Selasa, 25 November 2008

Adnan Buyung Nasution



Adnan Buyung Nasution,
Setelah Perjalanan Panjang



KOMPAS/YUNIADHI AGUNG / Kompas Images
Minggu, 23 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Susi Ivvaty

Seperti apa rumah seorang penasihat presiden dan bekas pengacara seperti Adnan Buyung Nasution (74)? Sebuah hunian yang luas dan penuh pepohonan hijau. Rumah di atas bukit itu baru delapan tahun ia miliki, setelah pengembaraan panjangnya mencari tempat pulang. Buyung menyebutnya rumah perjuangan sekaligus rumah idaman.

Beberapa meter kami melangkah dari pintu gerbang rumah Buyung di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tiga burung beo menyapa. Setelah itu, kakatua ikut memanggil. Di kejauhan, terdengar suara murai dan cucak rowo. Burung-burung memang mengerti betul cara berkenalan yang akrab.

Setelah kami duduk sejenak di ruang tamu, lantas pindah ke ruang kaca (ini mulanya teras yang kemudian ditutup dengan dinding dan atap dari kaca), Buyung pun keluar dari ruang kerjanya. Ia tampak kurus, belum lama sembuh dari sakit kulit. Berat badannya turun dari 70 menjadi 60 kilogram.

Buyung di usia 74, tidak lagi sesibuk dulu. Meski masih terus berjuang demi bangsa, katanya, ia kini punya lebih banyak waktu senggang di rumah. Jika dulu hanya sebagai ampiran, tempat ganti koper, kini rumah benar-benar ia nikmati sebagai pencipta kehangatan keluarga. Rumah benar-benar menjadi tempat pulang. Rumah adalah simbol kehidupan berkeluarga dan tempat merefleksi diri. Rumah menjauhkan diri dari segala bentuk kesepian, menyadarkan bahwa hidup tidak pernah kosong, selalu ada orang dekat di sekeliling.

”Dulu mana bisa menikmati damai di rumah. Dalam sehari Abang bisa berada di empat kota. Dari Jakarta ke Singapura, Jakarta lagi lalu Sidney. Apalagi, rumah juga bukan punya sendiri, Abang baru kali ini punya rumah,” tuturnya seraya tertawa.

Sejak tahun 2000

Rumah di atas tanah seluas 2.400 meter persegi itu justru Buyung tempati pada saat empat anak kandung dan seorang anak angkatnya tidak lagi tinggal bersamanya, tepatnya pada tahun 2000. Alhasil, rumah hanya ia tinggali bersama istrinya, Ria Nasution, plus tiga pembantu.

Terdapat tiga kamar tidur, ruang kerja, ruang tengah, ruang tamu, ruang kaca, ruang makan kecil dan besar, ruang fitness, dapur, serta tiga kamar pembantu rumah. Garasi terpisah dari rumah utama.

Kolam renang terletak di samping rumah bagian belakang, bersebelahan dengan kandang burung elang. Jogging track mengelilingi separuh rumah dibuat sebagai alternatif berolahraga selain berenang dan angkat beban. Heh, angkat beban juga? ”Yang ringan. Kalau sekarang Abang lebih banyak jogging saja,” sahut Buyung.

Halaman yang luas selain ditanami tetumbuhan seperti kamboja, palem, anggrek, dan rupa-rupa tanaman di dalam pot, juga ada pohon jambu, pisang, dan rambutan. Sebagian halaman dibiarkan kosong dan terbuka, bertebar rumput.

Kamar tidur Buyung dan Ria di lantai dua disekat menjadi lima bagian. Ruang santai berisi televisi dan kursi pijat, ruang tempat tidur, ruang rias (sebelah kiri untuknya, sebelah kanan untuk istrinya), kamar mandi, dan ruang ganti dengan lemari pakaian di dalamnya. Oya, di samping kamar tidur terletak jacuzzi serta kolam ikan koi.

Lho, ada teropong di kamar? ”O, itu untuk keker-kekeran dengan Bob Sadino di seberang sana tuh,” kata Buyung sambil menunjuk sebuah rumah yang sangat besar di atas bukit di seberang lembah.

Perjalanan panjang

Buyung mengisahkan perjalanan panjang mendapatkan rumah idaman. Rumah pertamanya terletak di Jalan HOS Cokroaminoto, yang ia huni bersama keluarga selama 30 tahun (sekarang ditempati Fuji Film). ”Itu rumah milik negara, sitaan dari orang Belanda pada tahun 1957. Kami hanya punya hak menghuni,” ujarnya. Setelah 30 tahun, rumah dibeli oleh seorang laksamana, namun ia masih mempunyai hak tinggal.

Tiba saatnya Buyung harus kuliah ke Belanda selama tujuh tahun, 1985-1993. Ia mengajak serta dua anak terkecilnya, Aan dan Pia, yang sudah SMA, sedangkan anggota keluarga yang lain tinggal di rumah saudara.

Pulang ke Indonesia tahun 1993, Buyung bingung mau tinggal di mana. Almarhum Sjahrir menawarkan rumahnya, namun Buyung dan keluarga hanya betah selama setahun. Setelah itu, giliran almarhum Ali Sadikin menawari mereka rumah di Cipete. Dua tahun mereka tinggal di sana. ”Rasanya kok hidup kayak Gypsy,” kenang Buyung.

Buyung dan keluarga lantas mengontrak rumah di Jalan Panglima Polim, sementara ia juga membuka kantor pengacara di Kemayoran. ”Kantor Abang kecil banget, sampai Bang Ali Sadikin menangis melihatnya,” imbuhnya.

Saat itu, ibarat bom waktu yang hendak meledak, Buyung merasa sangat capai dengan terus berpindah rumah. ”Abang ingin punya rumah yang luas. Di Belanda Abang pindah sembilan kali, semuanya sempit. Di sini, kantor juga sempit. Abang ingin bisa lihat langit di rumah dan memandang ke kejauhan,” paparnya.

Hingga pada tahun 1997, Buyung mendapat satu perkara dan memenangkannya. Klien tidak bisa membayar, sebaliknya menawarkan rumahnya. ”Ia punya dua rumah, di Pondok Indah dan Lebak Bulus. Kakak (begitu Buyung memanggil istri) tidak suka yang di Pondok Indah karena norak. Kakak tertarik di sini meski rumahnya kecil,” ungkapnya.

Pada tahun 1999, Buyung merenovasi rumah. ”Bob Sadino waktu itu datang. Katanya, siapa yang berani membangun rumah di sini tanpa izin saya, ha-ha-ha. Sekarang kami malah intai-intaian,” ujar Buyung.