Rabu, 29 Oktober 2008

KH Muslich, Ulama Legislator Pertama

By Republika Contributor
Rabu, 15 Oktober 2008 pukul 12:37:00

Di kalangan ulama dan warga Nahdlatul Ulama (NU), nama KH Muslich tidak asing lagi. Ia dikenal sebagai seorang pejuang dan pergerakan kemerdekaan yang gigih. Atas kegigihannya dalam berjuang itu memperoleh penghargaan Bintang Maha Putera Utama, karena jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa.

KH Muslich juga dikenal sebagai sosok ulama yang pertama kali yang duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mewakili golongan karya ulama (1960). Sejak itu selama satu generasi, kiai kelahiran Purwokerto (1910) itu tidak pernah berhenti berkhidmat melalui berbagai amanah yang dipercayakan padanya.

Berturut-turut, ia pernah menjadi anggota Dewan Perancang Nasional (Depernas), penasihat Menteri Urusan Transmigrasi, penasihat Menteri Urusan Pengerahan Tenaga Rakyat, anggota Badan Otorita Jalan Lintas Sumatera, anggota Badan Penyalur Sandang Pangan, anggota Badan Usaha Perbaikan Pondok Pesantren, hingga menjadi staf ahli bidang Keamanan/Pertahanan pada masa Perdana Menteri Djuanda.

Sebelumnya ia menjadi anggota Badan Penampungan Bekas Tawanan SOB, dan menjadi anggota DPRGR/MPRS, yang diangkat Presiden Soekarno sebagai pengganti Konstituante yang dibubarkannya. Namun sebagai pemilik ilmu agama (ulama), akhirnya KH Muslich kembali menekuni dunia pendidikan melalui Yayasan Perguruan Diponegoro yang didirikannya di Purwokerto dan Jakarta, hingga akhir hayatnya 28 Desember 1998.

KH Muslich yang dilahirkan di desa Tambaknegara Kecamatan Rawalo Kabupaten Banyumas, tahun 1910. Ayahnya bernama Hasan Basari dan ibunya bernama Sri Inten. Lingkungan pedesaan yang 'santri' mendorongnya untuk giat belajar Islam. Selesai Sekolah Rakyat, Muslich melanjutkan belajar ke Madrasah Mambaul Ulum Solo hingga kelas sembilan. Siang harinya belajar di pesantren Sunniyah Keprabon Tengah dan malam harinya belajar mengaji Alquran di Pesantren KH Cholil Kauman. Dia juga belajar kitab fikih di pesantren Keprabon dan Jamsaren.

Selama berada di Solo, Muslich banyak mengikuti kursus-kursus agama Islam dan pengetahuan umum dari berbagai kalangan. Secara temporer dia juga belajar mengaji dan mondok di pesantren Bogangin Sampyuh, Leler Kebasen, Tebuireng-Jombang, Tremas Pacitan, dan Krapyak Yogyakarta. Pengetahuan umum ia tempuh secara otodidak dengan banyak membaca dan diskusi dengan para tokoh yang ditemui.

Pada zaman pergerakan kemerdekaan, Muslich menjadi anggota kepanduan SIAP (Syariat Islam Afdeling Pandu). Waktu itu usianya baru 16 tahun. Setelah itu menjadi anggota Pemuda Muslimin Indonesia dan menjadi anggota Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Setelah HOS Tjokroaminoto meninggal dunia, ia bersama AM Sangaji, Mr Muhammad Roem, dan H Agus Salim dipecat dari PSII oleh Abikusno Tjokrosujoso.

Mereka kemudian mendirikan Gerakan Penyadar PSII. H Agus Salin menjadi pimpinannya. Muslich kemudian juga bergabung ke dalam pengurus cabang NU Cilacap, kemudian dipromosikan sebagai pengurus NU wilayah Jawa Tengah, dan akhirnya dipromosikan lagi menjadi pengurus besar NU di Jakarta.

Menata Departemen Agama
Karirnya dalam birokrasi dimulai Muslich tahun 1946, saat ia diangkat sebagai penghulu Kabupaten Cilacap, merangkap sebagai anggota tentara dengan pangkat kapten. Atas restu Komandannya Letkol Gatot Subroto, setahun kemudian Muslich diangkat sebagai Kepala Jawatan Agama Karesidenan Madiun Jawa Timur.

Tahun 1951, Muslich mulai hijrah ke Jakarta dan turut menyusun Jawatan Urusan Agama Pusat dan kemudian dia diangkat menjadi kepala Kantor Agama Sumatera Tengah, berkedudukan di Bukittingi. Tidak lama kemudian diangkat menjadi kepala Jawatan Agama Sumatera Utara di Medan hingga tiga tahun kemudian diangkat sebagai kepala jawatan agama Jawa Tengah di Semarang. Sesuai hasil pemilu 1955 KH Muslich terpilih sebagai anggota DPR namun masih merangkap sebagai pegawai tinggi di Kementerian Agama Jakarta.

Pensiun sebagai anggota DPR kembali ke Departemen Agama dan mendapat tugas untuk menata kembali kantor Departemen Agama Sumatera Tengah akibat meletusnya PRRI (1958). Saat Komando Mandala pada masa Trikora (1961-1963), Kiai Muslich mendapat tugas menyusun Kantor Departemen Agama Provinsi Irian Barat yang sudah resmi menjadi wilayah Republik Indonesia.

Pejuang yang tangguh
Sebagai pejuang pergerakan, Muslich mengawali karier militernya dengan masuk lasykar Hizbullah di Purwokerto tahun 1944. Kemudian ia diangkat menjadi komandan pasukan lasykar Islam untuk Divisi Hizbullah Banyumas dengan anggota tidak kurang dari seribu orang. Setelah kemerdekaan ia juga ikut mebentuk Barisan Keamanan Rakyat (BKR) daerah Banyumas dan Cilacap.

Pada tahun 1947, Kapten Muslich diperbantukan di Markas Besar Pertempuran (MBP), Jawa Timur yang dipimpin oleh Mayjen Dr Moestopo. sebagai perwira penghubung untuk daerah Madiun dan Blitar, saat itu Muslich sudah menyandang pangkat mayor. Ketika MBP Jawa Timur dilikuidasi dan dilebur ke dalam Divisi Brawidjaja dibawah pimpinan Kolonel Sungkono, dia ditempatkan di Kediri. Tugas Muslich menjadi penghubung tentara dengan alim ulama dan umat Islam Jawa Timur. Atas jasa-jasanya pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Kolonel dan kemudian ditempatkan di Divisi Diponegoro di Semarang. Pada tahun 1951 Jenderal Soedirman wafat, dan Letnan Kolonel Muslich mengajukan permohonan berhenti dari dinas ketentaraan.

Pada suatu kesempatan, Kiai Muslich pernah menyatakan bahwa ia berkawan sangat baik dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman.Karena itu ia termasuk salah seorang penggagas dibangunnya monumen Jenderal Sudirman di Banyumas beberapa tahun silam. Monumen tersebut dimaksudkan s ebagai tanda untuk mengenang jasa tokoh tersebut dalam perjuangan kemerdekaan.

Hidup bersahaja
Kiai Muslich menghidupi keluarganya dari bisnis-bisnisnya, bukan dari gajinya sebagai birokrat. Ia berdagang mulai dari hasil bumi hingga jual beli tanah. Kendati secara ekonomi dia mapan, tapi Kiai Muslich memilih untuk tinggal di rumah kecil sederhana di dalam komplek Yayasan Diponegoro, Rawamangun, Jakarta Timur, hingga akhir hayatnya.

Amal jariahnya yang amat berguna adalah tiga tempat pendidikan yang dibangunnya di Purwokerto dan Jakarta. Perguruan Diponengoro yang ditinggalkannya, kini pengelolaannya diserahkan pada putera puterinya. Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada KH Muslich. Dengan mendapatkan bintang itu, KH Muslich sesungguhnya dapat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun hal itu tidak dilakukan. Jasad almarhum tetap dimakamkan di pemakaman umum Purwokerto, atas permintaan atau wasiat almarhum. disarikan dari NU online

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Seingat saya, KH Muslich juga salah seorang Perumus UUPA, and salam ubtuk H.M. Syachbani, Spd (Putra KH Muslich)di Purwanegara, Budi-Cianjur