Peduli Tata Suara Masjid
''Selama tiga tahun saya melakukan survei di masjid-masjid,'' kata Soegijanto. Ia pun kemudian mendapat angka. Dari 15 masjid di Bandung dan Jakarta yang ia survei, hampir 90 persen sound system-nya ia nyatakan buruk.
Pada umumnya, kata dia, suara di masjid itu tidak jelas dan menggema. Penyebabnya, bahan bangunan masjid terbuat dari bahan keras sehingga suara dari sound system di masjid mental. Misalnya, bangunan itu terbuat dari keramik, marmer, dan beton. Bentuk kubah juga memengaruhi kualitas tata suara. Pada umumnya bentuk kubah masjid bisa menyebabkan suara terpantul, menggema, atau suara tidak merata,'' ujar pria yang lahir 5 Maret 1938 itu. Akibat tata suara yang buruk, jamaah akan menerima informasi yang tidak lengkap dari penceramah di masjid.
Soegijanto menyurvei kualitas sound system masjid sejak tahun 2000. Ia mengajukan proposal penelitian ke Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas dan memperoleh dana hibah. Judul penelitian yang diajukan adalah Masalah Akustik Masjid di Indonesia. ''Penelitian tentang akustik di Indonesia, sekarang terus berkembang. Apalagi sekarang sudah ada software yang bisa digunakan untuk meneliti secara simulasi. Jadi penelitiannya bisa lebih mudah,'' kata dia.
Namun, kata dia, untuk terus mengembangkan penelitian tentang akustik itu pihaknya memiliki berbagai kendala. Pasalnya, banyak peralatan yang dibutuhkan untuk mengembangkan penelitian lebih lanjut tidak tersedia di laboratorium ITB karena harganya sangat mahal. ''Terkadang, dalam melakukan pengembangan penelitian kami terhambat oleh fasilitas. Namun, kami selalu berupaya untuk mengembangkan penelitian dengan menggunakan fasilitas yang ada,'' ujar guru besar dari Teknik Fisika TB itu.
Soegijato melakukan survei akustik masjid lantaran banyak permintaan kepada diriya untuk menata ulang tata suara masjid. ''Saya memperbaiki sistem suara di masjid sejak 1980-an. Awalnya, banyak masyarakat yang akan membangun masjid atau merenovasi sistem suara datang ke saya untuk meminta konsultasi,'' ujar suami dari almarhumah Seneng Handayani. Bukan hanya masjid di Bandung dan Jakarta yang ia tangani. Masjid di Padang pun terkena sentuhan tangan dan idenya.
Pada zaman 80-an, kata dia, pakar yang peduli masalah tata suara di ruangan belum terlalu banyak. Namun, saat ini di ITB pakar akustik sudah cukup banyak. ''Selain memperbaiki sistem suara masjid, saya juga menangani pengaturan suara di gedung-gedung. Namun, yang paling mengesankan pada saat menangani Usmar Ismail Hall, saya memperoleh apresiasi yang baik dari Adie MS yang tampil dengan Twilite Orchestra-nya,'' kata dia. Sasana Budaya Ganesha, ruang sidang utama Gedung MPR/DPR, juga dia yang menangani akustiknya.
Untuk memperbaiki kualitas suara, kata dia, tidak harus mengubah bentuk bangunan meskipun buruknya tata suara seringkali terjadi karena kesalahan bentuk bangunan. Cara yang dilakukan untuk memperbaiki tata suara itu, kata dia, adalah dengan melindungi dinding dengan kayu lapis, glass wool, menyemprotkan acoustic spray untuk menyerap suara. Bahan-bahan yang akan digunakan tergantung bahan bangunan dan kebutuhan keras lembutnya suara.
Ketertarikan pada dunia fisikalah yang mengantarkan Soegijanto menekuni seluk-beluk akustik. Pria yang memiliki hobi membaca ini mencintai fisika, sejak menginjak bangku SMA. Rumus-rumus fisika dianggap Soegijanto sebagai tantangan untuk dipecahkan. Setelah kuliah di ITB, kata dia, dirinya lebih tertarik untuk belajar teknik fisika.
''Saya lebih tertarik ke teknik fisika karena tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Misalnya tata suara, teknik cahaya, dan teknik dalam bangunan pasti akan kita jumpai jadi. Saya senang kalau ilmu yang saya peroleh bisa digunakan untuk memecahkan masalah sehari-hari,'' kata pria yang memiliki cita-cita jadi insinyur sejak kecil itu.
Masyarakat di Indonesia, kata pria yang pernah belajar di Purdue University USA itu, saat ini sudah cukup sadar dengan perlunya tata suara yang baik pada sebuah ruangan. Penataan suara yang baik, sudah menjadi kebutuhan semua masyarakat sehingga tuntutannya besar. Namun, ada satu hal yang disayangkannya. Yaitu, masih banyak masyarakat yang membangun gedung konser tidak menggunakan pakar dalam negeri, melainkan dari luar negeri. ''Untuk masa yang akan datang, saya punya obsesi masyarakat Indonesia mau bangga dengan kemampuan bangsa sendiri. Jadi, pada saat akan membuat tata suara gedung yang baik, masyarakat tidak mendatangkan pakar dari luar negeri.
Pakar dari dalam negeri juga mampu membuat tata suara yang baik,'' tegasnya. Kalau pakar yang digunakan didatangkan dari luar negeri, kata dia, otomatis bahan-bahan yang digunakan untuk menghasilkan suara yang baik menggunakan bahan impor. Padahal, bahan dari dalam negeri sudah banyak dan kualitasnya cukup baik. n kie
( )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar