Minggu, 12 Oktober 2008

Haidar Bagir: Diperlukan Perubahan Paradigma



Minggu, 12 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Bre Redana

Sukses film ”Laskar Pelangi” dalam menarik jumlah penonton ke bioskop adalah juga kebanggaan untuk Mizan Publishing. Film yang diangkat dari buku karya Andrea Hirata itu diterbitkan September 2005 oleh Bentang, salah satu penerbit di bawah Mizan Publishing.

Kalau boleh terus terang, kesenangan sukses investasi (dalam film Laskar Pelangi) itu tidak sebanding dengan rasa senang bahwa film ini disukai orang,” kata Haidar Bagir (51), salah satu pendiri dan Presiden Direktur Mizan Publishing.

”Kami juga senang karena—istilah ’ge-er’-nya teman-teman (di Mizan)—film ini Mizan sekali. Dalam arti, ada unsur agamanya, tetapi menekankan pada akhlak, pendidikan yang tidak mengukur anak-anak dari nilai akademis seperti dikatakan Pak Harfan, kepala sekolah di film itu, concern pada kemiskinan, menghibur tetapi berkualitas,” tambah Ketua Yayasan Lazuardi Hayati yang mengelola sekolah Lazuardi di Cinere dan Sawangan (Depok), Cilandak, Jakarta Barat, Lampung, dan Solo itu.

Menurut Mira Lesmana yang bersama Mizan Publishing memproduksi film dengan sutradara Riri Riza ini, selama dua minggu pertama Laskar Pelangi sudah menyedot 1,5 juta penonton. Bukunya sendiri, menurut Haidar Bagir, sudah terjual 500.000-an kopi, sementara karangan Andrea Hirata yang lain, Sang Pemimpi dan Edensor, masing-masing terjual 300.000-an kopi, dan yang keempat, Maryamah Karpov, segera terbit. Keberhasilan Laskar Pelangi membuat Mizan Publishing mantap melangkahkan kaki masuk ke industri film dengan memproduksi Sang Pemimpi.

Buku bagus dan keberuntungan

”Menurut saya, keberhasilan buku ini adalah gabungan antara buku bagus, waktunya pas, dan juga keberuntungan,” jelas Haidar.

Bagaimana cerita penerbitan Laskar Pelangi?

Buku ini dikirim ke Bentang di Yogya oleh teman Andrea Hirata yang karyawan Telkom. Buku itu sempat beberapa hari tidak dibaca karena pikiran karyawan Telkom tidak biasa menulis buku. Ternyata isinya sangat menarik. Ketika ke Yogya, saya ditunjukkan naskah buku itu. Saya langsung bilang, terbitkan. Sudah dengan judul Laskar Pelangi.

Kami tahu buku ini bagus dan akan laku, tetapi tidak tahu bakal selaku ini. Lalu Andrea Hirata bertemu saya di Bandung, membicarakan kemungkinan memfilmkan cerita itu. Terus terang waktu itu saya tidak terlalu optimis. Buku sudah laku, tetapi belum meledak. Selain itu, Mizan Sinema (kemudian menjadi Mizan Production) baru berpengalaman membuat acara televisi. Mizan masuk layar lebar, apa mungkin?

Kemudian buku itu diangkat dalam acara Kick Andy (di Metro TV) dan meledak. Sebelumnya, buku-buku kami juga diangkat dalam acara itu, tetapi tidak meledak seperti Laskar Pelangi.

Bagaimana menjadi film?

Setelah buku meledak, kira-kira setahun lalu, mulai banyak sutradara menanyakan apakah akan difilmkan. Kami jadi optimis. Kami kontak Andrea dan dengan cepat memutuskan menyerahkan kepada Mira Lesmana dan Riri Riza karena mereka sukses menggarap Petualangan Sherina. Kami merasa cerita ini sedikit seperti film itu, ada menghiburnya, tetapi tidak kehilangan keindahan. Mizan tidak sendirian sebagai investor, saya mengajak Bachtiar Rachman, teman saya yang membikin sekolah Lazuardi Cordova di Jakarta Barat.

Keberuntungan Laskar Pelangi?

Keberuntungannya karena diangkat dengan sangat baik oleh Kick Andy, besok paginya sudah ada beberapa orang dari toko buku antre di depan gudang kami. Tetapi, tetap yang paling utama memang bukunya bagus.

Agama cinta

Perbincangan dengan Haidar berlangsung di toko buku sekaligus kantor Mizan Publishing di Jalan Puri Mutiara, Jakarta Selatan. Toko buku itu, demikian Haidar, lebih dimaksudkan sebagai tempat berkumpul dan berdiskusi berbagai komunitas, seperti musik, sastra, film, dan para ibu muda.

Tahun 1982, saat masih kuliah di Jurusan Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, bersama dua temannya Haidar mendirikan Mizan. Setahun kemudian mereka mulai menerbitkan buku. Kini, setelah seperempat abad, Mizan Publishing memiliki 12 unit usaha dan membagi saham untuk karyawan senior dan melalui koperasi.

Bila awalnya Mizan menerbitkan buku tentang agama, sejak tahun 1990 jenis buku yang diterbitkan diperluas. Buku agama saat ini 20 persen dari sekitar 1.000 judul per tahun. ”Mau cari buku resep masakan ada, buku tentang dekorasi, self help, sampai pendidikan,” tutur penerima penghargaan Best CEO 2008 versi majalah Swa ini.

Sikap dan pandangan hidup Haidar dalam mengembangkan pemikiran yang mengutamakan modernasi, rasionalitas, ilmu pengetahuan, serta pembangunan peradaban yang berkeadilan dan berorientasi sosial di atas landasan spiritual yang positif amat mewarnai Mizan.

”Kami tidak tertarik menerbitkan buku yang berhubungan dengan pendekatan syariah karena biasanya pendekatan hukum menyebabkan eksklusivisme. Bukan hanya antara orang Islam dengan orang di luar Islam, tetapi juga internal Islam sendiri. Atau buku yang memojokkan kelompok lain dari sudut pandang keagamaan.

”Sebaliknya, kami menerbitkan buku dari semua sumber. Ekstremnya, ada bukunya orang Muslim, buku yang ditulis pastor, dan juga yang mungkin dianggap sekuler, seperti Agama Cinta yang dekat dengan advokasi tentang civil religion. Sebetulnya buku itu sangat kontroversial karena mau mengatakan, agama itu sebetulnya cinta,” papar penerima tiga beasiswa Fulbright.

Kini dia sedang menyelesaikan dua buku berjudul Islam Agama Cinta; satu ditulis populer dan yang lain secara akademis dengan dilengkapi riset.

”Buku ini bukan hanya untuk orang luar, tetapi untuk orang Muslim sendiri. Ahli fenomenologi agama biasanya membagi agama ke dalam agama berorientasi nomos, hukum, yang dalam Islam disebut syariah; dan berorientasi eros, cinta.

”Biasanya fenomenologi tradisional memasukkan Islam ke dalam agama berorientasi nomos, hukum. Tetapi, melihat fenomenologi yang lebih belakangan sebetulnya kita harus melihat Islam sebagai agama yang tidak kurang-kurang berorientasi cinta.

”Saya ingin menunjukkan kepada kaum muslimin sendiri, di atas semuanya prinsip Islam adalah cinta. Hanya itu yang bisa membuat Islam terbuka karena pendekatannya kepada orang lain adalah kebaikan hati, berpikir positif, prasangka baik.”

Sementara, menurut Haidar banyak kaum muslimin yang menekankan keberagamaan pada syariah.

”Saya tidak mengatakan syariah tidak penting, tetapi harus mengacu pada prinsip Islam agama cinta. Kalau melihat agama hanya bersifat syariah, akan membuat orang menjadi eksklusif. Cinta itu merangkul semua dan membuat prasangka baik: semua orang sama baiknya, sama benarnya, sama salahnya dengan kita,” jelas Haidar.

Doktor filsafat Islam dari Universitas Indonesia ini juga membahas hal yang untuk beberapa pihak masih kontroversial. Misalnya, kekerasan dan perang.

”Islam agak khas dalam membuka peluang penggunaan kekerasan dan perang. Dalam buku ini saya tunjukkan betul, di atas semua itu prinsipnya tetap cinta. Perang dalam Islam hanya boleh dilakukan untuk melawan penindasan dan sifatnya defensif. Pada saat penindas siap duduk di meja perundingan, perang harus dihentikan.

”Dengan segala keterbatasan ilmu saya dalam hal ini, saya ingin menunjukkan kita harus melakukan paradigm shift, perubahan paradigma. Melihat Islam dari agama berorientasi hukum menjadi agama berorientasi cinta di mana hukum menjadi sarana kita memastikan setiap orang mendapatkan kasih sayang,” jelas Haidar.

Lalu juga tentang neraka. ”Prinsip kasih sayang itulah yang menjadi prinsip neraka. Neraka pada dasarnya bukan Tuhan menghukum manusia, tetapi apa yang dari Tuhan dapat dipersepsi berbeda oleh manusia,” tambah dia.

Haidar mencontohkan segelas air dingin yang menyegarkan untuk orang sehat dapat menyiksa untuk orang sakit.

”Itu saya coba ungkapkan untuk menunjukkan Tuhan tidak membuat sesuatu yang pada dirinya sendiri menyiksa, tetapi karena manusia tidak hidup dengan cara yang menyebabkan dia mendapat kenikmatan. Ini memang kontroversial, tetapi saya secara konsisten ingin membuktikan hal-hal tersebut.”

Tidak ada komentar: