Nayef Hawatmeh Tokoh yang Mengguncang Israel
Musthafa Abdurrahman
Pemimpin Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (DFLP) Nayef Hawatmeh, yang sehari-harinya dipanggil dengan nama Abu Nuf, adalah deretan nama besar kaum Kristen Palestina. Namanya tergores dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel.
Namanya ikut memperkaya khazanah sumbangsih jejak juang kaum Kristen Palestina. Berdampingan dengan nama-nama besar tokoh Kristen Palestina lainnya, seperti George Habash (Pemimpin PFLP), almarhum Edward Said (tokoh pemikir Palestina), Hanan Ashrawi (mantan juru bicara Palestina pada konferensi damai Madrid yang kini menjadi anggota Dewan Legislatif), Azmi Bishara (tokoh pemikir Palestina saat ini), dan klan Muhanna yang tersebar di berbagai faksi PLO.
Nama Hawatmeh tiba-tiba menjadi isu polemik di Israel dua pekan terakhir ini menyusul berita simpang siur tentang keputusan Pemerintah Israel yang mengizinkan Hawatmeh bersama empat tokoh PLO lainnya masuk ke Tepi Barat untuk menghadiri sidang Dewan Pusat PLO di Ramallah, yang dijadwalkan digelar Rabu ini.
Keputusan Israel itu dimaksudkan untuk memperkuat posisi Presiden Mahmoud Abbas dalam pertarungan menghadapi Hamas dan faksi-faksi di tubuh PLO sendiri.
Tak pelak lagi, pendapat pro dan kontra muncul menghiasi media massa Israel, seperti harian terkemuka Yedioth Aharonoth, Maarev, dan Haaretz, yang datang dari berbagai lapisan masyarakat negara itu, seperti kalangan politisi, pengamat, dan pers.
Sikap DFLP sendiri tampak maju mundur. Semula DFLP mengisyaratkan kemungkinan Hawatmeh masuk ke Tepi Barat, tetapi belakangan dikonfirmasikan bahwa Hawatmeh memilih tidak datang ke Ramallah. Namun, polemik soal sosok Hawatmeh semakin seru di Israel, dengan mengungkit-ungkit masa lalu pemimpin DFLP tersebut.
Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan di Knesset (parlemen Israel) Tzahi Haneghby yang berasal dari Partai Kadima mengemukakan, satu- satunya izin ziarah ke Tepi Barat yang bisa diberikan kepada Hawatmeh apabila dia bersedia diborgol kedua tangannya untuk diajukan ke pengadilan guna mendapat vonis hukum atas perbuatan kriminalnya pada masa lalu.
Menteri Urusan Strategi Israel Avigdor Lieberman yang berhaluan radikal menyatakan, Pemerintah Israel hendaknya memberi izin Hawatmeh masuk ke Tepi Barat, namun hanya untuk menangkapnya di perbatasan lalu menjebloskannya ke penjara.
Adapun Menteri Negara Gajaon Ezra mendukung kembalinya Hawatmeh untuk memperkuat posisi Presiden Abbas. Ezra menyatakan Israel harus membantu Presiden Abbas dengan segala cara selama cara itu tidak mengancam langsung keamanan Israel.
Menurut dia, tak ada gunanya melihat masa lalu Hawatmeh karena latar belakang semua pemimpin Palestina yang diizinkan masuk sesuai dengan kesepakatan Oslo adalah hitam semua.
Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Ehud Barak pada tahun 2000 juga sempat memutuskan memberikan izin kepada Hawatmeh untuk masuk ke Tepi Barat. Namun, Barak membatalkan keputusannya pada saat-saat terakhir menyusul keluarnya pernyataan Hawatmeh bahwa adalah hak setiap rakyat Palestina melakukan perlawanan bersenjata di mana saja melawan Israel.
Lahir di Jordania
Menanggapi polemik tentang dirinya di Israel, Hawatmeh mengatakan, kubu kanan radikal Israel masih tetap berpikir dengan pola pemahaman hubungan antara budak dan majikan yang sama sekali tidak membantu terciptanya perdamaian.
Hawatmeh lalu memperingatkan kubu kanan Israel itu bahwa DFLP adalah faksi politik PLO yang pertama menyerukan solusi bagi kedua negara dan adanya penyelesaian adil atas pengungsi Palestina.
Nayef Hawatmeh lahir tahun 1937 di Salt, Jordania. Ia penganut Kristen Ortodoks. Sehari- hari ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Nuf. Pada tahun 1950-an dan 1960-an ia dikenal sebagai aktivis gerakan nasionalis Arab yang mendapatkan inspirasi dari gerakan Naserrisme di Mesir dan Partai Baath di Suriah dan Irak.
Pada masa itu pula Hawatmeh aktif sebagai penulis, wartawan, dan guru di Jordania. Ia memperoleh gelar kesarjanaan bidang filsafat dan psikologi dari Universitas Beirut, Lebanon.
Dalam gerakan perjuangan Palestina, Hawatmeh semula aktif dalam Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) pimpinan George Habash. Namun, kemudian ia hengkang dari PFLP.
Ia bersama teman-teman seperjuangannya kemudian mendirikan Rakyat Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (PDFLP) pada tahun 1969 yang lalu lebih dikenal dengan nama DFLP. DFLP dikenal sebagai salah satu faksi politik PLO yang beraliran kiri Marxist.
Ia semula menjabat juru bicara DFLP dan kemudian dipercaya sebagai pemimpin atau Sekjen DFLP. Sejak itu hingga saat ini, Hawatmeh sebagai wakil DFLP dalam Dewan Nasional Palestina atau PNC (parlemen Palestina di pengasingan) dan komite eksekutif PLO.
Sejak masa awal perjuangannya, Hawatmeh selalu berusaha membuka dialog dengan kubu- kubu kiri Israel untuk mendiskusikan solusi dua negara yang berbasis pada resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan Nomor 194. Hawatmeh kini berdomisili di Damascus, Suriah, yang juga basis DFLP.
Dalam politik internal Palestina, ia dikenal menolak Kesepakatan Oslo tahun 1993 yang ditandatangani almarhum Yasser Arafat dan mendiang PM Israel Yitzhak Rabin di Washington. Namun, pada akhir tahun 1990-an sikapnya mulai melunak. Pada tahun 1999 ia bersedia bertemu dengan Yasser Arafat dan berjabat tangan dengan Presiden Israel Ezer Weizmann pada acara prosesi pemakaman Raja Hussein dari Jordania, Februari 1999.
Dalam konteks konflik dengan Israel, ia dikenal sebagai tokoh Palestina moderat yang terus-menerus mengumandangkan solusi dua negara. Pada tahun 2004 ia aktif dalam komite bersama Israel-Palestina nonpemerintah yang berusaha membangun koalisi untuk mendukung dan memperjuangkan solusi dua negara itu.
Namun, Israel tampaknya tidak pernah melupakan kasus pembantaian sekolah Ma’alot tahun 1974 yang menewaskan 26 pelajar Yahudi; Hawatmeh dan DFLP dituduh mendalangi aksi pembantaian tersebut. Kasus Ma’alot itulah yang menjadi pemicu polemik di Israel saat ini tentang simpang siur berita keputusan Pemerintah Israel mengizinkan Hawatmeh masuk ke Tepi Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar