Toeti Kakiailatu
Penelitiannya tentang sejarah masyarakat Jawa, sejarah revolusi Perancis, dan sejarah Eropa secara umum sangat reflektif. Sejarawan yang membujang ini terkena stroke sejak 2001. Namun, nafsu makan enaknya tetap digemarinya. Kegemarannya akan makan telah mendorongnya untuk meneliti kajian makanan Indonesia.
Petang itu, sekitar jam 17.00, adalah jam makan malam Onghokham. Kamis, 31 Agustus, Rochmat, salah seorang yang mengurus Ong semenjak sakit, yang melayani makan malam. Menunya, kentang goreng dan bistik kakap merah. Semuanya dimakan habis. Setelah itu kursi roda Ong pun disorong ke kamar tidurnya, menghadap ke televisi. Sekitar jam 18.00, kepala Ong miring ke kiri dan menunduk. Ternyata Ong telah meninggal. Tanpa pesan dan rasa sakit.
Ong lahir pada 1 Mei 1922 di Surabaya. Almarhum adalah cucu dari seorang kapitan China di Pasuruan. Han, begitu nama keluarga ibunya, terkenal dari golongan elite yang mungkin jadi konglomerat pertama waktu itu. Ayahnya, setamat dari Hogere Burger School (HBS), berjalan-jalan ke Eropa dan setelah itu bekerja pada kantor asuransi. Dari pasangan ini, lahir empat bersaudara, tiga laki-laki dan seorang perempuan, masing-masing diasuh oleh pengasuhnya. Ong sendiri mengaku diasuh oleh seorang embok yang mengajarinya sedikit tentang budaya Jawa. Adapun orangtuanya yang berkelimpahan uang, sepanjang hari asyik main mahyong.
Baru pada malam hari orangtua dan anak-anak berkumpul untuk makan malam. Makan bersama ini menjadi peristiwa istimewa karena ruang makan yang mewah dan makanan yang melimpah. Para pelayan sibuk melayani makan malam gaya Belanda dengan konversasi antara mereka juga dalam bahasa Belanda. Keluarga Ong hidup bergaya Belanda. Bicara, makanan, dan cara berpakaian, semua bergaya Belanda. Ong sendiri sewaktu kecil dipanggil Sinyo Hansje. Gaya hidup yang serba Blandis ini kurang begitu disenanginya. Keluarga kaya yang kebelanda-belandaan dan hanya hidup bergaul untuk keluarga saja. Oleh karena itu, Ong kurang akrab.
Hanya kegemaran makan enak dan berpesta yang diturunkan dari kebiasaan keluarganya kepada Ong. Jadi semasa masih sehat, tidak ada undangan pesta dari orang-orang kaya di Jakarta yang Ong lewatkan begitu saja. Ong sendiri gemar mengundang beberapa temannya untuk makan malam. Dia sendiri yang belanja dan memasak makanan yang akan dihidangkan. Dengan naik kendaraan umum, karena tidak punya mobil, dia pergi belanja. Ong tahu daging babi yang baik ada di Pasar Senen, daging sapi berkualitas di Blok M, dan ikan bandeng segar di Pasar Pagi. Dengan berpanas-panas, tak segan dia menyeberang jalan dengan menenteng belanjaan.
Baru pada malam hari Ong berpakaian bersih, melayani tamu yang diundangnya. Sitting dinner dengan menggelar tatanan meja bertaplak indah, penuh dengan garpu pisau perak, porselen antik, serta bunga dan tebaran bunga melati. Di rumahnya yang bergaya Bali, di samping ruang makan yang terbuka tumbuh sebatang pohon melati gambir yang kalau malam hari mengeluarkan bau harum. Masakan yang digemarinya adalah sambal gandaria, bandeng bakar, dan babi hong. Yang terakhir, tentu saja tidak disuguhkan bagi pemakan nonbabi.
Lebih-lebih kalau pada HUT-nya, setiap 1 Mei. Undangannya selalu dimulai dengan sebutan Mayday, mayday… dan itu pasti undangan dari Sinyo Hansje. Pesta ulang tahun Sinyo Hansje ini selalu ramai. Rumahnya penuh sesak oleh berbagai tamu yang datang, mulai orang-orang kedutaan, tokoh nasional, sampai ke artis-artis, berjejalan. Makanan dan berbagai minuman memeriahkan pesta ulang tahun Onghokham.
Namun, mulai kapan Ong menjadi ahli masak? Dia menjadi kuliner terkenal ketika kuliah untuk mengambil gelar doktornya di Universitas Yale (1968-1974). Disertasinya cukup terkenal, yang berjudul The Residency of Madiun, Priyayi and Peasant during the Nineteenth Century. Kemudian ketika berkunjung ke Eropa, dia mencoba bereksperimen dengan makanan Italia, Perancis, dan China. Di Italia, Ong berteman baik dengan Ruth McVey, sejarawati yang mempunyai kastil di dekat Roma. Sekembalinya ke Indonesia pada tahun 1975, Ong berkata kepada David Reeve, sejarawan Australia, yang tengah menulis biografi Onghokham, "Saya kembali dengan dua keahlian. Gelar PhD dan memasak. Namun, memasak rasanya lebih penting."
Dosen "killer"
Kegemarannya akan Ilmu Sejarah mulai saat dia di HBS. Entah mengapa untuk pertama kali dia memilih Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), baru kemudian pindah ke Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra UI. Setamatnya dari Jurusan Sejarah, Ong sempat mengajar di fakultas. Sebagai dosen, Ong terkenal killer. Tidak senang dengan mahasiswa belajar asalan saja. Kalau jengkel, dia melempar apa saja yang ada di genggamannya ke mahasiswa. Para mahasiswi yang berdandan menor terpaksa harus menghapus make-up-nya karena kalau si mahasiswi dianggap bodoh, Ong mengomel dengan ucapan, "Huuh, waktumu dihabiskan dengan berpupur dan bergincu saja."
Tahun 1989 Ong pensiun. Usianya baru 56 tahun. Sekitar setahun Onghokham jadi Direktur Sekolah Tinggi dan Akademi BUDDI di Tangerang. Namun, Ong bukan tipe orang yang senang jabatan atau duduk di belakang meja jadi budak manajemen. Sekitar satu tahun saja dia minta berhenti. Ong kemudian bebas menulis di berbagai media antara lain di Kompas, Tempo, atau Prisma.
Unik dan orisinal
Pada 14 Februari 2001 Ong mendapat serangan stroke di Yogyakarta ketika hadir dalam perayaan ulang tahun ke-80 Prof Sartono Kartodidjo. Sebulan kemudian sekelompok teman dekat Ong berniat mendirikan Yayasan Lembaga Studi Sejarah Indonesia (LSSI), yang didukung oleh Freedom Institute, majalah Tempo, dan QB World Books. Pada HUTnya yang ke-68 diresmikanlah yayasan itu dalam sebuah pesta di Gedung Arsip, Jalan Gajah Mada 111, Jakarta. Dua tahun kemudian, pada usia yang ke-70, ia meluncurkan dua bukunya di Auditorium Perpustakaan Nasional (Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang dan The Thugs, the Curtain Thief and the Sugar Lord).
Namun, penyakitnya semakin payah. Bicaranya sulit dimengerti, Ong tidak disiplin dalam hal makan dan minum. Wines masih diminumnya, tetapi perutnya tak kuat lagi meneguk whiskey. Ong tak mungkin lagi pergi ke pesta, sedangkan teman-temannya semakin berkurang. Pesta ulang tahunnya yang terakhir, 1 Mei 2007, kurang meriah. Dan Ong sendiri juga tampak sedih.
Adalah Hardi Halim (teman Yoop Ave), Andi Achdian, dan Ardi Apian, Agustus 2006 mendirikan OngHokHam Institute (OHHI). Berkat nama Onghokham, institut berhasil mendapat sumbangan sebesar 100.000 dollar AS dari Ford Foundation. Tiga atau empat orang kini setiap harinya bekerja di ruang studi Ong. Karena dalam pengelolaan oleh OHHI ruang studi Ong harus memakai AC, pintu harus ditutup. Ong merasa tidak bebas lagi di rumahnya. Dia tidak bisa melewati ruang studinya untuk duduk di teras depan. Tentu agak sulit untuk memutar dengan kursi rodanya menuju teras. Si pemilik rumah cuma bisa berada di kamarnya yang di depannya ada taman seluas sekitar 2 x 3 meter. Ong menjadi seorang jaba tengah di rumah Bali-nya sendiri. Tempat favoritnya ialah teras depan dan yang biasa dilakukan Ong sambil tiduran, dekat kolam ikan dan beberapa pohon bunga, tak bisa dijamahnya. Hanya kalau akhir minggu, saat staf OHHI libur, barulah Ong boleh berada di teras depan.
Konon Yayasan LSSI nasibnya ada di ujung tanduk. Yayasan yang nonprofit dan nonpartisan ini konon akan dibubarkan oleh OHHI. Dapatkah?
Dalam suasana berkecamuk seperti itulah, sejarawan yang mempertahankan ketionghoannya, tokoh yang unik dan orisinal, pergi untuk selamanya.
Sebelum dikremasi, Ong dibaringkan dalam peti dengan memakai baju China berwarna merah maroon hadiah dari perancang pakaian Peter Sie di ulang tahun terakhirnya. Pada bibirnya diselipi sebutir mutiara. Menurut kepercayaan Buddha, itu agar Ong "nun di sana" tidak akan mengeluarkan kata-kata kotor. Upacara pemakaman di Rumah Duka Rumah Sakit Dharmais, Jakarta, dilakukan dengan upacara Buddha, Katolik, dan Khonghucu pada Minggu malam. Senin, 3 September, jenazahnya dikremasikan di Tangerang.
Terimalah Onghokham seadanya, dengan segala kebiasaannya, segala keunikan dan keanehan, serta segala keistimewaan dan kekhususannya. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar