Sebuah panitia yang dibentuk oleh Universitas Prof Dr Hamka Jakarta akhir 2007 telah menyelenggarakan beberapa kegiatan penting dalam rangka 100 tahun Buya Hamka, dihitung sejak tanggal lahirnya, 17 Februari 1908. Hamka wafat pada 23 Juli 1981 dengan meninggalkan karya tulis yang dahsyat, lebih dari 100. Puncak karya itu adalah Tafsir Alquran Al-Azhar, lengkap 30 juz, mendekati 9.000 halaman. Draf awal disiapkan dalam penjara dalam tenggang waktu dua tahun pada 1960-an. Pada 8 April 2008 akan ada seminar internasional mengenang tokoh ini dan sumbangan pemikirannya terhadap kemanusiaan. Hamka telah mulai menulis pada 1925 dalam usia 17 tahun.
Untuk seminar April, saya juga diminta untuk turut mengisi. Kalimat pertama makalah saya untuk seminar itu berbunyi: ''Semakin jauh Hamka berpisah secara fisikal dengan kita, semakin dalam dan mencekam kerinduan kita kepadanya.'' Mengapa tidak akan rindu? Hamka adalah pribadi dengan wajah 1.000 dimensi. Jauh sebelum muncul sebagai seorang alim kaliber dunia, Hamka adalah novelis dengan beberapa karya sastra yang masih dicetak sampai hari ini. Tiga tahun sebelum wafat, menurut catatan alm Iwan Simatupang, dalam orasi kebudayaan tanpa teks di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada 11 Maret 1970, Hamka bertutur: ''Saya adalah pengarang! Pada mulanya, dan pada akhirnya.'' Merangkai dan menganyam kata adalah pilihan hidup Hamka sepanjang hayat. Tidak tanggung-tanggung, ranah sastra dijelajahnya, sejarah ditelitinya, filsafat dan tasawuf dikajinya, ushul fikih dan manthiq dipelajarinya di bawah bimbingan sang ayah, Dr Haji Abdul Karim Amrullah, seorang alim berwatak keras, dan puncaknya adalah Tafsir Al-Azhar telah dipersembahkannya kepada bangsa Indonesia yang sangat dicintainya. Hamka telah menjadi milik semua orang, hampir tanpa kecuali.
Universitas Prof Hamka telah merintis sebuah langkah besar: Menyiapkan pusat kajian Hamka, sebuah upaya akademik yang bernilai strategis untuk bangsa ini, untuk Islam, dan untuk kemanusiaan. Sebagai seorang yang dilahirkan di sekitar Danau Maninjau, Ranah Minang, Hamka telah lama bergumul dengan kultur kearifan kata melalui pepatah, petitih, gurindam, bidal, pantun, syair, dan mamang, yang memang menjadi kebanggaan anak suku bangsa itu, di samping juga terkenal sebagai pusat cemeeh di muka bumi. Dua pengarang Minang yang lain: Rosihan Anwar dan alm AA Navis sangat mahir dalam perkara cemeeh ini, tetapi justru dengan cara itu semakin menghidupkan suasana percakapan, sekalipun mungkin saja ada yang tersinggung.
Hamka adalah fenomenal dalam sejarah Indonesia modern. Karyanya dibaca tidak saja di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Saya tidak tahu pasti sudah berapa tesis dan disertasi yang ditulis orang tentang buah pemikiran si alim ini, sementara dia sendiri berkarya tanpa ijazah, tidak SD, tidak sekolah menengah, apalagi perguruan tinggi. Ajaibnya, mahasiswa S3 perguruan tinggi telah mengkaji Hamka utnuk meraih gelar doktor. Maka, dengan ungkapan: ''Saya adalah pengarang! Pada mulanya, dan pada akhirnya,'' Hamka telah meneruka kawasan kebudayaan yang sangat luas untuk diteruskan oleh anak-anak bangsa ini, demi peradaban Indonesia yang berkualitas tinggi di masa depan. Pilar-pilar moral dan kearifan yang telah dipancangkan Hamka tidak boleh dibiarkan melapuk, sebab itu merupakan pengkhianatan kultural yang tidak dapat dimaafkan, jika memang kita ingin melihat bangsa ini punya harga diri, sehingga dihormati bangsa-bangsa lain.
Sebagai manusia biasa, tentu di sana-sini Hamka punya kekurangan dan kelemahan, tetapi semuanya itu telah ditebusnya dengan karier hidup yang penuh makna dan karya tulis yang terus saja dikaji dan diminati orang, entah sampai kapan. Karya yang berjibun itu telah lama menjadi sumber inspirasi dan sumber kearifan bagi berbagai kalangan. Nilai profetiknya justru terasa semakin mendesak pada saat bangsa ini sedang berada pada posisi papa inspirasi dan tunakearifan. Di samping tokoh-tokoh moralis yang lain, Hamka adalah salah seorang yang berada di garis depan. Selamat memperingati 100 tahun Buya Hamka!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar