Selasa, 31 Juli 2007

KH. Maftuh Kholil

“Substansi Demokrasi Sangat Qur’ani”

“Kami terkejut sekaligus terharu. Itu mungkin Natal yang paling berkesan,” kata Pendeta Albertus Patty mengenang Perayaan Natal 2006 di Gereja GKI di Jl. Maulana Yusuf. Kesan itu terpatri di hati Pendeta Berty – sapaan akrabnya –, karena saat itu keluarga besar NU Kota Bandung membagikan 1000 kuntum Mawar kepada umat Kristiani.

KH. Maftuh Kholil

Pembagian Mawar yang dipimpin Ketua Tandfidz PCNU Kota Bandung KH. Maftuh Kholil juga dilakukan di Gereja Katedral. Kiai Maftuh juga mengalungkan Melati kepada sejumlah agamawan di dua gereja itu.

Aksi Kiai Maftuh dan keluarga besar NU membuat umat Kristiani itu terharu. Bahkan ada yang menitikkan air mata. Sejumlah media massa nasional dan internasional melansir peristiwa Natal itu. Aksi Kiai Maftuh dinilai fenomenal di tengah ancaman konflik antar agama yang kian menghantui Tanah Air.

Kiai Maftuh sendiri mengatakan, niatnya hanya ingin mewujudkan kerukunan antar umat beragama. “Bunga itu simbol kerukunan umat beragama. Ini pesan damai dari umat Islam kepada umat Kristiani yang sedang merayakan Natal,” katanya kepada Gamal Ferdhi dari the WAHID Institute, akhir Mei lalu.

Dia pun menyadari adanya pro-kontra pembagian bunga itu. “Itu wajar. Tidak ada maksud lain, kecuali menunjukkan pada umat lain bahwa Islam cinta damai,” ujarnya.

Aksi itu, imbuhnya, dilandasi beberapa alasan. “Di Kota Bandung banyak penganut non Islam. Saya tidak ingin seperti Ambon dan Poso. Kalau itu terjadi di Bandung, hancurlah kota ini,” kata pria kelahiran Bandung 11 Desember 1958 ini.

Dari lahiriahnya, kata Kiai Maftuh, konflik di dua daerah itu bermula dari masalah di luar agama. Pelakunya menyeret nama Islam dan Kristen, sehingga konflik kian membesar. “Tidak ada yang diuntungkan. Penganut Islam dan Kristen berkurang karena dari keduanya terdapat korban jiwa,” katanya.

Tak ingin tragedi itu terulang, Kiai Maftuh berharap aksi damainya diikuti kota-kota lain. “Kami ingin Bandung menjadi inspirasi kerukunan umat beragama di Indonesia,” paparnya.

Efek aksinya, kata Maftuh, umat non Islam Kota Bandung tidak canggung lagi bergaul dengan umat Islam, terutama NU. “Hubungan antar agama di Kota Bandung menjadi lebih baik,” jelasnya

Menurut Kiai Maftuh, aksi damai itu adalah tindakan antisipatif menjaga kerukunan umat beragama. “Kita tidak reaktif, tapi antisipatif. Bukan seperti pemadam kebakaran, yang memadamkan kerusuhan jika sudah berkobar,” kilahnya.

Kiai Maftuh mengisahkan, aksi pembagian bunga itu didukung Rais Syuriah PCNU Kota Bandung KH. Imam Sonhaji dan MWC-MWC NU. Bahkan KH. Sonhaji meminta PCNU mengadakan bahtsul masa’il (forum pengkajian masalah, red.) sebelum aksi itu digelar. “Agar kalau ada ormas lain yang menghujat, kita sudah punya dalilnya,” kenangnya.

Sayang, bahtsul masa’il batal karena pelaksananya sakit. Kepastian aksi itu pun mengambang, sementara Natal tinggal tiga hari. Kiai Maftuh segera menemui KH. Sonhaji. “Beliau meminta kita tetap melanjutkan rencana. Bahkan beliau memberikan dalilnya,” kata Kiai Maftuh.

Salah satunya, kata Kiai Maftuh, terdapat dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin. Kitab ini memaparkan, seorang muslim wajib melindungi non-muslim dzimmi (yang berdamai, red.). “Kita wajib melindungi minoritas. Karena Islam itu agama yang damai terhadap agama apapun,” tegas ahli faraidh ini.

Pengasuh Ponpes al-Ikhwan, Cigadung Bandung, ini juga menyayangkan sering tampilnya kelompok Islam garang di Bandung di media massa. “Aksi itu sebagai pengimbang bahwa wajah Islam sebenarnya tidak seperti itu. Kami mengedepankan wajah Islam rahmatan lil ‘alamin,” kata Kiai Maftuh.

Darah campuran mengalir dalam diri Kiai Maftuh. Ibunya, Hj. Hasanah berdarah Bandung dan Cianjur. Ayahnya, KH. Kholil, ajengan dari Cigadung, Bandung, blasteran Pekalongan dan Palembang. Oleh ayahnya, Maftuh muda dimasukkan ke Pesantren Cijawura, Bandung yang waktu itu diasuh Rais Syuriah NU Jawa Barat KH. Muhammad Burhan. “Beliau yang mencetak saya dari 1971-1981,” kata Kiai Maftuh.

Setelah lulus dari pesantren, Kiai Maftuh aktif di NU. “Awalnya pemahaman saya tentang agama sama seperti yang lainnya. Kemudian saya terinspirasi Gus Dur, yang saat itu Ketua Umum PBNU. Ketika memberi tausyiah di PWNU Jawa Barat, dia datang bersama seorang pendeta.”

Inspirasi juga datang dari ayahnya. Kiai Kholil mempunyai teman jogging seorang non muslim. “Si teman sering datang pagi-pagi menjemput ayah. Ketika ia memberi salam, ayah saya membalasnya,” kenangnya. Melihat itu, Maftuh menggugat bahwa umat Islam haram mengucap salam kepada non muslim. “Jawaban ayah saya singkat: dalami lagi ilmu agamamu!” imbuhnya.

Ada pengalaman lain yang membuat Maftuh tergugah. Tetangga terdekatnya adalah keluarga Kristiani. “Saya dulu keras. Saat Qurban, dagingnya saya bagikan kepada yang Muslim saja. Padahal tetangga saya itu kebagian ribut suara kambingnya. Mencium baunya. Melihat ramainya Idul Adha. Tapi sepotong pun saya tidak kasih,” ungkap Maftuh.

Sampai suatu saat jamaah Maftuh mengabarinya. Setiap musim Qurban anak-anak tetangganya menangis, karena tidak pernah diberi daging Qurban. “Mendengar itu, saya terpukul. Akhirnya saya sadar. Kenapa saya bersikap seperti itu? Padahal Islam sangat humanis,” kenang pria yang kerap berbatik ini.

Ada sentilan menarik soal batik ini. Menurutnya ada kelompok Islam yang menilai batik tidak Islami, karena batik dari Jawa . “Harus diakui, tidak sedikit di kalangan Islam yang menganggap apapun yang berasal dari luar, itu tidak Islami. Seperti juga istilah demokrasi yang muncul dari Barat,” jelasnya saat membuka Halqah Islam,Demokrasi dan Penegakan Keadilan, di Ponpes Cijawura, Bandung, Jum’at (15/6/2007).

Menurut Kiai Maftuh, substansi demokrasi justru sangat Qur’ani. Sedikitnya tiga hal diungkap al-Quran dalam menjelaskan demokrasi. Pertama, kebebasan berbicara, berekspresi serta berkeyakinan (Qs. Quraisy: 3). “Dulu umat Islam berupaya mendapatkan kebebasan beribadah. Sekarang jangan kita melarang orang melaksanakan ibadahnya. Kita juga bertanggungjawab memberi kebebasan pada siapa pun melakukan ibadah menurut agamanya masing-masing,” katanya.

Kedua, menjamin kompetisi dan persaingan sehat (Qs. al-Baqarah: 148). “Realitasnya Allah tidak menginginkan manusia menjadi satu umat, agar manusia ber-fastabiqul khairat (berlomba berbuat kebajikan). Masak kita harus melampaui keinginan Allah?” kata Ketua Komisi Fatwa MUI Bandung ini.

Karenanya, Kiai Maftuh berpendapat, perbedaan harus disikapi secara positif dan agama bukan sumber konflik. “Agama kerap digunakan dalam konflik, itu akibat nafsu manusianya,” katanya.

Ketiga, terwujudnya keadilan sosial (Qs. Quraisy: 4). “Bagaimanapun, demokrasi itu bertujuan memakmurkan rakyat. Juga jangan takut melangkah, berbuat, berbicara, berpendapat, dan sebagainya,” ungkapnya. “Ini yang ditawarkan al-Qur’an,” imbuhnya.

Dikatakannya, keadilan dalam Islam tidak hanya di bibir. “Tapi juga diaplikasikan dalam kehidupan nyata di bumi ini,” tandasnya.[]

Senin, 23 Juli 2007

Kemenangan Perempuan India

Hari Sabtu lalu adalah hari istimewa bagi ratusan juta perempuan India. Setelah 60 tahun merdeka, India memiliki seorang presiden perempuan.

Pratibha Patil (72), seorang pengacara terpilih, menjadi presiden setelah mengalahkan Wakil Presiden Bhairon Singh Shekhawat. Kemenangan Patil ini menjadi penting bukan hanya karena India merupakan negara demokrasi terbesar di dunia, dengan jumlah penduduk 1,12 miliar jiwa, melainkan lebih karena selama ini perempuan di negeri itu dikenal acap kali mengalami diskriminasi.

Karena itu, kemenangan Patil disebut sebagai kemenangan kaum perempuan India. Meskipun India pernah memiliki seorang perdana menteri perempuan yang begitu hebat, yakni Indira Gandhi (1966-1977 dan 1980-1984), terpilihnya Patil memberikan arti lain bagi demokrasi dan perempuan India.

Konstitusi India memang menjamin tiadanya diskriminasi bagi semua kaum perempuan, memiliki kesempatan yang sama, gaji yang sama dalam pekerjaan. Namun, dalam hidup keseharian mereka menjadi warga negara kelas dua. Banyak keluarga di India melihat anak perempuan sebagai beban karena secara tradisi mereka harus membayar mahar kawin yang mahal kepada keluarga pria. Bahkan, Amartya Sen mengatakan, anak perempuan India sudah tidak untung sejak lahir.

Sejarah mencatat, ketika sistem negara demokrasi pertama berkembang di Yunani, perempuan tidak langsung dianggap sebagai bagian dari demos (rakyat) yang aktif secara politik. Perlu waktu hampir 2.500 tahun bagi berkembangnya secara signifikan peranan perempuan dalam dunia politik.

Olympe de Gouges pada abad ke-18 pernah mengatakan di Paris Commune, "Jika seorang perempuan berhak menaiki tangga, ia harus juga berhak untuk naik mimbar." Barulah pada awal abad ke-20, perempuan secara umum berhasil memperoleh haknya untuk ambil bagian dalam dunia politik secara resmi.

Ketika demokrasi menjadi pilihan banyak negara, maka peranan perempuan pun makin diperhitungkan. Dengan demokrasi diharapkan keputusan-keputusan yang menentukan kehidupan kolektif akan mendasarkan pada pertimbangan publik yang luas. Orang berharap demokrasi akan mengurangi ketidakadilan.

Akan tetapi, dalam praktiknya, demokrasi tidak secara otomatis memuaskan. Sebab, demokrasi adalah sebuah proses yang tidak sekali jadi. Demokrasi bukanlah sebuah sistem politik yang instan, segera jadi. Demokrasi membutuhkan proses dan membutuhkan partisipasi semua warga negara, termasuk perempuan. Dengan kata lain, demokrasi tanpa perempuan bukanlah demokrasi.<>

Patil Nikmati Kemenangan
Simbol Besar bagi Wanita India

New Delhi, Minggu - Presiden perempuan pertama India, Pratibha Patil, menikmati kemenangannya. Para pendukung memuji kemenangan itu sebagai sebuah langkah maju yang signifikan bagi kaum perempuan di negara Asia Selatan itu.

Pengacara berusia 72 tahun itu mengalahkan Wakil Presiden Bhairon Singh Shekhawat dengan kemenangan telak hari Sabtu untuk jabatan kepala negara India, yang merupakan jabatan seremonial.

Para pendukung dan anggota Partai Kongres yang mendukung Patil berbondong-bondong mendatangi rumahnya di New Delhi, Minggu (22/7). Banyak dari mereka menggunakan serban berwarna cerah dan membawa bunga untuk merayakan kemenangan itu.

Setelah hasil diumumkan hari Sabtu lalu, para pendukung menari-nari dan menyalakan kembang api di jalan-jalan ibu kota, sementara Patil yang berseri-seri mengucapkan terima kasih kepada anggota parlemen federal dan negara bagian yang merupakan badan pemilih.

"Saya berterima kasih kepada para pemilih.... Saya berterima kasih kepada rakyat India, lelaki dan perempuan India," kata Patil, yang secara resmi akan mengambil alih jabatan pada 25 Juli, menggantikan Abdul Kalam.

Kekerasan

Analis dan pendukung menyebut kemenangannya sebagai sebuah langkah maju yang signifikan bagi kaum perempuan di sebuah negara di mana jutaan wanita menghadapi kekerasan, diskriminasi, dan kemiskinan.

"Kemenangan Patil merupakan kemenangan dengan nilai simbolis yang sangat besar" bagi kaum perempuan, kata analis politik Rasheed Kidwai. "Walau Patil tidak mempunyai kekuasaan besar, dia adalah kepala negara perempuan pertama."

Patil memenangi 65,82 persen suara yang diberikan oleh para anggota parlemen nasional dan negara bagian, kata PDT Achary, sekretaris jenderal parlemen. Dia mendapatkan dukungan Partai Kongres yang berkuasa dan sekutu-sekutu politiknya, dan sebelumnya Patil telah diperkirakan akan menang.

"Ini adalah saat-saat khusus bagi kita kaum perempuan, dan kaum lelaki tentu saja, di negara kita karena untuk pertama kalinya kita memiliki seorang perempuan yang terpilih menjadi presiden India," kata pemimpin Partai Kongres, Sonia Gandhi, yang memilih Patil dan merupakan salah satu dari orang-orang pertama yang memberi selamat kepada Patil.

Patil, Gubernur Negara Bagian Rajasthan di India utara, sebelumnya relatif tak dikenal secara politis. Dia dipilih oleh Sonia Gandhi, orang yang berkuasa dari Partai Kongres.

"Dalam tahun ke-60 kemerdekaan kita, untuk pertama kalinya, kita memiliki seorang presiden perempuan dan saya ingin berterima kasih pada mitra-mitra aliansi kami dan semua yang memberikan suara baginya," kata Gandhi.

Kodrat

Para sekutunya dari Partai Komunis sepakat dengan menambahkan bahwa Patil diharapkan akan menghilangkan anggapan yang meluas di India bahwa tempat atau kodrat seorang perempuan adalah di rumah.

"Kita hidup dalam sebuah masyarakat di mana masih banyak yang percaya bahwa tempat perempuan adalah di rumahnya," kata Brinda Karat, anggota politbiro Partai Komunis India.

"Di sini Anda mencoba membawa lebih banyak perempuan ke kehidupan publik dan kenyataan bahwa Anda memiliki seorang perempuan sebagai presiden negara ini adalah simbolis dari itu... dan aspirasi kaum perempuan untuk kesetaraan," kata Karat.

Walau India pernah memiliki beberapa perempuan dalam jabatan penting—yang paling terkemuka adalah Sonia Gandhi dan ibu mertuanya, Indira Gandhi, yang terpilih pada jabatan perdana menteri yang lebih berkuasa tahun 1966—kaum perempuan masih menghadapi diskriminasi.

Patil, yang berasal dari Negara Bagian Maharashtra di India barat, menampilkan citra konservatif dengan sarinya menutupi rambut. Ia berhasil melewati kampanye tuduhan dari oposisi Hindu nasionalis dan menjadi pemenang. Dia dituduh melindungi adiknya dalam sebuah penyidikan pembunuhan dan melindungi suaminya dalam sebuah skandal bunuh diri.

Berdasarkan konstitusi India, perdana menteri memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi presiden memainkan sebuah peran dalam membentuk pemerintah di tingkat federal dan negara bagian.

Sebagai presiden, Patil diharapkan memimpin upaya memperkecil perbedaan di kalangan berbagai kelompok politik. (AFP/AP/DI)

Nayef Hawatmeh Tokoh yang Mengguncang Israel

Musthafa Abdurrahman

Pemimpin Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (DFLP) Nayef Hawatmeh, yang sehari-harinya dipanggil dengan nama Abu Nuf, adalah deretan nama besar kaum Kristen Palestina. Namanya tergores dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Palestina melawan pendudukan Israel.

Namanya ikut memperkaya khazanah sumbangsih jejak juang kaum Kristen Palestina. Berdampingan dengan nama-nama besar tokoh Kristen Palestina lainnya, seperti George Habash (Pemimpin PFLP), almarhum Edward Said (tokoh pemikir Palestina), Hanan Ashrawi (mantan juru bicara Palestina pada konferensi damai Madrid yang kini menjadi anggota Dewan Legislatif), Azmi Bishara (tokoh pemikir Palestina saat ini), dan klan Muhanna yang tersebar di berbagai faksi PLO.

Nama Hawatmeh tiba-tiba menjadi isu polemik di Israel dua pekan terakhir ini menyusul berita simpang siur tentang keputusan Pemerintah Israel yang mengizinkan Hawatmeh bersama empat tokoh PLO lainnya masuk ke Tepi Barat untuk menghadiri sidang Dewan Pusat PLO di Ramallah, yang dijadwalkan digelar Rabu ini.

Keputusan Israel itu dimaksudkan untuk memperkuat posisi Presiden Mahmoud Abbas dalam pertarungan menghadapi Hamas dan faksi-faksi di tubuh PLO sendiri.

Tak pelak lagi, pendapat pro dan kontra muncul menghiasi media massa Israel, seperti harian terkemuka Yedioth Aharonoth, Maarev, dan Haaretz, yang datang dari berbagai lapisan masyarakat negara itu, seperti kalangan politisi, pengamat, dan pers.

Sikap DFLP sendiri tampak maju mundur. Semula DFLP mengisyaratkan kemungkinan Hawatmeh masuk ke Tepi Barat, tetapi belakangan dikonfirmasikan bahwa Hawatmeh memilih tidak datang ke Ramallah. Namun, polemik soal sosok Hawatmeh semakin seru di Israel, dengan mengungkit-ungkit masa lalu pemimpin DFLP tersebut.

Ketua Komite Urusan Luar Negeri dan Keamanan di Knesset (parlemen Israel) Tzahi Haneghby yang berasal dari Partai Kadima mengemukakan, satu- satunya izin ziarah ke Tepi Barat yang bisa diberikan kepada Hawatmeh apabila dia bersedia diborgol kedua tangannya untuk diajukan ke pengadilan guna mendapat vonis hukum atas perbuatan kriminalnya pada masa lalu.

Menteri Urusan Strategi Israel Avigdor Lieberman yang berhaluan radikal menyatakan, Pemerintah Israel hendaknya memberi izin Hawatmeh masuk ke Tepi Barat, namun hanya untuk menangkapnya di perbatasan lalu menjebloskannya ke penjara.

Adapun Menteri Negara Gajaon Ezra mendukung kembalinya Hawatmeh untuk memperkuat posisi Presiden Abbas. Ezra menyatakan Israel harus membantu Presiden Abbas dengan segala cara selama cara itu tidak mengancam langsung keamanan Israel.

Menurut dia, tak ada gunanya melihat masa lalu Hawatmeh karena latar belakang semua pemimpin Palestina yang diizinkan masuk sesuai dengan kesepakatan Oslo adalah hitam semua.

Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Ehud Barak pada tahun 2000 juga sempat memutuskan memberikan izin kepada Hawatmeh untuk masuk ke Tepi Barat. Namun, Barak membatalkan keputusannya pada saat-saat terakhir menyusul keluarnya pernyataan Hawatmeh bahwa adalah hak setiap rakyat Palestina melakukan perlawanan bersenjata di mana saja melawan Israel.

Lahir di Jordania

Menanggapi polemik tentang dirinya di Israel, Hawatmeh mengatakan, kubu kanan radikal Israel masih tetap berpikir dengan pola pemahaman hubungan antara budak dan majikan yang sama sekali tidak membantu terciptanya perdamaian.

Hawatmeh lalu memperingatkan kubu kanan Israel itu bahwa DFLP adalah faksi politik PLO yang pertama menyerukan solusi bagi kedua negara dan adanya penyelesaian adil atas pengungsi Palestina.

Nayef Hawatmeh lahir tahun 1937 di Salt, Jordania. Ia penganut Kristen Ortodoks. Sehari- hari ia lebih dikenal dengan panggilan Abu Nuf. Pada tahun 1950-an dan 1960-an ia dikenal sebagai aktivis gerakan nasionalis Arab yang mendapatkan inspirasi dari gerakan Naserrisme di Mesir dan Partai Baath di Suriah dan Irak.

Pada masa itu pula Hawatmeh aktif sebagai penulis, wartawan, dan guru di Jordania. Ia memperoleh gelar kesarjanaan bidang filsafat dan psikologi dari Universitas Beirut, Lebanon.

Dalam gerakan perjuangan Palestina, Hawatmeh semula aktif dalam Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP) pimpinan George Habash. Namun, kemudian ia hengkang dari PFLP.

Ia bersama teman-teman seperjuangannya kemudian mendirikan Rakyat Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (PDFLP) pada tahun 1969 yang lalu lebih dikenal dengan nama DFLP. DFLP dikenal sebagai salah satu faksi politik PLO yang beraliran kiri Marxist.

Ia semula menjabat juru bicara DFLP dan kemudian dipercaya sebagai pemimpin atau Sekjen DFLP. Sejak itu hingga saat ini, Hawatmeh sebagai wakil DFLP dalam Dewan Nasional Palestina atau PNC (parlemen Palestina di pengasingan) dan komite eksekutif PLO.

Sejak masa awal perjuangannya, Hawatmeh selalu berusaha membuka dialog dengan kubu- kubu kiri Israel untuk mendiskusikan solusi dua negara yang berbasis pada resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 242 dan Nomor 194. Hawatmeh kini berdomisili di Damascus, Suriah, yang juga basis DFLP.

Dalam politik internal Palestina, ia dikenal menolak Kesepakatan Oslo tahun 1993 yang ditandatangani almarhum Yasser Arafat dan mendiang PM Israel Yitzhak Rabin di Washington. Namun, pada akhir tahun 1990-an sikapnya mulai melunak. Pada tahun 1999 ia bersedia bertemu dengan Yasser Arafat dan berjabat tangan dengan Presiden Israel Ezer Weizmann pada acara prosesi pemakaman Raja Hussein dari Jordania, Februari 1999.

Dalam konteks konflik dengan Israel, ia dikenal sebagai tokoh Palestina moderat yang terus-menerus mengumandangkan solusi dua negara. Pada tahun 2004 ia aktif dalam komite bersama Israel-Palestina nonpemerintah yang berusaha membangun koalisi untuk mendukung dan memperjuangkan solusi dua negara itu.

Namun, Israel tampaknya tidak pernah melupakan kasus pembantaian sekolah Ma’alot tahun 1974 yang menewaskan 26 pelajar Yahudi; Hawatmeh dan DFLP dituduh mendalangi aksi pembantaian tersebut. Kasus Ma’alot itulah yang menjadi pemicu polemik di Israel saat ini tentang simpang siur berita keputusan Pemerintah Israel mengizinkan Hawatmeh masuk ke Tepi Barat.

Pratibha Patil, demi Perempuan India

Pieter P Gero

Sebenarnya tak ada lagi ambisi politik yang bisa diraih perempuan India bernama Pratibha Devisingh Patil di negara dengan 1,12 miliar penduduk itu. Jabatan gubernur negara bagian baru dilaluinya. Selama tiga tahun dia menjadi Gubernur Negara Bagian Rajasthan dan berakhir 23 Juni lalu. Sebelumnya ia pernah duduk di parlemen federal (Lok Sabha dan Rajya Sabha) selama 11 tahun.

Bagi Patil, tak ada lagi peluang untuk berkiprah lebih jauh di dunia politik India. Dia seorang perempuan di tengah masyarakat India yang lebih menonjolkan dan mengelu-elukan kaum lelaki. Perempuan India, apalagi yang miskin dan kurang berpendidikan, berada jauh di peringkat bawah.

Maka, ibu dua anak ini pun bersiap pensiun dari kancah politik India yang dilakoninya sejak tahun 1962. Usianya pun tak muda lagi. Fisik dan kesehatan dia pada usia 72 tahun sekarang ini tak bisa membuatnya lincah bergerak menemui rakyat India yang bermukim di negeri seluas 3.287.590 kilometer persegi ini. Ia tahu diri.

Patil sangat paham, sebagai seorang pejabat dan politisi, dia harus dekat dengan rakyat. Itu berarti ia acap kali mesti pergi ke desa-desa, berbincang dan mendengarkan persoalan yang mereka hadapi. Persoalan sosial, ekonomi, dan budaya sebuah bangsa lebih kasatmata di desa karena sebagian besar rakyat—sekitar 70 persen—tinggal di wilayah pedesaan.

Namun, sejak Sabtu (21/7) Patil malah terpilih sebagai Presiden India yang ke-13, selama 60 tahun kemerdekaan negara itu—pada 15 Agustus nanti. Malah istri Devisingh Ransingh Shekhawat ini mencatat sejarah sebagai perempuan presiden pertama India. Dia meraih dukungan mutlak dengan 66 persen suara. Saingan utamanya, Bhairon Singh Shekhawat (84), adalah Wakil Presiden India sekarang.

"Saya berterima kasih kepada para pemilih, laki-laki dan perempuan, di seluruh India," ujar Patil sembari mendekap kedua telapak tangan di dada. Ia dipilih anggota parlemen federal dan negara bagian, badan pemilih (electoral college).

"Hasil yang jauh lebih baik dari perkiraan," ujar Rasheed Kidwai, analis politik India.

Usia dan penampilan sederhana yang lebih memberi kesan rapuh membuat banyak orang di India ragu apakah Patil bisa menjalankan perannya sebagai Presiden India setelah dilantik pada 25 Juli. Apalagi, ia akan menggantikan APJ Abdul Kalam yang selama lima tahun berada di Istana Kepresidenan Rasthrapati Bhavan dan dikenal sangat populis. Kalam, tokoh nuklir India ini, sangat dekat dengan rakyat. Istana sering dikunjungi masyarakat, terutama anak-anak.

Patil punya alasan lain untuk tetap berpolitik. Sekalipun jabatan presiden di India hanya seremonial, keberadaan dia sebagai perempuan sekaligus Presiden India punya makna mendalam.

"Kemenangan simbolik bagi ratusan juta perempuan India yang hidup dalam diskriminasi," tulis Reuters. "Langkah bersejarah bagi perempuan (India)," ungkap AFP.

Penuh diskriminasi

India diperintah perempuan tahun 1966, saat Indira Gandhi menjadi perdana menteri. Meski demikian, perempuan India tetap saja hidup penuh diskriminasi. Masalah kekerasan terhadap perempuan berkenaan dengan urusan mahar kawin nyaris terjadi setiap hari di negara Asia Selatan itu. Di India perempuan diperkosa, dibunuh, dan mengalami tindak kekerasan rata-rata setiap tiga menit.

Anak perempuan acap kali dianggap sebagai beban dalam kehidupan kebanyakan keluarga karena mereka harus mengeluarkan dana yang tak sedikit untuk mahar kawin kepada pihak keluarga pria. Mahar kawin yang kecil berbuntut pada aksi kekerasan yang bakal dihadapi perempuan tersebut di tengah keluarga suami.

Kondisi seperti itu membuat sebagian anak perempuan di India tak disekolahkan tinggi. Bahkan, mereka sering tak diupayakan mendapat pelayanan kesehatan yang memadai.

Saat menjadi Gubernur Rajasthan, November 2004—dia gubernur perempuan pertama di Rajasthan—Patil mengampanyekan aksi untuk memperlakukan perempuan dengan lebih baik dalam berbagai kesempatan. Persoalan mahar kawin dan perempuan yang dianggap beban harus dikoreksi. Ia tak bosan menyampaikan semua ini saat berbicara di Rajasthan. Ia juga mendesak perlunya perempuan mendapat pendidikan memadai.

Begitu prihatinnya kepada kaum miskin, terutama perempuan, Patil pernah mendirikan bank untuk membantu perempuan miskin di Rajasthan. Namun, karena kredit macet, bank ditutup pada 2003. Oposisi menuding bukan kredit macet, tetapi uang itu dipakai Patil dan keluarga. Tuduhan ini muncul lagi saat kampanye presiden. Lepas dari kontroversi yang ada, upaya Patil jelas demi perbaikan kaum perempuan India.

Keprihatinan Patil itu juga dirasakan Sonia Gandhi, Ketua Partai Kongres yang berkuasa di India. Perempuan kelahiran Italia sekaligus menantu mendiang PM Indira Gandhi itu, meminta Patil bersedia menjadi kandidat presiden. Kebetulan Sonia dan Patil akrab, keduanya selama ini aktif dalam Partai Kongres. Patil pun seperti mendapat angin dan para politisi lain ikut mendukungnya.

"Ini momen khusus bagi perempuan, juga para pria. Untuk pertama kali di negeri ini tampil seorang perempuan presiden," ujar Sonia Gandhi seusai Patil dipastikan menang.

"Sebuah kebahagiaan. Ini momen bersejarah bagi kami," ujar Prithviraj Chavan, perempuan yang menjadi menteri muda di Kantor Perdana Menteri India.

Meski di belakangnya ada Sonia Gandhi yang karismatis, banyak pihak yakin tampilnya Patil sebagai Presiden India karena memang para pemilih melihat sudah saatnya perempuan India diperlakukan sebagai mitra sejajar kaum pria.

Patil Nikmati Kemenangan
Simbol Besar bagi Wanita India

New Delhi, Minggu - Presiden perempuan pertama India, Pratibha Patil, menikmati kemenangannya. Para pendukung memuji kemenangan itu sebagai sebuah langkah maju yang signifikan bagi kaum perempuan di negara Asia Selatan itu.

Pengacara berusia 72 tahun itu mengalahkan Wakil Presiden Bhairon Singh Shekhawat dengan kemenangan telak hari Sabtu untuk jabatan kepala negara India, yang merupakan jabatan seremonial.

Para pendukung dan anggota Partai Kongres yang mendukung Patil berbondong-bondong mendatangi rumahnya di New Delhi, Minggu (22/7). Banyak dari mereka menggunakan serban berwarna cerah dan membawa bunga untuk merayakan kemenangan itu.

Setelah hasil diumumkan hari Sabtu lalu, para pendukung menari-nari dan menyalakan kembang api di jalan-jalan ibu kota, sementara Patil yang berseri-seri mengucapkan terima kasih kepada anggota parlemen federal dan negara bagian yang merupakan badan pemilih.

"Saya berterima kasih kepada para pemilih.... Saya berterima kasih kepada rakyat India, lelaki dan perempuan India," kata Patil, yang secara resmi akan mengambil alih jabatan pada 25 Juli, menggantikan Abdul Kalam.

Kekerasan

Analis dan pendukung menyebut kemenangannya sebagai sebuah langkah maju yang signifikan bagi kaum perempuan di sebuah negara di mana jutaan wanita menghadapi kekerasan, diskriminasi, dan kemiskinan.

"Kemenangan Patil merupakan kemenangan dengan nilai simbolis yang sangat besar" bagi kaum perempuan, kata analis politik Rasheed Kidwai. "Walau Patil tidak mempunyai kekuasaan besar, dia adalah kepala negara perempuan pertama."

Patil memenangi 65,82 persen suara yang diberikan oleh para anggota parlemen nasional dan negara bagian, kata PDT Achary, sekretaris jenderal parlemen. Dia mendapatkan dukungan Partai Kongres yang berkuasa dan sekutu-sekutu politiknya, dan sebelumnya Patil telah diperkirakan akan menang.

"Ini adalah saat-saat khusus bagi kita kaum perempuan, dan kaum lelaki tentu saja, di negara kita karena untuk pertama kalinya kita memiliki seorang perempuan yang terpilih menjadi presiden India," kata pemimpin Partai Kongres, Sonia Gandhi, yang memilih Patil dan merupakan salah satu dari orang-orang pertama yang memberi selamat kepada Patil.

Patil, Gubernur Negara Bagian Rajasthan di India utara, sebelumnya relatif tak dikenal secara politis. Dia dipilih oleh Sonia Gandhi, orang yang berkuasa dari Partai Kongres.

"Dalam tahun ke-60 kemerdekaan kita, untuk pertama kalinya, kita memiliki seorang presiden perempuan dan saya ingin berterima kasih pada mitra-mitra aliansi kami dan semua yang memberikan suara baginya," kata Gandhi.

Kodrat

Para sekutunya dari Partai Komunis sepakat dengan menambahkan bahwa Patil diharapkan akan menghilangkan anggapan yang meluas di India bahwa tempat atau kodrat seorang perempuan adalah di rumah.

"Kita hidup dalam sebuah masyarakat di mana masih banyak yang percaya bahwa tempat perempuan adalah di rumahnya," kata Brinda Karat, anggota politbiro Partai Komunis India.

"Di sini Anda mencoba membawa lebih banyak perempuan ke kehidupan publik dan kenyataan bahwa Anda memiliki seorang perempuan sebagai presiden negara ini adalah simbolis dari itu... dan aspirasi kaum perempuan untuk kesetaraan," kata Karat.

Walau India pernah memiliki beberapa perempuan dalam jabatan penting—yang paling terkemuka adalah Sonia Gandhi dan ibu mertuanya, Indira Gandhi, yang terpilih pada jabatan perdana menteri yang lebih berkuasa tahun 1966—kaum perempuan masih menghadapi diskriminasi.

Patil, yang berasal dari Negara Bagian Maharashtra di India barat, menampilkan citra konservatif dengan sarinya menutupi rambut. Ia berhasil melewati kampanye tuduhan dari oposisi Hindu nasionalis dan menjadi pemenang. Dia dituduh melindungi adiknya dalam sebuah penyidikan pembunuhan dan melindungi suaminya dalam sebuah skandal bunuh diri.

Berdasarkan konstitusi India, perdana menteri memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi presiden memainkan sebuah peran dalam membentuk pemerintah di tingkat federal dan negara bagian.

Sebagai presiden, Patil diharapkan memimpin upaya memperkecil perbedaan di kalangan berbagai kelompok politik. (AFP/AP/DI)

India
Patil Jadi Presiden Perempuan Pertama

New Delhi, Sabtu - India untuk pertama kalinya selama 60 tahun merdeka (15 Agustus) memiliki seorang presiden perempuan. Pratibha Patil (72) yang dicalonkan Partai Kongres yang berkuasa, Sabtu (21/7), memenangi pemilihan presiden India yang berlangsung hari Kamis lalu. Meski hanya jabatan seremonial, Patil menjadi simbol kemenangan bagi ratusan juta perempuan India yang acap mengalami tindak diskriminasi.

Komisi Pemilu India menegaskan, Patil meraih dua pertiga suara yang masuk. Pemilihan presiden dilakukan anggota parlemen federal dan negara bagian serta badan pemilih (electoral college). Ada sekitar 4.896 badan pemilih, 776 anggota parlemen federal, dan 4.120 anggota parlemen di 29 negara bagian dan satu wilayah teritorial.

Ratusan pendukung Partai Kongres langsung berpesta di jalan-jalan di New Delhi dan di kota kelahiran Patil di Nadgaon, negara bagian Maharashtra, menyambut hangat kemenangan ini. Dentuman suara gendang dan riuh suara mercon terdengar di jalan- jalan, terutama di seputar rumah keluarga besar Patil di Nadgaon.

Ibu dua anak ini menyingkirkan saingan beratnya, Wakil Presiden India saat ini, Bhairon Singh Shekhawat (84), yang dicalonkan Partai Bharatiya Janata, partai Hindu nasionalis yang beroposisi. Namun, terpilihnya Patil merupakan sebuah kemenangan yang sangat besar bagi kaum perempuan India.

"Saya berterima kasih kepada para pemilih, kepada rakyat India, laki-laki maupun perempuan," ujar Patil di luar kediamannya di New Delhi seusai meraih kemenangan. "Ini kemenangan prinsipiil yang dipegang teguh setiap warga India," ujarnya.

Sonia Gandhi, Ketua Partai Kongres yang berkuasa, tersenyum puas setelah mengetahui kemenangan Patil. "Selama 60 tahun kemerdekaan kita, pertama kalinya seorang perempuan menjadi presiden. Saya berterima kasih kepada para mitra aliansi kami dan kepada siapa saja yang memberikan suara kepadanya (Patil)," ujarnya. Kemenangan ini jadi momen sejarah, terutama bagi kaum perempuan yang masih mengalami diskriminasi seksual.

Sonia Gandhi dan Perdana Menteri (PM) Manmohan Singh sengaja mencalonkan Patil guna memberikan sebuah pesan tegas dan jelas bagi kampanye antidiskriminasi. Sekalipun sejumlah perempuan di India pernah menjabat sebagai perdana menteri, seperti Indira Gandhi yang menjadi PM India tahun 1966 dan menantunya, Sonia, yang kini ketua Partai Kongres, ratusan juta perempuan di India menjadi warga nomor dua.

Banyak keluarga di India melihat anak perempuan sebagai sebuah beban karena secara tradisi mereka harus membayar mahar kawin yang mahal kepada keluarga pihak pria. Anak perempuan di India acap kali pendidikannya diabaikan. Mereka juga sering tidak mendapat perawatan medis yang memadai saat sakit.

Kelompok internasional melaporkan, sekitar 10 juta perempuan di India pernah melakukan aborsi dalam dua dekade ini. Populasi perempuan di India sekitar 50 persen dari sekitar 1,12 miliar penduduk India saat ini.

Patil yang mantan Gubernur (November 2004-Juni 2007) Negara Bagian Rajasthan, India barat, selama ini merupakan pendukung setia Partai Kongres. Dia juga merupakan sahabat dekat Sonia Gandhi. Meskipun banyak pihak yang meragukan kesehatannya untuk bisa menjalankan tugas sebagai presiden, Sonia Gandhi ngotot mencalonkan Patil. Tujuannya, demi mengangkat martabat perempuan di India.

Menggantikan Abdul Kalam

Pratibha Patil akan menggantikan presiden sebelumnya, APJ Abdul Kalam, yang akan berakhir masa jabatan lima tahunnya pada 24 Juli ini. Patil menjadi Presiden India ke-13 sejak merdeka dari Inggris tahun 1947.

Kalam yang populis di kalangan warga India, sekalipun berasal dari kelompok Muslim yang minoritas di tengah 80 persen penduduk India yang penganut Hindu, tadinya diharapkan bersedia menjadi presiden untuk periode lima tahun kedua. Namun, Partai Kongres tak bersedia mendukung Kalam karena sebelumnya dicalonkan pihak oposisi.

Patil yang berprofesi sebagai pengacara sebelum terjun ke politik tahun 1962 sejauh ini tak luput dari berbagai tuduhan. Dia disebut-sebut melindungi saudaranya yang terlibat pembunuhan. Dia juga dituding melindungi suaminya yang terlibat skandal bunuh diri. Patil membantah semua tudingan itu. (AFP/AP/Reuters/ppg)

Jumat, 20 Juli 2007

Perjalanan Doktor Komunikasi Jender Sunarto

Gesit Ariyanto

Tidak banyak akademisi yang secara serius mendalami persoalan jender di negeri ini. Apalagi akademisi berlatar belakang ilmu komunikasi. Dan, Sunarto (40) merupakan salah satu yang memutuskan mengarungi belantara luas itu.

"Janji" setia Sunarto menyusuri ladang persoalan jender itu dikuatkannya ketika pada Kamis (19/7) ia resmi menyandang gelar doktor pada Program Pascasarjana Bidang Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (FISIP-UI). Jalannya kian sempurna ketika ia memperoleh predikat cum laude dengan indeks prestasi (IP) sangat sempurna: 4.0!

Promotornya, Profesor Alwi Dahlan, secara khusus memberi pujian tinggi atas prestasi akademiknya. Selain tepat waktu (10 semester), ia juga menyelesaikannya di tengah-tengah kesibukan mengajar di program sarjana S-1 FISIP-UI dan Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Diponegoro (Undip), tempat dia mengajar.

Di sela-sela waktunya pergi-pulang Jakarta-Semarang, Sunarto masih sempat memprakarsai pertemuan Kemisan mahasiswa S-3 UI. Di sana pula ia menjadi rujukan bertanya beberapa temannya.

Ko-promotornya, Francisia SSE Seda, memberi catatan khusus pula, yakni sebagai akademisi dengan spesialisasi jender yang bukan berlatar ilmu sosiologi. Bahkan, teori pendekatan yang digunakannya lengkap dan utuh.

Soal pilihannya yang lebih condong ke arah paradigma sosiologi, ia berujar, "Saya punya alasan khusus."

Ia mengaku, ketertarikannya pada soal-soal kekerasan berawal dari masa kecilnya yang ia sebut buruk. Sang ayah, yang dibesarkan kakek-buyutnya, ringan tangan alias suka memukul.

Kebiasaan buruk itu menular. Sunarto muda pun ringan tangan terhadap adik-adiknya, khususnya bila keinginannya tak terpenuhi. Kebiasaan itu selalu berulang hingga ia memperoleh pencerahan ketika kuliah S-1 di FISIP Undip.

Sedikit banyak, rasa sesal dan ingin menebus kesalahan yang menular itulah yang menyemangatinya menekuni studi yang berbau kekerasan. Ia tak ingin masa lalunya yang keras dialami anak-anak atau siapa saja.

Disertasinya membahas potensi kekerasan terhadap perempuan yang muncul dari media televisi, khususnya dari tontonan hiburan anak-anak: film kartun seperti Doraemon, Crayon Shinchan, dan P-Man. Disertasinya berjudul "Kekerasan Televisi terhadap Wanita: Studi Strukturisasi Gender Industri Televisi dalam Naturalisasi Kekerasan terhadap Wanita Melalui Program Televisi untuk Anak-anak Indonesia".

Temuan penelitiannya menunjukkan bahwa tontonan keluarga itu ternyata menebar benih-benih kekerasan. Disadari atau tidak, itu terjadi hingga ruang-ruang privat. Lebih jauh, membentuk pola pikir anak-anak.

Para penguji memuji kejeliannya memilih tema, yang sebenarnya umum, tetapi dengan cerdas dibingkainya dalam teori dan pemilihan obyek penelitian pada film-film kartun. Pertanyaan yang sulit dari penguji pun ia jawab dengan baik.

Keringat orangtua

Meskipun membesarkan dengan keras, tak bisa dihapusnya rasa hormat kepada sang ayah dan ibu. Orangtua dengan segala keterbatasan yang sesungguhnya membiayai kuliah dengan membanting tulang.

Bagaimana tidak? Ayahnya, Ngadiyono, adalah petani gurem yang memilih pindah dari Sukoharjo ke Kudus (Jawa Tengah) untuk kehidupan lebih baik. Kuli pasar, memulung sampah, mengayuh becak, dan berdagang bakmi keliling dilakoninya untuk keluarga dan impian anaknya menjadi pegawai negeri.

Ibunya, Inem Salamah, berjibaku dengan panas dan debu menjajakan pecel keliling kampung. Dari kerja keras itulah biaya sekolah Sunarto dan dua adiknya berasal.

"Saya juga tidak tahu bagaimana kami bisa cukup. Tapi, masa lalu itu sungguh luar biasa," katanya. Kamis malam, ia memandu ibu dan saudara-saudaranya muter-muter Jakarta. Soalnya, sang ibu belum pernah melihat Tugu Monas.

Sunarto adalah pekerja keras, pantang menyerah. Semangat untuk maju ditunjukkan dengan aktivitas rutinnya setiap semester, yaitu ia harus menemui rukun tetangga (RT), rukun warga (RW), kelurahan, kecamatan, dan struktur birokrasi tingkat desa dan kecamatan demi mendapatkan surat miskin.

Dari surat itu, ia menerima potongan biaya kuliah semesteran 50 persen atau sebesar Rp 27.000. Cukup berarti untuk mahasiswa seperti dirinya.

Selain jatah dari orangtua, ia dapat honor sebagai reporter pers kampus, Manunggal, juga dari honor menulis di harian lokal. Sesekali ia dapat "proyek" mengecat spanduk acara kampus dengan bayaran makan malam gratis.

Untuk belajar, sebagaimana umumnya mahasiswa berlatar belakang ekonomi pas-pasan, Sunarto mengandalkan catatan kuliah dan buku-buku diktat yang dibaca atau dipinjam dari perpustakaan.

Prestasi akademiknya yang bagus membawa dia memperoleh beasiswa dari Try Sutrisno ketika menjabat sebagai Wakil Presiden. Tahun 1990 itu, ia memperoleh beasiswa sekitar Rp 150.000 per semester.

Panggilan mulia

Masa remaja dan kuliahnya yang sulit secara ekonomis tak membuatnya silau pada kekayaan dan lupa pada tujuan hidup mulia: berbagi ilmu dengan sesama. Pekerjaannya, seusai lulus kuliah, sebagai staf pemasaran Harian Bernas di Yogyakarta ia tinggalkan demi menjadi dosen pada almamaternya.

Ketika itu, dari segi finansial gajinya di Bernas tahun 1990-1991 antara Rp 300.000 dan Rp 500.000 per bulan. Jumlah yang sangat cukup untuk fresh graduate seperti dirinya. Apalagi untuk hidup sebagai lajang di Yogyakarta atau Semarang.

Dengan itu, ia pun sebenarnya bisa berbangga hati atau balas dendam atas masa lalunya yang sulit. Meskipun demikian, ia memilih memasuki jalan "berat" sebagai dosen berstatus calon pegawai (capeg) dengan honor Rp 60.000 per bulan.

Prinsipnya, dengan bekerja sebagai tenaga pemasaran, ia hanya akan membuat kaya segelintir orang. Sementara dengan menjadi seorang guru (dosen), dirinya akan berguna bagi banyak orang.

"Hati saya tidak bisa berbohong. Saya tidak cocok di dunia bisnis," ujarnya.

Kini, cita-cita besar yang sedang dikejarnya adalah menjadi bagian dari arus kecil penyadaran kesetaraan jender dan advokasi masyarakat melek terhadap potensi kekerasan. Di sanalah ia menuju....






Jumat, 20 Juli 2007

Mengenang Pemikir Pejuang

Oleh :

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam dan Graduate Research

Assistant di Universitas Sains Malaysia Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema 'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin orientalisme.

Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.

Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.

Karya-karya penting
Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi, kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di negeri ini.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.

Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas' dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.

Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang diciptakan 'penjajah'.

Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan, termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna, beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara dalam kehidupan masyarakat.

Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.

Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.

Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju pada tahun 2020.

Kamis, 19 Juli 2007

Genealogi Intelektual Ulama Betawi (2)

Rakhmad Zailani Kiki,
Staf Seksi Pengkajian CC-JIC

Pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah bersama pasukan dari Cirebon dan Banten melakukan pengepungan terhadap Kalapa dengan mematahkan kekuatan Portugis dibawah Francisco de Sa, untuk kemudian mengibarkan panji-panji keislaman.

Nama Sunda Kalapa diganti menjadi Jayakarta yang dipetik dari Alquran ayat pertama surat Alfath : Fathan Mubina, artinya :
kemenangan nyata. Kemudian secara kontinyu penguasa-penguasa di Demak, Cirebon dan Banten yang memang telah menjadi kantong para ulama, baik para Syarif, Habaib ataupun Sunan, secara berkesinambungan mengutus sejumlah besar mubaligh dan para pengajar yang dipersiapkan berdakwah untuk perluasan dan pendalaman keislaman bagi para muslim di Jayakarta.

Masih menurut Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun, pada tanggal 12 Mei 1619 Jayakarta dikepung pasukan VOC dipimpin langsung JP Coen. Pangeran Wijakrama diloloskan oleh Mangkubumi ke Banten, dan pada pertempuran yang meletus pada 30 Mei, Coen telah efektif menguasai Jayakarta sepenuhnya dan kemudian menggantinya dengan nama Batavia.

Keluarga Pangeran Wijakrama didorong mundur dan bertahan di kawasan yang sekarang dikenal daerah Jatinegara Kaum di sini kita masih dapat singgahi pemakaman keluarga dan kerabatnya. Sementara para prajurit dan pengikut setia beliau termasuk para ulama, dato, guru-guru agama, berhamburan ke daerah-daerah sekitar, membentuk cekungan baru untuk pengajaran agama Islam, perekonomian, perdagangan, seni budaya, sambil sesekali bergerak melakukan perlawanan sporadik terhadap kolonial.

Pada paruh kedua abad 18, atau sekitar tahun 1736, 117 tahun setelah Jayakarta tumbang, Alhabib Husein bin Abi Bakr Alaydrus, seorang dai dari al Miqab, Hadramaut - kini Yaman Selatan -- menginjakkan kakinya di tanah Betawi. Selain alim, bijak dan menyimpan banyak karomah, Alhabib juga dikenal teramat santun kepada lingkungan dan khalayak yang tidak saja ngaji kepada beliau, tapi juga berharap doa restu untuk arungi kehidupan, agar tetap berada di jalur yang baik dan benar. Duet Habib Husein - Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang mempunyai garis genealogis versi Demak, adalah keturunan dari Sunan Giri yang dikenal juga sebagai Raden Paku atau Raden Ainul Yaqin, mereka kemudian menjadi cikal mata rantai keulamaan di tanah Betawi dan Jawa Barat.

Pada 1834, 98 tahun dari kedatangan Habib Husein, lahir al ‘Allaamah Tuan Guru atau Syaikh Junaid Al-Betawi, Pekojan, yang diyakini banyak pakar, bahwa beliau adalah guru dari semua guru di Betawi, Kiprah guru Junaid di latar keilmuan, telah menjadikan poros Pekodjan sampai Kampung Sawah -tempat lahirnya Guru Mansur, ahli falak kenamaan, sebagai pusat keilmuan Betawi saat itu.

Tahun 1918 atau 84 tahun kemudian, dari tangan Junaid terlahir sejumlah ulama Betawi, di antaranya Tuan Guru Wan Abdulhalim (cucu pewakaf tanah masjid tua Alma’mur, Tanah Abang yang dibangun pada tahun 1915 oleh seorang ulama dari garis keturunan Gusti Pangeran Ageng Samandi, Demak, dimakamkan di kompleks Keramat Luar Batang, Pasar Ikan, Jakarta Utara) belasan tahun menjadi pengajar di masjid yang terletak bersebelahan dengan pasar regional Tanah Abang. Dan secara turun temurun, lahir Muallim Muhammad Nafe Rawa Belong-Kebon Sirih, Guru Abdurrahim Kebon Sirih, yang menancapkan pengaruhnya di Sumbawa NTB, dan Waingapu NTT.

Muallim Muhammad Radjiun, Pekojan, ayah dari KH. Abdurrahim Radjiun, adalah generasi berikutnya. Setelah menyunting Siti Chadidjah, seorang Syarifah Hadrami, Radjiun yang memboyong sejumlah pengetahuan keislaman dari Mekkah turut ambil bagian dalam upaya penanaman akidah di kalangan ummat, utamanya di kawasan Jakarta Pusat, Barat hingga Kepulauan Seribu. Tidak jauh berbeda dengan Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun, budayawan Alwi Shahab yang membahas tentang ulama Betawi di abad ke-19, juga menyebut nama Syekh Junaid Al-Betawi.

Namun, ia lebih menekankan peran alim ulama di Pekojan, Jakarta yang banyak menghasilkan ulama terkemuka pada abad ke-19 dan 20 yang menjadikan Pekojan sebagai pusat intelektual Islam. Di antara ulama terkemuka tersebut yang lahir atau terdidik dari kawasan Pekojan, selain Syekh Junaid Al-Betawi, adalah Muallim Radjiun, Kiai Syamun, guru Mansyur. Sedangkan dari kalangan habaib yang lahir di Pekojan adalah Habib Usman bin Yahya yang memiliki murid terkemuka, yaitu Habib Ali Bin Abdurrahman Al-Habsyi yang memiliki murid-murid terkemuka, yaitu KH. Abdullah Syafei , KH. Tohir Rohili, dan Muallim KH Syafei Hadzami.

Sedangkan Prof Dr Yasmine Zaki Shahab menyatakan bahwa dari berbagai tulisan tentang Betawi dikatakan orang Betawi merupakan masyarakat yang relegius. Betawi dan Islam merupakan dua sisi dari keping mata uang sampai saat ini, yang satu tak mungkin hadir tanpa yang lain, keduanya merupakan satu kesatuan dan ini tidak terlepas dari peran para ulamanya. Tidak heran jika sampai saat ini masyarakat Betawi pada umumnya masih menyekolahkan anaknya di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang didirikan dan dipimpin oleh ulama Betawi.

( )

Genealogi Intelektual Ulama Betawi

Rakhmad Zailani Kiki
Staf Seksi Pengkajian CC-JI

Etnis Betawi adalah etnis yang unik. Walau di tanah Betawi purba sudah ada etnis Jawa, namun dalam perjalanan sejarah ia menjadi etnis yang baru, etnis bernama Betawi, hasil dari proses pencampuran dan persilangan yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini dinyatakan oleh PH Willemse yang menjabat sebagai residen Batavia sejak Juli 1929 sampai Oktober 1931 (Mona Lohanda; 2004).

PH Willemse secara terbuka dan jelas menyatakan bahwa ada sebuah etnis baru di Batavia yang terbentuk melalui proses berabad-abad dari pencampuran dan persilangan yang kuat dengan penduduk asli setempat yang disebut sebagai orang Betawi, yang di dalam banyak keunikan, terutama bahasa, sangat berbeda dari nenek moyang mereka.

Sehingga wajar, jika rupa dan perawakan masing-masing orang Betawi satu sama lainnya tidak sama dan beragam atau lebih mendekati etnis-etnis lain dari luar Betawi. Begitu pula jika ditelusuri menurut silsilah hubungan darah, maka akan terlihat nyata jika nenek moyang orang-orang dari etnis Betawi tidaklah satu keturunan dan berasal dari banyak daerah di Indonesia. Begitu pula dengan para ulamanya, yang menempati posisi sentral dalam kehidupan etnis Betawi, tentu satu sama lain memiliki perbedaan genealogis tersebut.

Pada Seminar Genealogi Intelektual Ulama Betawi yang diselenggarakan oleh JIC (Jakarta Islamic Centre) pada tanggal 27 Maret 2007 yang lalu dengan pembicara Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun, Prof Dr Yasmin Shihab, Alwi Shahab, dan Drs H Ridwan Saidi semakin menunjukkan peran sentral dari ulama Betawi dalam menjaga etnis ini agar tidak terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari dan tetap terregenerasikan dengan baik dari awal Islam masuk ke tanah Betawi sampai sekarang ini.

Menurut Ridwan Saidi, penyebaran Islam di tanah Betawi bermula dari berdirinya pesantren Quro di Karawang pada tahun 1428. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin berasal dari Kamboja. Pada awalnya, maksud kedatangan Syekh Quro ke Jawa adalah untuk berdakwah di Jawa Timur. Namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, ia membatalkan perjalanannya ke Timur. Syekh Quro kemudian menikah dengan seorang gadis Karawang dan membangun pesantren di Quro, pedalaman.Di kemudian hari, salah seorang santri pesantren bernama Nyai Subang Larang dipersunting Prabu Siliwangi yang dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam.

Generasi penerus penyebaran Islam berikutnya, masih menurut Ridwan Saidi, adalah menak Pajajaran yang seiman dengan Kean Santang, seperti Pangeran Syarif dan Pangeran Papak. Pada saat bersamaan, daya sebar Islam di tanah Betawi mencapai momentumnya oleh peranan para dato, seperti Dato Biru di Rawa Bangke, Dato Tanjung Kait di Tangerang, Kumpi Dato di Depok, Dato Ibrahim dan Dato Tongara di Cililitan. Penyeberan Islam di tanah Betawi penuh dengan peperangan. Menurut Ridwan Saidi sebagai yang dikutipnya dari naskah Sunda kuno Carios Parahiyangan, tercatat sebanyak 15 kali peperangan. Peperangan di pihak Islam dipimpin oleh para dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawesisa yang bertahta sejak tahun 1521 yang dibantu oleh para resi.

Perlawanan tidak hanya berbentuk perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan intelektual berbasis di desa Pager Resi Cibinong yang dipimpin oleh Buyut Nyai Dawit. Ia menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Karesyan (1518). Di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam dissebut sebagai kaum langgara, dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Selanjutnya, penyebaran Islam di tanah Betawi antara tahun 1527-1650, dilanjutkan oleh Pangeran Sugi dari Kampung Padri dan Kong Ja`mirin dari Kampung Marunda. Menurut Ridwan Saidi, pada masa 1650-1750, tidak diketahui lagi mengenai ulama yang memberikan kontribusi terhadap penyebaran dan perkembangan Islam di tanah Betawi.

Namun, Prof Dr KH Abdurrahim Radjiun menyatakan bahwa ulama yang menyebarkan dan mengembangkan Islam di tanah Betawi pada rentang tahun tersebut (1650-1750) tetaplah ada, yaitu dengan merunut dari peran Panglima Fadhillah Khan, Faletehan, atau Fatahillah. (Bersambung).

Selasa, 17 Juli 2007

99 Tahun Mohammad Natsir

Oleh :

M Fuad Nasar
Anggota Badan Amil Zakat Nasional

Mohammad Natsir, sosok yang dikenang oleh bangsa Indonesia sebagai tokoh pendidikan, tokoh politik, negarawan, dan pemimpin Islam terkemuka. Natsir lahir 17 Juli 1908, di kampung Jembatan Berukir, Alahan Panjang, Sumatera Barat, sedang kampung asalnya Maninjau. Tokoh yang produktif menulis itu wafat 6 Februari 1993 di Jakarta dalam usia 84 tahun.

Semasa sekolah di Padang dan Bandung ia aktif dalam organisasi di antaranya Jong Islamieten Bond. Natsir murid intelektual ulama terkemuka A Hassan Bandung dan Haji Agus Salim. Di zaman penjajahan Belanda, tahun 1932, Natsir berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung yang mempunyai tingkat Frobel (TK), HIS (SD) dan MULO (SMP).

Sebagai pelaku sejarah, Natsir adalah anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946) yang merupakan parlemen pertama RI. Natsir juga salah seorang anggota KNIP yang mendukung dibentuknya Kementerian Agama tahun 1946. Beliau pernah menjabat Menteri Penerangan RI (1946-1949), Perdana Menteri RI (1950-1951), dan Ketua Umum Partai Masyumi (1949-1958).

Dalam Majelis Konstituante (1957-1959) yang bertugas merumuskan kembali dasar negara RI, Natsir memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dalam format yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Perjuangan fraksi-fraksi Islam hanya mencapai separuh jalan, kemudian di-by pass oleh Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan kembali ke UUD 1945.

Natsir adalah contoh seorang demokrat par excellence dan ideolog yang berpandangan luas. Menarik disimak pandangannya tentang Pancasila, bahwa tidak ada pertentangan Pancasila dan Islam, kecuali bila Pancasila itu sengaja diisi dengan paham-paham yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Sikap dan watak kenegarawanan Natsir sebagai tokoh politik dan guru bangsa patut menjadi cermin bagi generasi sekarang. Sikap demikian terlihat dalam pandangan Natsir tentang Bung Karno. Dalam buku yang disusun oleh Solichin Salam, Bung Karno Dalam Kenangan (1981), Natsir menulis, "Saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain. Mudah-mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan bangsa di kalangan generasi penerus."

Natsir adalah contoh pejuang yang ikhlas dan tak penat memandu umat. Pembubaran partai Masyumi oleh rezim orde lama tidak menghentikan langkah Natsir untuk memperjuangkan aspirasi Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ada atau tidak ada partai politik Islam, kepentingan umat harus tetap dibela melalui jalan yang masih terbuka. Pada 1967 Natsir bersama beberapa tokoh Masyumi lainnya mendirikan wadah berbentuk yayasan yaitu Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Natsir menjabat Ketua Umum DDII sampai wafat. Ia tidak henti-hentinya menyumbangkan buah pikiran untuk kepentingan bangsa dan negara, walaupun dianggap tidak sehaluan dengan pemerintah orde baru saat itu.

Sejarah mencatat, mosi integral Mohammad Natsir tahun 1949 merupakan pangkal proses yang menyelamatkan Indonesia dari perpecahan, sehingga kembali menjadi NKRI. Adapun keterlibatan Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, dan beberapa tokoh nasional dalam perlawanan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958-1961 di Sumatera Tengah (Sumatera Barat) dilatarbelakangi tujuan untuk menyelamatkan Negara Republik Indonesia dari bahaya Komunisme/PKI dan menuntut keadilan pemerintah pusat terhadap pembangunan daerah-daerah di luar Jawa.

Pada awal orde baru, Natsir turut membantu pemerintah dalam pemulihan hubungan diplomatik dengan Malaysia pascakonfrontasi 'Ganyang Malaysia' di masa pemerintahan Soekarno. Dari balik tembok tahanan, Natsir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menolak menerima utusan pemerintah Indonesia yaitu Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Natsir menjadi tahanan politik rezim Soekarno selama 4 tahun (1962-1966).

Hati nurani umat
Seorang pejabat KBRI di Jeddah bercerita kepada alm KH Hasan Basri (mantan Ketua Umum MUI). Sewaktu Menlu Dr Soebandrio menunaikan haji tahun 1965, ia dapat bertemu Raja Faisal bin Abdul Aziz. Ia melaporkan, Islam di Indonesia berkembang pesat. Tanggapan Raja Faisal, "Kenapa Saudara tahan Mohammad Natsir? Saudara tahu, Mohammad Natsir bukan saja pemimpin umat Islam Indonesia, tetapi pemimpin umat Islam dunia ini!" Peran Natsir yang menonjol di dunia Islam ialah sebagai wakil presiden Muktamar Alam Al-Islami (World Muslim Congress), anggota inti Rabithah Alam Islami di Makkah, anggota inti Dewan Masjid Sedunia, dan lain-lain. Ia pun pernah diusulkan menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Konperensi Islam (OKI), tapi tidak disetujui Pemerintah RI.

Pada 1980 Natsir menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal (Faisal Award) dari Kerajaan Saudi Arabia atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada dunia Islam. Sebagai tokoh pembaruan dan intelektual Muslim, Natsir menempuh cara dakwah dan pendidikan untuk memperbaiki pemahaman dan pengamalan agama masyarakat Islam di Indonesia. Kata Natsir, kemajuan masyarakat Islam hanya dapat dicapai dengan memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara murni.

Sebuah ironi sejarah di zaman orde baru, sejak 1980 sampai meninggal Natsir kena cekal, karena menandatangani 'Pernyataan Keprihatinan' yang kemudian dikenal sebagai Petisi 50 berisi kritik terhadap Pak Harto yang sedang di puncak kekuasaan. Dalam tahun-tahun terakhir menjelang tutup usia, seperti diungkap Prof George Mc Turnan Kahin dari Cornell University USA, Natsir benar-benar sedih dan prihatin melihat kondisi negerinya. Bukan hanya karena melihat pemerintah waktu itu yang otoriter, juga karena menyaksikan masyarakat yang semakin materialistis dan individualistis. Penulis bersyukur beberapa kali bertemu Pak Natsir semasa hidupnya.

Kamis, 05 Juli 2007

Sekilas tentang Kandidat Presiden Amerika Serikat
: Barack Obama


Meski namanya baru dikenal publik Amerika Serikat (AS) sekitar 2 tahun lalu, namun kehadirannya sudah mampu menandingi pesaing lainnya dalam kancah kandidat presiden AS. Barack Obama dikenal sebagai seorang sosok politisi yang senang berkomunikasi baik langsung maupun tidak dengan warga AS. Beliau seringkali menuangkan isi pikiran, pendapat serta ide-ide barunya yang dikemas dalam sebuah audiofile podcasting yang selalu bisa diakses oleh publik di seluruh dunia. Suaranya yang bersahaja dan ramah mengesankan seolah-olah beliau sedang berbicara langsung secara personal kepada para pendengarnya. Hal ini tentunya patut dijadikan sebuah keuntungan yang belum tentu dimiliki oleh setiap politisi dimanapun.

Baru-baru ini, Obama juga menggelar sebuah orasi, sebuah kegiatan yang sering beliau lakukan dan berorasi memang suatu kehandalan yang dimilikinya. Orasinya kali ini dilakukan di sebuah taman di Nevada pada waktu siang hari. Walaupun teriknya matahari terasa sungguh menyengat siang itu, namun tidak ada satu orang pun yang malah sibuk mencari tempat teduh di taman tersebut. Semua pengunjung taman tampak terkesima dengan orasi yang disampaikan Obama siang itu. Tidak ada satupun kandidat presiden AS lainnya yang mampu mengumpulkan begitu banyak orang yang bersemangat ingin mendengarkan orasi seorang politisi. Beberapa pengunjung yakin bahwa ”dialah orang yang ditunggu-tunggu Amerika”. Salah seorang pengunjung taman yang kebetulan juga seorang penggemar Obama, Michelle, pernah menuliskan pesan di situs web-nya Obama. Pesannya adalah bahwa ia berharap akan ada peraturan yang menyulitkan orang-orang yang berpenyakit mental dalam memperoleh/membeli senapan. Tidak lama kemudian, Obama membuat usulan yang sama persis. Michelle beranggapan bahwa usulan yang dibuatnyalah yang menginspirasi Obama. Namun orang lain beranggapan bahwa usulan Obama semata hanya karena kasus penembak yang membunuh 32 orang di Virginia beberapa waktu lalu.

Siapakah Obama sebenarnya? Ia mengaku dirinya adalah anak dari ayahnya yang berdarah Kenya yang kesehariannya menggembala kambing. Suatu masa, ayahnya mendapat beasiswa untuk belajar di AS, dimana ia akhirnya menikah dengan seorang wanita berkulit putih dari Kansas. Walaupun orang tuanya tidak kaya, tapi mereka berhasil menyekolahkan anaknya di Harvard.

Sekarang ini, mungkin kulit hitamnya bisa membantu posisinya dalam pemilu presiden nanti. Beberapa generasi lalu, hal ini justru akan merugikan dan bahkan fatal bagi dirinya. Namun kini, masyarakat kulit putih AS justru menilai hal ini sebagai tanda optimistik dari fron rasial. Banyak diantara mereka akan memilih presiden berkulit hitam dan menunjukkan pada dunia, dan diri mereka sendiri, bahwa kulit hitam bukanlah pecundang. Beberapa juga berpendapat bahwa, ”Saatnya telah tiba. Sejauh ini hanya ada pria kulit putih dari kalangan kelas atas.”

Keadaan sekarang ini tentunya merupakan sebuah kesempatan dan keuntungan yang harus diraih oleh Obama. Meski beberapa masyarakat kulit hitam masih meragukan posisi Obama “di kalangan kulit hitam”, karena nenek moyangnya tidak dibawa ke AS sebagai budak dan beliau juga tidak memegang peran dalam gerakan memperjuangkan hak-hak sipil. Menanggapi ini, Obama berkata bahwa dirinya telah banyak berjuang melawan isu rasial. Dalam otobiografinya, beliau ingat akan masa kecilnya dimana seorang kulit hitam telah disiksa dengan menggunakan racun kimia untuk memutihkan kulitnya. Beliau juga pernah menonjok seseorang yang menghinanya dan mengejeknya. Namun sebagai seorang yang berpikiran secara dewasa, dirinya memilih untuk menempuh jalan konsiliasi dibanding konflik.

Meski demikian, mampukah karisma Obama memenangkan dirinya dalam nominasi presiden nantinya? Menurut jajak pendapat, mungkin tidak. Obama tetap belum bisa menyamakan kedudukan dengan organisasinya Hillary Clinton. Obama masih tertinggal sekitar 10 poin di jajak pendapat nasional. Namun, Obama berhasil menggalang dana lebih besar daripada Clinton pada kwartal pertama tahun ini. Jajak pendapat lainnya mengatakan bahwa Obama memiliki kesempatan yang lebih baik dibanding Clinton dalam mengalahkan kandidat papan atas dari Partai Republik, seperti Rudy Giuliani dan John McCain. Jelas, Obama tetap harus dianggap sebagai kandidat yang berpotensi.

Posisinya mengenai perang Irak sangat jelas. Sedikit berbeda dari lawan utamanya, sejak awal, Obama jelas mengatakan tidak setuju dengan perang Irak. Berbicara mengenai kebijakan luar negeri, dirinya bersikap ambisius dan idealistik. Secara gamblang beliau berkata bahwa posisi sebagai pemimpin bagi dunia bebas ini terbuka lebar dan dia ingin menempati posisi tersebut. Obama ingin bekerja dengan Rusia untuk mengamankan bahan-bahan nuklir, pada saat bersamaan mendorong demokrasi dan transparansi di sana. Beliau juga ingin memperkuat NATO, membangun aliansi baru di Asia, menghentikan genosida di Darfur, memperjuangkan perdamaian di Timur Tengah, dan membantu negara-negara miskin membangun ekonomi pasar yang berfungsi. Obama tidak berbicara banyak mengenai ekonomi. Ia hanya ingin mengalokasikan dana yang lebih besar untuk sekolah, subsidi kesehatan, dan kepentingan veteran.

Sumber:

The Economist

http://www.barackobama.com/

Selasa, 03 Juli 2007


Audy Item
Membalas dengan Cinta

Suatu hari Yopie Item datang ke perusahaan rekaman Sony Music. Bukan untuk bermain gitar meski sosoknya terkenal sebagai gitaris jazz kawakan. Ketika itu dia membawa kaset demo putrinya.

Sony yang ketika itu memang sedang mencari seorang solois wanita yang belum pernah rekaman sebelumnya, menerima dengan senang hati. Tanpa menunggu lama, kontrak dengan putri tercinta Yopie Item akhirnya diteken. Lewat lagu lama Asti Asmodiwati, Satu Jam Saja, nama sang putri Yopie Item itu pun seketika melambung. Audy Item. Berbekal kualitas suara, wajah menawan, dan penampilan menarik, sosoknya makin terkenal.

Young diva?


Kalau saja ada yang menyematkan predikat itu padanya, tampaknya tidak terlalu salah. Belum lama muncul, nyaris semua penghargaan industri musik berhasil disabetnya. Bahkan, gadis kelahiran Jakarta pada 23 April 1983 ini berhasil menyingkirkan seorang Iwan Fals di ajang MTV Asia Awards yang digelar di Singapura.

Namun, boleh dibilang musik bukan hal baru untuknya. Sejak kecil, Audy sudah akrab dengan dunia ini. Mungkin saja lantaran sang ayah yang gitaris itu, sehingga ia mampu memainkan alat musik. Bahkan, dia pernah gandrung menabuh drum dan memainkan alat musik tersebut di acara-acara sekolah. Tentu saja, daya tarik dunia menyanyi lebih kuat.

Konser tunggal?


''Siapa sih yang nggak pengen konser tunggal?'' kata Paula Allodya Item, nama lengkapnya. Tapi, ''Kalau konser tunggal kan butuh proses yang tidak main-main. Pertama lagu hit-nya harus banyak dulu, terus juga pengalaman dan jam terbang. Jadi, belumlah. Cuma dari sekarang sudah mulai.''

Kalau pun harus konser tunggal, konsepnya berbeda dengan yang sudah lazim diselenggarakan. Pelantun tembang Dibalas Dengan Dusta dan Menangis Semalam ini ingin konsepnya tidak di dalam gedung, tapi di luar. ''Kalau in door kayaknya formal. Pengennya lebih santai.''

Kahlil Gibran?


Jangan heran kalau lulusan SMA Percik (Perguruan Cikini) Duren Tiga Jakarta itu akhir-akhir ini akrab dengan nama sang pengarang sohor. Dia mengaku lebih banyak membaca buku-buku sastra dan puisi seperti karya-karya Kahlil Gibran. Dia pun senang membuat puisi. Ternyata, ''Insya Allah, kalau diberi kesempatan, aku bikin album rohani.''

Benak perempuan berdarah Manado-Bandung ini dipenuhi dengan keinginan untuk membuat album lagu-lagu bernuansa Islami. Untuk itulah dia merasa perlu jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri seraya menunggu kesempatan itu tiba. ''Jadi, ya, mungkin nanti kalau sudah dapat kesempatan bikin album Islami, baru saya bikin lagunya.''

Ehm, pacar?


Pertanyaan yang wajar untuk seorang gadis yang tidak lama lagi berusia 23 tahun. Setelah putus dari drummer grup band Dewa, Tyo, Audy belum terlihat menggandeng kekasih baru. Kendati gosip tentu saja tidak pernah berhenti berseliweran.

Ketimbang menjawab pertanyaan soal pacar, Audy lebih suka berceloteh tentang sahabat. ''Saya lebih baik kehilangan pacar daripada kehilangan sabahat.'' Audy yang menyebut dirinya termasuk supel dan punya teman di mana-mana ini pun berkisah tentang seorang sahabatnya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar Jaka Sampurna School, Bekasi.

Nama sahabat itu Olivia. Peristiwanya terjadi sekitar tiga tahun lalu. Saat itu Audy sedang tur di Jawa Timur. Di tengah perjalanan, berita duka sampai di telinganya. Olivia dipanggil Tuhan, meninggal akibat kecelakaan kereta api. Karena tidak boleh pulang, dia mendengarkan proses pemakaman sahabatnya itu hingga selesai lewat telepon seluler. Setelah itu, Audy sempat tidak bisa makan selama seminggu. Untuk mengenang Olivia, ''Saya punya celana pendeknya dia warna biru, saya pakai terus. Dia kalau nginap di rumah saya, selalu pakai celana itu.''

Kambing?


Inilah binatang kurban Audy tahun ini. Pada Idul Adha tahun ini, seekor kambing menjadi jalannya untuk berbagi rezeki. Sebelumnya, dia sempat berkurban seekor sapi. Boleh jadi ini menjadi awal untuk menguatkan niatnya untuk naik haji. ''Pengenlah. Itu kan rukun Islam.''

Audy mengaku sejak belajar tentang haji, keinginan itu sudah ada di benaknya. Tapi sebelum keinginan itu terwujud, dia berencana tahun ini berumrah lebih dulu. Setelah itu, dia menunggu waktu yang tepat untuk berhaji. ''Saya pikir, waktunya harus tepat. Saya pengennya semua keluarga ikut. Biar lebih enaklah.''

Obsesi?

Dengan semua cinta miliknya, ''Saya pengen masuk surga.''