Edna Pattisina dan Brigitta Isworo
Suatu hari pada Februari 1993, hanya berbekal tekad, Adrian Prabava terbang ke Jerman. Ia harus ’emigrasi’, kata yang menjadi favoritnya sejak dia berusia 6 tahun. Maka, tanpa uang cukup, pemuda berusia 21 tahun itu menapakkan kaki di Frankfurt. Kini, ia menjadi dirigen orkes Theater & Philharmonie Thüringen, Jerman.
Adri, panggilannya, berkisah, usia sembilan tahun dia mulai menyukai musik klasik. Uang jajannya habis dibelanjakan kaset musik klasik.
”Saya langsung menemukan dunia saya. Saya mendengarkan (Nicolò) Paganini, (Johann Sebastian) Bach, (Gustav) Mahler, (Anton) Bruckner. Saya haus informasi. Sejak itu, pikiran saya fokus pada musik klasik, mungkin reinkarnasi he-he-he,” ungkapnya awal Agustus lalu saat berlibur di Jakarta.
Keingintahuan yang besar mendorongnya belajar not balok secara otodidak, lalu belajar memainkan biola. Seiring bertambahnya usia, Adri makin ”dekat” dengan nama Herbert von Karajan, Bernard Haitink, Leonard Bernstein, dan Kurt Masur, para dirigen dunia.
”Saya ingat, waktu masih kecil pernah menonton dirigen Jepang, Hiroyuki Iwaki, memimpin NHK Symphony di televisi. Pikiran saya waktu itu, ngapain orang itu sampai keringatan begitu?” tutur putra sulung keluarga YB Bambang Arti Budhiatwan ini.
Dia memilih Jerman untuk belajar musik karena di Jerman paling banyak punya sekolah musik. ”Ada lebih dari 20 sekolah musik di Jerman, kita bisa pilih yang sesuai,” tutur Adri yang mula-mula tinggal di Freiburg.
Isi kantong yang amat terbatas tak mengurungkan niat dia ”mengembara” di Jerman. Untuk bertahan hidup Adri terpaksa menumpang dan bekerja apa saja, seperti menjadi pelayan restoran, sampai mengamen dengan biolanya. Untuk sementara, cita-cita belajar di sekolah musik tertunda.
”Les biola pada profesor sekali datang Rp 1,6 juta, sekitar 200 DM,” tutur Adri. Namun, Adri tak putus asa, dia belajar biola dari mahasiswa sekolah musik.
Dari situlah ia mendapatkan jaringan di kalangan sekolah musik. Adri berhasil mendapatkan beasiswa untuk belajar pada Conservatory of Detmold. Salah satu pengajarnya adalah pemain biola dan dirigen Cristoph Poppen.
Suatu saat Adri merasa tak cocok dengan pengajarnya, dan sempat meninggalkan sekolah untuk mencari pengajar lain. ”Saya sempat loyo. Ini terjadi sekitar 1995-1998. Apalagi saat itu kiriman uang dari Indonesia terhenti akibat krisis moneter,” ceritanya.
”Perjuangan” kembali dimulai. Dia mengamen di restoran, mengajar biola untuk anak-anak, turut bermain di berbagai konser, dan bergabung dengan Jeunesses Musicales World Orchestra di Berlin. Orkestra ini anggotanya berasal dari 41 negara. Di sini ia menjadi principal violin yang duduk di deret terdepan.
Menyerap
Meski sibuk bertahan hidup, kemampuan bermusik Adri makin terasah. Dia tetap berlatih, membaca, juga menonton konser. ”Dengan cara itu saya mengenal kehidupan musik di Jerman dari berbagai strata.”
Dia jadi tahu kebiasaan masyarakat Jerman berkaitan dengan musik klasik. ”Di Indonesia, musik klasik baru tontonan. Di Jerman ini seperti daily bread. Saya harus menyerap cara berpikir, bahasa, gaya hidup, dan disiplin mereka. Ini untuk memahami bagaimana mereka berkesenian,” tutur Adri yang pernah bermain di Belanda, Swiss, dan Perancis.
Kesempatan ikut bermain dalam berbagai orkestra di banyak negara itu membuat dia bertemu para pemain biola dan dirigen dunia, seperti Yehudi Menuhin (meninggal 1999), Kurt Masur, Kent Nagano, dan Yuri Temirkanov.
”Para maestro itu selalu menempatkan diri di belakang musik, tidak mendahulukan ego. Memang ada dirigen yang mementingkan gaya, agar terlihat bagus. Tetapi, dalam musik klasik, mereka yang jujur dan tak jujur itu kelihatan sekali,” paparnya.
Suatu hari Adri berjumpa Marco Rizzi yang antara lain memenangi kompetisi Tchaikovsky di Moskwa dan Queen Elizabeth di Brussel. Pemain biola itu lalu menjadi pengajarnya. ”Kami langsung cocok,” ucap Adri. Tiga tahun ia berguru. Rizzi pula yang melihat talenta Adri dan mendorongnya menjadi dirigen.
Sayang, permainan piano Adri tak memadai untuk menjadi pengiring opera. Ini sebuah tahap untuk menjadi dirigen. ”Untuk belajar jadi dirigen, saya harus mencari orang yang mau menerima kondisi saya,” ujar Adri.
Sampai dia bertemu Eiji Oue yang memimpin NDR Radiophilharmonie Hannover dan mengajar di Conservatory of Music and Theater di Hannover. Adri merasa terkesan pada gaya memimpin Eiji Oue.
”Saya langsung melepas pekerjaan. Gaya dia (Eiji Oue) mirip dengan kecenderungan saya. Ketika dia membuka kesempatan, ada 17 pelamar untuk menjadi muridnya. Setelah lewat tes, dia menerima saya sebagai satu-satunya murid,” cerita Adri.
Bagi Adri, ini seperti mendapat durian runtuh. Dia belajar menjadi dirigen sekaligus menemukan sosok guru yang mampu menumbuhkan rasa percaya diri. ”Kamu akan segera mengalahkan saya. Kamu termasuk 10 dirigen muda terbaik dunia. Saya mau kamu jadi yang terbaik,” kata Adri menirukan ucapan Eiji Oue.
Tak ingin mengecewakan sang guru, Adri berlatih keras. Eiji Oue meminta dia memimpin NDR Radiophilharmonie Hannover. Tugas di NDR dirangkapnya dengan menjadi dirigen pada Mitteldeutsche Kammerphilharmonie. Penghasilannya saat itu 400 euro sebulan.
”Biar irit, saya jadi suka makan tuna kaleng he-he-he. Biar gaji minus, saya tak mungkin kembali karena sudah berjalan sejauh ini. Saya harus bertahan,” ucap Adri yang memang bercita-cita menjadi dirigen.
Kompetisi
Ia mencoba mengikuti beberapa kompetisi penting di Eropa, antara lain di Polandia (2003) dan Spanyol (2004), tetapi keduanya gagal ia menangi. Tahun 2005 ia menyelesaikan pendidikan musik di Conservatory of Music and Theater di Hannover.
Pintu karier terkuak ketika dia belajar pada Kurt Masur dan terpilih berbagi panggung dengan dia, setelah mengalahkan 69 peserta lain. Masur lalu menawari dia ikut audisi asisten dirigen pada l’Orchestre National de France di Paris, Juli 2006.
Bintangnya makin bersinar ketika Adri menjadi peringkat kedua pada kompetisi di Besançon, Perancis, yang diikuti 350 dirigen. ”Saya kalah dari Lionel Bringuier, dia orang Perancis,” ungkapnya.
Mulai April 2006 Adri menjadi dirigen orkes Theater & Philharmonie Thüringen di kota Gera. Tugas itu diraih setelah ia mengalahkan 150 pelamar. Dia dikenal sebagai dirigen dengan cakupan penguasaan musik klasik, opera, hingga kontemporer. Bagi Adri, pencapaiannya tak lepas dari peran para guru, seperti Masur, Eiji Oue, Bernard Haitink, dan Jorma Panula.
Kini, dia tak lagi harus makan tuna kaleng. Adri punya agen yang mengurus jadwalnya sampai setahun ke depan. Dia tampil tak hanya di Jerman, tetapi juga di Italia dan Perancis. Dia menjadi dirigen berbagai konser dan pertunjukan balet, seperti Wiener Blut dan Tosca. Buah keputusan tahun 1993 itu mulai terasa manis....
***
Keprihatinan Adrian Prabava
Adri prihatin pada kesenian atau musik tradisional Indonesia, yang amat kaya dan dikagumi sebagian orang asing. Dia merasa menyesal tak sempat mendalami musik tradisional negeri sendiri. "Kalau ada yang harus dimajukan di Indonesia, ya musik tradisional itu," ujarnya.
"Kalau kita mau membangun tradisi musik, harus mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari kurikulum pendidikan, tempat-tempat pertunjukan, perpustakaan, sampai lembaga pendidikan musik mesti tersedia," tambahnya.
biodata
Nama lahir: Adrian Prabawa Budhi Prasetya
Nama panggung: Adrian Prabava
Lahir: Jakarta, 22 Februari 1972
Orangtua: YB Bambang Arti Budhiatwan dan CM Sri Rahayu
Adik:
- Bellarminus Pratomo
- Clarentia Prameta
Pendidikan:
- SMA Kanisius
- Conservatory of Detmold, Jerman
- Conservatory of Music and Theater in Hannover, Jerman
- Mitteldeutsche Kammerphilharmonie
- Asisten dirigen Kurt Masur di l’Orchestre National de France
- Dirigen pada Theater dan philharmonic Gera Jerman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar