Rabu, 29 Oktober 2008

Tak Henti Melawan Korupsi


KOMPAS / Kompas Images
Rabu, 29 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Bung Hatta Anti-Corruption Award atau BHACA tahun 2008. Inilah perhelatan untuk penobatan tokoh antikorupsi. Memanfaatkan momentum Hari Sumpah Pemuda, mereka yang mendapat penghargaan diharapkan konsisten sepanjang hidupnya melawan setiap bentuk penyimpangan kekuasaan, seperti figur Bung Hatta.

Mereka yang terpilih adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas, dan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Amien Sunaryadi.

Sri Mulyani Indrawati

Mereformasi birokrasi di lingkungan Departemen Keuangan (Depkeu) adalah langkah awal yang dilakukannya sejak menjadi Menteri Keuangan pada 2005. Apakah reformasi itu berhasil? Belum.

”Perlu proses lama dan tak mudah mencapai birokrasi yang saya cita-citakan. Penuh onak dan duri, serta pengorbanan,” ujar istri dari Tonny Sumartono dan ibu tiga anak, Dewinta Illinia Sumartono, Adwin Haryo Indrawan Sumartono, serta Luqman Indra Pambudi Sumartono ini.

Meski sudah tiga tahun, reformasi birokrasi masih menyisakan sederet daftar birokrat yang ideal. Birokrasi yang kapabel, kompeten, berintegritas, dan berdedikasi tinggi. Birokrasi juga harus menjadi pengayom, tak mengkhianati sumpah jabatan, tak mencederai kepercayaan publik, dan menjaga martabat jabatan. Untuk mencapainya, birokrat harus dibekali pendidikan yang baik, intelektualitas cukup tinggi, serta kepercayaan diri.

Dengan bekal itu, aparat berani menentukan kebijakan terbaik bagi rakyat dan negara, meski diiringi risiko, konsekuensi berat, dan tak populer. Di sinilah letak pengorbanan. Sebab, bagi Ani, panggilannya, Indonesia harus dijaga dengan serius.

Langkah untuk membersihkan birokrasi di Depkeu dipraktikkan perempuan pertama di Indonesia yang menjadi Menkeu ini. Pada 30 Mei 2008, ia mempersilakan KPK membongkar praktik suap dalam layanan kepabeanan di Kantor Pelayanan Utama (KPU) Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Priok. Hasilnya, ditemukan uang suap Rp 500 juta.

Temuan ini dianggapnya keterlaluan karena sebelum pemeriksaan KPK ia telah mengupayakan perbaikan penghasilan pegawai Depkeu. Khusus untuk pegawai Ditjen Bea dan Cukai KPU Tanjung Priok, mereka diberi tunjangan khusus.

Bagi perempuan kelahiran Bandar Lampung, 26 Agustus 1962, ini, kondisi itu menunjukkan banyak tantangan yang belum terselesaikan. Tantangan paling sulit adalah hambatan kultural dan nilai-nilai yang menghambat tercapainya cita-cita birokrasi ideal.

Malas dan skeptis terhadap perubahan dan perbaikan yang menjadi prinsip dasar reformasi birokrasi merupakan penghambat utama. Ada lagi kebiasaan buruk di lingkungan birokrasi, pertemanan dan ketidakpahaman untuk membedakan antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik.

”Pejabat yang belum paham asas konflik kepentingan dan pentingnya etika jabatan publik sering menimbulkan suasana tak nyaman dalam menjalankan prinsip jabatan publik. Bahkan, sering menimbulkan benturan di tingkat operasional. Jangan sampai kondisi ini menurunkan semangat perbaikan,” harap wanita paling berpengaruh ke-23 di dunia versi Forbes dan penerima penghargaan sebagai Finance Minister of the Year tahun 2008 untuk kawasan Asia dari harian Emerging Markets ini.

Busyro Muqoddas

Busyro teringat surat dari Perkumpulan Bung Hatta beberapa waktu lalu. Perkumpulan ini memintanya mengusulkan nama untuk calon penerima Bung Hatta Award bidang pemberantasan korupsi. Surat itu ia kembalikan, tanpa mengusulkan siapa pun. ”Takut salah informasi. Saya juga mempertimbangkan lembaga pemberi award-nya.”

Selang beberapa bulan, lelaki kelahiran Yogyakarta 56 tahun lalu ini didatangi seorang ibu berusia lanjut. Ibu ”sepuh” itu berkata, Busyro dinominasikan sebagai penerima penghargaan. Ternyata, Perkumpulan Bung Hatta mengumpulkan berbagai informasi mengenai Ketua Komisi Yudisial ini.

”Saya memahami penghargaan ini sebagai award untuk institusi Komisi Yudisial (KY). Saya ini bagian tak terpisahkan dari KY,” katanya.

Sejak Agustus 2005, Busyro aktif di KY dan memimpin lembaga penjaga kehormatan dan keluhuran hakim ini hingga kini. Di awal usianya, KY melakukan sejumlah tindakan progresif yang memunculkan reaksi para hakim, termasuk hakim agung. Perselisihan itu berakhir di Mahkamah Konstitusi.

Busyro sudah lama berkecimpung di dunia peradilan. Sebelum menjadi anggota KY, ia adalah pengacara di Yogyakarta.

Menurut dia, pemberantasan korupsi belum maksimal dan masih mengalami berbagai hambatan dari segi suprastruktur maupun infrastruktur.

Dari suprastruktur, ia melihat pemberantasan korupsi belum dilakukan secara sistemik dan sungguh-sungguh. Ia tak melihat komitmen, sinergi, keterbukaan, dan transparansi dari semua lembaga. Korupsi belum dibuktikan sebagai common enemy secara sungguh-sungguh.

”Pemberantasan korupsi belum menjadi mesin, belum menjadi gerakan penegakan hukum terhadap korupsi secara sistemik,” ujarnya.

Dari segi infrastruktur, gerakan pemberantasan korupsi belum matang. Pendidikan antikorupsi masih rendah sehingga sedikit yang menyadari korupsi adalah musuh bersama.

Terkait permasalahan korupsi, ia menilai, lembaga tempatnya berkiprah empat tahun terakhir punya peran strategis. Mengikis korupsi di peradilan adalah upaya strategis, mengingat hakim berada di garda terdepan gerakan ini. Maka, perlawanan terhadap mafia peradilan tetap dia lakukan. Ia berjanji meningkatkan dosisnya. ”Harus dilipatgandakan,” katanya.

Bapak tiga anak ini juga mau meningkatkan gerakan edukatif dan kultural untuk para hakim karena dia yakin masih banyak hakim yang jujur.

Amien Sunaryadi

Gundah melihat korupsi merajalela di hampir semua institusi, pada 2003 Amien meninggalkan pekerjaan di PricewaterhouseCoopers. Ia mendaftar sebagai pimpinan KPK.

Pria kelahiran Malang, Jawa Timur, 23 Januari 1960, ini bercerita, 1996-1999 ia bermimpi upaya pemberantasan korupsi bisa efektif, sebagaimana teori yang ada dalam strategi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Ia pernah menjadi pegawai BPKP pada 1982-2000.

”Melihat KPK, saya merasa sebagian mimpi sudah terealisasi. Periode lalu saya membangun capacity building KPK dengan fokus korupsi yang dihantam suap-menyuap. Saya senang, meski pimpinan KPK berganti, jalannya smooth, tak ada gejolak. KPK sebagai organisasi bisa berdiri, sistem organisasi, bisnis proses, dan standard operation procedure sudah berjalan,” ungkapnya.

Selepas dari KPK, ia pernah menjadi staf ahli Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), pernah melakukan riset soal korupsi, dan sekarang bekerja di Bank Dunia.

Namun, Amien tetap gundah. Ia menilai pemberantasan korupsi masih tahap permulaan. ”Political will dari Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, dan lain-lain sudah ada, tapi kita belum masuk dalam pemberantasan korupsi sesungguhnya.”

Menurut dia, ada lima hal yang harus dilakukan, yaitu DPR diperkuat, MA diperkuat, strategi pemberantasan korupsi disepakati, dibentuk KPK, dan menangkap ”big fish”.

”Sekarang baru dibentuk KPK, menangkap big fish, dan MA berusaha diperkuat. Sedangkan DPR dan strategi pemberantasan korupsi belum disepakati. Ibarat orkestra, pemberantasan korupsi tak ada patitur dan konduktornya,” katanya.

Seharusnya konduktor itu menurut UU adalah KPK. ”Pemberantasan korupsi tak punya efek jera karena kalah cepat dengan aksi koruptor. Kalau seminggu bisa dua kali ada orang yang ditangkap, pasti orang takut. Namun, yang tertangkap tiga bulan baru sekali, jadinya orang berpikir yang tertangkap itu apes saja.”

Ia membayangkan KPK menjadi organisasi besar dengan sumber daya manusia 5.000 hingga 10.000 orang profesional. ”Tapi terbentur perdebatan lama, penyidik KPK hanya dari polisi dan jaksa. Padahal, polisi dan jaksa saja kekurangan orang.”

Ia menaruh perhatian pada penguatan DPR, sebab perannya besar, sebagai pembuat legislasi, kewenangan menentukan anggaran, dan pengawasan kinerja eksekutif.

Meski tak lagi di KPK, mimpi Amien tak berhenti: Indonesia yang bebas korupsi. (ORIN BASUKI/ SUSANA RITA/ VINCENTIA HANNI)

KH Muslich, Ulama Legislator Pertama

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 12:37:00

Di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Muslich tidak asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pejuang dan pergerakan kemerdekaan yang gigih. Atas kegigihannya dalam berjuang itu memperoleh penghargaan Bintang Maha Putera Utama, karena jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa.

KH Muslich juga dikenal sebagai sosok ulama yang pertama kali yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili golongan karya ulama (1960). Sejak itu selama satu generasi, kiai kelahiran Purwokerto (1910) itu tidak pernah berhenti berkhidmat melalui berbagai amanah yang dipercayakan padanya.

Berturut-turut, ia pernah menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas), penasihat Menteri Urusan Transmigrasi, penasihat Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat, anggota Badan Otorita Jalan Lintas Sumatera, anggota Badan Penyalur Sandang Pangan, anggota Badan Usaha Perbaikan Pondok Pesantren, hingga menjadi staf ahli bidang Keamanan/Pertahanan pada masa Perdana Menteri Djuanda.

Sebelumnya ia menjadi anggota Badan Penampungan Bekas Tawanan SOB, dan menjadi anggota DPRGR/MPRS, yang diangkat Presiden Soekarno sebagai pengganti Konstituante yang dibubarkannya. Namun sebagai pemilik ilmu agama (ulama), akhirnya KH Muslich kembali menekuni dunia pendidikan melalui Yayasan Perguruan Diponegoro yang didirikannya di Purwokerto dan Jakarta, hingga akhir hayatnya 28 Desember 1998.

KH Muslich yang dilahirkan di desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas, tahun 1910. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten. Lingkungan pedesaan yang 'santri' mendorongnya untuk giat belajar Islam. Selesai Sekolah Rakyat, Muslich melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji Alquran di Pesantren KH Cholil Kauman. Dia juga belajar kitab fikih di pesantren Keprabon dan Jamsaren.

Selama berada di Solo, Muslich banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Secara temporer dia juga belajar mengaji dan mondok di pesantren Bogangin Sampyuh, Leler Kebasen, Tebuireng-Jombang, Tremas Pacitan, dan Krapyak Yogyakarta. Pengetahuan umum ia tempuh secara otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.

Pada zaman pergerakan kemerdekaan, Muslich menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu). Waktu itu usianya baru 16 tahun. Setelah itu menjadi anggota Pemuda Muslimin Indonesia dan menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, ia bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem, dan H Agus Salim dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso.

Mereka kemudian mendirikan Gerakan Penyadar PSII. H Agus Salin menjadi pimpinannya. Muslich kemudian juga bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah, dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta.

Menata Departemen Agama
Karirnya dalam birokrasi dimulai Muslich tahun 1946, saat ia diangkat sebagai penghulu Kabupaten Cilacap, merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat kapten. Atas restu Komandannya Letkol Gatot Subroto, setahun kemudian Muslich diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Karesidenan Madiun Jawa Timur.

Tahun 1951, Muslich mulai hijrah ke Jakarta dan turut menyusun Jawatan Urusan Agama Pusat dan kemudian dia diangkat menjadi kepala Kantor Agama Sumatera Tengah, berkedudukan di Bukittingi. Tidak lama kemudian diangkat menjadi kepala Jawatan Agama Sumatera Utara di Medan hingga tiga tahun kemudian diangkat sebagai kepala jawatan agama Jawa Tengah di Semarang. Sesuai hasil pemilu 1955 KH Muslich terpilih sebagai anggota DPR namun masih merangkap sebagai pegawai tinggi di Kementerian Agama Jakarta.

Pensiun sebagai anggota DPR kembali ke Departemen Agama dan mendapat tugas untuk menata kembali kantor Departemen Agama Sumatera Tengah akibat meletusnya PRRI (1958). Saat Komando Mandala pada masa Trikora (1961-1963), Kiai Muslich mendapat tugas menyusun Kantor Departemen Agama Provinsi Irian Barat yang sudah resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.

Pejuang yang tangguh
Sebagai pejuang pergerakan, Muslich mengawali karier militernya dengan masuk lasykar Hizbullah di Purwokerto tahun 1944. Kemudian ia diangkat menjadi komandan pasukan lasykar Islam untuk Divisi Hizbullah Banyumas dengan anggota tidak kurang dari seribu orang. Setelah kemerdekaan ia juga ikut mebentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) daerah Banyumas dan Cilacap.

Pada tahun 1947, Kapten Muslich diperbantukan di Markas Besar Pertempuran (MBP), Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayjen Dr Moestopo. sebagai perwira penghubung untuk daerah Madiun dan Blitar, saat itu Muslich sudah menyandang pangkat mayor. Ketika MBP Jawa Timur dilikuidasi dan dilebur ke dalam Divisi Brawidjaja dibawah pimpinan Kolonel Sungkono, dia ditempatkan di Kediri. Tugas Muslich menjadi penghubung tentara dengan alim ulama dan umat Islam Jawa Timur. Atas jasa-jasanya pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel dan kemudian ditempatkan di Divisi Diponegoro di Semarang. Pada tahun 1951 Jenderal Soedirman wafat, dan Letnan Kolonel Muslich mengajukan permohonan berhenti dari dinas ketentaraan.

Pada suatu kesempatan, Kiai Muslich pernah menyatakan bahwa ia berkawan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.Karena itu ia termasuk salah seorang penggagas dibangunnya monumen Jenderal Sudirman di Banyumas beberapa tahun silam. Monumen tersebut dimaksudkan s ebagai tanda untuk mengenang jasa tokoh tersebut dalam perjuangan kemerdekaan.

Hidup bersahaja
Kiai Muslich menghidupi keluarganya dari bisnis-bisnisnya, bukan dari gajinya sebagai birokrat. Ia berdagang mulai dari hasil bumi hingga jual beli tanah. Kendati secara ekonomi dia mapan, tapi Kiai Muslich memilih untuk tinggal di rumah kecil sederhana di dalam komplek Yayasan Diponegoro, Rawamangun, Jakarta Timur, hingga akhir hayatnya.

Amal jariahnya yang amat berguna adalah tiga tempat pendidikan yang dibangunnya di Purwokerto dan Jakarta. Perguruan Diponengoro yang ditinggalkannya, kini pengelolaannya diserahkan pada putera puterinya. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada KH Muslich. Dengan mendapatkan bintang itu, KH Muslich sesungguhnya dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun hal itu tidak dilakukan. Jasad almarhum tetap dimakamkan di pemakaman umum Purwokerto, atas permintaan atau wasiat almarhum. disarikan dari NU online

Tantawi Jauhari, Motivator Umat Dalam Penguasaan Ilmu

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 12:51:00

Dikenal sebagai seorang cendekiawan Muslim asal Mesir, dia kesohor terutama karena kegigihannya dalam gerakan pembaruan untuk menumbuhkan motivasi umat Islam terhadap penguasaan ilmu pengetahuan. Tantawi Jauhari mendapat julukan 'musafir ilmu' lantaran keluasan ilmu yang dimiliki.

Berasal dari keluarga petani sederhana di wilayah al-Ghar, Tantawi yang lahir tahun 1870 mengawali pendidikannya di kota kelahirannya tersebut. Kepada anak-anaknya, orangtua Tantawi menginginkan mereka dapat tumbuh menjadi orang terpelajar. Oleh karenanya setelah menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, dia dikirim untuk melanjutkan belajar ke universitas al-Azhar di ibukota Kairo.

Ketika menimba ilmu di universitas terkemuka tersebut, dia berkesempatan bertemu dengan tokoh pembaharu, Muhammad Abduh. Tokoh ini kemudian memang mampu memberikan pengaruh besar bagi pemikiran dan keilmuan Tantawi, khususnya pada bidang ilmu tafsir. Setelah itu dia melanjutkan belajarnya ke Darul Ulum dan mampu menyelesaikan pendidikan di sana tahun 1893. Akan tetapi Tantawi merasa kurang puas dengan program belajar yang diberikan, utamanya ilmu tafsir, yang antara lain dikarenakan bimbingan dari Muhammad Abduh sebelumnya hingga membuat dia memiliki cakrawala pemikiran yang luas.

Meski begitu Tantawi tetap bertekad menyelesaikan studinya tersebut. Setelah beberapa tahun kemudian, dia pun berhasil tamat pendidikan di Darul Ulum untuk selanjutnya berkiprah sebagai tenaga pengajar. Dia tercatat pernah menjadi guru di madrasah ibtidaiyah dan tsanawiyah dan kemudian sebagai dosen pada almamaternya, yakni Universitas Darul Ulum. Dan lantas tahun 1912 diangkat menjadi dosen di Al-Jamiah Al-Misyriyah pada mata kuliah falsafah Islam.

Di samping mengajar, layaknya seorang cendekiawan dia pun terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan. Hal itu dilakukan dengan membaca buku-buku serta dari artikel di majalah dan surat kabar. Selain itu pula berbagai seminar maupun pertemuan ilmu pengetahuan tidak ketinggalan dihadiri. Bidang ilmu yang menjadi fokus perhatiannya adalah ilmu tafsir. Namun dia pun mengikuti pula ilmu fisika, ilmu yang menurut pandangannya dapat menangkal kesalahpahaman yang kerap menuding Islam sebagai agama yang menentang ilmu dan teknologi modern.

Bertahun-tahun lamanya segala perhatian dicurahkan untuk meningkatkan kepedulian umat terhadap pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penguasaan ilmu pengetahuan. Gagasan serta pemikirannya lambat laun mulai diperhitungkan dan menjadikannya masuk dalam jajaran pemikir Islam terkemuka. Setidaknya ada tiga hal yang patut dicatat dari Tantawi Jauhari. Pertama, obsesinya untuk memajukan daya pikir umat; kedua, pentingnya ilmu bahasa dalam menguasai idiom-idiom modern, dan ketiga; pengkajiannya terhadap Alquran sebagai satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu.

Dengan begitu dapat dipahami mengapa Tantawi semasa hidupnya begitu menentang bidah dan taklid. Sebab menurutnya, kedua hal tersebut akan dapat menyeret umat ke jurang kebodohan dan keterbelakangan. Sebaliknya tokoh ini begitu bersemangat untuk memajukan daya pikir umat, menjauhkan dari kebekuan berpikir sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya menguasai ilmu pengetahuan modern. Sehingga untuk memajukan ilmu pengetahuan di kalangan umat, maka didesaklah pemerintah agar lebih banyak membangun sekolah-sekolah, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Dalam banyak kesempatan, hal yang kerap dikemukakan terkait harapannya tadi adalah perlunya penguasaan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Karena dia berpendapat, secara garis besar, ilmu pengetahuan terbagi dua yakni ilmu bahasa dan selain bahasa. Tantawi menyatakan bahwa ilmu bahasa memegang peranan signifikan dalam sebuah studi, sebab ia merupakan alat untuk menguasai beragam bidang ilmu.

Pada bagian lain, Tantawi pun membina studi Alquran, yakni guna membuktikan bahwa kitab suci umat Islam itu adalah satu-satunya kitab suci yang memotivasi pengembangan ilmu. Karena dalam pandangannya, Alquran senantiasa menganjurkan kepada umat Muslim untuk menuntut ilmu dalam arti seluas-luasnya. Pernyataan tersebut dikemukakan sambil menunjukkan bukti-bukti bahwasanya dalam Alquran terdapat banyak ayat yang memotivasi umat agar menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, tidak kurang dari 750 ayat yang menegaskan pentingnya penguasaan ilmu untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akherat.

Dari penelitian itu Tantawi kemudian menulis kitabnya yang kondang, yaitu Al-Jawahir fi Tafsir Alquran (Permata-permata Dalam Tafsir Alquran). Kitab tafsir ini terdiri dari 25 juz dan ditulis saat dia sudah berusia 60 tahun. Dalam pendahuluannya jelas disebutkan alasannya menulis kitab tadi yakni agar umat menyadari betapa pentingnya penguasaan ilmu bagi umat Islam seperti fisika, matematika, pertanian, ilmu falak, ilmu kedokteran, dan lain-lain.

Tantawi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Tidak kurang dari 30 buku hasil buah pemikirannya sudah dihasilkan dan mewarnai khazanah ilmu pengetahuan dunia. Di antara beberapa karya yang fenomenal adalah Alquran wa Ulum al-Asyriyyat (Alquran dan Ilmu-ilmu Modern), Mizan al-Jawahir fi Aja'ibi al Kawn al-Bahir (Timbangan Mutiara Keajaiban Alam Raya), Jamal al-Alam (Keindahan Alam), dan masih banyak lagi. yus/ensiklopedi islam

Muhammad Husayn Thabathaba'i, Syekh Bidang Ilmu Syariat dan Tafsir

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 12:56:00

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i adalah seorang ulama, pemikir, faqih, filosof, dan ahli matematika. Dia banyak menelurkan karya-karya penting di bidang keislaman, antara lain Dasar-dasar Filsafat dan Metode Realisme serta karya monumentalnya yakni Al-Mizan, yang sering disebut tafsir Alquran dengan Alquran.

Di dalam dirinya telah terdapat sifat rendah hati dan ditambah pula dengan kemampuan analisis intelektualnya. Dalam kelompok ulama tradisional Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang syaikh dalam bidang syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) yang terkemuka. Sejarah mencatat Thabathaba'i telah membaktikan segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Sebuah dedikasi tinggi terhadap perkembangan ilmu-ilmu Islam dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 H /1903 M, dari suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW yang selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Pendidikan awalnya dia peroleh di kota kediamannya dan dalam usia muda telah berhasil menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama.

Ketika usianya menginjak 20 tahun, Thabathaba'i berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya. Disana dia mempelajari ilmu syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syekh-syekh terkemuka pada masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Muhammad Husain Isfahani.

Akan tetapi, bukanlah menjadi mujtahid tujuannya. Thabathaba'i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari. Di samping itu dia pun mempelajari sejumlah ilmu lain yakni filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku Asy-Syifa karya Ibnu Sina dan Al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi, serta Tamhid al-Qawa'id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i.

Thabathaba'i juga mempelajari ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Alquran), atau makrifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual.

Sebelum berjumpa dengan syekh ini, Thabathaba'i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibn Arabi. Namun ketika bertemu dengan syekh besar ini, dia baru menyadari bahwa sebenarnya ia belum mengetahui apa-apa. Berkat sang syekh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual.

Pada 1934 Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Kejadian-kejadian pada Perang Dunia II dan pendudukan Rusia atas Persia-lah yang membawa Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Ia mengajar tafsir Alquran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum.

Oleh karenanya Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam bidang ilmu pengetahuan, baik di dalam basis tradisional maupun modern. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modern.

Banyak murid tradisionalnya yang termasuk kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upayanya yang amat penting ini. Beberapa muridnya seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Muthahhari dari universitas Teheran juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa.

Selain di kota Qum, ulama ini kerap mengunjugi Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran. Di tempat inilah Thabathaba'i menghabiskan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas Kota Qum, kediamannya. Di desa tersebut pula, pada satu hari, Profesor Kenneth Morgan, seorang orientalis terkemuka berkunjung untuk memintanya menulis mengenai pandangan-pandangan Islam Syiah untuk masyarakat intelektual Barat. Dengan kemampuannya yang mumpuni dan penguasaan pada ilmu-ilmu Islam tradisional serta pengenalan terhadap pemikiran Barat menjadikan Thabathaba'i memang orang yang tepat untuk menulis hal tersebut.

Kecintaannya pada ilmu telah mengejawantah dalam pribadinya. Dia menjadi lambang dari suatu tradisi panjang kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma dari pribadi yang telah mendapatkan buah pengetahuan Ketuhanan. ( yus/berbagai sumber )

Zainab Al-Ghazali, Gigih Melawan Sekularisme

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:22:00

Umat Islam berduka. Pada hari Rabu (3/8), dai dan aktivis terkemuka Zainab Al-Ghazali, wafat dalam usia 88 tahun. Dia meninggalkan kenangan tak terlupakan sepanjang aktivitasnya menjalankan dakwah Islam.

Zainab al-Ghazali adalah wanita luar biasa. Seperti Aisha Abd al-Rahman, tokoh asal Mesir ini begitu gigih memperjuangkan persamaan hak kaum perempuan berdasarkan keyakinannya, sesuai doktrin ajaran Islam yang benar. Oleh karenanya, sejarah mencatat Zainab lebih dikenal sebagai aktivis Islam ketimbang cendekiawan Islam.

Dia terlahir di wilayah Al-Bihira, Mesir pada 1917, dan merupakan keturunan dari kalifah kedua Islam, Umar bin Khattab dan Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Ketika masih berusia sangat muda, 10 tahun, Zainab Al-Ghazali telah memperlihatkan kepandaian dan kelancarannya dalam berbicara di depan umum. Dan sepanjang hidupnya, dia lantas membentuk dirinya sebagai orang yang berhasil belajar secara otodidak. Ambisinya yang kuat dan tekadnya yang membara, membuatnya maju untuk mencapai jenjang pendidikan tinggi, pada saat kaum wanita pada saat itu jarang yang mengenyam pendidikan karena dianggap tabu.

Saat menginjak usia remaja, Zainab aktif di organisasi Persatuan Kelompok Feminis Mesir yang dibentuk oleh Huda Al-Sharawi tahun 1923. Namun tak lama dia mengundurkan diri dari organisasi itu karena bersebarangan pendapat mengenai perjuangan menuntut kesetaraan.

Dia tidak setuju dengan ide-ide sekular tentang gerakan pembebasan perempuan. Meski demikian, Al-Ghazali tetap menghormati Sharawi dan menyebutnya sebagai seorang wanita yang memiliki komitmen dan keimanan yang baik. Saat usianya 18 tahun (1936), dia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim untuk mengorganisasi kegiatan-kegiatan kaum perempuan yang sesuai norma-norma Islam dan ditujukan untuk kepentingan-kepentingan Islam.

Zainab Al-Ghazali selalu berusaha mengedepankan masalah keseimbangan antara hal-hal yang bersifat religius dan modern. Ia mendapat pendidikan agama pertama kali dari cendikiawan muslim terkemuka di Al-Azhar, Syeikh Ali Mahfuz dan Mhammad al-Naggar.

Tidak lama setelah ia mendirikan Asosiasi Wanita Muslim, Al-Ghazali langsung melakukan sejumlah aksi dan mendapatkan dukungan dari Menteri Wakaf untuk mendirikan 15 mesjid dan belasan mesjid lainnya yang dibiayai oleh masyarakat umum.

Asosiasi yang didirikannya melahirkan generasi dai-dai wanita yang mempertahankan status perempuan dalam Islam serta meyakini bahwa agama mereka memberikan peluang sebesar-besarnya bagi kaum perempuan untuk memainkan peranan penting di tengah masyarakat, memiliki pekerjaan, masuk ke dunia politik dan bebas mengeluarkan pendapatnya.

Dalam sebuah wawancara tahun 1981, dia mengemukakan bahwa Islam telah memberikan segalanya bagi kaum pria dan wanita. Islam memberikan kebebasan, hak ekonomi, hak politik, hak sosial, maupun hak pribadi kepada kaum Muslimah. Islam memberikan kaum wanita hak-hak tertentu di dalam keluarga yang tidak dimiliki oleh komunitas lain. Para Muslimah harus mempelajari Islam sehingga mereka mengetahui bahwa Islam telah memberikan segalanya kepadanya.

Zainab juga meyakini bahwa Islam tidak pernah melarang kaum wanita untuk beraktivitas di masyarakat, bekerja mencari nafkah, masuk ke dunia politik dan mengungkapkan gagasan-gagasannya. Dia percaya Islam mengizinkan mereka untuk memiliki harta benda, berusaha pada bidang perekonomian atau apapun kegiatan demi menunjang perkembangan masyarakat Muslim. Meski begitu, dia berpendapat bahwa tugas utama seorang wanita adalah menjadi ibu yang baik bagi anak-anaknya dan menjadi istri setiap bagi suaminya. Jangan ada apapun yang menghalangi kaum wanita untuk tidak menjalankan tugas yang satu ini.

Al-Ghazali banyak dipengaruhi oleh pendiri Ihkwanul Muslimin, Syekh Hasan al-Banna. Ia memegang teguh pandangannya bahwa tidak ada konflik antara agama dan politik. Al-Ghazali adalah orang yang lantang mempertahankan syariah dan kerap menghadapi masalah dengan rezim Mesir pada saat itu, Presiden Gamal Abdul Naser. Dia mengalami hidup yang penuh siksaan dalam tahanan rezim itu.

Penjara dan siksaan, tidak pernah mematahkan tekadnya bahkan membuatnya lebih kuat. Zainab Al-Ghazali meninggalkan warisan berupa perjuangan membela Islam dan reputasinya sebagai aktivis perempuan yang tanpa ragu melawan sekularisme dan liberalisme dan menggantikannya dengan nilai-nilai Islam. ( yus/berbagai sumber )

Selasa, 28 Oktober 2008

Syekh Taqiyyuddin an Nabhani, Pendiri Hizbut Tahrir

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:24:00

Tokoh yang bernama lengkap Syekh Muhammad Taqiyyuddin bin Ibrahim bin Musthafa bin Ismail bin Yusuf An Nabhani ini, dilahirkan di daerah Ijzim tahun 1909. Ayahnya adalah seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah.

Dalam suasana keagamaan yang kental seperti itu, tentu berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan pandangan hidupnya. Terbukti, Syekh Taqiyyuddin telah hafal Alquran dalam usia amat muda, yaitu 13 tahun.

Pengaruh dari sang kakek, Syekh Yusuf An Nabhani, seorang hakim terkemuka, juga tak kalah besar. Syekh Taqiyyuddin makin mengerti masalah politik, di mana kakeknya pernah punya hubungan erat dengan para penguasa Daulah Utsmaniyah saat itu.

Dia pun banyak belajar dari majelis-majelis dan diskusi-diskusi fikih yang diselenggarakan oleh sang kakek. Kecerdasan dan kecerdikan Syekh Taqiyyuddin yang nampak saat mengikuti majelis-majelis ilmu tersebut telah menarik perhatian kakeknya.

Oleh karenanya, kakeknya itu memandang perlu mengirim Syekh Taqiyyuddin ke Al Azhar untuk melanjutkan pendidikan ilmu syariah. Hingga kemudian sebelum menamatkan sekolah menengahnya di Akka, dia berangkat ke Kairo meneruskan pendidikan di Al Azhar.

Syekh Taqiyyuddin masuk kelas Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan tak lama meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu dia melanjutkan studi di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.

Kuliahnya di Darul Ulum tuntas tahun 1932. Pada tahun yang sama dia menamatkan kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syaikh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari'ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan sejenisnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Syekh Taqiyyuddin An Nabhani kembali ke Palestina dan bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas di Haifa. Di samping itu juga mengajar di Madrasah Islamiyah di Haifa.

Di sinilah lambat laun dia menyaksikan kuatnya pengaruh imperialis Barat dalam bidang pendidikan, yang ternyata lebih besar daripada bidang peradilan, terutama peradilan syariah.

Oleh sebab itu dia memutuskan untuk menjauhi bidang pengajaran dan mulai mencari pekerjaan lain yang pengaruh peradaban Barat-nya relatif lebih sedikit. Dia lantas mendapat pekerjaan di Mahkamah Syariah yang dipandangnya merupakan lembaga yang menerapkan hukum-hukum syara'.

Ternyata banyak kawannya yang pernah sama-sama belajar di Al Azhar bekerja di sana. Dengan bantuan mereka, Syekh Taqiyyuddin diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Beisan, lalu dipindah ke Thabriya.

Pada 1940, dia diangkat sebagai musyawir (asisten kadi) hingga 1945, yakni saat dia dipindah ke Ramallah menjadi qadly di Mahkamah Ramallah sampai tahun 1948. Namun setelah itu, dia keluar dari Ramallah menuju Syam sebagai akibat jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.

Pada tahun 1948 itu pula, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat yang isinya memintanya kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai kadi di Mahkamah Syariah Al Quds. Syekh Taqiyyuddin mengabulkan permintaan itu dan kemudian diangkatlah dia sebagai kadi di Mahkamah Syariah Al Quds tahun 1948.

Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti'naf saat itu, Al Ustadz Abdul Hamid As Sa'ih, ia diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti'naf, sampai tahun 1950.

Pada tahun 1951, Syekh Taqiyyuddin mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika dia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah dirintisnya antara tahun 1949 hingga 1953.

Sejak remaja dia memang sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, yang pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan, tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang merongrong dan membangkang terhadap Daulah Utsmaniyah.

Di samping itu, dia juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama Al Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.

Ketika Syekh An Nabhani menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, dia sudah memberikan kesadaran kepada para muridnya dan orang-orang yang ditemui, mengenai situasi yang ada saat itu. Dia membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbaharui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam.

Ketika pindah pekerjaan ke bidang peradilan, dia pun mengadakan kontak dengan para ulama yang dia kenal dan ditemui di Mesir. Kepada mereka Syaikh an Nabhani mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka.

Dia lalu menyodorkan kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Pemikiran-pemikiran ini dapat diterima dan disetujui. Maka aktivitasnya pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.

Pembentukan partai ini secara resmi tahun 1953, pada saat Syekh Taqiyyuddin An Nabhani mengajukan permohonan kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.

Namun pemerintah justru melarang kegiatan organisasi ini. Syekh Taqiyyuddin An Nabhani tidak gentar dan tetap melanjutkan misinya menyebarkan risalah Hizb. Dia sangat menaruh harapan untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah dia dirikan dan tetapkan falsafahnya dengan karakter tertentu yang digali dari nash-nash syarak dan sirah Nabi SAW.

Syekh Taqiyyuddin menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana dia sendiri yang menjadi pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Dia terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.

Upaya ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizb sangatlah diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendatipun Hizb tetap tergolong partai terlarang di seluruh negeri di dunia.

Di samping itu, Syekh Taqiyyuddin telah meninggalkan kitab-kitab penting yang dapat dianggap sebagai kekayaan pemikiran yang tak ternilai harganya. Beliaulah yang menulis seluruh pemikiran dan pemahaman Hizb, baik yang berkenaan dengan hukum-hukum syara', maupun yang lainnya seperti masalah ideologi, politik, ekonomi, dan sosial.

Kebanyakan karyanya berupa kitab-kitab tanzhiriyah (penetapan pemahaman/pandangan) dan tanzhimiyah (penetapan peraturan), atau kitab-kitab yang dimaksudkan untuk mengajak kaum Muslimin untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan mendirikan Daulah Islamiyah. Oleh karena itu, kitab-kitab Syaikh Taqiyyuddin terlihat istimewa karena mencakup dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan problematika manusia.
( yus/berbagai sumber )

Sultan Muhammad Al-Fatih, Sang Pembuka Istanbul


By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:27:00

Istanbul atau yang dulu dikenal sebagai Konstantinopel, adalah salah satu bandar termasyhur dunia. Bandar ini tercatat dalam tinta emas sejarah Islam khususnya pada masa Kesultanan Usmaniyah, ketika meluaskan wilayah sekaligus melebarkan pengaruh Islam di banyak negara.

Bandar ini didirikan tahun 330M oleh Maharaja Bizantium yakni Costantine I. Kedudukannya yang strategis, membuatnya punya tempat istimewa ketika umat Islam memulai pertumbuhan di masa Kekaisaran Bizantium. Rasulullah SAW juga telah beberapa kali memberikan kabar gembira tentang penguasaan kota ini ke tangan umat Islam seperti dinyatakan oleh Rasulullah pada perang Khandak.

Para khalifah dan pemimpin Islam pun selalu berusaha menaklukkan Kostantinopel. Usaha pertama dilancarkan tahun 44 H di zaman Muawiyah bin Abi Sufian RA. Akan tetapi, usaha itu gagal. Upaya yang sama juga dilakukan pada zaman Khilafah Umayah.

Di zaman pemerintahan Abbasiyyah, beberapa usaha diteruskan tetapi masih menemui kegagalan termasuk di zaman Khalifah Harun al-Rasyid tahun 190H. Setelah kejatuhan Baghdad tahun 656H, usaha menawan Kostantinopel diteruskan oleh kerajaan-kerajaan kecil di Asia Timur (Anatolia) terutama Kerajaan Seljuk. Pemimpinnya, Alp Arslan (455-465 H/1063-1072 M) berhasil mengalahkan Kaisar Roma, Dimonos, tahun 463 H/1070 M. Akibatnya sebagian besar wilayah Kekaisaran Roma takluk di bawah pengaruh Islam Seljuk.

Awal kurun ke-8 hijrah, Daulah Usmaniyah mengadakan kesepakatan bersama Seljuk. Kerjasama ini memberi nafas baru kepada usaha umat Islam untuk menguasai Konstantinopel. Usaha pertama dibuat di zaman Sultan Yildrim Beyazid saat dia mengepung bandar itu tahun 796 H/1393 M. Peluang yang ada telah digunakan oleh Sultan Beyazid untuk memaksa Kaisar Bizantium menyerahkan Konstantinople secara aman kepada umat Islam. Akan tetapi, usahanya menemui kegagalan karena datangnya bantuan dari Eropa dan serbuan bangsa Mongol di bawah pimpinan Timur Leng.

Selepas Daulah Usmaniyyah mencapai perkembangan yang lebih maju dan terarah, semangat jihad hidup kembali dengan nafas baru. Hasrat dan kesungguhan itu telah mendorong Sultan Murad II (824-863 H/1421-1451 M) untuk meneruskan usaha menaklukkan Kostantinopel. Beberapa usaha berhasil dibuat untuk mengepung kota itu tetapi dalam masa yang sama terjadi pengkhianatan di pihak umat Islam. Kaisar Bizantium menabur benih fitnah dan mengucar-kacirkan barisan tentara Islam. Usaha Sultan Murad II tidak berhasil sampai pada zaman anak beliau, Sultan Muhammad Al-Fatih, sultan ke-7 Daulah Usmaniyah.

Semenjak kecil, Sultan Muhammad Al-Fatih telah mencermati usaha ayahnya menaklukkan Kostantinopel. Bahkan beliau mengkaji usaha-usaha yang pernah dibuat sepanjang sejarah Islam ke arah itu, sehingga menimbulkan keinginan yang kuat baginya meneruskan cita-cita umat Islam. Ketika naik tahta pada tahun 855 H/1451 M, dia telah mulai berpikir dan menyusun strategi untuk menawan kota bandar tadi.

Kekuatan Sultan Muhammad Al-Fatih terletak pada ketinggian pribadinya. Sejak kecil, dia dididik secara intensif oleh para ulama terulung di zamannya. Di zaman ayahnya, yaitu Sultan Murad II, Asy-Syeikh Muhammad bin Ismail Al-Kurani telah menjadi murabbi Amir Muhammad (Al-Fatih). Sultan Murad II telah menghantar beberapa orang ulama untuk mengajar anaknya sebelum itu, tetapi tidak diterima oleh Amir Muhammad. Lalu, dia menghantar Asy-Syeikh Al-Kurani dan memberikan kuasa kepadanya untuk memukul Amir Muhammad jika membantah perintah gurunya.

Waktu bertemu Amir Muhammad dan menjelaskan tentang hak yang diberikan oleh Sultan, Amir Muhammad tertawa. Dia lalu dipukul oleh Asy-Syeikh Al-Kurani. Peristiwa ini amat berkesan pada diri Amir Muhammad lantas setelah itu dia terus menghafal Alquran dalam waktu yang singkat. Di samping itu, Asy-Syeikh Ak Samsettin (Syamsuddin) merupakan murabbi Sultan Muhammad Al-Fatih yang hakiki. Dia mengajar Amir Muhammad ilmu-ilmu agama seperti Alquran, hadis, fikih, bahasa (Arab, Parsi dan Turki), matematika, falak, sejarah, ilmu peperangan dan sebagainya.

Syeikh Semsettin lantas meyakinkan Amir Muhammad bahwa dia adalah orang yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW di dalam hadis pembukaan Kostantinopel. Ketika naik takhta, Sultan Muhammad segera menemui Syeikh Semsettin untuk menyiapkan bala tentara untuk penaklukan Konstantinopel. Peperangan itu memakan waktu selama 54 hari. Persiapan pun dilakukan. Sultan berhasil menghimpun sebanyak 250 ribu tentara. Para mujahid lantas diberikan latihan intensif dan selalu diingatkan akan pesan Rasulullah SAW terkait pentingnya Konstantinopel bagi kejayaan Islam.

Setelah proses persiapan yang teliti, akhirnya pasukan Sultan Muhammad Al-Fatih tiba di kota Konstantinopel pada hari Kamis 26 Rabiul Awal 857 H atau 6 April 1453 M. Di hadapan tentaranya, Sultan Al-Fatih lebih dahulu berkhutbah mengingatkan tentang kelebihan jihad, kepentingan memuliakan niat dan harapan kemenangan di hadapan Allah SWT. Dia juga membacakan ayat-ayat Alquran mengenainya serta hadis Nabi SAW tentang pembukaan kota Konstantinopel. Ini semua memberikan semangat yang tinggi pada bala tentera dan lantas mereka menyambutnya dengan zikir, pujian dan doa kepada Allah SWT.

Sultan Muhammad Al-Fatih pun melancarkan serangan besar-besaran ke benteng Bizantium di sana. Takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" terus membahana di angkasa Konstantinopel. Pada 27 Mei 1453, Sultan Muhammad Al-Fatih bersama tentaranya berusaha keras membersihkan diri di hadapan Allah SWT. Mereka memperbanyak shalat, doa, dan zikir.

Hingga tepat jam 1 pagi hari Selasa 20 Jamadil Awal 857 H atau bertepatan dengan tanggal 29 Mei 1453, serangan utama dilancarkan. Para mujahidin diperintahkan supaya meninggikan suara takbir kalimah tauhid sambil menyerang kota. Tentera Usmaniyah akhirnya berhasil menembus kota Konstantinopel melalui Pintu Edirne dan mereka mengibarkan bendera Daulah Usmaniyah di puncak kota. Kesungguhan dan semangat juang yang tinggi di kalangan tentara Al-Fatih, akhirnya berjaya mengantarkan cita-cita mereka. ( yus/berbagai sumber )

Muhammad Khalil Al Maduri, Guru Ulama dari Madura

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:37:00

Tak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.

Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, satu dari sembilan Wali Songo.

Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.

Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.

Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matandan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara menbacanya (kiraah).

Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.

Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.

Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.

Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegion bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini berkahwin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernamIa sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para muridnya itu adalah KH Hasyim Asy'ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama), KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma'shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang), dan KH As'ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi. ( tri/pelbagai sumber )

Syekh Hasanuddin, Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:48:00

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yang bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.

Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit.

Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini.

Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.

Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.

Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu.

Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.

Ditentang penguasa Pajajaran
Berdirinya pesantren ini menuai reaksi keras dari para resi. Hal ini tertulis dalam kitab Sanghyang Sikshakanda Ng Kareksyan. Pesatnya perkembangan ajaran Islam membuat para resi ketakutan agama mereka akan ditinggalkan.

Berita tentang aktivitas dakwah Syekh Quro di Tanjung Pura yang merupakan pelabuhan Karawang rupanya didengar Prabu Angga Larang. Karena kekhawatiran yang sama dengan para resi, ia pernah melarang Syekh Quro untuk berdakwah ketika sang syekh mengunjungi pelabuhan Muara Jati di Cirebon.

Sebagai langkah antisipasi, Prabu Angga Larang kemudian mengirimkan utusan untuk menutup pesantren ini. Utusan ini dipimpin oleh putera mahkotanya yang bernama Raden Pamanah Rasa. Namun baru saja tiba ditempat tujuan, hati Raden Pamahan Rasa terpesona oleh suara merdu pembacaan ayat-ayat suci Alquran yang dilantunkan Nyi Subang Larang.

Putra mahkota yang setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Prabu Siliwangi itu dengan segera membatalkan niatnya untuk menutup pesantren tersebut. Ia justru melamar Nyi Subang Larang yang cantik. Lamaran tersebut diterima oleh Nyi Santri dengan syarat maskawinnya haruslah Bintang Saketi, yaitu simbol "tasbih" yang ada di Mekah.

Pernikahan antara Raden Pamanah Rasa dengan Nyi Subang Karancang pun kemudian dilakukan di Pesantren Quro atau yang saat ini menjadi Masjid Agung Karawang. Syekh Quro bertindak sebagai penghulunya.

Menyebar santri untuk berdakwah
Tentangan pemerintah kerajaan Pajajaran membuat Syekh Quro mengurangi intensitas pengajiannya. Ia lebih memperbanyak aktivitas ibadah seperti shalat berjamaah.

Sementara para santrinya yang berpengalaman kemudian ia perintahkan untuk menyebarkan Islam ke berbagai kawasan lain. Salah satu daerah tujuan mereka adalah Karawang bagian Selatan seperti Pangkalan lalu ke Karawang Utara di daerah Pulo Kalapa dan sekitarnya.

Dalam penyebaran ajaran Islam ke daerah baru, Syekh Quro dan para pengikutnya menerapkan cara yang unik. Antara lain sebelum berdakwah menyampaikan ajaran Islam, mereka terlebih dahulu membangun Masjid. Hal ini dilakukan Syekh Quro mengacu pada langkah yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Saat itu beliau terlebih dahulu membangun Masjid Quba.

Cara lainnya, adalah dengan menyampaikan ajaran Islam melalui pendekatan dakwah bil hikmah. Hal ini mengacu pada AlQuran surat An Nahl ayat 125, yang artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik."

Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.

Selama sisa hidup hingga akhirnya meninggal dunia, Syekh Quro bermukim di Karawang. Ia dimakamkan di Desa Pulo Kalapa, Kecamatan Lemah Abang, Karawang. Tiap malam Sabtu, makam ini dihadiri ribuan peziarah yang datang khusus untuk menghadiri acara Sabtuan untuk mendoakan Syekh Quro.

Belakangan masjid yang dibangun oleh Syekh Quro di pesantrennya, kemudian direnovasi. Namun bentuk asli masjid -- berbentuk joglo beratap dua limasan, menyerupai Masjid Agung Demak dan Cirebon -- tetap dipertahankan.
( uli/berbagai sumber )

Imam Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Mengajak Kembali ke Alquran dan Hadis



By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 13:30:00

Tokoh ini dikenal sebagai imam, allamah, muhaqqiq, hafizh, ushuli, faqih, ahli nahwu, berotak cemerlang, dan banyak mengeluarkan karya. Nama lengkapnya Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa'ad bin Huraiz az-Zar'i, namun lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim al-Jauziyyah.

Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Kampung kelahirannya adalah Zara' dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Damsyq (Damaskus), Suriah.

Berkat pendidikan intensif yang diberikan orangtuanya, Ibnul Qayyim pun tumbuh menjadi seorang yang dalam dan luas pengetahuan serta wawasannya. Terlebih ketika itu, bidang keilmuan sedang mengalami masa jaya dan para ulama pun masih hidup.

Dari ayahnya, Ibnu Qayyim belajar ilmu faraidl karena sang ayah memang sangat menonjol dalam ilmu itu. Selain itu, dia belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab Al-Mulakhkhas li Abil Balqa', kitab Al-Jurjaniyah, juga sebagian besar kitab Al-kafiyah was Syafiyah. Kepada Syaikh Majduddin at-Tunisi dia belajar satu bagian dari kitab Al-Muqarrib li Ibni Ushfur.

Cakupan bidang keilmuannya demikian luas. Misalnya saja dia pernah belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, ilmu fikih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Ismail bin Muhammad al-Harraniy. Dia pun terkenal dalam pengetahuannya tentang mazhab-mazhab Salaf.

Hingga akhirnya dia bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H. Ketika itu, Ibnu Qayyim sedang pada awal masa mudanya.

Oleh karenanya dia berkesempatan mereguk sumber ilmunya dari mata air yang luas. Pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dia cerna benar-benar. Ibnul Qayyim pun amat mencintainya, sampai-sampai dia mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim juga menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.

Mereka berdua seakan tak terpisahkan. Keduanya pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Banyak faedah besar yang dia petik selama berguru kepada tokoh kharismatik itu, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitab Alquran dan sunnah Rasulullah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus Shalih.

Ibnul Qayyim telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para ulama besar supaya dapat menyerap ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.

Penguasaannya terhadap ilmu tafsir tiada bandingnya. Pemahamannya terhadap ushuluddin mencapai puncaknya serta pengetahuannya mengenai hadis, makna hadis, pemahaman serta istinbath-istinbath rumitnya, sulit ditandingi.

Begitu pula, pengetahuannya di bidang ilmu suluk dan ilmu kalam-nya Ahli tasawuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Ibnu Qayyim memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.

Semua itu menunjukkan bahwa tokoh ini amat teguh pada prinsip, yakni bahwa "Baiknya perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syariah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah Al-Aziz serta sunah Rasulullah."

Dia pun senantiasa berpegang pada ijtihad serta menjauhi taqlid. Diambilnya istinbath hukum berdasarkan petunjuk Alquran, sunnah nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para sahabat serta apa-apa yang disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan para imam fikih.

Waktu yang ada benar-benar telah dicurahkannya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan berdialog. Karenanya, banyak tokoh-tokoh ternama adalah para muridnya. Mereka merupakan ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Al-Imam Al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab Al-Hambali Al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, dan masih banyak lagi.

Ibnul Qayyim juga merupakan seorang peneliti ulung. Dia mengambil semua ilmu dan segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.

Kemudian disusunnya kitab-kitab fikih, kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisannya sangat banyaknya, dan keseluruhan kitab-kitabnya itu memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanya Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.

Beberapa karya besarnya antara lain; Tahdzib Sunan Abi Daud, I'lam al-Muwaqqi'in an Rabbil Alamin, Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban, Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan, Bada I'ul Fawa'id, Amtsalul Quran, dan Buthlanul Kimiya' min Arba'ina Wajhan.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 Hijriyah. Setelah dishalatkan keesokan harinya usai shalat Dzuhur di Masjid Jami Besar Dimasyq (Al-Jami Al-Umawi), ulama ini dikuburkan di tanah pekuburan Al-Babus Shaghir. ( yus/berbagai sumber )

Selasa, 14 Oktober 2008

Krugman dan Sisi Gelap Globalisasi

Krugman dan Sisi Gelap Globalisasi
Selasa, 14 Oktober 2008 | 01:04 WIB

Keberhasilan ekonom Amerika Serikat, Paul Krugman (55), menyabet Nobel Ekonomi tidak mengejutkan banyak orang. Sejak lama ia dijagokan oleh para koleganya sebagai calon favorit penerima penghargaan paling bergengsi itu.

Ekonom Princeton University yang juga kolumnis tetap di New York Times itu dinilai para juri berhasil memformulasikan teori baru mengenai dampak dari perdagangan bebas dan globalisasi, serta faktor-faktor yang menjadi penentu terjadinya urbanisasi global.

Teori ini menelanjangi sisi gelap lain globalisasi yang cenderung meningkatkan tekanan baru pada beban kehidupan di perkotaan, karena spesialisasi membuat manusia tersedot ke pusat-pusat perkotaan sebagai konsentrasinya.

Teori Krugman dianggap bisa menjelaskan bagaimana globalisasi cenderung menghasilkan konsentrasi, baik dalam hal barang apa yang diproduksi maupun lokasi barang tersebut dibuat. Hasil dari proses-proses ini mengakibatkan wilayah-wilayah menjadi terbagi ke dalam dua kontras, yakni wilayah inti di perkotaan sebagai konsentrasi teknologi tinggi dan wilayah peri-peri yang lebih terbelakang.

Isu semakin terkonsentrasinya pertumbuhan di wilayah perkotaan menjadi isu utama di mana-mana, terutama di negara berkembang. Teori Krugman menyimpang dari teori tradisional yang mengasumsikan perbedaan antarnegara sebagai dasar terjadinya spesialisasi dalam perdagangan. Perbedaan ini, menurut teori tradisional, memungkinkan suatu negara memperbaiki posisinya melalui komplementaritas.

Namun, teori Krugman membeberkan bagaimana dalam faktanya, perdagangan dunia didominasi hanya oleh segelintir negara, yang bukan saja memiliki kondisi serupa, tetapi juga memperdagangkan produk yang sama.

Teori Krugman dianggap mampu menggabungkan perdagangan internasional dan geografi ekonomi yang selama ini dianggap sebagai dua sub-disiplin ilmu yang terpisah.

Isu perdagangan bukan hal baru buat Krugman. Sebagai ekonom dan kolumnis, Krugman sudah menulis lusinan buku dan ratusan artikel mengenai perdagangan internasional dan juga keuangan global. Ia dianggap sebagai pencipta apa yang disebut ”ekonomi geografi baru”.

Lahir di Long Island, New York, Krugman meraih gelar PhD-nya dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) tahun 1977 dan mengajar di Yale, MIT, UC Berkeley, The London School of Economics, dan Stanford University, sebelum akhirnya ”hinggap” di Princeton University sejak tahun 2000.

Tahun 1991, ia menerima John Bates Clark Medal, sebuah penghargaan yang setiap dua tahun sekali diberikan oleh American Economic Association kepada ekonom berusia di bawah 40 tahun.

Kepada televisi Swedia sesaat setelah pengumuman kemenangannya, Krugman mengatakan, ”Sungguh kejutan. Saya berharap dua minggu dari sekarang saya bisa kembali menjadi orang yang sama seperti sebelumnya. Saya jenis orang yang sangat percaya pada kerja berkelanjutan. Saya harap (Nobel) ini tak banyak mengubah saya,” ujarnya.

Dengan memenangkan Nobel secara solo, Krugman kini bisa disejajarkan dengan ekonom sekelas Phelps, Mundell, Amartya Sen, Lucus, Becker, Coase, Allais, Solow, Buchanan, Modigliani, Debreu, Stigler, Tobin, Simon, Friedman, Leontief, Kuznets, dan Samuelson.

Kontroversial

Sebagai ekonom, Krugman selama ini dikenal sangat vokal mengkritik kebijakan penanganan krisis global pemerintahan George W Bush. Dia menentang keras paket bailout senilai 700 miliar dollar AS yang dirancang Menkeu Henry Paulson yang dinilainya tak lebih sebagai ”(judi) roulet finansial Rusia”, kendati ia mengakui penyelamatan diperlukan.

Krugman sendiri meyakini perekonomian global akan mengalami resesi berkepanjangan, namun kemungkinan akan bisa menghindarkan diri dari keambrukan. ”Ini mengerikan. Saya tak pernah berpikir akan menyaksikan kejadian seperti 1931 sepanjang hidup saya, tetapi dalam banyak hal krisis sekarang ini seperti itu,” ujarnya.

Kendati demikian, Krugman memuji langkah para pemimpin dunia untuk meredam krisis, terutama langkah penyelamatan keuangan yang diluncurkan Pemerintah Inggris melalui pembelian saham bank-bank bermasalah dan perluasan jaminan. Ia menganggap PM Gordon Brown telah menyelamatkan sistem finansial global.

Sebelumnya, dia menuduh pemerintahan Bush terlibat dalam permainan tipuan di Irak dan dalam ekonomi. Krugman juga skeptis terhadap kandidat Partai Republik, John McCain yang bersama Sarah Palin, jika berkuasa, menurut dia tak lebih hanya akan jadi kepanjangan tangan Bush-Cheney.

Di kalangan pengkritiknya, Krugman dikenal sebagai salah satu ekonom paling kontroversial AS yang berlidah tajam. Para pengkritik Krugman, seperti James Fallows, wartawan yang sering menjadi sasaran kecaman Krugman karena tulisannya banyak memengaruhi Pat Buchanan, melihatnya sebagai seorang pendendam.

”Dia bersikap seperti orang yang paling tahu semua,” kata mantan Menteri Perdagangan Jeffrey Garten. Majalah Newsweek tahun 1996 pernah menuliskan, kevokalan Krugman menjadi salah satu alasan mengapa Clinton tidak menawarinya posisi tertentu dalam pemerintahan.

Dia bahkan tak sungkan- sungkan menyebut nama. Seperti mantan Menteri Perburuhan Reich yang disebutnya sebagai ”tokoh ofensif, brilian, tetapi bukan pemikir serius”.

Pakar perdagangan Clyde Prestowitz digambarkannya tak lebih sebagai salesman minyak ular intelektual. Ekonom MIT dan pengarang buku best seller Head to Head: The Coming Battle Among America, Japan and Europe itu disebutnya sebagai penulis tolol yang tidak mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri.

Sejumlah kalangan menduga sikap nyinyirnya lahir dari kekesalannya karena dia dikalahkan oleh Laura D’Andrea Tyson sebagai pimpinan Dewan Penasihat Ekonomi Clinton. Namun, Krugman membantahnya. ”Secara temperamen, saya sama sekali tak cocok untuk posisi tersebut. Anda harus memiliki keterampilan untuk baik pada orang, menggigit lidahmu sendiri saat orang mengatakan hal-hal yang konyol,” ujarnya.

Krugman sendiri mengaku sudah terbiasa dituding arogan. Sebagai kolumnis, ia sering menerima surat yang berbunyi seperti, ”artikelmu membuatku ingin muntah”, ”Stanford seharusnya memecatmu”. Atau ”Anda menghina elitis”. Kata-kata kasar bernada ancaman yang menyebutnya sebagai ”anak Yahudi” dan menyuruhnya jauh-jauh dari Washington juga sering diterimanya.

Tetapi, Krugman tidak semata menjual kebobrokan Amerika. Ia juga menjadi salah satu ekonom penting yang selalu mengingatkan AS akan ketersesatan kebijakan yang ditempuhnya, termasuk bahaya melebarnya kesenjangan pendapatan.

”Saya sangat cemas dengan apa yang terjadi dengan masyarakat kita,” ujarnya. Menurut dia, obat yang paling mujarab untuk ekonomi AS adalah memperbaiki dan memperkuat apa yang dihancurkan sendiri oleh Amerika selama ini, termasuk pelayanan kesehatan untuk anak-anak, pendidikan layak untuk anak-anak miskin. (TAT)

Minggu, 12 Oktober 2008

Marrti Peraih Nobel

Martti, Juru Damai yang Sederhana

Sabtu, 11 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Budi Suwarna

Ruang kerja Martti Ahtisaari (71) di kantornya, Crisis Management Initiative atau CMI, sederhana saja. Di sana hanya ada seperangkat sofa dan meja kerja yang dipenuhi tumpukan buku dan kertas. Dari kantor yang sederhana di Helsinki, Finlandia, itu Martti bekerja untuk mendamaikan dunia. Hasilnya sungguh manis. Banyak konflik di dunia, termasuk konflik Aceh, bisa diakhirinya.

Mantan Presiden Finlandia yang pada hari Jumat (10/10) dianugerahi Nobel Perdamaian 2008 itu memang dikenal sebagai pribadi sederhana. Kompas dan TVRI sempat menyaksikan sendiri kesederhanaan Martti ketika menunggunya untuk sebuah wawancara khusus, di awal musim semi, September tahun lalu.

Pagi itu, sekitar pukul 10.00, waktu Helsinki, Martti keluar dari mobil sedannya yang dikemudikan sopir pribadi. Dia berjalan beberapa meter seorang diri sambil menenteng tas kulitnya yang tampak berat sebelum masuk ke kantornya, CMI. Sebagai seorang mantan presiden, tidak ada seorang ajudan atau sekretaris pribadi yang menyertainya.

Pemandangan ini berbeda dengan di Indonesia. Di sini, kita biasa melihat pejabat setingkat bupati pun dikawal ajudan atau sekretaris selama berkegiatan.

Kantor CMI juga sedikit banyak mencerminkan pribadi Martti. Kantor itu bertempat di sebuah gedung kuno dengan lift tua berpintu jeruji besi yang bunyinya berderit-derit jika dioperasikan. Lift itulah yang digunakan Martti untuk mencapai ruang kerjanya di lantai dua atau tiga. Di lantai itu hanya ada dua karyawan perempuan yang sedang bekerja.

Martti tidak membuat kami menunggu terlalu lama untuk wawancara. Sekitar 15 menit setelah dia masuk ke kantornya, Martti menerima kami dengan ramah. Gaya berbicara dan mimiknya datar ketika menjelaskan sesuatu, jauh dari stereotipe politisi yang seringkali berbicara dengan gaya meledak-ledak. Namun, mata Martti selalu tertuju pada lawan bicaranya.

Seperti penampilannya, pandangan-pandangan Martti tentang upaya perdamaian pun sederhana saja dan mudah dipahami semua orang. Dia berkeyakinan bahwa kemiskinan adalah sumber konflik sehingga untuk mengatasi konflik, warga dunia harus dibuat sejahtera dan terdidik.

Dia berkeyakinan semua konflik bisa diatasi. Dia juga yakin seorang mediator hanya perlu menyederhanakan masalah agar sebuah perundingan damai yang ditanganinya berjalan dengan sukses. ”Jangan membuat masalah menjadi lebih rumit. Anda harus bisa menyampaikan masalah mana yang penting untuk diselesaikan,” katanya.

Sesederhana itukah? ”Ya,” katanya. ”Meski proses perundingan tetap saja akan berliku-liku. Namun, setidaknya kami telah berusaha untuk membuat masalah tidak tambah rumit.”

Dia menambahkan bahwa seorang mediator juga harus pandai memilih pintu masuk untuk memulai sebuah negosiasi damai. Untuk kasus Aceh, Martti mengaku masuk dari isu otonomi khusus yang ditawarkan Pemerintah Indonesia.

”Kami kemudian meminta penjelasan apa makna otonomi itu untuk rakyat Aceh? Penjelasan itu kami sampaikan kepada pihak GAM,” ujarnya.

Dengan memilih pintu masuk yang tepat, lanjut Martti, dia bisa menghemat waktu perundingan. Hasilnya memang manis. Konflik Aceh yang telah berlangsung sekitar tiga dekade itu bisa diakhiri secara damai dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Namun, dengan rendah hati Martti mengatakan, perdamaian di Aceh bukan semata karena perannya sebagai mediator, melainkan karena pihak-pihak yang bertikai memang ingin damai setelah terjadi bencana tsunami.

Selain di Aceh, Martti berhasil mengakhiri konflik di Namibia dan Kosovo. Dia juga ikut dalam upaya mengakhiri konflik di Irlandia dan Irak.

Karena perannya sebagai juru damai di berbagai lokasi konflik dunia, Martti dianugerahi Nobel Perdamaian 2008. Sebelumnya, awal bulan ini, dia juga mendapat penghargaan dari UNESCO karena telah membaktikan hidupnya untuk perdamaian.

Martti mengaku bekerja untuk proyek perdamaian dunia bersama PBB setidaknya selama 30 tahun. ”Saya telah bekerja bersama lima Sekjen PBB yang berbeda-beda sejak tahun 1977.”

Menjadi pengungsi

Martti lahir di Viipuri (wilayah tersebut kini bernama Vyborg dan masuk ke wilayah Rusia) pada 23 Juni 1937, tiga tahun sebelum Viipuri dianeksasi Uni Soviet. Sejak kecil, Martti telah merasakan susahnya hidup di tengah konflik dan perang.

Ketika itu Perang Dunia II merembet hingga tempat tinggalnya di Viipuri, Martti bersama ibunya, Tyyne, mengungsi ke Kuopio, wilayah timur di Finlandia. Sementara itu, ayahnya yang berprofesi sebagai pegawai negeri terlibat di garis depan pertempuran.

Martti dan ibunya kemudian ditampung sebagai pengungsi di sebuah komunitas petani selama beberapa bulan. Di Kuopio, dia menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya.

Menurut Martti, pengalaman pahit masa kecilnya mungkin ada hubungannya dengan motivasinya yang besar untuk terlibat sebagai juru runding di wilayah konflik.

Meski demikian, Martti yang menguasai bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan Finlandia ini mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak bercita-cita sebagai juru runding. Semua seakan mengalir begitu saja.

Martti memulai kariernya sebagai guru sekolah dasar. Martti bisa mengajar setelah mengambil pendidikan guru di sebuah universitas di Oulu pada tahun 1959. Dia juga sempat mengajar di Pakistan pada tahun 1960-an.

Tiga tahun kemudian, dia pulang ke Finlandia. Selanjutnya, dia aktif di organisasi-organisasi yang memberikan bantuan ke negara-negara berkembang.

Tahun 1965, dia bergabung dengan Departemen Luar Negeri Finlandia. Selama berkarier sebagai diplomat, dia menghabiskan waktu selama 20 tahun di luar negeri. Dia pernah menjadi duta besar di Tanzania, Mozambik, dan Somalia.

Tahun 1994, Martti terpilih sebagai presiden pertama Finlandia yang dipilih secara langsung. Di bawah kepemimpinannya, Finlandia bergabung dengan Uni Eropa.

Martti mengakhiri jabatannya sebagai presiden pada tahun 2000. Setelah lengser, Martti kembali terjun dalam kegiatan perdamaian dunia. Tahun 2005, dia ditunjuk sebagai Utusan Khusus PBB untuk masalah Kosovo.

Untuk menunjang kerjanya sebagai juru damai, dia membentuk CMI, sebuah organisasi independen nonpemerintah yang bertujuan mendukung dan memelihara perdamaian di sejumlah lokasi konflik. CMI berbasis di Helsinki, Finlandia.

Di luar kariernya sebagai diplomat, kehidupan Martti tidak banyak diulas media massa. Dia hanya disebutkan menikah dengan Eeva Irmeli Hyvärinen pada tahun 1968.

Dari perkawinannya itu, Martti memiliki seorang anak laki-laki bernama Marko Ahtisaari, yang berprofesi sebagai musisi dan produser.

NOBEL

Martti Ahtisaari Raih Nobel Perdamaian
Sabtu, 11 Oktober 2008 | 02:17 WIB

Oslo, Jumat - Mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (71) mendapatkan Hadiah Nobel Perdamaian 2008, Jumat (10/10). Upaya Ahtisaari yang tidak pernah lelah mewujudkan perdamaian, mulai dari Afrika, Eropa, hingga Asia, selama lebih dari tiga dekade dinilai membuatnya layak menerima penghargaan tersebut.

”Upaya-upaya itu telah memberikan sumbangan besar bagi dunia yang lebih damai dan bagi persaudaraan di antara bangsa-bangsa, seperti semangat Alfred Nobel,” demikian pernyataan Komite Nobel Norwegia.

Ahtisaari menyisihkan 197 kandidat lain, termasuk aktivis hak asasi manusia (HAM) China, Hu Jia, dan pengacara HAM Chechnya, Lidiya Yusupova. Sejak tahun 2005, nama Ahtisaari telah dinominasikan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian.

Ahtisaari menerima hadiah 1,4 juta dollar AS. Ia berharap penghargaan yang diterimanya membuat orang tertarik mendanai upaya perdamaiannya. ”Saya sangat senang dengan keputusan ini. Selalu ada banyak kemungkinan. Saya sangat berharap hadiah ini memudahkan pendanaan bagi organisasi yang saya pimpin,” ujarnya.

Upaya perdamaian Ahtisaari dimulai sekitar tahun 1970 saat dia membantu Namibia meraih kemerdekaan yang terwujud tahun 1990.

Tahun 2005, Ahtisaari dan organisasinya, Inisiatif Manajemen Krisis (CMI), menjadi mediator Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka untuk mengakhiri konflik selama 30 tahun.

Di Eropa, Ahtisaari berkontribusi dalam resolusi konflik di Irlandia Utara. Sebagai utusan PBB, dia juga memainkan peran penting dalam mengakhiri kekerasan di Kosovo, salah satu provinsi di Serbia.

”Ia pantas mendapatkan penghargaan itu karena hidupnya diabdikan untuk mengupayakan perdamaian di mana-mana,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla.(ap/afp/reuters/fro/har)

Kebahagiaan adalah Memberi


Minggu, 12 Oktober 2008 | 01:24 WIB

Bila ditanyakan kepada Haidar Bagir apa arti bahagia, dia akan menjawab memberi sebanyak-banyaknya.

Ayah tiga putra dan satu putri ini mengaku terobsesi pada hadis Nabi Muhammad yang menyebutkan, ibadah untuk Allah adalah menyenangkan orang-orang yang hancur hatinya dengan memberi sebanyak-banyaknya kepada yang membutuhkan.

”Yang hancur hatinya bukan hanya orang miskin. Sudah pasti orang yang miskin hancur hatinya, tetapi zaman sekarang banyak juga orang yang depresi dan butuh ditemani. Orang kaya pun kadang-kadang bisa hancur hatinya, depresi,” kata Ketua Yayasan Manusia Indonesia (Yasmin) yang bergerak di bidang pemberdayaan pendidikan kaum duafa ini.

Dengan memberi, kata Haidar, orang akan menerima jauh lebih banyak sehingga dia menyebut memberi adalah tindakan paling mementingkan diri sendiri.

Sikap dan keyakinan kebahagiaan adalah memberi sebanyak-banyaknya itu dia terapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk pendidikan di Lazuardi, mulai dari pra-TK hingga SMA.

Karena itu, tujuan Lazuardi bukan mendidik siswa mencapai nilai akademis setinggi-tingginya, tetapi anak menguasai kemampuan dasar akademis, menumbuhkan rasa cinta pada ilmu, terampil mengembangkan ilmunya, serta punya kemampuan komunikasi, rasa percaya diri, dan keprihatinan sosial tinggi. ”Itulah sumber kebahagiaan tertinggi,” kata Haidar.

”Kebahagiaan adalah latihan, dia ada di ambang pintu kita. Yang perlu kita lakukan adalah mengucapkan selamat datang, tetapi kita sering tidak sadar dan tidak terampil untuk menyadari. Orang harus melatih diri untuk merasa bahagia, dengan bersyukur.

”Kita sekarang ikut tren yang di tempat asalnya tidak dipakai lagi, yaitu kalau sukses dan punya uang banyak kita akan bahagia. Padahal, kebahagiaan terbesar adalah memberi,” tambah Haidar.

Dengan keyakinan itu, Haidar meyakini yang pertama-tama harus dibangun adalah akhlak, baik pribadi maupun sosial.

Alasan dia, akidah seseorang hanya akan kuat bila akhlaknya baik. ”Bagi saya akidah, ibadah, itu ujungnya akhlak pribadi dan sosial, hubungan sesama manusia,” kata Haidar.

Akhlak yang pribadi, seperti tidak dengki dan tidak pamer dalam kebaikan, menurut Haidar, seharusnya menjadi inti pendidikan. Tetapi, dia mengakui, tidak mudah menjelaskan kepada orangtua murid yang kadang-kadang masih mengukur dari nilai akademis.

”Pelan-pelan kami yakinkan yang penting mengajarkan anak berbahagia, yaitu kalau akhlaknya baik dan suka memberi dan menolong orang. Ini saya belajar dari diri sendiri. Kadang saya merasa kehilangan makna hidup sehingga saya secara sengaja mencoba memberi makna pada hidup saya,” papar Haidar.

Itu dia lakukan dengan, misalnya, mengajak anak-anaknya pergi bersama untuk menguatkan hubungan ayah-anak.

”Saya bilang kepada istri, bukan karena saya baik, tetapi saya menggunakan anak-anak untuk memberi kebahagiaan, memberi makna, pada hidup saya,” tambah Haidar. ”Kalau tidak secara sengaja memberi makna pada hidup, repot juga zaman sekarang. Kesenangan itu betul-betul hanya singgah. Kita mengejar sesuatu, begitu dapat, lalu hilang.” (NMP/BRE)

Haidar Bagir: Diperlukan Perubahan Paradigma



Minggu, 12 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Bre Redana

Sukses film ”Laskar Pelangi” dalam menarik jumlah penonton ke bioskop adalah juga kebanggaan untuk Mizan Publishing. Film yang diangkat dari buku karya Andrea Hirata itu diterbitkan September 2005 oleh Bentang, salah satu penerbit di bawah Mizan Publishing.

Kalau boleh terus terang, kesenangan sukses investasi (dalam film Laskar Pelangi) itu tidak sebanding dengan rasa senang bahwa film ini disukai orang,” kata Haidar Bagir (51), salah satu pendiri dan Presiden Direktur Mizan Publishing.

”Kami juga senang karena—istilah ’ge-er’-nya teman-teman (di Mizan)—film ini Mizan sekali. Dalam arti, ada unsur agamanya, tetapi menekankan pada akhlak, pendidikan yang tidak mengukur anak-anak dari nilai akademis seperti dikatakan Pak Harfan, kepala sekolah di film itu, concern pada kemiskinan, menghibur tetapi berkualitas,” tambah Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah Lazuardi di Cinere dan Sawangan (Depok), Cilandak, Jakarta Barat, Lampung, dan Solo itu.

Menurut Mira Lesmana yang bersama Mizan Publishing memproduksi film dengan sutradara Riri Riza ini, selama dua minggu pertama Laskar Pelangi sudah menyedot 1,5 juta penonton. Bukunya sendiri, menurut Haidar Bagir, sudah terjual 500.000-an kopi, sementara karangan Andrea Hirata yang lain, Sang Pemimpi dan Edensor, masing-masing terjual 300.000-an kopi, dan yang keempat, Maryamah Karpov, segera terbit. Keberhasilan Laskar Pelangi membuat Mizan Publishing mantap melangkahkan kaki masuk ke industri film dengan memproduksi Sang Pemimpi.

Buku bagus dan keberuntungan

”Menurut saya, keberhasilan buku ini adalah gabungan antara buku bagus, waktunya pas, dan juga keberuntungan,” jelas Haidar.

Bagaimana cerita penerbitan Laskar Pelangi?

Buku ini dikirim ke Bentang di Yogya oleh teman Andrea Hirata yang karyawan Telkom. Buku itu sempat beberapa hari tidak dibaca karena pikiran karyawan Telkom tidak biasa menulis buku. Ternyata isinya sangat menarik. Ketika ke Yogya, saya ditunjukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan. Sudah dengan judul Laskar Pelangi.

Kami tahu buku ini bagus dan akan laku, tetapi tidak tahu bakal selaku ini. Lalu Andrea Hirata bertemu saya di Bandung, membicarakan kemungkinan memfilmkan cerita itu. Terus terang waktu itu saya tidak terlalu optimis. Buku sudah laku, tetapi belum meledak. Selain itu, Mizan Sinema (kemudian menjadi Mizan Production) baru berpengalaman membuat acara televisi. Mizan masuk layar lebar, apa mungkin?

Kemudian buku itu diangkat dalam acara Kick Andy (di Metro TV) dan meledak. Sebelumnya, buku-buku kami juga diangkat dalam acara itu, tetapi tidak meledak seperti Laskar Pelangi.

Bagaimana menjadi film?

Setelah buku meledak, kira-kira setahun lalu, mulai banyak sutradara menanyakan apakah akan difilmkan. Kami jadi optimis. Kami kontak Andrea dan dengan cepat memutuskan menyerahkan kepada Mira Lesmana dan Riri Riza karena mereka sukses menggarap Petualangan Sherina. Kami merasa cerita ini sedikit seperti film itu, ada menghiburnya, tetapi tidak kehilangan keindahan. Mizan tidak sendirian sebagai investor, saya mengajak Bachtiar Rachman, teman saya yang membikin sekolah Lazuardi Cordova di Jakarta Barat.

Keberuntungan Laskar Pelangi?

Keberuntungannya karena diangkat dengan sangat baik oleh Kick Andy, besok paginya sudah ada beberapa orang dari toko buku antre di depan gudang kami. Tetapi, tetap yang paling utama memang bukunya bagus.

Agama cinta

Perbincangan dengan Haidar berlangsung di toko buku sekaligus kantor Mizan Publishing di Jalan Puri Mutiara, Jakarta Selatan. Toko buku itu, demikian Haidar, lebih dimaksudkan sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi berbagai komunitas, seperti musik, sastra, film, dan para ibu muda.

Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, bersama dua temannya Haidar mendirikan Mizan. Setahun kemudian mereka mulai menerbitkan buku. Kini, setelah seperempat abad, Mizan Publishing memiliki 12 unit usaha dan membagi saham untuk karyawan senior dan melalui koperasi.

Bila awalnya Mizan menerbitkan buku tentang agama, sejak tahun 1990 jenis buku yang diterbitkan diperluas. Buku agama saat ini 20 persen dari sekitar 1.000 judul per tahun. ”Mau cari buku resep masakan ada, buku tentang dekorasi, self help, sampai pendidikan,” tutur penerima penghargaan Best CEO 2008 versi majalah Swa ini.

Sikap dan pandangan hidup Haidar dalam mengembangkan pemikiran yang mengutamakan modernasi, rasionalitas, ilmu pengetahuan, serta pembangunan peradaban yang berkeadilan dan berorientasi sosial di atas landasan spiritual yang positif amat mewarnai Mizan.

”Kami tidak tertarik menerbitkan buku yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusivisme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang keagamaan.

”Sebaliknya, kami menerbitkan buku dari semua sumber. Ekstremnya, ada bukunya orang Muslim, buku yang ditulis pastor, dan juga yang mungkin dianggap sekuler, seperti Agama Cinta yang dekat dengan advokasi tentang civil religion. Sebetulnya buku itu sangat kontroversial karena mau mengatakan, agama itu sebetulnya cinta,” papar penerima tiga beasiswa Fulbright.

Kini dia sedang menyelesaikan dua buku berjudul Islam Agama Cinta; satu ditulis populer dan yang lain secara akademis dengan dilengkapi riset.

”Buku ini bukan hanya untuk orang luar, tetapi untuk orang Muslim sendiri. Ahli fenomenologi agama biasanya membagi agama ke dalam agama berorientasi nomos, hukum, yang dalam Islam disebut syariah; dan berorientasi eros, cinta.

”Biasanya fenomenologi tradisional memasukkan Islam ke dalam agama berorientasi nomos, hukum. Tetapi, melihat fenomenologi yang lebih belakangan sebetulnya kita harus melihat Islam sebagai agama yang tidak kurang-kurang berorientasi cinta.

”Saya ingin menunjukkan kepada kaum muslimin sendiri, di atas semuanya prinsip Islam adalah cinta. Hanya itu yang bisa membuat Islam terbuka karena pendekatannya kepada orang lain adalah kebaikan hati, berpikir positif, prasangka baik.”

Sementara, menurut Haidar banyak kaum muslimin yang menekankan keberagamaan pada syariah.

”Saya tidak mengatakan syariah tidak penting, tetapi harus mengacu pada prinsip Islam agama cinta. Kalau melihat agama hanya bersifat syariah, akan membuat orang menjadi eksklusif. Cinta itu merangkul semua dan membuat prasangka baik: semua orang sama baiknya, sama benarnya, sama salahnya dengan kita,” jelas Haidar.

Doktor filsafat Islam dari Universitas Indonesia ini juga membahas hal yang untuk beberapa pihak masih kontroversial. Misalnya, kekerasan dan perang.

”Islam agak khas dalam membuka peluang penggunaan kekerasan dan perang. Dalam buku ini saya tunjukkan betul, di atas semua itu prinsipnya tetap cinta. Perang dalam Islam hanya boleh dilakukan untuk melawan penindasan dan sifatnya defensif. Pada saat penindas siap duduk di meja perundingan, perang harus dihentikan.

”Dengan segala keterbatasan ilmu saya dalam hal ini, saya ingin menunjukkan kita harus melakukan paradigm shift, perubahan paradigma. Melihat Islam dari agama berorientasi hukum menjadi agama berorientasi cinta di mana hukum menjadi sarana kita memastikan setiap orang mendapatkan kasih sayang,” jelas Haidar.

Lalu juga tentang neraka. ”Prinsip kasih sayang itulah yang menjadi prinsip neraka. Neraka pada dasarnya bukan Tuhan menghukum manusia, tetapi apa yang dari Tuhan dapat dipersepsi berbeda oleh manusia,” tambah dia.

Haidar mencontohkan segelas air dingin yang menyegarkan untuk orang sehat dapat menyiksa untuk orang sakit.

”Itu saya coba ungkapkan untuk menunjukkan Tuhan tidak membuat sesuatu yang pada dirinya sendiri menyiksa, tetapi karena manusia tidak hidup dengan cara yang menyebabkan dia mendapat kenikmatan. Ini memang kontroversial, tetapi saya secara konsisten ingin membuktikan hal-hal tersebut.”