Senin, 25 Februari 2008

Imron, Menghidupkan Kembali ATBM




KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA / Kompas Images
H Imron Mina bin Kamsari
Senin, 25 Februari 2008 | 00:34 WIB

Stefanus Osa Triyatna

Dari sebuah desa terpencil di Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sejumlah alat tenun bukan mesin atau ATBM telah menghasilkan ribuan sajadah, tirai, dan karpet unik, dengan aroma harum akar wangi yang berkualitas ekspor. Selain batik, tenun ikat akar wangi ini telah menambah daftar potensi ekspor daerah itu.

Dalam perjalanan mencapai rumah H Imron Mina bin Kamsari, sayup-sayup terdengar suara alat tenun kayu yang sedang digunakan para perajin. Bunyi jeglak-jeglok ATBM makin terdengar keras begitu kami melintasi gapura bertuliskan ”Sentra Industri Tenun Kerajinan ATBM” di Desa Pakum Bulan, Buaran, Kabupaten Pekalongan.

Imron ikut berperan menghidupkan denyut ekonomi Desa Pakum Bulan. Dia bukan pengusaha yang datang ke kampung itu dengan modal uang besar. Imron sejatinya adalah anak tukang kerupuk yang tinggal di sebuah rumah di tengah persawahan.

Ayah dari lima anak itu menghasilkan produk berkualitas ekspor yang dibuat ratusan perajin di Desa Pakum Bulan. Apa yang dicapainya kini tak lepas dari kisah perjalanan jatuh bangun pengusaha yang menggeluti industri kecil, seperti tenun akar wangi.

Kata Imron, meskipun hidup sebagai wiraswasta, ayahnya itu selalu meyakinkan anaknya bahwa menjadi pegawai negeri sipil atau PNS harus bisa diraih. Alasan sang ayah, menjadi PNS berarti jaminan untuk masa depan.

Maka, jadilah mulai tahun 1986 hingga 1992 Imron mengabdikan diri sebagai guru sekolah dasar di Pekajangan, Pekalongan, meski dengan status honorer.

”Untuk bisa diangkat menjadi PNS, saya disuruh membayar uang pelicin oleh oknum dinas pendidikan. Bayaran yang diminta lumayan besar buat wong ndeso kayak saya, sekitar Rp 2 juta,” tutur Imron.

Untuk memenuhi keinginan agar anaknya menjadi PNS, sang ayah rela memberikan sebagian tabungannya. Namun, Imron justru menggunakan uang pemberian itu sebagai modal membeli beberapa ayam. Dia lalu membuka peternakan ayam kecil-kecilan.

Sayangnya, usaha peternakan ayam ini tak berlangsung lama karena harga pakan ternak semakin mahal. Imron sempat beralih menjadi penyalur pakan ternak. Tetapi lagi-lagi modalnya sulit dipertahankan. Kebetulan ia melihat alat tenun teronggok di rumah orangtuanya.

Dia kemudian mencoba menghidupkan delapan ATBM yang terbuat dari kayu jati itu. Dulu, ATBM itu pernah digunakan untuk membuat sarung palekat karena warga kampung tersebut pada umumnya punya keahlian menenun sarung palekat.

Pergeseran

Seiring kemajuan teknologi, ATBM yang dimiliki warga desa akhirnya cuma menjadi benda kuno yang ”dimuseumkan” pemiliknya. Bahkan, ada warga desa yang memiliki 50 ATBM dan hanya menyimpannya di rumah.

Pada 1997, cerita Imron, krisis moneter mulai dirasakan negeri ini yang mengakibatkan nilai tukar rupiah anjlok. Namun, pada saat itu justru para pembeli dari Australia, China, dan Jepang mendatangi Desa Pakum Bulan. Mereka bukan hendak memesan sarung palekat, tetapi meminta perajin membuat alas piring makan berbahan baku lidi. Mereka membawa contoh produk, dan pesanan pun berdatangan.

Kesempatan ini tak disia-siakan. Imron kemudian tak sekadar memproduksi alas piring makan berbahan baku lidi, tetapi juga mencoba mengembangkannya dengan memakai bahan baku akar wangi dan serabut bekas kepompong. Dalam perjalanan usahanya, aroma wangi dari akar wangi justru menjadi andalan produk Imron.

”Saya terinspirasi contoh-contoh pemesan dari luar negeri itu,” ucapnya.

Seiring dengan semakin banyaknya pesanan dan beragamnya produk yang harus dibuat, jika awalnya Imron hanya dibantu 15 perajin, dia kemudian bisa menambah jumlah perajin hingga 125 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 70 orang khusus membuat tenun akar wangi dan 19 orang lainnya memproduksi tenun berbahan baku eceng gondok.

Alhasil, dari bahan baku akar wangi yang dia peroleh dari Garut, Jawa Barat, itu setiap minggu bisa dihasilkan tenun akar wangi sepanjang sekitar 1.000 meter dengan lebar 120 sentimeter. Berbagai produk barang bisa dibuat dari tenunan itu, mulai dari alas piring makan sampai karpet, tirai, dan partisi.

”Sebagai gambaran saja, kapasitas produksi tirai per minggu bisa mencapai 250 lembar, alas makan 400 lembar, dan sajadah 1.500 lembar,” kata Imron menambahkan.

Kepastian pasar

Meski produksi meningkat, Imron mengaku kepastian pasar masih menjadi persoalan. Sebab, mereka ”sekadar” menunggu pesanan, belum mampu menerobos sendiri ke pasaran.

Pengusaha dari kawasan Arab, misalnya, memesan aneka produk akar wangi untuk dikirim ke Malaysia. Ironisnya, pengusaha itu meminta label di sudut produknya bertuliskan ”Made in Malaysia”. Bahkan, ada juga label negara lain, seperti Turki dan Uni Emirat Arab.

Pesanan yang datang melalui perantara juga mengakibatkan harga jual yang diperoleh Imron tak maksimal. Ketika sampai ke Malaysia, misalnya, harga jual produknya menjadi berlipat ganda.

Bahkan, saat menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Imron bisa mendapati tenun buatan kampungnya itu dijual dengan harga jauh melambung. Contohnya, harga sajadah yang di Pekalongan Rp 40.000, di Mekkah bisa menjadi sekitar Rp 1 juta per helai.

”Sedihnya, konsumen asal Indonesia pun tidak tahu bahwa produk-produk yang dia minati di negeri orang itu sesungguhnya berasal dari Tanah Air, buatan perajin Pekalongan,” tutur Imron yang memasang harga tirai sekitar Rp 60.000 dan karpet Rp 80.000 per lembar.

Sebagai perajin, ia tak menampik jika kontinuitas pembelian itu penting. Sebab, roda perekonomian makin cepat berputar, tanpa harus menunggu pasar.

”Susahnya, bangsa kita sendiri juga yang merusak harga. Sewaktu saya menunaikan ibadah haji tahun 2007, ada perajin di desa yang nekat mengambil order sajadah di bawah harga Rp 40.000 per lembar,” kata Imron yang sedih karena tak ada label ”Made in Pekalongan” dalam produk buatan daerah itu.

Jika kondisi semacam ini dibiarkan, dia khawatir lambat laun akan berpengaruh terhadap kualitas produk. Karena itulah, Imron berusaha menerobos pasar. Bersama beberapa perajin lain, dia membuat barang dengan label ”Made in Indonesia” untuk diekspor ke Oman. ”Saya pengin produk Pekalongan ini bisa bersaing langsung di pasar global,” katanya.

Imron bersyukur, dari usahanya ini dia bisa membiayai sekolah anak, memperbaiki rumah warisan orangtua, menyediakan sarana transportasi pengiriman barang, dan menambah lahan untuk pengembangan usaha.

Biodata

* Nama: H Imron Mina bin Kamsari

* Lahir: Pekalongan, 3 Mei 1966

* Istri: Hj Suminah

* Anak:

- Intan Hidayatilah

- Aunurrohmah

- Ainun Najib

- Moh Zaki Aleridho

- Kirana Najwa

* Pendidikan:

- SD/Madrasah Ibtidaiyah Salafiah, Pekalongan

- SMP Islam Sindang Wetan, Pekalongan

- Pendidikan Guru Agama Negeri Pekalongan

- IAIN Wali Songo Semarang

* Pekerjaan:

- Guru SD Pekajangan, Pekalongan, 1986-1992

- Penyalur Pakan Ternak, 1992-1999

- Perajin Tenun Akar Wangi, 2000-sekarang

Kamis, 21 Februari 2008

Untung Sragen Punya Untung


KOMPAS/HERU SRI KUMORO / Kompas Images
Untung Sarono Wiyono Sukarno
Kamis, 21 Februari 2008 | 02:30 WIB

Oleh Sonya Hellen Sinombor dan Subur Tjahjono

Beruntung Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, punya bupati seperti Untung Wiyono. Sosoknya unik. Selama 13 tahun ia bekerja di perusahaan asing, sebelum memutuskan terjun ke dunia politik. Ijazah sarjananya sempat dipersoalkan, tetapi berbagai usaha Untung membuat Sragen menjadi sorotan nasional.

Dari 21 kebijakan Pemerintah Kabupaten Sragen, delapan di antaranya diadopsi pemerintah pusat. Kedelapan kebijakan itu adalah pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil dengan sistem kompetensi, budidaya pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat, dan pembiayaan mikro.

Program lain yang unik adalah denda Rp 100 juta atau 10 tahun penjara bagi orang yang menangkap ikan dengan racun, denda Rp 50 juta atau 5 tahun penjara bagi penembak burung. Ada lagi kebijakan Sragen bebas pengemis atau peminta-minta, bahkan juga kebijakan pohon bebas paku.

Setelah mendapat penghargaan Citra Pelayanan Prima dari Presiden pada 2004, Sragen lalu meraih 34 penghargaan lain dari berbagai kalangan. Terakhir penghargaan dari Persatuan Wartawan Indonesia dalam peringatan Hari Pers Nasional 2008 di Semarang untuk program pelayanan publik.

Saat memaparkan program dalam Konvensi Nasional Media Massa, 8 Februari lalu, Untung tampak bersemangat. Ia pekikkan pula kata ”merdeka”. Maklum, dia juga Pelaksana Harian Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Sragen.

Saat ditemui pekan lalu, gaya bicaranya tetap berapi-api. Tak ada kesan mengantuk meskipun ia mengaku cuma tidur sekitar satu jam sebab menunggui langsung seleksi penerimaan calon PNS Sragen dan paginya mengikuti kegiatan olahraga di kantor.

Pengalaman bekerja di perusahaan asing membuat ia terbiasa berdisiplin, kerja keras, dan efisiensi. ”Jadi pemimpin itu harus mengatur uang dulu,” katanya. Bila dana tak dikelola dengan sistem yang baik, akan mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Efisiensi adalah kata kunci yang dia bawa saat menjadi Bupati Sragen. Hari pertama setelah dilantik menjadi bupati pada Mei 2007, ia mengumpulkan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah, Sekretaris Daerah, Asisten Bupati, Kepala Bappeda, dan Wakil Bupati. Mereka membahas anggaran rutin sebesar Rp 34 miliar.

”Saya hitung-hitung, masih bisa memasukkan ke kas daerah Rp 12,2 miliar, atau sekitar 30 persen. Ini dari anggaran tim yang dobel dan bantuan yang tak perlu,” ujarnya.

Selain itu, PNS pun tak terbiasa membuat rencana strategis, rencana bisnis, dan proposal. APBD berupa perimbangan karena anggaran harus habis juga perlu direformasi. Untung percaya, kalau pemimpin ingin rakyat bekerja keras, pemerintahnya harus membangun sistem yang melayani mereka. Dengan demikian, rakyat percaya kepada pemimpinnya.

”Kepercayaan itu timbul dari pelayanan pemerintah, seperti mengurus KTP cukup dua menit, atau mengurus izin hanya sehari,” ucapnya.

Rezeki kota

Efisiensi itu membuahkan hasil. Pendapatan asli daerah (PAD) Sragen, yang pada Mei 2001 sebesar Rp 7 miliar, naik menjadi Rp 14 miliar pada akhir 2001. Sekarang, PAD Sragen pada APBD 2007 menjadi Rp 54 miliar. Pertumbuhan ekonomi mencapai 6,8 persen. ”Kampung tempatku, tetapi rezekiku kota,” ucapnya.

Salah satu yang mendukung pertumbuhan ekonomi itu adalah Pabrik Gula Mojo yang tahun 2001 hendak ditutup, namun justru dia beri pinjaman Rp 5,5 miliar. ”Kalau pabrik ditutup, mesinnya cuma jadi besi tua, padahal saya tahu mesinnya masih bagus,” ujarnya. Hasilnya? Pinjaman itu bisa kembali dalam waktu setahun.

Anggaran pembangunan satu jembatan Bengawan Solo di Gawan yang semula Rp 9,6 miliar bisa dia turunkan menjadi Rp 4,3 miliar dengan mengefisiensikan biaya pengadaan tanah.

Teknologi informasi

Untung percaya teknologi informasi akan meningkatkan efisiensi. Karena itu, sejak 2003 ia menerapkan pemerintahan elektronik. Lebih dari 500 komputer online di seluruh kantor satuan kerja, 20 kecamatan, dan 208 desa. Tahun ini Pemkab Sragen merakit komputer dengan nama Sratek (dari Sragen Teknologi).

Pemikiran perlunya teknologi informasi itu muncul dari pengalamannya bekerja di perusahaan asing, terutama instrumentasi dan teknologi minyak bumi. ”Dengan teknologi semuanya bisa efisien. Teknologi informasi juga bisa digunakan untuk kontrol.”

Pada awal dia menjadi bupati, di Pemkab Sragen cuma ada tiga komputer. Untung lalu menyiapkan dulu sumber daya manusianya. Awalnya memang perlu dana relatif besar, namun hasilnya sepadan. PNS di Sragen piawai menggunakan komputer dan mahir berbahasa Inggris. Tuntutan kemahiran itu sampai pada PNS tingkat desa, bahkan kepala desa pun harus belajar komputer.

Untung memberi perhatian lebih pada desa. Sebab, ia lahir di Kampung Dayu, Desa Jurangjero, Kecamatan Karangmalang, Kabupaten Sragen. Dulu, desanya tandus, tetapi kini kawasan itu telah hijau. Kali kecil yang pada musim kemarau kering kini menjadi bendungan yang mengairi sawah dan hutan jati di sekitarnya.

Ia bercerita, sebagai wiraswasta dia bisa hidup cukup. Namun, dorongan teman-teman membuat Untung memutuskan masuk dunia politik. ”Tiga bulan menjelang pemilihan kepala daerah, saya berubah pikiran setelah berkeliling melihat potensi Sragen.”

”Alhamdulillah saya diberi banyak pengalaman, mulai dari menjadi pengusaha kaki lima, soto dan bakso di Surabaya, sampai kerja profesional. Saya tidak minder, tetapi juga tak main-main kalau bekerja,” ujar Untung.

Perjalanan Untung sebagai bupati tak selalu mulus. Pada periode pertama (2001-2006) dia dilaporkan ke polisi karena dugaan ijazah palsu Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jakarta. Sorotan atas ijazah palsu itu berlanjut saat dia mencalonkan diri kembali untuk periode 2006-2011. Namun itu bisa dilaluinya. Berpasangan dengan Agus Fatchur Rahman, ia memenangi pilkada langsung pada 25 Maret 2006, dengan perolehan suara 87,34 persen.

”Sudah ada keputusan Mahkamah Agung yang inkracht (tetap), ijazah saya tak bermasalah,” ucapnya.

Rabu, 20 Februari 2008

Parlindungan Purba, Si Wakil Rakyat



KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI / Kompas Images
Parlindungan Purba
Rabu, 20 Februari 2008 | 01:57 WIB

Aufrida Wismi Warastri

Waktu sudah menjelang dini hari pertengahan tahun lalu. Hujan turun deras sekali. Listrik padam. Namun, belasan manusia mengenakan jas hujan seadanya menembus malam menuju Pembangkit Listrik GT 2.1, Sicanang, Belawan, Medan, Sumatera Utara. Selain wartawan dan petugas PLN Belawan, di situ ada Parlindungan Purba (45), anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Sumut.

Malam-malam ia mengontak wartawan dan pimpinan PLN Pembangkit Sumut untuk melihat langsung, apakah benar GT 2.1 Sicanang rusak dan tengah diperbaiki. Kerusakan itu merugikan jutaan warga Medan dan sekitarnya karena listrik padam berbulan-bulan.

Dalam pembicaraan telepon, PLN sempat hendak menunda agar peninjauan mendadak itu dilakukan esok hari. Apalagi hujan deras sekali di Belawan. Namun, Parlindungan, bapak empat anak itu, bersikeras.

”Saya sudah bawa wartawan,” katanya. Kalimat itu efektif. Di tengah hujan deras dan saat jembatan Sicanang masih rusak sehingga untuk menuju lokasi pembangkit harus menyeberang dengan perahu, peninjauan dilakukan.

Itulah salah satu cara Parlin, panggilannya, mengemban tugas sebagai wakil rakyat. Setiap kali kunjungan ke kawasan yang bermasalah, dia menyetir sendiri mobilnya yang diisi wartawan. Beberapa wartawan bahkan sering tertinggal di belakang, tak bisa mengikuti langkah kakinya yang cepat.

”Saya benar-benar terbantu karena media massa,” ujar politisi yang mengaku sebagai politisi karbitan itu.

Hampir semua nama wartawan media massa di Medan ada dalam ponselnya. Baginya, media massa sangat efektif mendukung proses demokratisasi dan menyuarakan aspirasi rakyat. Maka, kerjanya bahu-membahu dengan media massa.

”Jurnalis tahu mana orang benar, mana tidak. Asal baik, jurnalis akan mendekat. Wartawan bodreks pasti tak mau dekat dengan saya,” katanya berseloroh.

Hidup baik, itulah yang dia pelajari dari orangtua. Bapaknya pekerja swasta, ibunya bidan. ”Sejak kecil kami biasa mendengar bayi pertama kali menangis sebab rumah kami juga menjadi rumah bersalin,” cerita Parlin.

Hidupnya ”lurus-lurus” saja sejak muda. Ia bercita-cita menjadi diplomat setelah mengikuti pertukaran pemuda di Korea. Namun, setelah lulus, ia bergabung dengan usaha keluarga di bidang kesehatan dan penyalur tenaga kerja.

Ia seolah ada hampir pada setiap masalah di Sumut. Seperti harga semen yang melambung, pungutan penerimaan calon pegawai negeri sipil, kelangkaan pupuk, bocornya ujian nasional, krisis listrik, krisis gas, asuransi kesehatan orang miskin, konflik tanah 25.000 warga Sarirejo dengan Angkatan Udara, hingga membantu warga yang terusir karena pembangunan Bandara Kuala Namu.

Cukup menelepon dirinya, menyerahkan bukti-bukti, ia akan meluncur. ”Sebagai anggota DPD saja saya menghadapi hambatan untuk menegakkan kebenaran, apalagi rakyat kecil yang tidak diadvokasi. Di situlah saya meletakkan diri saya, dengan seoptimal mungkin terlibat dan bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya. Namun, ia tak mau terlibat dalam masalah korupsi. ”Itu tugas polisi,” jawabnya.

Sekrup kecil

Namun, bagi Parlin, hal yang paling menggembirakan adalah, seperti istilah dia, menjadi sekrup kecil. Misalnya, dalam kesepakatan PT Inalum yang akhirnya mau memasok listrik bagi warga Sumut.

Setiap hari Kamis ia sudah berada di Medan. Senin pagi ia bertolak ke Jakarta. Lain dengan kebiasaan sebagian anggota DPD yang dua bulan di Jakarta dan satu bulan di daerah. Untuk perjalanan itu ia keluarkan dana dari kocek sendiri.

Ia merasa apa yang dia lakukan itu sudah sewajarnya dan memang tugas wakil rakyat demikian. ”Saya berusaha sebaik mungkin, hasilnya bukan urusan saya,” ujarnya.

Para wakil rakyat yang lain pun ia yakini punya semangat untuk memperjuangkan nasib rakyat, meski sebagian masih berupa potensi, belum implementasi. Sebab, katanya, sebagai wakil rakyat, selain paham hukum, tata negara, dan perundang-undangan, juga harus turun ke lapangan.

Untuk menjalankan tugas, sering kali ia merasakan ada kebetulan-kebetulan yang menurut dia aneh. ”Kemarin waktu banjir di Jakarta. Pesawat saya adalah pesawat terakhir yang bisa mendarat di Bandara Seokarno-Hatta. Sesudah itu tak ada orang yang bisa masuk Jakarta,” ceritanya.

Kebetulan itu juga ia rasakan saat menjadi anggota DPD. Sejatinya ia kalah dalam pemilihan anggota DPD dan berada di urutan nomor lima, meskipun ia merasa lebih dari 100.000 suaranya dari Pulau Nias hilang. Ia sempat menggugat, namun kalah.

Ia resmi menjadi anggota DPD baru satu setengah tahun kemudian setelah anggota DPD asal Sumut yang juga mantan Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, tewas dalam kecelakaan pesawat Mandala di Bandara Polonia. ”Ada yang terlibat dalam langkahku. Saya tahu itu Yang Mahakuasa,” katanya.

Independen

Untuk kampanye pemilihan DPD, ia mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 1 miliar. Dari jumlah itu, sekitar Rp 500 juta dari dana pribadi, dan sisanya bantuan teman-teman dan masyarakat umum. ”Saya tidak pernah ikut dalam partai politik, dan tidak akan pernah ikut,” ucapnya. Parlin memilih independen.

Kadang kala Parlin tampak sangat emosional ketika melihat hal-hal yang mudah namun dipersulit. Seperti masalah konflik tanah warga Sarirejo yang berada di sekitar Bandara Polonia. Surat DPD ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat yang sudah sebulan dilayangkan tidak ditanggapi. Bersama tiga anggota DPD asal Sumut lainnya, ia mendatangi BPN, namun tak mendapat jawaban memuaskan karena tidak ditemui Kepala BPN. ”Saya benar-benar kecewa,” tuturnya.

Ia melihat kemungkinan perjuangan warga Sarirejo gagal karena kurang tawakal. Maka ia meminta warga Sarirejo untuk berbuat bagi orang lain, tidak hanya menuntut. Warga pun sepakat melakukan donor darah.

Meskipun cita-cita masa kecilnya menjadi diplomat, ia masih harus belajar diplomasi untuk tidak emosional. Parlin lebih ingin menjadi motivator.

Selama menjadi anggota DPD ia melihat rakyat butuh keteladanan. PNS bekerja malas-malasan, sementara pekerja swasta saat pertengahan bulan sudah berpikir gaji habis. ”Tak usah jauh-jauh, untuk mengajak orang membersihkan parit saja kini sangat sulit,” tuturnya.

Banyak orang yang sudah kehilangan idealisme. Mereka merasa tak bisa menjadi diri sendiri. Namun, selalu masih ada harapan untuk memperbaiki semuanya menjadi lebih baik, seperti ditunjukkan Parlindungan Purba....

Senin, 11 Februari 2008

Semangat Nasionalis Pembatik Pekalongan


Senin, 11 Februari 2008 | 02:55 WIB

Stefanus Osa Triyatna

Sebagian orang mungkin akan menertawakan dan menyebut mereka bodoh. Tawaran di depan mata, mulai dari iming-iming gaji besar, beasiswa untuk meraih gelar perguruan tinggi, hingga jaminan hidup keluarga, tak jua membuat hati mereka tergerak meraih tawaran menggiurkan itu. Alasannya, semangat nasionalis Indonesia.

Satu tahun terakhir ini betul-betul membuat hati Dudung dan Romi risau. Kedua lelaki ini menumpahkan segala kerisauannya akibat klaim batik yang sudah dipatenkan Malaysia di mata internasional.

Betapa tidak. Mereka sebagai generasi keempat perajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, bakal malu tak mampu mempertahankan kekayaan khazanah batik Indonesia. Padahal, batik merupakan warisan yang sudah diturunkan dari para pendahulu mereka.

”Pekalongan memang hanya kota kecil. Akan tetapi, kerajinan seni membatik bisa menunjukkan Indonesia ini masih punya martabat tinggi,” ujar Romi, bernama lengkap HM Romi Oktabirawa (35), di rumahnya di Pekalongan, awal Februari.

Perajin batik di pesisir utara Jateng itu menceburkan diri dalam dunia batik sejak masih di SMA Muhammadiyah 1, Pekalongan, tahun 1992. Prestasi yang dia peroleh dari dunia internasional seakan tak berarti lagi jika dunia mengakui klaim batik Malaysia.

Oleh karena itulah, Romi berupaya mengumpulkan berbagai referensi dari dalam dan luar negeri. Berbagai buku dia pelajari demi meyakinkan dunia internasional bahwa batik adalah kekayaan Indonesia.

Dari begitu banyak referensi yang dikumpulkan, Romi mengandalkan temuan sahabatnya di Belanda. Buku ejaan lama terbitan 1934 itu berjudul Recept Batik: Dari Kaen Poetih Sampe Djadi Batik Jang Bagoes. Karya Liem Boen Hwat yang diterbitkan Drukkerij Fortuna Pekalongan itu terdiri dari dua jilid. Jilid kedua diterbitkan pada 1937 berjudul Recept Batik: Babaran Roepa-roepa Kleur Antero Model Jang Paling Baroe dan Practis.

Bahkan, ada juga referensi berjudul Batik and How to Make Them karya Pieter Mijer yang diterbitkan di New York tahun 1919. Masih ada lagi buku-buku yang diyakini akan memperkuat pembuktian batik Indonesia.

Bicara klaim Malaysia, Romi mengaku geregetan untuk berupaya membuktikan bahwa batik milik Indonesia. Persoalannya, kata ”batik” itu sendiri adalah brand Indonesia.

”Boleh saja proses membatiknya serupa dengan yang dilakukan perajin batik di Pekalongan, Lasem, Yogyakarta, atau Solo, bahkan Madura. Tetapi, tolonglah Malaysia tidak menyebutnya sebagai batik karena itu brand Indonesia,” ujarnya.

Di sela-sela kesibukannya mencari bukti-bukti, Romi pun mengisahkan perjalanan kematangannya menekuni dunia batik. Tahun 1996 Romi semakin getol menekuni batik. Ini mungkin karena kakeknya adalah perajin batik di Pekalongan, begitu juga ayahnya.

Pemilik merek Wirokuto Batik itu mengatakan, proses belajar batik dilakukan dengan mempelajari motif-motif batik kuno, dan belakangan ia juga mempelajari motif batik modern. ”Dari situlah saya meredefinisi motif, warna, dan desain dalam implementasi pembuatan batik,” ujarnya.

Prestasi demi prestasi yang ditandai dengan berbagai penghargaan yang diperolehnya membuat Malaysia membidik Romi untuk menghasilkan batik yang kelak menjadi batik negeri jiran. Dia menolak semua iming-iming yang diberikan pengusaha asal Malaysia.

Romi bercerita, temannya sesama perajin batik menerima tawaran pengusaha Malaysia karena bayaran yang sangat tinggi. Bahkan, temannya itu menantang. ”Zaman sekarang siapa yang berani membayar gaji tinggi untuk tetap mempertahankan batik di Indonesia?” ujar Romi menirukan ucapan kawannya.

”Mohon maaf, kalau saya harus menjual budaya bangsa sendiri, saya tidak bisa!” tegas Romi.

Generasi penerus

Semangat nasionalis itu pun diungkapkan Dudung Aliesyahbana (43). Perajin batik ini mengakui, tawaran-tawaran menggiurkan bagi wong ndeso terus berdatangan. Entah itu untuk menciptakan dan membuat batik ataupun mengajarkan seni membatik.

”Bagi saya, semua itu dilakukan semata-mata untuk mencapai ’desain’ yang lebih besar, yakni untuk mewujudkan pematenan batik yang sekarang bikin resah generasi penerus perajin batik Indonesia,” ujar Dudung.

Bagi Dudung, dunia batik sudah mendarah daging. Sejak masih di sekolah dasar, dasar-dasar batik sudah diraihnya mulai dari lingkungan keluarga sampai masyarakat sekitar. Bahkan, sejak duduk di bangku SMP, Dudung mengaku sudah membuat sarung batik sendiri. Tentunya, saat itu peran orangtua masih dominan.

Setelah sempat merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan, Dudung menekuni pembuatan tie dye batik. Proses pembuatan tie dye ini serupa dengan membuat kain jumputan. Awalnya, kain dijahit menjelujur dengan jarum benang, kemudian kain itu dicelup ke dalam zat pewarna sehingga menampilkan warna-warna khas.

Tak puas dengan hasil tersebut, Dudung mengombinasikan dengan menggunakan batik cap maupun tulis. Sekali lagi, kombinasi ini pun hasil tangan terampilnya sendiri. Kini Dudung tidak sendirian karena 100 perajin ikut bekerja di lingkungan Tiedye Batik miliknya.

Keresahan

Romi maupun Dudung hanyalah dua perajin yang mengakui keresahannya. Mereka sepakat bahwa transformasi budaya batik di Malaysia identik dengan proses batik pada era 1970-an. Malaysia mempekerjakan perajin batik sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).

”Maaf saja, kelas produknya hanyalah menengah ke bawah. Motifnya tidak jauh dengan batik-batik yang ada di pasaran. Konturnya sederhana dan mengandalkan bright color yang fungsinya hanya sebagai sarung pantai,” kata Romi.

Sekarang ini Malaysia mulai menyadari rendahnya kualitas batik-batik yang dipatenkan itu. Oleh karena itu, Malaysia mulai membidik juragan-juragan batik Indonesia.

Baik Romi maupun Dudung tidak merasa khawatir apabila desainer atau perajin mereka diboyong ke Malaysia untuk menciptakan desain batik. Kata Romi, bisa saja mereka diambil dan mulai mencontoh karya-karyanya.

Ia tak khawatir sebab seorang perajin batik sejati tetap memiliki kemampuan untuk menciptakan desain-desain batik yang berbeda dan berciri khas.

Dudung menuturkan, desain batik itu terlahir dari rasa, bukan sekadar hasil pemikiran sesaat. ”Justru kekuatan batik Indonesia itu ada pada desain yang lebih filosofis, bukan sekadar hitung-hitungan nilai ekonomis semata,” tegasnya.

Romi dan Dudung merupakan generasi keempat perajin batik di Pekalongan. Dudung bertahan dengan memadukan desain batik tulis dan batik cap, yang diproses sedemikian rupa dengan jumlah produksi terbatas. Sementara Romi lebih menekuni batik tulis klasik.

Apa pun ciri khas keduanya, maupun para perajin batik dari berbagai daerah lain di Indonesia, semua menunjukkan bahwa batik memang kekayaan bangsa ini.

Sabtu, 02 Februari 2008

Vikram Pandit, Juru Selamat nan Kontroversial


Senin, 31 Desember 2007 - 17:41 wib


WASHINGTON - Banyak kalangan yang meragukan kemampuannya sebagai CEO baru Citigroup. Lebih dari itu, proses pemilihannya sebagai orang nomor satu di kelompok usaha ini pun dianggap kontroversi.

Ibarat hantu, begitulah krisis subprime mortgage yang belum lama ini menerjang Amerika. Terutama dampaknya bagi perusahaan yang bergerak di sektor jasa keuangan, mereka dibuatnya oleng karena merugi sangat besar. Setelah itu, giliran para top eksekutifnya yang ketar-ketir. Karena kinerjanya makin memburuk, bahkan beberapa di antaranya terpaksa dilengserkan.

Contohnya seperti dialami oleh Charles Prince, Chief Executive Officer (CEO) Citigroup. Akibat peristiwa itu, kelompok usaha yang dipimpinnya, sampai November lalu, dilaporkan harus menanggung rugi hingga mencapai USD11 miliar.

Buntutnya, Prince pun terpaksa mengundurkan diri dari kursi pimpinan. Karena sulit mencari penggantinya, untuk sementara, posisinya digantikan oleh Robert Rubin, mantan Menteri Keuangan di era pemerintahan Bill Clinton.

Hal tersebut makin membuktikan betapa banyak kalangan yang gentar karena dampak yang ditimbulkan oleh si "hantu mortgage." Baru, setelah melewati proses yang cukup panjang, kalangan paling berpengaruh di Citigroup berhasil menunjuk seseorang yang dinilai layak menggantikan Prince. Dia adalah Vikram Pandit. Pria berdarah India ini, pada Selasa pekan lalu, resmi diangkat menjadi CEO baru.

Pandit boleh saja bangga atas kepercayaan yang diterimanya. Tapi, bukan berarti ia bisa berlama-lama tersenyum lepas. Malah sebaliknya, seperti diramalkan banyak kalangan, jabatan barunya itu akan membuatnya pontang-panting. Maklum, tugas tergolong berat sudah menyongsongnya.

Bahkan teramat berat, itu bila menyimak perkiraan kalangan analis. Kata mereka, melihat kondisi perekonomian Amerika yang cenderung makin memburuk, hal itu berpotensi menambah kerugian Citigroup.

Indikasi ke arah sana memang sudah terlihat. Dari laporan kuartal ketiga tahun ini, pendapatan perusahaan beraset USD2,35 triliun itu "hanya" mencapai USD22,4 miliar, dengan keuntungan bersih USD2,21 miliar. Skala ini menurun 60 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal lain yang tak kalah runyamnya adalah berkait dengan keputusan manajemen yang akan mengurangi karyawan sebanyak 45 ribu orang hingga akhir 2008.

Tak hanya itu. Di lantai bursa, perusahaan yang telah beroperasi sejak 1812 ini juga menghadapi persoalan, yakni merosotnya kepercayaan pasar. Hal itu, tak pelak, berakibat terhadap harga saham Citigroup yang terus menurun. Nyatanya, sejak awal tahun hingga minggu lalu, harganya melorot lebih dari 41 persen. Seiring dengan itu, nilai kapitalisasinya pun anjlok lebih dari USD50 miliar.

Boleh jadi karena kinerjanya cenderung melemah, tak kurang dari para analis di Standard & Poor's Rating Service terpaksa menerbitkan woro-woro agar kalangan investor mulai mewaspadai gergasi perbankan kedua terbesar di Amerika ini.

Tak hanya itu, dalam beberapa bulan terakhir, hampir seluruh perusahaan pemeringkat internasional juga ramai-ramai menurunkan peringkatnya. Tampaknya, Pandit harus menerima kenyataan bahwa perusahaan yang dipimpinnya tengah mengalami kondisi paling buruk selama 16 tahun terakhir.

Walau begitu, dengan penuh rasa optimisme, sang CEO baru tetap berjanji akan memberikan kontribusi terbaik bagi perusahaan. Untuk memulihkan kondisi Citigroup dari keterpurukan, dari markasnya di Manhattan, New York, ia sudah menyiapkan segepok kebijakan. Di antaranya strategi yang bisa menyelamatkan keuangan perusahaan dari situasi yang lebih buruk.

Didukung Mantan Menteri Keuangan

Konkretnya, ia mulai mengkaji biaya operasional agar bisa dilakukan efisiensi secara besar-besaran. Salah satu peluangnya untuk itu, dengan mempercepat pelaksanaan program pengurangan karyawan. Selain itu, Pandit juga mulai gencar melakukan pendekatan terhadap banyak analis.

Tujuannya, agar mereka tak serta-merta menurunkan lagi peringkat Citigroup. Sungguh kebijakan tergolong taktis. Pasalnya, jika keinginannya itu tercapai, niscaya akan meningkatkan citra Citigroup, terutama di kalangan para investor.

Nah, persoalannya sekarang, seberapa mampu Pandit melakukan semua itu hingga berhasil memenuhi targetnya? Pasalnya pula, banyak pihak yang meragukan kemampuannya. Maklum, track record-nya sebagai eksekutif belum teruji. Apa lagi, tiba-tiba ia dipercaya menangani perusahaan besar dengan permasalahan kompleks seperti Citigroup. Karena itu, rupanya, proses sampai ia terpilih menjadi CEO sempat menimbulkan kontroversi.

Kabarnya, setelah mundurnya Prince, para penentu di Citigroup segera mencari calon penggantinya. Yang diliriknya adalah kalangan eksekutif top dunia. Dari sekian puluh kandidat, tersaringlah sejumlah nama. Selain Pandit, ada Robert Willumstad, Chairman AIG (salah satu perusahaan asuransi terkemuka dunia), Josef Ackermann (Kepala Deutsche Bank), dan Lawrence Fink, CEO BlackRock (perusahaan yang bergerak di sektor investasi).

Dalam proses seleksi, para kandidat itu bersaing amat ketat. Akhirnya nasib baik menghampiri Pandit. Ia berhasil keluar menjadi pemenang, kabarnya pula, karena didukung dari Robert Rubin. Nama besar Rubin, rupanya, mampu memengaruhi keputusan para pemegang saham Citigroup.

Tapi, para pemegang saham itu punya dalil yang agak berbeda. Seperti diungkapkan oleh salah seorang dari mereka bahwa pihaknya mendapat tekanan begitu kuat agar segera memilih CEO baru, setelah lengsernya Prince.

Pasalnya, hampir sebulan lebih perusahaan ini beroperasi tanpa komando yang jelas. Bila kondisi ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan makin memperburuk citra Citigroup di mata pasar. Oleh karena itu, ketika mendapat "arahan" dari Rubin, mereka segera melaksanakannya.

Menurut Rubin, alasannya merekomendasikan Pandit karena sosok eksekutif ini paling tepat untuk menempati posisi CEO Citigroup saat ini. Pandit dinilainya memiliki pengalaman yang cukup di bisnis keuangan dan investasi. Selain itu, ia juga dikenal sebagai ahli strategi yang baik.

Apa yang disampaikan Rubin mendapat dukungan dari Frank Braden, analis senior dari Standard & Poor's. Menurutnya, untuk saat ini, Pandit merupakan sosok yang tepat dibandingkan kandidat lainnya. Ia salah satu "orang luar" yang tidak terlibat dalam manajemen Citigroup (lima bulan terakhir sebelum dipercaya menjadi CEO, ia bekerja di salah satu anak perusahaan ini) yang memutuskan ikut bermain di sektor pembiayaan kredit perumahan.

Meski begitu, Pandit dinilai amat mengerti permasalahan yang tengah dihadapi perusahaan ini.
Sebelum ditunjuk sebagai CEO, pria kelahiran Nagpur, India, 50 tahun lalu ini bekerja di Old Lane Partners, perusahaan yang bergerak di bidang investasi. Di perusahaan yang sebagian besar sahamnya dimiliki Citigroup ini, sejak Juli lalu, Pandit dipercaya menjabat sebagai salah satu direktur.

Pandit mulai hijrah ke Amerika sejak umur 16 tahun. Ketika itu ia diterima kuliah di Fakultas Elektro Universitas Colombia. Setelah berhasil menyelesaikan studi S3 di bidang keuangan di perguruan tinggi yang sama (1986), Pandit segera bergabung di Morgan Stanley's. Di perusahaan yang bergerak di sektor keuangan dan investasi ini ia berkarir selama dua puluh tahun. Jabatan tertinggi di sana sebagai Chief Operating Officer.

Kini sepak terjang Pandit dipantau oleh hampir semua pelaku industri investasi dan keuangan dunia. Mampu atau tidaknya Pandit mengangkat kembali pamor Citigroup, itu hanya soal waktu.

(Trust//rhs)

Dari Minyak Kuasai Dunia, Al-Walid Si Pemilik Four Seasons


Senin, 14 Januari 2008 - 09:59 wib


Siapa yang diuntungkan dengan kenaikan harga minyak? Dialah Al-Walid bin Talal bin Abdul-Aziz Al-Saud. Pengusaha Arab Saudi yang menjadi pelanggan tetap dalam daftar 20 besar orang terkaya dunia versi majalah Forbes.

Pada 2007, kendati kekayaan bersihnya naik USD300 juta, pangeran Al-Walid harus merelakan posisinya turun empat peringkat. Pada 2006, "Warren Buffet" dari Arab ini, julukan yang disematkan majalah Time, berada di peringkat ke-8 dengan kekayaan mencapai USD20 miliar.

Chairman The Kingdom Holding Company ini mengumpulkan kekayaan melalui puluhan investasinya di 10 sektor usaha. Di bisnis hotel dan properti namanya banyak dikenal. Cucu pendiri Kerajaan Arab Saudi ini masyhur sebagai salah seorang pemegang saham jaringan Hotel Four Season. Dia juga tercatat sebagai pemilik Savoy Hotel (London), Plaza Hotel (New York), dan Songbird Estates Plc (London's Canary Wharf).

Terkait bisnis hotelnya, pada 2007 dia dua kali membuat gebrakan besar, membeli Hotel Four Season Jakarta dan Four Seasons Resort di Langkawi, Malaysia. Di negeri jiran itu dia membenamkan hingga 435 juta ringgit Malaysia. Untuk Four Season Jakarta, dia merogoh kocek USD48 juta (setara dengan Rp451,5 miliar) untuk memborong 81,9 persen saham hotel di kawasan segitiga emas Jakarta itu.

Akuisisi atas hotel yang dulunya bernama Regent ini merupakan debutnya di Indonesia, sekaligus memperbesar portofolionya di tujuh negara Asia. Kingdom Hotel Investment (KHI) kini punya saham di 35 properti di 21 negara, terdiri dari 22 hotel dan resor yang sudah beroperasi, serta 13 hotel dan resor yang sedang dibangun dalam rangka ekspansi.

Bagaimana bisa si putra Arab itu menanjak ke posisi tinggi sedemikian cepat? Banyak yang menduga, itu berkait dengan peran Al-Walid sebagai ujung tombak investasi buat para pangeran Saudi lainnya yang kurang suka publisitas. Ada juga yang menyebarkan isu terkait dengan kiprah sang pangeran dalam kontrak pembangunan pangkalan militer rahasia di Arab Saudi, serta komisi-komisi melimpah dari pengapalan minyak.

Al-Walid lahir pada 7 Maret 1955. Ibunya, Mona El-Solh, adalah putri perdana menteri pertama Lebanon modern, Riad El-Sohl. Saat pangeran lahir, Riyadh masih merupakan kota gurun yang terlarang buat orang asing. Sebagai putra Pangeran Talal, Al-Walid menikmati kenyamanan istimewa yang tak dikenal oleh kebanyakan orang Saudi: air leding dan mobil.

Negeri tandus yang nyaris mengalami kebangkrutan itu berubah dalam sekejap. Ledakan harga minyak pada 1970-an mengalirkan kekayaan berlimpah, dan klan Al-Saud yang beranggotakan 6.000-an pangeran secara kolektif menjadi keluarga kerajaan terkaya di muka bumi.

Al-Walid adalah Al-Saud dengan sebuah perbedaan. Pada 1962, ayahnya bersama empat saudaranya membangkang. Talal menunjukkan simpati pada musuh Al-Saud, yakni tokoh revolusioner Mesir, Gamal Abdel Nasser. Secara terang-terangan mereka menuntut sistem politik yang lebih terbuka. Urusan ini membuat malu klan, dan Talal diusir ke Mesir. Talal memang akhirnya dibolehkan pulang ke tanah air. Sejak itu ada semacam aturan tak tertulis di klan Al-Saud bahwa Talal dan keluarganya tak boleh aktif di pemerintahan.

Terpinggirkan, Al-Walid justru memiliki motivasi berlebih. Dia memancangkan cita-cita menjadi pebisnis ketika masih menginjak usia belasan tahun. Dia mendarat di San Francisco pada 1976 untuk mulai kuliah Administrasi Bisnis. Di usia 24 tahun, Al-Walid meraih gelar bachelor of science bidang administrasi bisnis di Menlo College, dengan spesialisasi manajemen. Belakangan, dia meraih gelar MA bidang ilmu sosial di Syracuse University, negara bagian New York, pada 1985. Al-Walid memperoleh keahlian finansial melalui pekerjaan, bukan dari buku kuliah.

Ketika pulang ke Riyadh pada akhir 1979, keadaan menguntungkan untuk memulai bisnis. Harga minyak mencapai rekor, dan pemerintah memompa miliaran dolar ke sektor konstruksi, dari jalan tol dan gedung-gedung kementerian baru hingga skuadron-skuadron pesawat tempur teranyar. Dengan modal pinjaman USD30.000 dari ayahnya, dan hipotek rumah sebesar USD300.000, Al-Walid memulai bisnis. Dia mula-mula menjadi broker perusahaan asing yang ingin berbisnis di Arab Saudi.

Pada 1982, dua tahun setelah mendirikan perusahaan bernama Kingdom Establishment di Riyadh, Al-Walid mengegolkan transaksi pertamanya: membangun klub bujangan di sebuah akademi militer dekat Riyadh senilai USD8 juta. Dia mewakili kontraktor kecil dari Korea Selatan. Dari sana, bisnis Al-Walid tumbuh pesat dan menjadi lebih canggih. Tak sekadar bertindak sebagai agen, dia meningkatkan keuntungannya dengan mendirikan perusahaan sendiri, dan membentuk usaha patungan dengan swasta asing.

Aktivitas Al-Walid sebagai investor mulai mencuat ketika ia membeli saham Citicorp (kini dikenal dengan nama Citigroup) yang terlilit kesulitan likuiditas pada 1991. Dengan investasi awal sebesar USD550 juta, Pangeran mem-bail-out Citibank yang tersangkut kredit macet real estate di Amerika Serikat dan Amerika Latin. Dia juga membenamkan modal berskala raksasa di AOL, Apple Inc, Worldcom, Motorola, News Corporation Ltd, serta di bidang teknologi dan perusahaan media.

Saat ini dia memiliki 17 persen saham di Euro Disney SCA, organisasi yang mengelola Disneyland Resort Paris di Marne-la-Valle, Prancis. Pada 2007, dia sempat berbicara dengan Robert Earl, pendiri jaringan restoran Planet Hollywood, guna membahas kepemilikan saham Everton FC di Liga Inggris. Earl adalah pemilik 23 persen saham di klub sepak bola itu. (Trust//mbs)

Li Ka-Shing Sang "Superman" Bisnis


Senin, 21 Januari 2008 - 09:12 wib


Image Majalah Forbes menempatkan Li Ka-Shing (79) sebagai orang kesembilan terkaya di dunia dengan harta senilai USD32 miliar atau setara Rp302 triliun.

Tidak terbantahkan lagi, kekayaannya tersebut menahbiskan Li sebagai orang paling kaya di Hong Kong. Dialah raja di antara sekitar 40 konglomerat di kota bekas koloni Inggris itu.

Forbes melaporkan, membumbungnya harga-harga properti dan kedekatan dengan ekonomi China menjadi beberapa faktor penyebab mengapa banyak penduduk Hong Kong semakin kaya.

Tidak heran jika melihat mobil-mobil mewah semacam Rolls Royce dan Porsche hilir mudik di jalanan Hong Kong. "Fenomena ini membuktikan bahwa Hong Kong tetap menjadi salah satu wahana kondusif untuk bisnis dan investasi. Tampaknya hal ini sulit untuk diubah," kata Redaktur Senior Forbes Russell Flannery.

Tahun 2007 ini pun menjadi tahun emas bagi Li. Penobatan Forbes menjadi sebuah bukti betapa CEO Cheung Kong Holdings dan perusahaan telepon genggam Hutchison Whampoa itu adalah perunding andal dalam transaksi bisnis.

Betapa tidak, dengan nalar bisnis Li, Hutchison sukses menyuntikkan saham ke perusahaan telekomunikasi Vodafone dengan muatan dana segar senilai USD11 miliar (Rp103 triliun). Hal inilah yang membuat Li sukses mengalahkan konglomerat-konglomerat Hong Kong lainnya.

Sebagai orang terkaya, sudah pasti pengaruh Li begitu mengakar di Hong Kong. Li mengaku tidak terbiasa menghabiskan waktu seharian tanpa memperkaya keluarganya yang kini menjalankan perusahaan properti, energi, telekomunikasi, dan bisnis ritel.

Wajar jika pada 2007 lalu, kekayaan Li bertambah hingga 42 persen alias meningkat USD10 miliar dari tahun sebelumnya. Anaknya, Richard, 41, duduk di pos ke-24 orang terkaya Hong Kong dengan kekayaan USD1,52 miliar (Rp14 triliun).

Atribut konglomerat yang disandang Li merupakan buah manis dari jerih payahnya. Kesuksesan pengusaha yang meninggalkan China pada 1940 ini bermula dari kepiawaiannya membangun bisnis hiasan bunga plastik menjadi sebuah kerajaan bisnis global, dengan diversifikasi anak perusahaan yang beragam.

Li mengaku, kesuksesannya terletak pada keyakinan yang kuat terhadap sinergitas dan kerja sama."Idealitas masyarakat hanya dapat diperoleh jika setiap anggotanya siap dan mau mengemban tugas masing-masing," katanya suatu saat. Cheung Kong Limited merupakan gerbong utama Cheung Kong Group yang memiliki operasi bisnis di 55 negara di dunia dan mempekerjakan sekitar 260 ribu staf personalia. Di Hong Kong, grup tersebut mempunyai delapan perusahaan yang terdaftar dengan kapitalisasi pasar gabungan.

Li dilahirkan pada 1928 di Chiu Chow, sebuah kota pantai di sebelah tenggara China.Pada 1940, dia menyeberang ke Hong Kong bersama seluruh keluarganya untuk menjauhi risiko perang. Ayahnya menderita tuberkulosis dan meninggal dunia di Hong Kong.

Sepeninggal ayahnya, tanggung jawab ekonomi dan mata pencaharian keluarga terbebani di pundaknya.Keinginan kuat untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya membuat Li nekat meninggalkan sekolah pada usia 15 tahun demi bekerja.

Li berhasil mendapatkan pekerjaan di perusahaan perdagangan plastik tempat dia bekerja selama 16 jam per hari. Berkat kerja keras, ketangguhan mental, dan semangat tinggi, pada 1950 Li memberanikan diri mendirikan perusahaan sendiri dengan bendera Cheung Kong Industries.

Modal untuk mendirikan perusahaan didapatkan Li dengan meminjam dari keluarga dan kerabat. Karena keberaniannya dalam berbisnis, Li di Hong Kong sering dijuluki sebagai "Superman".

Dari pabrik plastik inilah, sayap bisnis Li semakin berkembang, dengan mendirikan anak perusahaan yang bergerak di bidang investasi real estat.

Perusahaannya berhasil tercatat di Hong Kong Stock Exchange pada 1972. Semakin berkibarnya imperium bisnis Cheung Kong membuat Li percaya diri mengakuisisi Hutchison Whampoa pada 1975 dan Hongkong Electric Holdings Limited pada 1985.

Sekarang, bisnis Cheung Kong Group telah merambah berbagai area,di antaranya pengembangan properti dan investasi, agen dan manajemen real estat, perhotelan, telekomunikasi dan e-commerce, keuangan, ritel, kegiatan pelabuhan, energi, proyek infrastruktur dan bahan bangunan, media dan bioteknologi. Seperti kebanyakan pengusaha lainnya yang memiliki kesadaran sosial tinggi, Li juga tidak ingin kesuksesannya dinikmati sendirian.

Pada 2002, Universitas Manajemen Singapura mengabadikan perpustakaannya dengan nama Perpustakaan Li Ka Shing setelah ayah Richard Li itu mendonasikan dana sebesar USD11,5 juta untuk pengembangan pendidikan tinggi. Pada 2005,Li mengumumkan donasi sejumlah USD128 miliar untuk Fakultas Kedokteran Universitas Hong Kong.

Bahkan pada 9 Maret 2007 lalu, Li menyisihkan uangnya sebesar 100 juta dolar Singapura, untuk kemudian diberikan kepada Lee Kuan Yew School of Public Policy di Universitas Nasional Singapura.� (ganna pryadha/Sindo/rhs)