Minggu, 12 Oktober 2008

Marrti Peraih Nobel

Martti, Juru Damai yang Sederhana

Sabtu, 11 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh Budi Suwarna

Ruang kerja Martti Ahtisaari (71) di kantornya, Crisis Management Initiative atau CMI, sederhana saja. Di sana hanya ada seperangkat sofa dan meja kerja yang dipenuhi tumpukan buku dan kertas. Dari kantor yang sederhana di Helsinki, Finlandia, itu Martti bekerja untuk mendamaikan dunia. Hasilnya sungguh manis. Banyak konflik di dunia, termasuk konflik Aceh, bisa diakhirinya.

Mantan Presiden Finlandia yang pada hari Jumat (10/10) dianugerahi Nobel Perdamaian 2008 itu memang dikenal sebagai pribadi sederhana. Kompas dan TVRI sempat menyaksikan sendiri kesederhanaan Martti ketika menunggunya untuk sebuah wawancara khusus, di awal musim semi, September tahun lalu.

Pagi itu, sekitar pukul 10.00, waktu Helsinki, Martti keluar dari mobil sedannya yang dikemudikan sopir pribadi. Dia berjalan beberapa meter seorang diri sambil menenteng tas kulitnya yang tampak berat sebelum masuk ke kantornya, CMI. Sebagai seorang mantan presiden, tidak ada seorang ajudan atau sekretaris pribadi yang menyertainya.

Pemandangan ini berbeda dengan di Indonesia. Di sini, kita biasa melihat pejabat setingkat bupati pun dikawal ajudan atau sekretaris selama berkegiatan.

Kantor CMI juga sedikit banyak mencerminkan pribadi Martti. Kantor itu bertempat di sebuah gedung kuno dengan lift tua berpintu jeruji besi yang bunyinya berderit-derit jika dioperasikan. Lift itulah yang digunakan Martti untuk mencapai ruang kerjanya di lantai dua atau tiga. Di lantai itu hanya ada dua karyawan perempuan yang sedang bekerja.

Martti tidak membuat kami menunggu terlalu lama untuk wawancara. Sekitar 15 menit setelah dia masuk ke kantornya, Martti menerima kami dengan ramah. Gaya berbicara dan mimiknya datar ketika menjelaskan sesuatu, jauh dari stereotipe politisi yang seringkali berbicara dengan gaya meledak-ledak. Namun, mata Martti selalu tertuju pada lawan bicaranya.

Seperti penampilannya, pandangan-pandangan Martti tentang upaya perdamaian pun sederhana saja dan mudah dipahami semua orang. Dia berkeyakinan bahwa kemiskinan adalah sumber konflik sehingga untuk mengatasi konflik, warga dunia harus dibuat sejahtera dan terdidik.

Dia berkeyakinan semua konflik bisa diatasi. Dia juga yakin seorang mediator hanya perlu menyederhanakan masalah agar sebuah perundingan damai yang ditanganinya berjalan dengan sukses. ”Jangan membuat masalah menjadi lebih rumit. Anda harus bisa menyampaikan masalah mana yang penting untuk diselesaikan,” katanya.

Sesederhana itukah? ”Ya,” katanya. ”Meski proses perundingan tetap saja akan berliku-liku. Namun, setidaknya kami telah berusaha untuk membuat masalah tidak tambah rumit.”

Dia menambahkan bahwa seorang mediator juga harus pandai memilih pintu masuk untuk memulai sebuah negosiasi damai. Untuk kasus Aceh, Martti mengaku masuk dari isu otonomi khusus yang ditawarkan Pemerintah Indonesia.

”Kami kemudian meminta penjelasan apa makna otonomi itu untuk rakyat Aceh? Penjelasan itu kami sampaikan kepada pihak GAM,” ujarnya.

Dengan memilih pintu masuk yang tepat, lanjut Martti, dia bisa menghemat waktu perundingan. Hasilnya memang manis. Konflik Aceh yang telah berlangsung sekitar tiga dekade itu bisa diakhiri secara damai dalam tempo yang tidak terlalu lama.

Namun, dengan rendah hati Martti mengatakan, perdamaian di Aceh bukan semata karena perannya sebagai mediator, melainkan karena pihak-pihak yang bertikai memang ingin damai setelah terjadi bencana tsunami.

Selain di Aceh, Martti berhasil mengakhiri konflik di Namibia dan Kosovo. Dia juga ikut dalam upaya mengakhiri konflik di Irlandia dan Irak.

Karena perannya sebagai juru damai di berbagai lokasi konflik dunia, Martti dianugerahi Nobel Perdamaian 2008. Sebelumnya, awal bulan ini, dia juga mendapat penghargaan dari UNESCO karena telah membaktikan hidupnya untuk perdamaian.

Martti mengaku bekerja untuk proyek perdamaian dunia bersama PBB setidaknya selama 30 tahun. ”Saya telah bekerja bersama lima Sekjen PBB yang berbeda-beda sejak tahun 1977.”

Menjadi pengungsi

Martti lahir di Viipuri (wilayah tersebut kini bernama Vyborg dan masuk ke wilayah Rusia) pada 23 Juni 1937, tiga tahun sebelum Viipuri dianeksasi Uni Soviet. Sejak kecil, Martti telah merasakan susahnya hidup di tengah konflik dan perang.

Ketika itu Perang Dunia II merembet hingga tempat tinggalnya di Viipuri, Martti bersama ibunya, Tyyne, mengungsi ke Kuopio, wilayah timur di Finlandia. Sementara itu, ayahnya yang berprofesi sebagai pegawai negeri terlibat di garis depan pertempuran.

Martti dan ibunya kemudian ditampung sebagai pengungsi di sebuah komunitas petani selama beberapa bulan. Di Kuopio, dia menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya.

Menurut Martti, pengalaman pahit masa kecilnya mungkin ada hubungannya dengan motivasinya yang besar untuk terlibat sebagai juru runding di wilayah konflik.

Meski demikian, Martti yang menguasai bahasa Inggris, Perancis, Jerman, Swedia, dan Finlandia ini mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak bercita-cita sebagai juru runding. Semua seakan mengalir begitu saja.

Martti memulai kariernya sebagai guru sekolah dasar. Martti bisa mengajar setelah mengambil pendidikan guru di sebuah universitas di Oulu pada tahun 1959. Dia juga sempat mengajar di Pakistan pada tahun 1960-an.

Tiga tahun kemudian, dia pulang ke Finlandia. Selanjutnya, dia aktif di organisasi-organisasi yang memberikan bantuan ke negara-negara berkembang.

Tahun 1965, dia bergabung dengan Departemen Luar Negeri Finlandia. Selama berkarier sebagai diplomat, dia menghabiskan waktu selama 20 tahun di luar negeri. Dia pernah menjadi duta besar di Tanzania, Mozambik, dan Somalia.

Tahun 1994, Martti terpilih sebagai presiden pertama Finlandia yang dipilih secara langsung. Di bawah kepemimpinannya, Finlandia bergabung dengan Uni Eropa.

Martti mengakhiri jabatannya sebagai presiden pada tahun 2000. Setelah lengser, Martti kembali terjun dalam kegiatan perdamaian dunia. Tahun 2005, dia ditunjuk sebagai Utusan Khusus PBB untuk masalah Kosovo.

Untuk menunjang kerjanya sebagai juru damai, dia membentuk CMI, sebuah organisasi independen nonpemerintah yang bertujuan mendukung dan memelihara perdamaian di sejumlah lokasi konflik. CMI berbasis di Helsinki, Finlandia.

Di luar kariernya sebagai diplomat, kehidupan Martti tidak banyak diulas media massa. Dia hanya disebutkan menikah dengan Eeva Irmeli Hyvärinen pada tahun 1968.

Dari perkawinannya itu, Martti memiliki seorang anak laki-laki bernama Marko Ahtisaari, yang berprofesi sebagai musisi dan produser.

Tidak ada komentar: