Selasa, 03 Juli 2007


Chrisye
Suatu Perjalanan Spiritual

Usianya masih belia, masih SD. Setiap bersiap-siap berangkat sekolah, suara penyanyi seperti Frank Sinatra, Bing Crosby, Nat King Cole, atau Dean Martin yang diputar dari piringan hitam bergema di telinganya. Lantunan lagu-lagu penyanyi itu bak magnet yang menggetarkan hatinya.

Diam-diam, pandangan anak kecil itu melayang, jauh. Dia membayangkan sang penyanyi pujaannya berada di atas panggung, disaksikan ribuan penonton. Larut dalam khayalan kerap membuatnya terlambat mandi. Tidak jarang dia mesti terbirit-birit berangkat ke sekolah. Peristiwa serupa terjadi hampir setiap hari.

Usia remaja, dentuman musik yang berirama kian menggetarkan hatinya. Sekali tempo, ia diajak oleh ayah dan ibunya ke sebuah restoran di kawasan Tanjung Priok. Rumah makan itu menyuguhkan musik Hawaii. Ia betah berjam-jam memperhatikan grup band itu memainkan alat musik. `'Ternyata musik bukan hanya indah didengar, tapi juga asyik dimainkan,'' kata dia membatin.

Kisah lebih 30 tahun perjalanan karier musik pria kelahiran Jakarta, 16 September 1949, ini tertuang dalam buku Chrisye, Sebuah Memoar Musikal. Diluncurkan Sabtu, 17 Februari 2007, buku itu disusun oleh Alberthiene Endah berdasarkan penuturan Chrisye selama Chrisye menjalani masa penyembuhan dari sakit kankernya. Adalah Alex Kumara, teman SMA Chrisye, yang menggagas penerbitan buku ini. `'Harapannya, ketika mengingat masa-masa yang lalu, paling tidak meringankan bebannya,'' kata Alex Kumara, CEO ANTV itu.

Chrisye menyabet berbagai penghargaan bergengsi dari dalam dan luar negeri, seperti BASF Awards, Golden Record, atau HDX Awards. Ia juga memenangi MTV Video Music Award Asia Viewer's Choice Award 1998 yang berlangsung di Los Angeles, Amerika Serikat.

Anak Menteng
Lahir dengan nama Christian Rahadi, Chrisye kecil tinggal di kawasan Menteng. Dia bertetangga dengan keluarga Nasution yang gemar musik. Di saat Chrisye tergila-gila pada musik dengan belajar memainkan gitar secara otodidak, anak-anak Nasution (Keenan Nasution bersaudara) membentuk grup band, Sabda Nada. Alat musik mereka canggih di era itu, dibeli Ponco Sutowo di luar negeri. Mereka berlatih setiap sore di teras. Bagi Chrisye, ini hiburan dahsyat yang tak pernah ia lewatkan.

Dalam buku itu juga disebutkan, suatu kali pemain bas Sabda Nada sakit. Gauri, saudara Keenan, mendatanginya, sembari berseru, `'Chrisye, pemain bas kami sakit. Lu bisa gantikan? Soalnya kita dapat kerjaan banyak.'' Jelas saja Chrisye mengangguk, meski masih meragukan kemampuannya. Ikut berlatih, mereka cocok. `'Kamu latihan terus, ya,'' kata Gauri.

Belakangan Sabda Nada berganti nama Gibsy, atas usulan Ponco. Dari Ponco pula membawa grup band ini pentas di New York. `'Lu mau ikut kan? Kita dapat kerjaan nih, kontrak setahun manggung di sana,'' kata Ponco. Chrisye tertegun.

Kalimat Ponco seperti mimpi yang sangat muluk. Saat bersamaan ia sedih. Saat itu ia masih terdaftar sebagai mahasiswa Akademi Perhotelan Trisakti dan di Teknik Arsitektur UKI. Persoalannya, `'Bagaimana menyampaikan ke Papi?'' Lauren Rahadi, ayahnya, memang tidak melarang Chrisye bermain musik. Tapi, ayahnya tak ingin ia menjadikan musik sebagai profesi dan sandaran hidup.

Tawaran ke New York menempatkan Chrisye pada posisi sulit. `'Inilah titik yang luar biasa penting dalam sejarah karier saya,'' kata Chrisye, seperti ditulis buku itu. Sampai teman-temannya berangkat, pilihan belum ia tetapkan. Pergulatan batin itu akhirnya sampai ke telinga ayahnya.
`'Benar kamu ingin ke New York?''
Chrisye mengangguk.
`'Kuliah?''
`'Saya tidak punya minat di situ, Pi.''
`'Masa depan kamu?''
`'Musik.''
Perang dingin terjadi, sampai suatu siang ayahnya menghampiri, `'Chris, kalau kamu mantap, berangkatlah.''
Chrisye memeluk ayahnya. `'Saya tahu pasti, itu keputusan yang tidak mudah bagi Papi. Saya paham, Papi melakukan manuver mahadahsyat dalam cara berpikirnya tentang masa depan saya.'' Saat itu, 1973, Ponco mengantar Chrisye ke New York, menemui teman-temannya yang berangkat lebih awal.

Akhir 1973 kembali ke Indonesia, tahun berikutnya berangkat lagi ke New York untuk masa setahun dengan tim yang berubah. Ada Abadi Soesman, Dimas Wahab, Rony Makasutji, dan Broery Marantika. Nama grup bukan lagi Gibsy, tapi The Pro's.

Jadi penyanyi
Guruh Sukarno Putra mendorongnya sebagai penyanyi ketika putra mantan presiden pertama RI itu membuat album menggabungkan musik Barat dengan tradisional Indonesia. Saat Radio Prambors menyelenggarakan Lomba Cipta Lagu Remaja (LCLR), akhir 1976, Chrisye menyanyikan lagu 'Lilin-lilin Kecil' karya James F Sundah. Masuk dapur rekaman, lagu itu digemari banyak orang. Tawaran panggung solo berdatangan. Chrisye menjadi penyanyi terkenal.

Ketenaran saja tidak cukup membuatnya yakin bisa menghidupi sebuah keluarga. Tapi, rasa takut itu terkikis oleh seorang wanita, GF Damayanti Noor akrab disapa Yanti salah satu personel kelompok musik Noor Bersaudara. `'Saya melihat daya tarik Yanti ketika dia bekerja menjadi sekretaris Guruh,'' kata dia menuturkan.

Saat yakin ingin menikah dengan Yanti, ada satu yang menjadi penghalang: agama. Chrisye Kristen, Yanti Islam. Soal ini, Chrisye berujar, `'Sebetulnya ada hal yang sudah mengusik saya, jauh sebelum bertemu Yanti. Yakni, krisis keimanan saya. Di tengah kesibukan saya bermusik, sebetulnya saya merasakan kesepian yang misterius. Saya seperti merindukan sesuatu yang tidak bisa saya gambarkan bentuknya. Diam-diam saya menekuni agama Islam, hingga suatu saat saya menjadi sangat yakin. Saya ingin memeluk Islam.''

Keinginan itu ia pendam. Ia tak berani mengungkapkan, apalagi kepada orang tuanya. `'Saya pernah menangis semalaman karena memikirkan ini,'' kata dia. Susah-payah ia mengumpulkan keberanian menyampaikan ke ayahnya. Tak ia nyana, `'Papi memegang perkataannya dulu. Bahwa ia hanya dititipi anak oleh Tuhan. `Semua berpulang pada kamu'.''

Jadilah Chrisye mualaf, bersama Yanti. Kini telah dikaruniai empat anak: Pasha, Risty, Masha, Nissa. Dalam buku itu, Chrisye menulis, ''Setelah menjadi mualaf, 1982, proses pendewasaan saya terus berjalan. Tahun 1990-an, saya lebih banyak meluangkan waktu mendalami agama. Buat saya, spritualitas memberikan lebih dari sekadar memiliki agama karena spritualitas memberikan rasa aman, tenteram, dan jalan. Saya merasakan hidup dan karier saya bergulir pada tujuan yang jelas berkat pendalaman spritualitas yang sama jalani.''

Cobaan akhirnya datang juga. Agustus 2005, Chrisye harus beristirahat akibat penyakit kanker paru-paru yang dideritanya. Setelah menjalani kemoterapi enam kali di Singapura, dia masih sempat menjadi bintang tamu grup band anak muda. Di tengah masa penyembuhan itulah lahir ide menuliskan perjalanan musiknya, sebuah memoar musikal. bur

Tidak ada komentar: