Perjalanan Doktor Komunikasi Jender Sunarto
Gesit Ariyanto
Tidak banyak akademisi yang secara serius mendalami persoalan jender di negeri ini. Apalagi akademisi berlatar belakang ilmu komunikasi. Dan, Sunarto (40) merupakan salah satu yang memutuskan mengarungi belantara luas itu.
"Janji" setia Sunarto menyusuri ladang persoalan jender itu dikuatkannya ketika pada Kamis (19/7) ia resmi menyandang gelar doktor pada Program Pascasarjana Bidang Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI). Jalannya kian sempurna ketika ia memperoleh predikat cum laude dengan indeks prestasi (IP) sangat sempurna: 4.0!
Promotornya, Profesor Alwi Dahlan, secara khusus memberi pujian tinggi atas prestasi akademiknya. Selain tepat waktu (10 semester), ia juga menyelesaikannya di tengah-tengah kesibukan mengajar di program sarjana S-1 FISIP-UI dan Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro (Undip), tempat dia mengajar.
Di sela-sela waktunya pergi-pulang Jakarta-Semarang, Sunarto masih sempat memprakarsai pertemuan Kemisan mahasiswa S-3 UI. Di sana pula ia menjadi rujukan bertanya beberapa temannya.
Ko-promotornya, Francisia SSE Seda, memberi catatan khusus pula, yakni sebagai akademisi dengan spesialisasi jender yang bukan berlatar ilmu sosiologi. Bahkan, teori pendekatan yang digunakannya lengkap dan utuh.
Soal pilihannya yang lebih condong ke arah paradigma sosiologi, ia berujar, "Saya punya alasan khusus."
Ia mengaku, ketertarikannya pada soal-soal kekerasan berawal dari masa kecilnya yang ia sebut buruk. Sang ayah, yang dibesarkan kakek-buyutnya, ringan tangan alias suka memukul.
Kebiasaan buruk itu menular. Sunarto muda pun ringan tangan terhadap adik-adiknya, khususnya bila keinginannya tak terpenuhi. Kebiasaan itu selalu berulang hingga ia memperoleh pencerahan ketika kuliah S-1 di FISIP Undip.
Sedikit banyak, rasa sesal dan ingin menebus kesalahan yang menular itulah yang menyemangatinya menekuni studi yang berbau kekerasan. Ia tak ingin masa lalunya yang keras dialami anak-anak atau siapa saja.
Disertasinya membahas potensi kekerasan terhadap perempuan yang muncul dari media televisi, khususnya dari tontonan hiburan anak-anak: film kartun seperti Doraemon, Crayon Shinchan, dan P-Man. Disertasinya berjudul "Kekerasan Televisi terhadap Wanita: Studi Strukturisasi Gender Industri Televisi dalam Naturalisasi Kekerasan terhadap Wanita Melalui Program Televisi untuk Anak-anak Indonesia".
Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa tontonan keluarga itu ternyata menebar benih-benih kekerasan. Disadari atau tidak, itu terjadi hingga ruang-ruang privat. Lebih jauh, membentuk pola pikir anak-anak.
Para penguji memuji kejeliannya memilih tema, yang sebenarnya umum, tetapi dengan cerdas dibingkainya dalam teori dan pemilihan obyek penelitian pada film-film kartun. Pertanyaan yang sulit dari penguji pun ia jawab dengan baik.
Keringat orangtua
Meskipun membesarkan dengan keras, tak bisa dihapusnya rasa hormat kepada sang ayah dan ibu. Orangtua dengan segala keterbatasan yang sesungguhnya membiayai kuliah dengan membanting tulang.
Bagaimana tidak? Ayahnya, Ngadiyono, adalah petani gurem yang memilih pindah dari Sukoharjo ke Kudus (Jawa Tengah) untuk kehidupan lebih baik. Kuli pasar, memulung sampah, mengayuh becak, dan berdagang bakmi keliling dilakoninya untuk keluarga dan impian anaknya menjadi pegawai negeri.
Ibunya, Inem Salamah, berjibaku dengan panas dan debu menjajakan pecel keliling kampung. Dari kerja keras itulah biaya sekolah Sunarto dan dua adiknya berasal.
"Saya juga tidak tahu bagaimana kami bisa cukup. Tapi, masa lalu itu sungguh luar biasa," katanya. Kamis malam, ia memandu ibu dan saudara-saudaranya muter-muter Jakarta. Soalnya, sang ibu belum pernah melihat Tugu Monas.
Sunarto adalah pekerja keras, pantang menyerah. Semangat untuk maju ditunjukkan dengan aktivitas rutinnya setiap semester, yaitu ia harus menemui rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, dan struktur birokrasi tingkat desa dan kecamatan demi mendapatkan surat miskin.
Dari surat itu, ia menerima potongan biaya kuliah semesteran 50 persen atau sebesar Rp 27.000. Cukup berarti untuk mahasiswa seperti dirinya.
Selain jatah dari orangtua, ia dapat honor sebagai reporter pers kampus, Manunggal, juga dari honor menulis di harian lokal. Sesekali ia dapat "proyek" mengecat spanduk acara kampus dengan bayaran makan malam gratis.
Untuk belajar, sebagaimana umumnya mahasiswa berlatar belakang ekonomi pas-pasan, Sunarto mengandalkan catatan kuliah dan buku-buku diktat yang dibaca atau dipinjam dari perpustakaan.
Prestasi akademiknya yang bagus membawa dia memperoleh beasiswa dari Try Sutrisno ketika menjabat sebagai Wakil Presiden. Tahun 1990 itu, ia memperoleh beasiswa sekitar Rp 150.000 per semester.
Panggilan mulia
Masa remaja dan kuliahnya yang sulit secara ekonomis tak membuatnya silau pada kekayaan dan lupa pada tujuan hidup mulia: berbagi ilmu dengan sesama. Pekerjaannya, seusai lulus kuliah, sebagai staf pemasaran Harian Bernas di Yogyakarta ia tinggalkan demi menjadi dosen pada almamaternya.
Ketika itu, dari segi finansial gajinya di Bernas tahun 1990-1991 antara Rp 300.000 dan Rp 500.000 per bulan. Jumlah yang sangat cukup untuk fresh graduate seperti dirinya. Apalagi untuk hidup sebagai lajang di Yogyakarta atau Semarang.
Dengan itu, ia pun sebenarnya bisa berbangga hati atau balas dendam atas masa lalunya yang sulit. Meskipun demikian, ia memilih memasuki jalan "berat" sebagai dosen berstatus calon pegawai (capeg) dengan honor Rp 60.000 per bulan.
Prinsipnya, dengan bekerja sebagai tenaga pemasaran, ia hanya akan membuat kaya segelintir orang. Sementara dengan menjadi seorang guru (dosen), dirinya akan berguna bagi banyak orang.
"Hati saya tidak bisa berbohong. Saya tidak cocok di dunia bisnis," ujarnya.
Kini, cita-cita besar yang sedang dikejarnya adalah menjadi bagian dari arus kecil penyadaran kesetaraan jender dan advokasi masyarakat melek terhadap potensi kekerasan. Di sanalah ia menuju....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar