bermakna tahun ini.

Ada seratus tahun Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Syahrir, Mohamad Roem, Hamka, dan seratus tahun Kebangkitan Nasional. Namun, yang penuh makna adalah seabad Mohd Natsir. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, melalui Keputusan Presiden Nomor 041/TK/Tahun 2008, menetapkan Bung Tomo, KH A Halim, dan M Natsir sebagai pahlawan nasional.

Sosok M Natsir (1908-1993), Perdana Menteri Pertama NKRI tahun 1950 dan tokoh PRRI, sebenarnya sudah diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 40 tahun lalu, semasa Mintardjo menjabat Menteri Sosial pada awal 1970-an. Dan, Keppres Presiden yang menetapkan Natsir sebagai pahlawan nasional saat genap 100 tahun merupakan kado istimewa. Ini sekaligus menepis pendapat yang menuduh pergolakan PRRI dan RPI sebagai pemberontakan.

Muara semuanya, tak lepas dari kerja keras Panitia Refleksi Seabad M Natsir (1908-2008), yang dipimpin Prof Dr Laode M Kamaluddin dan Lukman Hakim, Wakil Ketua Fraksi PPP DPR, dengan menempatkan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai Ketua Dewan Penasihat Panitia. Beratus ilmuwan menyumbangkan pikiran M Natsir dalam seminar di berbagai kota selama setahun dan mengudari bukti-bukti karakter dan kepribadiannya yang luar biasa toleran dan kesederhanaannya yang memukau, bahkan oleh lawan politiknya.

Santun

George McKahin dari Cornell University, misalnya, terkagum-kagum melihat Natsir, satu-satunya Menteri (Penerangan) yang mengenakan baju tambalan; selalu berbicara dengan tutur kata yang santun dan tertata; Ketua Partai Masyumi yang amat akrab—bahkan sampai ke hal-hal pribadi—dengan Ketua Partai Katolik IJ Kasimo. Natsir, seorang Perdana Menteri yang (dengan halus) menolak hadiah mobil Chevy Impala dari cukong; dan satu-satunya pejabat di pemerintahan yang pulang ke rumah dari istana membonceng sepeda onthel sopirnya selepas menyerahkan jabatan perdana menteri kepada Presiden Soekarno.

Para sejarawan mencatat, tonggak- tonggak telah dipancangkan, pahatan dipatrikan, tanpa sesiapa pun bisa melupakan. Adalah kabinet M Natsir yang memperjuangkan Indonesia menjadi anggota PBB. Dia pula yang memahatkan politik luar negeri ”’bebas aktif’ ’sejak awal. Ini berbeda dari mengayuh di antara dua karangnya M Hatta yang lebih dekat pada politik luar negeri yang netral. Natsir pula yang menuktahkan kata kalimatun sawa, titik temu yang harus diraih oleh dan di tengah kemajemukan (umat, etnik, aliran, ras) atau kebinekaan Indonesia.

Kabinet Datuk Sinaro Panjang ini pula yang mematok kebijakan ekonomi dengan ”Program Benteng” yang menghasilkan konglomerat pribumi Hasjim Ning, Dasaat, Rahman Tamin, Ayub Rais, dan Achmad Bakri—yang terakhir adalah ayah Menko Kesra Aburizal Bakrie. Juga konsepsinya tentang negara berkesejahteraan dalam rangka pembangunan berkeadilan sosial. Kebijakan ekonomi yang diperuntukkan kepada mereka ”yang tidak diuntungkan” (rakyat kecil).

Namun, ”pergelaran” kekuatan Natsir—dan partai terbesarnya di parlemen, Masyumi—kukut alias ”turun layar (tancep)” setelah tak lagi harmonis dengan Presiden Soekarno terkait masalah Irian Barat (kini Papua), hanya lantaran sang Perdana Menteri mengajak para menteri ke istana berdebat dan membuat Bung Karno merah, Natsir mengistilahkan. Sejak itu, mudah diterka, kabinet Datuk Sinaro Panjang tak (lagi) berumur panjang.

Pada sebuah petang, dalam wawancara dengan saya, M Natsir—yang tampak seperti masih teriris-iris pada masa tuanya—mengingat-ingat saat dipermainkan dalam sidang-sidang parlemen yang tidak kuorum. ”Permainan di Parlemen yang menyebabkan (kabinet) saya jatuh…. Tidak fair itu. Maka, kabinet saya mengundurkan diri. Saya tak mau dipermainkan begitu,’’ katanya (Buku 100 tahun M. Natsir, Berdamai dengan Sejarah).

Tak berniat memberontak

Namun, Natsir terus melaju. Dengan kendaraan Masyumi, melalui parlemen, pejuang demokrat ini mengajukan konsep dasar negara Islam, seusai Pemilu 1955. Dan, kekuatan di belakangnya bergerak terayun seperti bandul, yang lantas seperti sengaja ”dibikin untuk dipatahkan” dengan kata vonis: deadlock. Serentet perjuangannya menjadi tersedak saat Presiden Soekarno membubarkan kabinet dan lengket dengan kekuatan komunis.

Inilah yang mengantarnya memberi perlawanan bahkan sampai pada bentuk pergolakan—ada yang menyebut pemberontakan—PRRI dan RPI. Sebuah perlawanan, yang menurut RZ Leirissa, dalam buku PRRI Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis, ”… merupakan usaha untuk menggalang kesatuan di antara berbagai kelompok dalam bangsa Indonesia yang menolak konsepsi Presiden Soekarno dan pengaruh komunisme.”

Leirissa menyatakan, ”Dan PRRI sejak semula tidak ada niat untuk memberontak.” Namun, perlawanan itu kandas setelah Presiden Soekarno mengeluarkan amnesti. Sebuah langkah, yang tidak saja membuat Natsir turun gunung, tetapi juga menjelomprongkan dan menjebloskannya ke penjara tanpa ada pengadilan hingga dilepas oleh rezim Soeharto dengan syarat tak lagi boleh berpolitik praktis.

Senjata kala pada akhir hayatnya pada 7 Februari 1993 telah mengantar M Natsir menjadi lebih dikenal sebagai ulama, yang teduh, sebagai Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, dan Wakil Presiden Mu’tamar Alam Islami. Ini mengingatkan pada seorang Natsir yang menancapkan kata: ”Bagi saya, politik dan dakwah tidak bisa dipisahkan. Seperti dua sisi dari keping mata uang yang sama. Kalau kita berdakwah dengan membaca Qur’an dan Hadits, itu berpolitik. Jadi, dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui jalur dakwah…. Politik tanpa dakwah, hancur,” kata-kata yang dikutip banyak pejabat dan akademisi, tertatahkan pada buku hijau: Politik Melalui Jalur Dakwah, yang diterbitkan Panitia Seabad M Natsir, setengah tahun sebelum Presiden SBY menandatangani Keppres pahlawan nasional.

Dan, inilah sebuah gelar, yang tidak saja menuktahkan kenegarawanan seorang ulama intelektual, yang selalu memegang teguh amanah dengan tingkat toleransi tinggi, memahatkan kalimatun sawa’, sekaligus—dengan gelar itu—membuktikan dan membantah sementara orang yang menyebut PRRI sebagai pemberontakan.

Lebih dari itu. Pelajaran di sekolah, yang selama ini menyebut PRRI sebagai ”pemberontakan” seharusnya segera dihapus dan digantikan dengan kata ”perjuangan”, plus tambahan kata ”pahlawan nasional” pada nama Mohd Natsir. Ini barangkali makna paling dalam dari seratusan.

Agus Basri Panitia Refleksi Seabad M Natsir; Penulis Buku M. Natsir; Pemimpin Redaksi The Fatwa Magazine

Sabtu, 01 November 2008

Eric E. Schmidt, Satu dari Tiga Aktor Google


CEO Google Eric E. Schmidt
Senin, 20 Oktober 2008 | 07:06 WIB

JAKARTA, JUMAT - Dunia bisnis mencatat pria berkacamata ini sebagai orang yang sukses dalam bisnis internet. Terkesan dengan kepiawaiannya, Larry Page dan Sergey Brin, dua pendiri Google, mendaulatnya menjadi chief executive officer (CEO) raksasa mesin pencari itu sejak 2001. Mereka percaya pengalaman Eric E. Schmidt di jagad maya selama 20 tahun membuatnya mampu membesarkan Google. Eric membayar tuntas kepercayaan mereka. Orang terkaya dunia peringkat 142 versi majalah Forbes ini menjadi satu dari tiga aktor dibalik kesuksesan Google.

Dialah pria yang menguasai peta dunia maya. Betapa tidak, dia orang nomor satu di situs pencari nomor satu di dunia. Sebagai Chief Executive Officer Google, Eric E. Schmidt berperan penting menyulap Google, dari sekadar mesin pencari data menjadi mesin penghasil uang.

la pun telah mengantarkan perusahaan yang bermarkas di California, Amerika Serikat itu, sebagai salah satu perusahaan kompetitor terberat Microsoft Corporation. Tak hanya itu, berkat kepiawaiannya pula, pengembangan dan inovasi bisnis internet termasuk bisnis iklan online Google terus bergulir.

Kini, Eric kompak memerintah Google bersama dua pendiri Google, Lary Page dan Sergey Brin. Kekompakan ketiga orang ini kerap kali mendapat julukan Triumvirat Google.

Kesuksesan Eric bersama Google menambah pundi-pundi kekayaanrnya. Ia adalah salah satu dari sedikit orang yang menjadi miliuner dari opsi saham (stock option) bagi karyawan di perusahaan, biarpun ia bukan pendiri maupun sanak keluarga pendiri perusahaan itu.

Majalah Forbes mendudukkannya pada ranking 142 daftar orang terkaya di dunia pada 2008 ini. Majalah itu menghitung total kekayaan Eric mencapai 6,6 miliar dollar AS. Pada tahun ini pula, Forbes memasukkan Eric ke dalam daftar orang terkaya di bidang teknologi informasi di urutan ke-59. Sedangkan tahun lalu, is berada di peringkat pertama 50 orang terpenting di jagad web versi majalah PC World.

Saat ini, Schmidt tinggal di Atherton, California, Amerika Serikat bersama istrinya, Wendy. la juga meluangkan waktu mengajar kuliah bisnis paruh waktu di Standford Business School.

Schmidt lahir pada 27 April 1955 di Washington D.C. Ayahnya seorang ekonom dan ibunya adalah ibu rumah tangga biasa. la mengenyam pendidikan menengah di Yorktown High School, Virginia. Selepas itu, Schmidt melarutkan pendidikan ke Princeton University. Di sana, ia memperoleh gelar Bachelor of Science pada bidang studi teknik elektro. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Pada 1979, Schmidt mendapatkan gelar master ilmu komputer. Lalu pada 1982, is memperoleh gelar Ph. D. dalam ilmu komputer dari University of California, Berkeley. Kala itu, disertasinya mengenai masalah manajemen distribusi pengembangan software dan peralatan untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Pada awal perjalanan kariernya, Schmidt memilih serius di bidang tehnik pada perusahaan TI. la tercatat pernah bekerja pada Bell Laboratories dan Zilog. la pun pernah bekerja sebagai staf penelitian pada - laboratorium ilmu komputer di Xerox Palo Alto Research Center (PARC).

Pada 1983 adalah tahun yang menentukan bagi kelanjutan karier Schmidt. Pada tahun inilah ia bergabung dengan Sun Microsystems untuk memimpin proyek pembuatan program Java. Tak lama kemudian kariernya melejit menjadi Chief Technology Officer (CTO) Sun Microsystems.

Selama kurun waktu 14 tahun di Sun, Schmidt berhasil menduduki berbagai posisi eksekutif. la mendapat pengakuan dunia internasional atas sumbangannya pada perkembangan internet. Dia juga megjadi tokoh penting dalam mengembangkan dan memasarkan Java, platform bahasa program milik Sun.

Kemudian tahun 1997, Schmidt bergabung dengan dengan Novell Inc sebagai CEO. Waktu ia bergabung, perusahaan software ini sedang kesulitan. Schmidt mencoba memperbaikinya. Namun ketika-itu gelembung dotcom pecah dan ekonomi AS melambat. Akhirnya Schmidt meninggalkan Novell.

Pada Maret 2001, Schmidt melamar ke Google. la harus bersaing dengan 50 orang lainnya yang berambisi mendampingi pendiri Google, Lary Page dan Sergey Brin, yang waktu itu sedang mencari wakil direksi. Hasilnya, kedua pendiri Google tersebut begitu terkesan dengan Schmidt ketika mewawancarainya.

Eric Schmidt punya pekerjaan yang tak mudah sebagai Chief Executive Officer (CEO) Google dan orang nomor tiga di perusahaan itu. Namun, is membuktikan kepada semua orang bahwa ia berhasil membawa Google menjadi perusahaan internet yang menguntungkan. Eric juga menggagas budaya kerja unik di Google. la menciptakan formula 70/20/10. la pun membangun Googleplex, markas besar Google, sebagai tempat kerja yang nyaman. Namun, Eric terkenal sebagai orang yang sangat tertutup.

Dengan 20 tahun lebih pengalaman dalam perusahaar Eric bisa menjaga keseimbang an di antara Larry Page dan Sergey Brin, dua orang pendiri Google. Jika kedua anak muda itu terlibat perdebatan atau perbedaan pendapat yang panas, Eric-lah yang akan berdiri di antara mereka. la akan menyatukan pendapat mereka sehingga perusahaan itu tetap solid di depan para hadapan Wall Street.

Bisa dibilang, pekerjaan Chief Executive Officer (CEO) Eric adalah yang tersulit di seluruh negeri itu. Dia harus berbagi kewenangan dengan dua pendiri Google yang sangal besar pengaruhnya. Dia pula yang harus menyampaikan keputusan mereka kepada investor dan karyawan.

la harus mengelola perusahaan internet yang sedang berkembang pesat dan merijaganya dari masalah, agar kreativitas tetap terpacu. Dan, is harus melakukan semua itu sambil berkompetisi dalam meraup pangsa pasar.

Eric membuat Google mendapat keuntungan dari penjualan iklan teks yang tertera di samping hasil pencarian, penjualan lisensi tehnologi pencari, dan bisnis periklanan. Kini, kapitalisasi pasar Google Inc., mencapai 168 miliar dollar AS. Sekitar 19.604 karyawan turut menopang roda bisnis Google.

Langkah fenomenal Eric dalam memperluas bisnis Google adalah mengakuisisi situs bisnis periklanan online yang menggunakan video. Awalnya, banyak yang pesimistis bahwa akuisisi ini akan berhasil. Namun, Eric tetap berkeras hati. Pada 10 Oktober 2006, is mewujudkan mimpinya tersebut. Walhasil, Google mengakuisisi situs Youtube senilai 1,65 miliar dollar AS.

Ternyata keputusannya mengakuisisi situs tersebut adalah pilihan yang tepat. Pada 2007, Google melaporkan telah mengantongi keuntungan dari pendapatan iklan sebesar 5,7 miliar dollar AS. Hal ini berarti, hanya dalam setahun, mereka mengembalikan modal pembelian Youtube.

Selain itu, Eric juga menggagas sebuah model sumber daya bisnis, yaitu formula 70/20/10. Metode ini menjadi terobosan bagi Google untuk mengelola inovasi para karyawannya. Berdasarkan rasio ini, karyawan idealnya harus memanfaatkan 70 persen waktu untuk mengerjakan bisnis inti perusahaan, 20 persen waktu untuk melakukan proyek yang berhubungan dengan bisnis inti, dan 10 persen waktu untuk proyek di luar bisnis inti.

Selain jago dalam dunia bisnis, Eric juga telah menciptakan budaya perusahaan yang unik. Eric berusaha menciptakan kondisi bekerja yang nyaman dalam perusahaan. Markas Google di Mountain View, California, Amerika Serikat lebih mirip kampus daripada kantor. Di sana, Eric menyediakan teknologi yang hebat, fasilitas lengkap, serta cemilan gratis.

Kenyamanan ini telah membuat banyak karyawan betah bekerja di Google. Menurut catatan majalah Fortune, saat ini tingkat turn over karyawan Google hanya 1 persen. Fortune pun menjuluki Googleplex sebagai kantor ternyaman di dunia.

Pada 2006, Eric memperoleh penghargaan dari National Academy of Engineering lantaran sukses mengembangkan strategi bagi mesin pencari paling sukses sedunia. Pada tahun ini pula, Apple Inc. memasukkan Eric ke dalam jajaran direkturnya.

Eric terlibat pula di sejumlah yayasan. la adalah Chairman New America Foundation. Ia dan isterinya pun menjalankan The Schmidt Family Foundation yang menangani isu keberlangsungan dan penggunaan sumber daya alarm secara bertanggung jawab.

Di luar itu, Eric juga seorang kolektor seni. Ia berada dalam daftar kolektor seni kelas atas pada ARTnews 200. Selebihnya, tak banyak orang tahu siapa Eric sebenarnya dan bagaimana kehidupan pribadinya. Sebab, ia sangat berhasti-hati menjaga masalah-masalah personalnya. Satu contoh yang paling terkenal adalah ketika ia mencekal wartawan CNet setelah situs berita teknologi itu menuhs cerita pribadiaya dengan menggunakan data-data dari hasil pencarian di internet. (Roy Franedya, Rika Theo)