Minggu, 09 Maret 2008

Gito Rollies: Nu Bogana Bandung


Minggu, 2 Maret 2008 | 02:31 WIB




Remy Sylado

Gito Rollies dan saya terikat keluarga. Semacam besan. Bukan manusia dengan manusia, tapi anjing dengan anjing. Anjingnya jenis chow chow kawin dengan anjing saya jenis telomian.

Ceritanya, Agus, adik Gito yang mendirikan grup Rollies Junior, membawa anjing chow chow milik Gito itu ke rumah saya di Bandung, 1976, karena katanya, ”Gito tidak mengurusnya lagi, sebab Gito sudah pindah ke Jakarta.” Karena tidak terurus, anjing itu pun menjadi buas, mengejar ayam-ayam tetangga, membunuh dan memakannya.

Gito pindah ke Jakarta sebab kehidupan grup musik rock di Bandung—sebagai barometer musik kareseh-peseh—sejak 1975 sudah redup, semaput, tidak ada lagi pertunjukan-pertunjukan yang bisa menghasilkan uang. Kalaupun ada pertunjukan yang dimaksud, maka kegiatan itu disebut oleh anak-anak band Bandung sebagai ”operation thank you”, artinya, setelah habis pertunjukan, panitia hanya cukup mengucapkan ”terima kasih”, zonder honorarium, wassalam.

Hilangnya kegiatan gegap- gempita rock di panggung-panggung karuan membuat anak-anak band itu menelan pil pahit, tenahak, frustrasi. Akibatnya, gejala yang sudah meluas sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an adalah anak-anak band itu makin gampang tergoda untuk mencari pelepasan dan kemudian menemukan kesenangan semu lewat narkoba.

Gito termasuk salah seorang yang tidak kuasa melawan godaan itu. Di dalam grup Rollies sebetulnya bukan dia satu-satunya yang menjadi hamba barang haram itu. Sebelumnya ada Iwan, pemain drum, yang tewas mengenaskan. Ada juga Deddy Stanza, pemain bas, yang bolak-balik diberitakan ditangkap polisi lantas dikurung di bui. Di kalangan mereka, barang haram yang bisa dibeli dengan bisik-bisik di sekitar alun-alun lazim disebut bowat atau boat. Ukuran pemakaiannya antara lain dibagi dalam cekak dan mata. Sementara melakukannya sampai keadaan tubuh melayang disebut nyetun, dari kata ”stones”, nama grup rock Inggris, Rolling Stones, yang lagu-lagunya memabukkan anak- anak muda Bandung.

Untung Gito cepat menginsyafi kesalahannya di jalan itu. Begitu dia bilang pada saya di tempat latihan teater saya di gedung kesenian YPK (Yayasan Pusat Kebudayaan), Jalan Naripan. Katanya, ”Urang hayang cageur. Urang hayang ngiluan teater maneh.” (Saya ingin sembuh. Saya ingin ikut teatermu). Itu terjadi pada 1975, sebelum dia memutuskan harus pindah saja ke Jakarta, banting setir. Berlatih teater dipahaminya sebagai cara untuk menemukan rasa percaya diri. Kebetulan banyak pemusik dan penyanyi Bandung yang mencebur sebagai cantrik di teater saya, mulai dari Boy Worang, Harry Roesli, sampai Doel Sumbang.

Katanya, dia ingin betul-betul main dalam pertunjukan teater musikal seperti Calcutta, Hair, atau Jesus Christ Superstar yang kebetulan pernah saya garap bagian-bagiannya di gedung YPK pada 1970-an. Terangsangnya Gito untuk masuk dalam seni teater, juga sebab selama itu sebuah majalah yang terbit di Bandung sering memberi arah nilai tambah bagi grup-grup rock yang membuat pertunjukannya dengan adegan-adegan teateral. Misalnya grupnya Setiawan Djody, Trenchem di Solo yang membawa ular ke panggung dan memainkannya; Mickey Michelbach dengan grup Bentul dari Malang membawa kelinci ke atas panggung, menerkamnya, meminum darahnya; Ucok Harahap dengan grup Aka di Surabaya membawa peti mati ke atas panggung dan pura-pura mati dipaku di situ. Adegan-adegan edun-suradun itu disebut oleh majalah Bandung tadi sebagai ”stage act”, entah dari mana asalnya.

Mau Gito, dia tidak lagi sekadar ”stage act”, tapi benar-benar ”acting” di ”stage”. Dia berharap, dengan berlatih teater, pertama dia bisa sembuh dari ketagihannya pada boat, berhubung dalam teater ada disiplin yang ketat, kedua dia bisa menjadi peraga akting, yaitu aktor. Tapi saya bilang, naskah yang sedang saya latih saat dia datang ke gedung YPK tersebut adalah cerita tentang orang Cunghua yang bermata sipit dan berkulit kuning, sedang dia kribo dan berkulit gelap.

Ada cerita tersendiri tentang kribo dan kehitamannya itu, yaitu ketika Gito dan saya melewati Kebon Raja, nama taman di depan Balaikota Bandung antara Jalan Merdeka dan Jalan Wastukencana, pada malam Minggu di tahun-tahun 1970-an. Di situ, pada setiap malam dipenuhi oleh bencong-bencong. Mobil kami dihadang dan dihentikan oleh bencong-bencong itu. Salah seorang melongok, memasukkan kepala ke dalam mobil. Dan demi melihat Gito yang Afro-look itu, lantas menjerit bencong itu keganjenan, ”Aih, aih, Ambon.”

Baru pada 1985, setelah Gito benar-benar memperagakan akting sebagai aktor dalam sejumlah film: Perempuan Tanpa Dosa (1978), Di Ujung Malam (1979), Sepasang Merpati (1980), dia datang ke rumah saya di Jakarta, bicara tentang pertunjukan teater musik, dan saya bilang naskah drama musik saya berjudul AJI (dipentaskan di Balai Sidang dengan pemain-pemain antara lain Ermy Kullit, Voony Sumlang, Diana Nasution dan putranya Rio, Nike Ardilla, serta puluhan anak SD Don Bosco Pulo Mas) ada peran yang saya buat untuknya, yaitu Raja Kribo. Sayang, karena terikat kontrak dengan sebuah film, peran itu digantikan oleh duplikat Gito, penyanyi rock asal Salatiga yang tergila-gila sekali pada Gito; dia meniru kribonya Gito, gaya bicaranya, cara ketawanya, dan petakilannya. Namanya Sali Santosa, tapi digantinya menjadi Sigit Subangun. Memang beda-beda tipis dengan Bangun Sugito nama asli Gito.

Toh ambisi Gito untuk bisa bermain teater musik masih belum padam. Katanya, ”Pokona urang can sugema lamun can ngilu main di teater maneh.” (Pokoknya saya belum puas kalau belum ikut main di teatermu). Dia merasa setengah senang ketika akhirnya pada 1990, dengan diproduseri oleh Ermy Kullit, saya bikin kabaret di Flores Room, Hotel Borobudur, dengan musik yang terdiri dari semua anggota Rollies: Benny, Jimmy, Ronny, Delly, dan menampilkan Noorca Massardi, Renny Jayusman, Connie Constantia, serta Josef Ginting yang bertugas menangani artistik panggung.

Setelah itu dia ingin kami bermain dalam sebuah film untuk mengeksplorasi apa yang disebut dalam metode akting realisme sebagai ”stage interinfluence”. Itu terjadi pada 1992 dalam film yang seluruh pembuatannya di Bali, Di Bawah Matahari Bali, diangkat dari novel dengan judul yang sama oleh Gerson Poyk, disutradarai oleh Djun Saptohadi. Di situ Gito yang lebih muda dua tahun bermain sebagai anak. Lebih aneh, yang menjadi ibunya Rina Hassim, usianya lebih muda satu tahun dari Gito. Namun, apa hendak dikata, itulah film Indonesia, soal logika adalah kentut: tidur dengan bulu mata palsu.

Di masa syuting di Bali itu belum ada tanda-tanda Gito bakal berubah, kecuali bahwa katanya di usia 50 tahun nanti dia harus menjadi seseorang yang tampil beda. Saya pun masih melihat dia sebagai ”nu bogana Bandung” (yang punyanya Bandung), sosok berpengaruh di kalangan anak muda, dengan kesukaan bertutur cerita yang jorang, dan pribadi akrab terhadap semua yang lebih populer dari gubernur Jabar dan walikota Bandung. Di mana-mana orang mengelukannya. Apalagi karena motornya yang nyentrik: sadel dibikin seperti kursi malas dan stang yang setinggi kepala.

Pada 1970 saya membuat naskah Orexas karena terilhami oleh nyentriknya Gito. Orang-orang di sebuah prapatan yang dikenal sebagai ”Prapatan Roti Bakar”, Jalan Dago-Jalan Riau, bisa bercerita bagaimana Gito dengan membuka baju pada pukul 01.00 naik motor ke Lembang pergi-pulang. Bisa dibayangkan Bandung waktu itu tidak seperti sekarang, dinginnya menggigit-gigit.

Rupanya suara nuraninya benar-benar diindahkannya. Pas di usia 50 tahun dia berubah total. Dia mendekatkan diri dengan sang khalik, tekun mengaji, belajar agama Islam, dan sungguh-sungguh mengagumkan sebab akhirnya dia tampil dalam sejumlah pengajian sebagai dai.

Dari pengalamannya itu, menyangkut tekadnya yang teguh untuk berubah, dan menjadi seorang yang saleh, saya belajar tentang kepribadian yang benar-benar hebat. Saya percaya dia wafat di tangan Tuhan. Maka innalillahi wainnailaihi rajiun.

Remy Sylado Budayawan

Tidak ada komentar: