Sabtu, 19 April 2008

RESENSI

Biografi Terbesar dalam Sejarah Indonesia
KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Senin, 3 Maret 2008 | 04:36 WIB

ASVI WARMAN ADAM

Karya Harry Poeze yang judulnya berarti Dihujat dan Dilupakan: Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia 1945-1949 sungguh luar biasa dari segi kuantitas dan kualitas. Terdiri atas tiga jilid setebal 2.194 halaman, buku ini bukan saja menggunakan dokumen Indonesia dan Belanda, tetapi juga arsip Rusia. Ini merupakan biografi terbesar dalam sejarah modern Indonesia.

Buku ini merupakan kelanjutan dari disertasi Harry A Poeze mengenai Tan Malaka tahun 1976 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi dua jilid. Jilid pertama berjudul Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 yang terbit tahun 1988, tetapi dilarang beredar setahun kemudian. Sepuluh tahun kemudian terbit jilid kedua berjudul Pergulatan Menuju Republik 1925-1945.

Masing-masing buku memiliki ketebalan lebih dari 400 halaman. Kalau dihitung total halaman, tulisan Poeze mengenai Tan Malaka menjadi lebih dari 3.000 halaman.

Pejuang antikolonialisme

Sutan Ibrahim Gelar Datuk Tan Malaka lahir di Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, tahun 1896. Ia menempuh pendidikan Kweekschool di Bukittinggi sebelum melanjutkan pendidikan ke Belanda. Pulang ke Indonesia tahun 1919 ia bekerja di perkebunan Tanjung Morawa, Deli.

Penindasan terhadap buruh menyebabkan ia berhenti dan pindah ke Jawa tahun 1921. Ia mendirikan sekolah di Semarang dan kemudian di Bandung. Aktivitasnya menyebabkan ia diasingkan ke negeri Belanda. Ia malah pergi ke Moskwa dan bergerak sebagai agen komunis internasional (Komintern) untuk wilayah Asia Timur. Namun, ia berselisih paham karena tidak setuju dengan sikap Komintern yang menentang pan-Islamisme.

Ia berjuang menentang kolonialisme ”tanpa henti selama 30 tahun” dari Pandan Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri, Surabaya, sampai Amsterdam, Berlin, Moskwa, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon, Bangkok, Hongkong, Singapura, Rangon, dan Penang. Ia sesungguhnya pejuang Asia sekaliber Jose Rizal (Filipina) dan Ho Chi Minh ( Vietnam).

Tan Malaka adalah tokoh pemikir sekaligus eksekutor gagasannya. Ide-ide cemerlangnya lahir di dalam penjara atau di tengah kekejaman pendudukan Jepang. Buku Madilog, misalnya, disusun dengan membaca literatur di perpustakaan nasional Jakarta dan membandingkan dengan pengalamannya sendiri berpuluh tahun di mancanegara.

Ia tidak setuju dengan rencana pemberontakan PKI yang kemudian meletus tahun 1926/1927 sebagaimana ditulisnya dalam buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia, Kanton, April 1925 dan dicetak ulang di Tokyo, Desember 1925). Perpecahan dengan Komintern mendorong Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, Juni 1927.

Walaupun bukan partai massa, organisasi ini dapat bertahan sepuluh tahun; pada saat yang sama partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan mati. PARI dianggap berbahaya oleh intel Belanda dan aktivisnya diburu. Selama satu dekade PARI mengembangkan sel mereka di kota-kota penting dan di daerah seperti Cepu, Wonogiri, Kediri, Sungai Gerong, Palembang, Medan, Banjarmasin, dan Riau.

Perjuangan Tan Malaka yang bersifat lintas bangsa dan lintas benua telah diuraikan secara rinci dalam dua jilid biografi yang ditulis Poeze. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang surut. Ia memperoleh testamen dari Bung Karno untuk menggantikan apabila yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya.

Namun, tahun 1948, Tan Malaka dikenal sebagai penentang diplomasi dengan Belanda yang dilakukan dalam posisi merugikan Indonesia. Ia memimpin Persatuan Perjuangan yang menghimpun 141 partai/organisasi masyarakat dan laskar, menuntut agar perundingan baru dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia seratus persen.

Tahun 1949 Tan Malaka ditembak. Tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno mengangkat Tan Malaka sebagai pahlawan nasional. Namun, sejak era Orde Baru, namanya dihapus dalam pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah walau gelar pahlawan nasional itu tidak pernah dicabut. Adalah kebodohan rezim Orde Baru menganggap Tan Malaka sebagai tokoh partai yang dituduh terlibat pemberontakan beberapa kali. Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI tahun 1926/1927. Ia sama sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Bahkan, partai yang didirikan tanggal 7 November 1948, Murba, dalam berbagai peristiwa berseberangan dengan PKI.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur berdasarkan serangkaian wawancara yang dilakukan pada periode 1986 sampai dengan 2005 dengan para pelaku sejarah yang berada bersama-sama dengan Tan Malaka tahun 1949. Dengan dukungan dari keluarga dan lembaga pendukung Tan Malaka, sedang dijajaki kerja sama dengan Departemen Sosial Republik Indonesia untuk memindahkan kuburannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Tentu untuk ini perlu tes DNA, misalnya. Tetapi, Depsos dan Pemerintah Provinsi Jatim harus segera melakukannya sebelum masyarakat setempat secara sporadis menggali dan mungkin menemukan tulang belulang kambing yang bisa diklaim sebagai kerangka jenazah sang pahlawan nasional.

Temuan baru

Banyak penemuan baru yang terdapat dalam buku Tan Malaka yang terakhir ini. Sejarah revolusi Indonesia tahun 1945-1949 seperti diguncang untuk ditinjau ulang. Peristiwa Madiun 1948 dibahas sebanyak 300 halaman. Poeze menggunakan arsip Komintern yang terdapat di Moskwa.

Ia menolak tulisan Efimova, ”Who Gave Instructions to The Indonesian Communitst Leader Musso in 1948”, yang cenderung menganggap Moeso bergerak sendiri tanpa arahan Rusia. Selama ini dikesankan bahwa itu adalah gerakan lokal yang diangkat Soekarno-Hatta sebagai peristiwa nasional agar RI mendapatkan dukungan internasional, terutama dari Amerika Serikat. Menurut Poeze, pada masa itu hierarki dalam partai komunis masih sangat kuat sehingga mustahil kegiatan lokal di Madiun tanpa restu politbiro PKI.

Sebelum peristiwa itu meletus, Setiadjid dan Wikana diutus menemui Soemarsono. Ini berbeda dengan situasi tahun 1965, di mana manuver biro khusus PKI tidak diketahui oleh semua pucuk pimpinan partai tersebut.

Poeze juga mengulas long march orang-orang kiri pascaperistiwa Madiun yang jarang disinggung dalam sejarah Indonesia. Tidak kurang dari 500 kilometer jarak ditempuh ribuan orang selama dua bulan dari Madiun ke arah Pacitan, lalu ke Utara, sebelum akhirnya mereka, antara lain Amir Sjarifuddin, ditangkap di wilayah perbatasan yang dikuasai tentara Belanda.

Ia juga menemukan arsip menarik tentang Soeharto. Selama ini sudah diketahui bahwa Soeharto datang ke Madiun sebelum meletus pemberontakan. Soemarsono berpesan kepadanya bahwa kota itu aman dan agar pesan itu disampaikan kepada pemerintah. Poeze menemukan sebuah arsip menarik di Arsip Nasional RI bahwa Soeharto pernah menulis kepada ”Paduka Tuan” Kolonel Djokosoejono, komandan tentara kiri, agar beliau datang ke Yogya dan menyelesaikan persoalan ini. Soeharto menulis ”saya menjamin keselamatan Pak Djoko”. Dokumen ini menarik karena ternyata Soeharto mengambil inisiatif sendiri sebagai penengah dalam peristiwa Madiun.

Harry Poeze telah menemukan lokasi tewasnya Tan Malaka di Jawa Timur. Lokasi tempat Tan Malaka disergap dan kemudian ditembak adalah Dusun Tunggul, Desa Selopanggung, di kaki Gunung Wilis. Penembakan itu dilakukan oleh Suradi Tekebek atas perintah Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya. Pada masa selanjutnya, Soekotjo pernah menjadi Wali Kota Surabaya dan terakhir berpangkat brigjen, meninggal tahun 1980-an.

Dalam penelitiannya Poeze juga memanfaatkan foto-foto sejarah. Rapat raksasa di lapangan Ikada (sekarang lapangan Monas) Jakarta, 19 September 1945, yang dihadiri 15.000 orang dari seputar Jakarta merupakan momen historis penting. Walau Indonesia sudah merdeka, peralihan kekuasaan belum terlaksana. Tentara Jepang masih memegang senjata dan mengancam jika rakyat mengadakan rapat lebih dari lima orang. Rapat raksasa di lapangan Ikada itu dirancang pemuda untuk memperlihatkan dukungan rakyat kepada proklamasi. Soekarno ragu untuk menghadiri rapat tersebut karena khawatir tentara Jepang melakukan penembakan massal terhadap penduduk. Rapat itu akhirnya berlangsung dan Soekarno berpidato beberapa menit.

Poeze sempat memeriksa foto-foto tentang peristiwa itu. Ia menemukan seseorang yang memakai helm di dekat Bung Karno ketika berpidato. Bahkan, pada salah satu foto, Soekarno dan orang itu berjalan berdampingan. Setelah membandingkan berbagai foto itu, Poeze berkesimpulan bahwa lelaki berhelm itu adalah Tan Malaka. Lelaki itu lebih pendek dari Soekarno dan ukurannya di foto ternyata cocok karena tinggi Soekarno adalah 1,72 meter dan Tan Malaka 1,65 meter.

Asvi Warman Adam Ahli Peneliti Utama LIPI

Senin, 14 April 2008

CERUTU

"Nyigar", Gaya Itu Nikmat, "Cuy"...
KOMPAS/ALIF ICHWAN / Kompas Images

Cerutu dari berbagai merek dan jenis dapat dijumpai di rumah cerutu Havana di Hotel Grand Hyatt, Jakarta, Jumat (11/4). Pemilik rumah cerutu Havana, Lydia Tamboto, menyediakan cerutu dengan harga yang bervariasi.

Sabtu, 12 April 2008 | 02:27 WIB

Bisnis gaya-gaya-an atau sebutlah gaya hidup selalu cerdik menggelitik hasrat calon ”korban”-nya. Pasar senantiasa dipancing untuk tiru-meniru. Suatu gaya hidup yang awalnya mungkin hanya bisa dijangkau pasar teratas, biasanya lama-kelamaan diiming-imingkan pula ke pasar kebanyakan. Kali ini jualannya adalah cerutu.

Dulu, cigar lounge atau bilik untuk membeli dan menikmati cerutu umumnya hanya bertempat di hotel-hotel berbintang lima. Hanya kalangan yang sangat terbatas saja yang boleh jadi cukup pede untuk mendekati dan memasuki tempat semacam ini.

Penempatan lounge seperti itu saja sudah secara implisit menciptakan jarak psikologis yang kentara antara pasar kebanyakan yang ngepop dan pasar yang sangat eksklusif.

Beberapa tahun belakangan, jarak itu mulai dikikis seiring itikad pelaku bisnis gaya hidup untuk merengkuh pasar yang lebih luas. Cigar lounge mulai muncul di tempat-tempat yang lebih ngepop untuk juga menyasar pasar kelas menengah. Tengok saja di Cilandak Town Square alias Citos di Jakarta Selatan.

Di tempat favorit anak muda nongkrong itu ada Connoisseur Wine and Cigar Lounge yang tampil lebih akrab. Dalam lounge yang berdinding muka dari kaca itu, para penikmat cerutu seolah seperti pajangan hidup dalam etalase gaya hidup yang efektif memancing pengunjung yang berseliweran di Citos untuk ikut-ikutan nyigar (mengisap cigar).

Istilah itu—seperti halnya ngewine—terbentuk begitu saja. Istilah semacam itu mulai lazim terdengar di antara celotehan kaum urban di Jakarta.

Lanny Permadi dari Connoisseur mengakui, lokasi lounge-nya itu cukup strategis dan efektif untuk menularkan gaya hidup nyigar. Sebab, tempat seperti Citos merupakan tempat yang pas bagi orang-orang untuk melihat-lihat dan dilihat. Tentunya akan beda jika nyigar di cigar lounge di hotel berbintang lima yang kecil kemungkinannya jadi tontonan lebih massal.

Hendra (21), misalnya, mengaku awalnya tertarik nyigar setelah berjalan-jalan di Citos dan melihat orang-orang yang nongkrong di Connoisseur tengah asyik nyigar. Menyaksikan itu, mahasiswa di Universitas Bina Nusantara ini pun tertarik. Dia pun lantas teringat tokoh-tokoh mafia di film-film Hollywood yang tampil perlente ngemut cerutu.

”Kelihatannya keren gitu.... Mengisap cerutu itu pembawaannya beda, kelihatan lebih berkelas,” ungkap Hendra.

Irfan (24), seorang disc jockey alias DJ, juga berpendapat serupa. Kesan berkelas pada cerutu yang membuatnya juga tertarik untuk mulai menikmati cerutu sejak dua tahun lalu.

”Saya yakin bakal jadi tren deh di Jakarta pada tahun-tahun mendatang. Sudah kelihatan sejak tahun lalu, kok. Apa-apa yang gaya kan cepat diserap anak muda biasanya,” kata Irfan.

Menurut Irfan, tren nyigar merupakan dampak ikutan dari tren minum anggur (wine) di kalangan muda sejak beberapa tahun lalu. Sebab, wine lounge yang marak muncul di berbagai sudut Ibu Kota juga menyertakan cerutu dalam dagangannya.

Gejala pasar dari kalangan muda kelas menengah, yang mudah dipengaruhi itu, juga diakui Lanny. ”Kelas menengah cenderung mudah dan cepat menyerap gaya hidup. Terutama seperti eksekutif muda yang mulai ingin eksis. Karena itu, kami serius menggarap pasar muda untuk cigar ini,” kata Lanny.

Cigar lounge lainnya yang tampil di lokasi ngepop ada di Plaza Senayan, yaitu Mojito Cocktails, Wine, and Cigar Lounge. Lokasinya yang tepat berdampingan dengan arena bermain boling tentu efektif menjerat pasar kalangan muda.

Nama Mojito itu sendiri merupakan jenis cocktail khas Kuba, negeri yang teramat identik dengan cerutu dan asal cerutu berkualitas. Mojito standar biasanya campuran dari rum, lime juice, daun mint, air soda, dan potongan jeruk limau. Di kelab ini, mojito dalam berbagai variasi menjadi minuman andalan.

Anggun, staf di Mojito, mengatakan, lokasi Mojito tersebut memang menjadi lebih mudah diakses kalangan muda, bahkan abege usia belasan tahun.

”Sering juga kalau siang, anak-anak SMA pulang sekolah nyigar di sini,” tutur Anggun.

Bahkan, kadang kala anak-anak abege itu membeli satu cerutu untuk diisap bareng bergiliran. Ketika satu cerutu tak habis diisap, cerutu itu malah dibelah dan diburaikan isinya untuk sekadar diremas-remas. Untungnya cerutu yang dibeli harganya hanya puluhan ribu rupiah saja.

”Tetapi kadang mereka minta cerutu Kuba juga lho, biar kayak mafia katanya. Mereka sebenarnya enggak dapat nikmatnya nyigar, kan yang penting gaya cuy,” celoteh Dinie, staf Mojito.

Harga terjangkau

Selain faktor lokasi, memancing pasar muda kelas menengah juga ditentukan oleh ketersediaan cerutu-cerutu yang harganya relatif terjangkau kantong mereka.

Biasanya, cerutu diulas habis seperti halnya benda itu ingin diulas, yaitu dalam atmosfer yang serba berkelas. Cerutu senantiasa diidentikkan dengan kemapanan, yang lazimnya dicapai dalam proses waktu yang tak sekejap.

Maklum, satu batang cerutu saja seharga ratusan sampai jutaan rupiah. Tak heran, penikmat cerutu didominasi oleh kalangan berumur dan tentunya berkelebihan materi. Kebiasaan itu disikapi sebagai bagian dari ritual penghargaan terhadap pencapaian duniawi mereka.

Namun, kesan berkelas dari cerutu itu sah-sah saja dibuat lebih ngepop dalam dunia konsumsi. Toh, hal itu bermanfaat pada tingkat pemasaran. Selain itu, dalam dunia konsumsi, mengader konsumen baru menjadi penting. Dengan demikian, pada saat konsumen itu telah pada tahap lebih mapan, dia telah terdidik seleranya. Selanjutnya, selera itu menggiringnya pada pilihan produk premium yang lebih mahal.

Hal itulah yang diharapkan pelaku bisnis gaya hidup. Lanny menuturkan, jika seseorang sejak muda sudah mengenal cerutu—meskipun belum yang berkualitas premium—pada akhirnya ketika di usia tua dan mapan, dia akan mengonsumsi cerutu yang berkualitas premium dan mahal.

Untuk itulah di Connoisseur tersedia pula cerutu-cerutu dengan harga yang lebih terjangkau. Andre, staf di Connoisseur, menyebutkan, cerutu yang tersedia mulai seharga empat puluhan ribu sampai sekitar tiga ratus ribu rupiah.

Stroberi

Para pemula umumnya mencoba cerutu-cerutu yang berkategori ringan. Mereka pun pada awalnya meminta arahan dari staf di kafe, mulai dari cara menyalakan cerutu sampai cara mengisap.

”Jadi, karyawan kami juga harus pandai-pandai memberi semacam kursus nyigar singkat untuk pemula,” imbuh Lanny.

Baik Connoisseur maupun Mojito menyediakan cerutu asal Kuba dengan harga Rp 200.000 sampai Rp 300.000 per batangnya. Tersedia pula cerutu dari negara-negara lain seperti Belanda, Dominika, sampai Swiss.

Cerutu buatan Indonesia pun turut dijual, seperti keluaran Wismilak dan Djarum yang memakai merek Dos Hermanos. Namun, cerutu asal Indonesia ini justru kurang disambut kalangan muda yang mulai doyan nyigar meski harganya cukup terjangkau.

”Mereka maunya tetap yang impor, tetapi murah. Mungkin kesannya lebih gaya barangkali,” ujar Dinie yang kerap mengamati perilaku anak-anak muda yang tengah nyigar di Mojito.

Sementara di Connoisseur, cerutu buatan Indonesia bikinan Djarum digemari penikmat cerutu dari kalangan ekspatriat.

Di Mojito bahkan tersedia pula cerutu berukuran langsing yang diperuntukkan untuk pasar perempuan. Merek Tatiana, misalnya, ukurannya sedikit lebih gemuk dan lebih panjang dibandingkan rokok. Harganya pun cukup Rp 22.500 per batang.

Serupa Tatiana, di Connoisseur tersedia cerutu langsing bermerek Tycoon. Bahkan, cerutu ini juga berfilter. ”Ini buat perempuan yang baru mulai nyigar,” kata Andre.

Ciri khas lain penikmat cerutu yang ngepop adalah menggemari cerutu yang beraneka rasa serupa permen. Mulai dari stroberi, peach, vanila, cokelat, sampai kopi.

Jadi, kalau bertanya pada pasar ngepop ini soal apa sih nikmatnya mengisap cerutu, jawabannya kira-kira: gaya itu nikmat, cuy! (Sarie Febriane)

Selasa, 08 April 2008

Keuletan Antar Nawi Hinggap di Jepang


Selasa, 8 April 2008 | 01:29 WIB

Buyung Wijaya Kusuma

Laox, sebuah toko elektronik bebas pajak di kawasan Akihabara, Tokyo, bisa jadi surga dunia bagi orang Indonesia yang suka berburu barang elektronik keluaran terkini. Namun, yang juga menarik perhatian karena salah satu manajernya berwajah melayu. Dia adalah Agus Nawi Rahmat Shagir, perantau asal Indonesia.

Nawi, panggilan akrab untuk laki-laki kelahiran Palopo, Sulawesi Selatan, itu tidak mudah untuk mencapai posisi jabatan tersebut di Jepang. Apalagi bagi orang asing di Jepang karena di negara sakura persaingan bagi karyawan lokal saja sudah sangat ketat.

Nawi sadar betul mengadu nasib di negeri orang, apalagi di Jepang, tidak bisa cuma dengan bermodalkan keberuntungan. Untuk itu, dia sadar harus belajar banyak dan bekerja keras, terutama dalam beradaptasi pada etos kerja orang negeri matahari terbit, yang bekerja tanpa henti.

Pada bulan-bulan pertama hidup di Jepang dia nyaris tidak tidur, hampir seluruh waktunya dihabiskan untuk kerja mencari uang untuk makan dan menutupi biaya kursus. Selain itu, selepas kerja harus ikut kursus bahasa dan budaya Jepang, bahkan terus belajar di rumah saat orang-orang sudah terlelap.

Saat berbincang di salah satu gerai Starbucks Coffee di kawasan UENO, Tokyo, Nawi bercerita mengenai impiannya untuk bekerja di Jepang sudah tumbuh sejak masih duduk di bangku SMP. Kala itu, orangtuanya yang baru pulang sekolah pertanian di Jepang menceritakan banyak hal yang menarik mengenai budaya negara tersebut.

Impian itu ternyata tertanam terus hingga menyelesaikan kuliah di Jurusan Sastra Arab, Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, pada tahun 1992. Setelah menggondol ijazah S-1, Nawi justru terbang ke Cairo, Mesir, untuk memperdalam bahasa Arab.

Sepulang dari Cairo, dia tidak berniat kembali bekerja di Tanah Air. Apalagi dia menyadari waktu itu negara Indonesia masih mengalami krisis ekonomi sehingga berinisiatif untuk tidak menambah jumlah pengangguran.

Berbekal kemampuan bahasa Arab, dia kemudian mencari pekerjaan di Riyadh, Arab Saudi. Selama dua tahun dia menjadi karyawan di salah satu perusahaan suplier produk Unilever.

Meskipun sudah mapan di Arab Saudi, impian untuk ke Jepang belum sirna. Oleh karena itu, dia mengambil kursus-kursus singkat mengenai ilmu pemasaran. Ilmu tersebut sekaligus membantu pekerjaannya di Riyadh karena dipercayakan untuk memasok barang Unilever untuk daerah Riyadh.

Nawi kemudian balik ke Indonesia dan bekerja di pabrik tas sebagai eksportir, lalu pindah lagi ke perusahaan importir di Jakarta. Ketika di Indonesia, dia mengaku hanya sempat menjadi asistant manager export-import pada perusahaan tempat dia bekerja.

Kemudian pada awal Desember 2000, barulah ayah satu anak perempuan ini menginjakkan kaki di Tokyo, Jepang. Sebagai orang Indonesia yang baru datang di Jepang, Nawi harus memulai hidup seperti tenaga kerja Indonesia yang ijazah dan segala pengalaman kerja tidak dihargai karena tak memiliki kemampuan berbahasa Jepang.

Awalnya, dia harus kerja di restoran cepat saji untuk menutupi biaya sehari-hari karena waktu itu kemampuan berbahasa Jepangnya masih nol besar. Sambil bekerja, Nawi masuk kursus berbahasa Jepang dengan kelas intensif selama setahun dan sorenya tetap ambil part time.

”Waktu itu saya hanya kerja, dan sisa waktu lebih banyak digunakan untuk belajar bahasa Jepang. Tidak ada pilihan lain kalau mau mengubah nasib karena rencana untuk hidup di Jepang, prioritas pertama adalah harus bisa berbahasa Jepang,” ujar Nawi.

Tak ada istirahat

Saat-saat awal di Jepang, hampir tak ada waktu istirahat karena harus bekerja part time dan kursus bahasa Jepang. Sepulang kerja, kursus bahasa Jepang, setelah itu kerja lagi agar bisa menutupi biaya hidup dan kursus bahasa Jepang.

Setahun setelah kursus bahasa Jepang, ternyata tidak juga membuat jalan untuk menjadi karyawan perusahaan Jepang menjadi lapang. Kalaupun ada pekerjaan, masih menjadi karyawan paruh waktu yang tidak bergaji tetap.

Nawi kemudian memberanikan diri melamar pekerjaan pada perusahaan trading, Orion Co Ltd, Tokyo. Setelah diterima bekerja, dia masih merasa belum puas karena sulit berkembang di perusahaan tersebut.

Namun, Nawi sudah merasakan bagaimana menjadi orang kantoran. Pekerjaan makin banyak dan tanggung jawab terus bertambah. Ini membuat ia terlambat tiba di rumah, padahal besok paginya harus berangkat kerja lagi.

Dia kemudian menyadari hambatan yang dihadapi untuk berkembang karena kemahiran berbahasa Jepang yang diperoleh di bangku kursus masih sangat kurang. Oleh karena itu, dia kembali menjadi tenaga part time di Laox Co Ltd untuk memperlancar bahasa Jepang sebagai sales karena bisa langsung berkomunikasi langsung dengan pelanggan.

Keuletan Nawi bekerja di Laox Co Ltd selama satu tahun kemudian berbuah positif. Dia diangkat menjadi karyawan tetap pada bulan April 2004.

Menjadi karyawan tetap tidak membuat dia puas, Nawi tetap berusaha untuk berbuat yang terbaik. Kemudian setelah dua tahun lebih sebagai karyawan biasa di perusahaan ini, dia diberi tanggung jawab sebagai manajer pada bulan Agustus 2006 sampai sekarang.

Menyinggung soal peluang kerja untuk orang Indonesia di Jepang, Nawi mengatakan sebenarnya banyak, sama seperti di negara lain.

Menurut Nawi, kualitas SDM Indonesia tidak buruk, hanya saja kalau di Indonesia lingkungannya terbiasa santai.

Nawi bukan hanya mendapatkan posisi yang mapan dalam pekerjaannya di Jepang, tetapi juga menyunting gadis Jepang. Bahkan, saat ini, dia sudah memiliki buah hati dari perkawinannya itu. ”Hidup di tengah orang keluarga Jepang tidaklah susah karena budaya mereka dan budaya orang Indonesia tak jauh beda,” ujar Nawi.

Yang patut dicontoh dari kehidupan keluarga Jepang, katanya, adalah kepiawaian kaum ibu membuat perencanaan rumah tangga. Mereka selalu mempertahankan rencana sampai tujuan tercapai. Dalam dunia kerja dikenal team work sekaligus selalu tetap berusaha untuk mencapai target.

Meski memperoleh sukses di Jepang, Nawi mengaku tak pernah lupa kampung halaman. Selalu ada keinginan untuk pulang. Kapan? Ia tidak menjawab.

Selasa, 01 April 2008

TAJUK RENCANA

Selasa, 1 April 2008 | 00:44 WIB

Bangsa Butuh Solusi

Pola relasi DPR dan Presiden mulai digugat. Efektivitas sistem presidensial yang dinyatakan dalam konstitusi juga mulai dipertanyakan.

Sejumlah ahli politik dan hukum tata negara menengarai bahwa ketidakjelasan sistem presidensial dalam undang-undang dan parlementer dalam praktik ikut memicu lahirnya sistem pemerintahan oleh parlemen. Penolakan DPR terhadap calon gubernur Bank Indonesia yang diajukan Presiden menunjukkan pemerintahan presidensial, tetapi dilaksanakan oleh parlemen.

Perubahan UUD 1945 telah mendesain sebuah pemerintahan presidensial yang kuat. Namun, Perubahan UUD 1945 juga mencegah hadirnya seorang presiden yang bisa bertindak sewenang-wenang. Penguatan sistem presidensial itu ditunjukkan dengan pasal yang mengatur soal pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung; masa jabatan presiden yang tetap, serta pemakzulan presiden melalui proses politik yang tidak mudah. Adapun kontrol hadirnya presiden yang bisa berkuasa begitu lama, seperti pada era Orde Baru, sudah dibatasi dengan masa jabatan yang ditetapkan selama dua periode.

Kita melihat ada dua hal yang ikut membuat ketidakjelasan sistem presidensial-parlementer yang berjalan selama ini. Pertama, munculnya undang-undang di bawah konstitusi yang mereduksi sistem presidensial itu sendiri. Kedua, praktik politik politisi di DPR dan juga termasuk presiden.

Lahirnya sejumlah undang-undang yang mengharuskan seleksi pejabat publik meminta persetujuan DPR, misalnya pemilihan Panglima TNI, Kepala Polri, dan Gubernur Bank Indonesia, jelas merupakan reduksi atas kekuasaan presiden dalam bidang pemerintahan. Dalam konteks untuk memurnikan sistem presidensial, keharusan seleksi pejabat publik yang melibatkan DPR sebagai pemberi kata akhir, yang keharusan itu tak tercantum dalam konstitusi, perlu dipikirkan ulang.

Hal kedua yang kita ingin sampaikan adalah praktik politik DPR, termasuk Presiden. Sesuai konstitusi, Presiden mempunyai hak mengangkat menteri dan memberhentikan menteri. Namun, dalam praktiknya, Presiden yang mendapatkan dukungan 62 persen suara rakyat masih harus berkompromi dengan partai politik dalam pembentukan kabinet. Penunjukan menteri juga didasarkan pada keterwakilan parpol yang mewujud dalam sebuah koalisi besar. Namun, dalam praktiknya, menteri-menteri itu tidak disiplin dalam menjaga barisan koalisi.

Problem legal dan praktikal memang ada dan itu harus diselesaikan. Namun, kita mau mengajak elite bangsa ini memahami sulitnya kondisi rakyat yang diterpa krisis global. Kemiskinan yang akut, merosotnya daya beli masyarakat, belum terjawabnya masalah pengangguran, adalah sebuah masalah yang patut menjadi perhatian para wakil rakyat. Sensibilitas politik diperlukan.

Kuasa wicara, the power of speech, yang dimiliki DPR, harus didedikasikan untuk meningkatkan martabat mereka yang memilihnya, yaitu rakyat. Solusi untuk rakyat lebih diharapkan daripada suatu kontradiksi!

***


Dith Pran, Sang Pejuang Kamboja



Selasa, 1 April 2008 | 00:49 WIB

Pantang menyerah adalah prinsip hidup Dith Pran (65), wartawan foto New York Times, saksi hidup kekejaman rezim Khmer Merah di Kamboja tahun 1975-1979. Prinsip itulah yang mengantarkan Dith bertahan dari kelaparan dan siksaan pada masa itu.

Dith pun bertekad tidak akan menyerah pada kanker pankreas yang dideritanya sejak akhir tahun 2007. Namun, Dith akhirnya kalah dan menyerah pada penyakitnya. Dia meninggal dunia Minggu (30/3) pagi di Rumah Sakit New Brunswick, New Jersey, AS.

Adalah Dith yang pertama kali mencuatkan istilah killing field atau ladang pembantaian untuk menggambarkan tumpukan tulang-belulang korban kekejaman Khmer Merah yang dilihatnya saat berusaha membebaskan diri. Pengalaman hidupnya mendasari pembuatan film layar lebar berjudul The Killing Field (1984) yang menyabet tiga penghargaan Oscar. Film ini dibintangi Sam Waterston sebagai Sydney Schanberg, wartawan New York Times, dan Haing S Ngor, salah seorang korban Khmer Merah yang selamat, sebagai Dith Pran.

Dith lahir di Siem Reap, 27 September 1942. Mengenyam pendidikan bahasa Inggris dan Perancis, dia bekerja sebagai penerjemah bagi para pejabat AS di Phnom Penh, ibu kota Kamboja.

Tahun 1972, Dith bertemu Schanberg. Mereka bekerja bersama untuk meliput perang sipil Kamboja, konflik yang meluber dari Vietnam. Laporan Schanberg mengenai perang itu mendapat penghargaan Pulitzer tahun 1976.

”Pran adalah saudara saya, itulah cara kami saling memanggil. Kami memiliki misi yang sama, yaitu untuk mengatakan kepada dunia apa yang terjadi dengan rakyat Kamboja,” kata Schanberg.

Mereka terpisah saat Dith dibawa ke kamp di pedesaan Kamboja yang dikenal sebagai ladang pembantaian tersebut. Selama empat tahun dia menderita kelaparan dan siksaan. Dia kemudian berhasil melarikan diri ke kamp pengungsi di perbatasan Thailand tahun 1979.

Begitu mengetahui Dith berada di Thailand, Schanberg segera terbang ke negara itu untuk menemuinya. Dith kemudian pindah ke Amerika Serikat dan mulai bekerja untuk New York Times sebagai fotografer lepas.

Dith selalu menyuarakan tentang genosida Kamboja dan berkampanye untuk membawa para mantan petinggi Khmer Merah ke pengadilan. Dia memimpin organisasi Proyek Penyadaran Holocaust Dith Pran untuk memberi pengetahuan mengenai periode gelap Kamboja. Dith juga ditunjuk sebagai Duta Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Semasa rezim Khmer Merah, Dith kehilangan ayah, tiga saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Keluarganya yang berhasil selamat antara lain rekannya, Bette Parslow; mantan istrinya, Meoun Ser Dith; saudara perempuannya, Samproeuth Dith Nop; tiga anak laki-laki, Titony, Titonath, Titonel; anak perempuan Hemkarey Dith Tan; enam cucu; dan dua cucu tiri.

”Sebagian hidup saya adalah menyelamatkan kehidupan. Saya hanyalah pembawa pesan. Jika Kamboja ingin bertahan hidup, dia memerlukan banyak suara,” kata Dith suatu kali.

Sebagai wartawan foto, rekan- rekannya menilai Dith sebagai pahlawan. ”Bagi kami semua yang pernah bekerja sebagai wartawan asing di tempat-tempat mengerikan, Pran mengingatkan kita tentang heroisme jurnalistik,” kata Pemimpin Redaksi New York Times Bill Keller.

”Pran adalah pejuang kebenaran dan pejuang rakyatnya,” kata Schanberg.

Mengenai penyakit yang merenggut jiwanya, Dith mengatakan, ”Orang Kamboja percaya kami hanya meminjam tubuh ini. Tubuh ini hanyalah rumah bagi jiwa, dan saat rumah itu sudah penuh rayap, saatnya untuk pergi.” (ap/afp/reuters/fro)