Sejarawan Marshall GS. Hodgson (2002) menegaskan bahwa pasca kudeta militer orang-orang Turki Saljuk sewaktu menggulingkan kekuasaan Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) di kota Baghdad menjadi cikal-bakal runtuhnya Dinasti Abbasiyah. Episode kekuasaan orang-orang keturunan Abu Al-‘Abbas As-Suffah (750-754 M.) sudah berakhir. Beberapa propinsi telah melepaskan diri secara independen membangun dinasti-dinasti kecil.
Pada tahun 874 M, wilayah Persia (Iran Selatan) dan Transoksania (Usbekistan) mulai dikendalikan oleh orang-orang keturunan Saman Khuda (Dinasti Saman). Dinasti ini merupakan episode terpenting dalam sejarah peradaban Persia pasca kedatangan Islam. Lewat kekuasaan Dinasti Saman, orang-orang Persia hendak mengulang kembali sejarah mereka yang pernah berjaya pada masa Dinasti Achameneids (600-333 SM) dan Dinasti Sassanids (228-651 M). Sejarawan Richard N. Frye (1963) menyebut kekuasaan Dinasti Saman sebagai “Zaman kebangkitan kembali kebudayaan Irano-Islam.”
Peradaban Persia di Masa Lampau
Siapakah sesungguhnya bangsa Persia? Dr. Zayar, dalam Iranian Revolution: Past, Present, and Future (2000), menjelaskan bahwa sekelompok manusia dengan sistem sosial dan kebudayaan tertentu telah mendiami kawasan Barat Daya Iran sejak 3000 tahun Sebelum Masehi (SM). Mereka inilah yang disebut sebagai nenek moyang bangsa Persia. Bangsa ini, menurut Karen Amstrong (2007), merupakan orang-orang yang memiliki silsilah keturunan “bangsa terhormat.” Mereka yang mendiami kawasan stepa di Kaukasia ini menyebut diri sebagai “Orang-orang Arya.”
Secara perlahan-lahan, orang-orang Arya yang pada mulanya mendiami kawasan stepa di Kaukasia terpisah secara kultural menjadi dua kelompok. Sebagian memisahkan diri dan memilih menetap di kawasan Iran Selatan. Orang-orang Yunani menyebut mereka Persis-vang. Inilah asal mula penyebutan nama Suku Persia. Adapun mereka yang tetap menetap di kawasan Barat Daya Iran dikenal sebagai Suku Media.
Memasuki Zaman Aksial (800-200 SM), orang-orang dari Suku Persia berhasil merebut dominasi kekuasaan Suku Media. Kaisar Cyrus The Great (590-529 SM), seorang keturunan Suku Persia, berhasil membangun kekuasaan Dinasti Achameneids. Di tangan Kaisar Cyrus, kekuasaan dinasti ini meliputi: dari Libya ke arah Timur hingga Pakistan; dari Teluk Oman di Selatan hingga Laut Aral di Utara. Bahkan, Kaisar Cyrus berhasil menaklukkan wilayah Mesopotamia (Irak) yang merupakan pusat peradaban dunia tertua. Pada masa kekuasaan Dinasti Sassanids, kerajaan Persia mencapai puncak kejayaannya ketika Kusraw Nushirvan (531-579 M) berkuasa.
Bangsa Persia, sebelum kedatangan Islam, sudah memiliki falsafah dan kebudayaan yang mapan. Falsafah hidup mereka berasal dari ajaran-ajaran Zaratustra (650-550 SM) yang telah menjadi kepercayaan resmi negara (Dinasti Achameneids). Pada awal kekuasaan Dinasti Sassanids, ajaran Zoroastrianisme mengalami pembaruan secara besar-besaran yang dilakukan oleh Mazdak (485-531 M). Hasil reformasi spiritual yang dilakukan Mazdak melahirkan ajaran Mazdeisme-Zoroastrian. Oleh sejarawan Ahmad Amin, gagasan-gagasan Mazdak dinilai sebagai ajaran “Komunisme tertua” di muka bumi ini (A. Hasjmy, 1995).
Bahasa yang dipakai oleh bangsa Persia dalam berkomunikasi adalah bahasa Pahlevi (bahasa Persia Tengah). Karen Amstrong (2007) menyebutnya bahasa Avesta, karena memang bahasa inilah dipakai untuk menulis kitab suci yang berisi ajaran-ajaran Zaratustra. Sebagian memakai bahasa dialek awal Sansekerta. Kemudian sebagian lagi menggunakan bahasa Turki dan Urdu. Setelah kedatangan Islam, bahasa yang dipakai secara resmi oleh bangsa Persia adalah bahasa Arab.
Sastra berkembang cukup pesat di Persia. Tradisi mitos memang banyak mempengaruhi suatu bangsa dalam mengembangkan seni sastra. Kemampuan bertutur serta daya imajinasi yang tinggi untuk menciptakan figur-figur fiktif sangat mendukung perkembangan seni sastra.
Selain seni sastra, bangsa Persia mengkultuskan tokoh-tokoh tertentu dan mengabadikannya dalam bentuk monumen. Umumnya, monumen-monumen persembahan untuk para tokoh tertentu dalam bentuk patung atau relief. Salah satu hasil kebudayaan Persia pra-Islam ialah patung-patung dan relief-relief yang bernilai seni tinggi. Selain dituangkan dalam bentuk seni pahat, mitologi Persia juga banyak dituangkan dalam bentuk-bentuk kerajinan tangan seperti permadani, keramik, dan lain-lain.
Dinasti Saman
Orang-orang Alawiy yang tersingkir dari struktur pemerintahan Abbasiyah pasca pemberontakan Abu As-Saraya (814-815 M) membangun kembali masa kejayaan Islam di kawasan Transoksania. Nashr bin Ahmad Samani (874-892 M), gubernur Transoksania, adalah orang yang pertama kali merintis kekuasaan Dinasti Saman. Wilayah kekuasaannya, pertama kali, meliputi Khurasan dan Transoksania.
Dia putra Ahmad bin Asad, gubernur di Farghanah. Ahmad bin Asad adalah putra Asad bin Abdullah, gubernur di Khurasan. Adapun Asad bin Abdullah adalah putra Saman Khuda, seorang tuan tanah dari keluarga bangsawan Zoroastrian di Balkh (Afganistan Utara). Seluruh keluarganya memeluk Agama Magi (Zoroastrianisme). Setelah Saman Khuda memeluk agama Islam, seluruh keluarganya mengikuti jejaknya. Dan, dia berperan cukup besar di dalam struktur pemerintahan Dinasti Abbasiyah pada masa Khalifah Al-Ma’mun (813-833 M).
Nashr bin Ahmad Samani berhasil merebut kekuasaan dari Dinasti Safar di Persia dan Transoksania. Sekalipun pada masa kekuasaan Nashr bin Ahmad Samani, dinasti ini tidak memiliki catatan prestasi yang membanggakan, tetapi pada masa kekuasaan Ismail bin Ahmad Samani (892-907 M) berhasil merebut Khurasan (900 M).
Puncak kejayaan Dinasti Saman pada masa kekuasaan Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani (914-943 M). Dia berhasil menguasai wilayah Sijistan, Isfahan, Karman, Jurjan, Ray, Tabaristan, dan Transoksania. Kekuasaannya kemudian membentang luas sampai di belahan timur pusat Dinasti Abbasiyah.
Rezim Saman berasal dari keturunan Suku Persia dan Suku Media. Mereka bercita-cita mengembalikan kejayaan bangsa Persia dengan menaklukkan kembali kawasan-kawasan yang pernah menjadi kekuasaan Dinasti Achameneids dan Sassanids. Di samping itu, tradisi orang-orang Persia sangat kental dengan etos keilmuan. Bahkan raja-raja dinasti ini memiliki kecenderungan yang besar terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Pada masa kekuasaan Nashr bin Ahmad bin Ismail Samani, istana Dinasti Saman menjadi pusat kekuasaan sekaligus pengembangan ilmu pengetahuan. Salah seorang pejabat istana Dinasti Saman, Muhammad Yusuf Al-Khawarizmi (wafat 997 M), yang dikenal sebagai pakar matematika dan astronomi, menyumbangkan gagasannya lewat karya ensiklopedi Mafatih Al-‘Ilm.
Selain mendukung pengembangan ilmu pengetahuan, rezim Saman juga membangun perpustakaan-perpustakaan di beberapa kota. Dampaknya cukup signifikan. Salah seorang Ilmuwan Muslim lahir pada masa dinasti ini. Fakhruddin Al-Razi, ilmuwan muslim terkemuka menulis karya Al-Manshuri, yang didedikasikan secara khusus kepada Abu Shaleh Al-Manshur, seorang kemenakan penguasa Dinasti Saman.
Di samping pengembangan ilmu pengetahuan, sastra dan kebudayaan Persia bercorak Islam mencapai puncak kejayaannya. Ahmad Ad-Daqiqi salah seorang pujangga besar Persia menulis karya Shah Namah (Kitab Para Raja) berisi 60.000 bait kisah moral dan teladan, yang didedikasikan kepada Nuh bin Manshur (976-997 M), salah seorang penguasa dinasti ini. Karya Ahmad Daqiqi ini kemudian disempurnakan oleh Ahmad Al-Firdausi.
Jajat Burhanuddin (2002) menilai bahwa kekuasaan Dinasti Saman merupakan puncak peradaban Islam kedua setelah Dinasti Abbasiyah di Baghdad. Karakteristik peradaban Saman bercorak lokal, yakni mengangkat tradisi nenek moyang Persia dengan sentuhan nilai-nilai Islami. Lewat kebijakan rezim yang mendukung pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dinasti ini memiliki peranan penting dalam sejarah peradaban Islam pasca tenggelamnya kekuasaan Dinasti Abbasiyah.
Sayang, Dinasti Saman terlalu lemah untuk meredam pemberontakan pada masa Ismail bin Nuh II (1001-1005 M). Dinasti ini menghadapi pemberontakan orang-orang Suku Dailam (Dinasti Buwaihi). Rezim Saman kemudian berkoalisi dengan para penguasa di Mosul (Dinasti Hamdan), tetapi justru malah memicu konflik internal yang berakhir damai. Secara berangsur-angsur, Dinasti Saman terus melemah. Kekuasaannya harus berhadapan dengan Dinasti Buwaihi yang menguasai Persia, Ray, dan Irak. Ismail bin Nuh II terbunuh pada tahun 1005 M. Inilah akhir episode kekuasaan orang-orang Alawiy di wilayah Transoksania.
Syiraz. Adalah ibukota propinsi Persia (Fars). Jaraknya 919 km dari kota Teheran. Kota ini menjadi saksi sejarah Imperium Persia pada masa Dinasti Achameneids dan Sassanids. Wilayah ini masuk dalam kekuasaan Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab (634-644 M). Syiraz termasuk kota penting dalam sejarah Dinasti Saman. Di kota ini banyak ditemui situs bersejarah seperti: Istana Persipolis (peninggalan Darius I), Istana Sassanids (peninggalan Kusraw Nushirvan), Mausoleum Cyrus The Great, Masjid Jami’ Atiq (peninggalan pasukan Umar bin Khattab), dan lain-lain. Di kota ini juga pernah lahir pujangga besar Hafidzuddin Asy-Syirazi dan Mushlihuddin Sa’di Asy-Syirazi pada abad ke-13 M. Pada sekitar abad ke-12, di kota ini lahir aliran Filsafat Illuminasi (Hikmah Al-Isyraqiyah) Mazhab Syiraz. Tokoh utamanya Syihabuddin Suhrawardi dan Sadruddin Syirazi atau yang dikenal dengan nama Mulla Sadra.
Samarkand. Kota ini merupakan ibukota propinsi Transoksania (sekarang Usbekistan). Kota Samarkand menjadi saksi sejarah kekuasaan Alexander The Great (Iskandar Dzu Al-Qarnain), putra Philip dari Makedonia, ketika berhasil menaklukan Dinasti Achameneids. Kota ini telah melahirkan para Ilmuwan Muslim pada masa Dinasti Saman, seperti: Muhammad Addi As-Samarkandi, Abu Manshur Al-Maturidi, Abu Al-Hasan Maidani, Ahmad ibn Umar, Abu Bakr As-Samarkandi, Muhammad ibn Mas’ud As-Samarkandi, Alauddin As-Samarkandi, Najibuddin As-Samarkandi, dan Abu Al-Qasim Al-Laitsi As-Samarkandi.
Bukhara. Menjadi ibukota pemerintahan pada puncak kejayaan Dinasti Saman. Di kota ini banyak dibangun perpustakaan yang sangat mendukung perkembangan ilmu pengetahuan. Bukhara merupakan kota kelahiran ulama besar penghimpun Hadits-hadits Nabi yang amat masyhur, Abu Abdullah Muhammad bin Abi Al-Hasan Al-Bukhari. Beliau wafat tahun 870 M dan dimakamkan di kota Samarkand.l rif
2 komentar:
Nice fill someone in on and this enter helped me alot in my college assignement. Thanks you on your information.
makasih yah infonya
Posting Komentar