Rabu, 29 Oktober 2008

Muhammad Husayn Thabathaba'i, Syekh Bidang Ilmu Syariat dan Tafsir

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 12:56:00

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i adalah seorang ulama, pemikir, faqih, filosof, dan ahli matematika. Dia banyak menelurkan karya-karya penting di bidang keislaman, antara lain Dasar-dasar Filsafat dan Metode Realisme serta karya monumentalnya yakni Al-Mizan, yang sering disebut tafsir Alquran dengan Alquran.

Di dalam dirinya telah terdapat sifat rendah hati dan ditambah pula dengan kemampuan analisis intelektualnya. Dalam kelompok ulama tradisional Thabathaba'i memiliki kelebihan sebagai seorang syaikh dalam bidang syariat dan ilmu-ilmu esoteris, sekaligus seorang hakim (filosof atau, tepatnya, teosof Islam tradisional) yang terkemuka. Sejarah mencatat Thabathaba'i telah membaktikan segenap hidupnya untuk mengkaji agama. Sebuah dedikasi tinggi terhadap perkembangan ilmu-ilmu Islam dan ilmu pengetahuan pada umumnya.

Sayyid Muhammad Husain Thabathaba'i dilahirkan di Tabriz pada tahun 1321 H /1903 M, dari suatu keluarga keturunan Nabi Muhammad SAW yang selama 14 generasi telah menghasilkan ulama-ulama Islam terkemuka. Pendidikan awalnya dia peroleh di kota kediamannya dan dalam usia muda telah berhasil menguasai unsur-unsur bahasa Arab dan ilmu-ilmu agama.

Ketika usianya menginjak 20 tahun, Thabathaba'i berangkat ke Universitas Najaf untuk melanjutkan pelajarannya. Disana dia mempelajari ilmu syariat dan ushul al-fiqh dari dua di antara syekh-syekh terkemuka pada masa itu yaitu Mirza Muhammad Husain Na'ini dan Muhammad Husain Isfahani.

Akan tetapi, bukanlah menjadi mujtahid tujuannya. Thabathaba'i lebih tertarik pada ilmu-ilmu aqliah, dan mempelajari dengan tekun seluruh dasar matematika tradisional dari Sayyid Abul Qasim Khwansari. Di samping itu dia pun mempelajari sejumlah ilmu lain yakni filsafat Islam tradisional, termasuk naskah baku Asy-Syifa karya Ibnu Sina dan Al-Asfar karya Sadr al-Din Syirazi, serta Tamhid al-Qawa'id karya Ibnu Turkah dari Sayyid Husain Badkuba'i.

Thabathaba'i juga mempelajari ilm Hudhuri (ilmu-ilmu yang dipelajari langsung dari Alquran), atau makrifat, yang melaluinya pengetahuan menjelma menjadi penampakan hakekat-hakekat supranatural. Gurunya, Mirza Ali Qadhi, yang mulai membimbingnya ke arah rahasia-rahasia Ilahi dan menuntunnya dalam perjalananan menuju kesempurnaan spritual.

Sebelum berjumpa dengan syekh ini, Thabathaba'i mengira telah benar-benar mengerti buku Fushulli al-Hikam karya Ibn Arabi. Namun ketika bertemu dengan syekh besar ini, dia baru menyadari bahwa sebenarnya ia belum mengetahui apa-apa. Berkat sang syekh ini, tahun-tahun di Najaf tak hanya menjadi kurun pencapaian intelektual, melainkan juga kezuhudan dan praktek-praktek spritual yang memampukannya untuk mencapai keadaan realisasi spritual.

Pada 1934 Allamah Thabathaba'i kembali ke Tabriz dan menghabiskan beberapa tahun yang sunyi di kota itu, mengajar sejumlah kecil murid. Kejadian-kejadian pada Perang Dunia II dan pendudukan Rusia atas Persia-lah yang membawa Thabathaba'i dari Tabriz ke Qum (1945). Pada waktu itu, dan seterusnya sampai sekarang, Qum merupakan pusat pengkajian keagamaan di Persia. Ia mengajar tafsir Alquran serta filsafat dan teosofi tradisional, yang selama bertahun-tahun sebelumnya tidak diajarkan di Qum.

Oleh karenanya Thabathaba'i telah memberikan pengaruh yang amat besar dalam bidang ilmu pengetahuan, baik di dalam basis tradisional maupun modern. Dia telah mencoba untuk menciptakan suatu elite intelektual baru di kalangan kelompok masyarakat berpendidikan modern yang ingin menjadi akrab dengan intelektualitas Islam di samping dengan dunia modern.

Banyak murid tradisionalnya yang termasuk kelompok ulama telah mencoba untuk mengikuti teladannya dalam upayanya yang amat penting ini. Beberapa muridnya seperti Sayyid Jalal al-Din Asytiyani dari Universitas Masyhad dan Murtadha Muthahhari dari universitas Teheran juga dikenal sebagai sarjana yang mempunyai reputasi istimewa.

Selain di kota Qum, ulama ini kerap mengunjugi Darakah, sebuah desa kecil di sisi pegunungan dekat Teheran. Di tempat inilah Thabathaba'i menghabiskan bulan-bulan musim panas, menyingkir dari panas Kota Qum, kediamannya. Di desa tersebut pula, pada satu hari, Profesor Kenneth Morgan, seorang orientalis terkemuka berkunjung untuk memintanya menulis mengenai pandangan-pandangan Islam Syiah untuk masyarakat intelektual Barat. Dengan kemampuannya yang mumpuni dan penguasaan pada ilmu-ilmu Islam tradisional serta pengenalan terhadap pemikiran Barat menjadikan Thabathaba'i memang orang yang tepat untuk menulis hal tersebut.

Kecintaannya pada ilmu telah mengejawantah dalam pribadinya. Dia menjadi lambang dari suatu tradisi panjang kesarjanaan dan ilmu-ilmu tradisional Islam. Kehadirannya meniupkan suatu aroma dari pribadi yang telah mendapatkan buah pengetahuan Ketuhanan. ( yus/berbagai sumber )

Tidak ada komentar: