Minggu, 19 Agustus 2007

Sepotong Sejarah Putu Sugianitri

Maria Hartiningsih

Apakah bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar? Putu Sugianitri terdiam sejenak sebelum mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai jasa para pahlawannya.

Putu Sugianitri (60), yang saat ini lebih dikenal sebagai pembudidaya jeruk bali, adalah ajudan terakhir Bung Karno. Ia baru bertugas sekitar setahun ketika situasi politik di dalam negeri sangat kritis.

Nitri, panggilannya, dilantik sebagai polisi wanita (polwan) pada pagi 30 September 1965 di Sukabumi, setelah mengikuti pendidikan bintara setahun. "Ada 31 siswa bintara waktu itu, lima dari Bali," ungkap Nitri, suatu siang ketika kami berbincang di bale bengong bambu di halaman rumahnya, di kawasan Renon, Denpasar, Bali.

Mungkin ia termasuk siswa paling muda kalau menilik usia sebenarnya. Ia mengaku "mencuri umur". Syarat usia menjadi siswa bintara 18 tahun, dengan tingkat pendidikan sekolah menengah pertama (SMP). Nitri saat itu baru selesai SMP.

Pada acara ramah tamah malam hari setelah pelantikan, sedianya Kepala Polri datang, tetapi tak jadi karena ada sesuatu yang penting di Jakarta. "Saya sudah pakai kostum tari," tutur Nitri. Di antara siswa-siswa seangkatan, ia dikenal sebagai penari Bali yang andal. "Tiba-tiba lampu mati. Acara batal. Saya tidak jadi menari. Kami kembali ke asrama."

Beberapa hari setelah itu, seorang polisi dari Detasemen Kawal Pribadi Presiden, dikomandani Ajun Komisaris Besar Mangil, menggantikan Tjakrabirawa, menjemputnya ke Jakarta untuk bergabung dengan enam polwan lain di Istana Negara.

Di istana juga ada ajudan lain, masing-masing dua dari Korps Wanita Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Semuanya berseragam. Nitri satu-satunya ajudan yang tak berseragam karena tugasnya lebih untuk mendampingi Bung Karno di istana, menyiapkan makanan, minuman, serta obat.

Pekerjaan Nitri dimulai pada pukul enam pagi untuk mencari kue-kue jajan pasar kesukaan Bung Karno. "Beliau paling suka lemper ayam yang daging ayamnya diopor, disuwir-suwir, dan lempernya digulung dengan daun pisang hijau pupus. Juga hunkue tak berwarna yang di dalamnya ada pisang kepok," tutur Nitri. "Beliau suka sekali sayur lodeh bari, ini sayur lodeh yang sudah tiga hari."

Bung Karno, kata Nitri, mengenal kedisiplinan sekaligus watak keras Nitri. Ia berani bertanya, bahkan membantah Bung Karno kalau perlu. Tetapi, ia juga sangat setia. Dia adalah satu dari sedikit orang yang menjadi saksi saat-saat terakhir Bung Karno sebagai presiden dan bagaimana kemudian keluarganya diperlakukan.

Berhenti

Pengumuman Bung Karno diberhentikan sebagai presiden terjadi ketika Bung Karno berada di Bogor. "Beliau berada di Istana Bogor, Jumat, naik helikopter. Begitu ada pengumuman, Bung Karno kembali ke Jakarta, dengan baju biasa, naik VW Combi. Sukma (Sukmawati Soekarno) waktu itu tanya, ’Kok baju Bapak enggak dipakai.’ Bung Karno menjawab, ’Kan, sudah ada pengumuman Bapak bukan presiden lagi,’" Nitri mengucapkan kalimat itu dengan suara tercekat.

Bung Karno dan para ajudan sempat melihat-lihat situasi Jakarta dengan kendaraan itu. Ia berpakaian biasa, tanpa peci. Waktu itu sedang musim rambutan. Bung Karno ingin makan rambutan rapiah kesukaannya. "Beliau bilang dalam bahasa Bali, ’Tri, sing ngelah pis, saya tak punya uang.’"

"Saya turun, membeli rambutan, lalu bilang ke pedagangnya, ’Tolong kasih ke orangtua di mobil itu.’ Bung Karno bertanya, ’Manis enggak?’ Suara khas itu membuat si pedagang tahu siapa yang ia hadapi."

Sebelum diusir dari istana, setiap pagi Bung Karno membaca semua koran yang terbit, yang semua mendiskreditkan namanya. "Saya tanya, kok Bapak diam saja. Beliau menjawab, ’Saya tidak mau terjadi perang saudara karena pro dan kontra.’ Beliau juga tidak sudi meminta suaka seperti dilakukan Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja. Kata beliau, ’Saya lebih baik mati di sini, tetapi Indonesia selamat dari perang saudara.’"

Dalam suasana politik yang panas itu, berbagai gosip juga menerpanya terkait dengan Bung Karno. "Saya marah sekali. Tapi, bisa apa saya?" suaranya meninggi.

Nitri berhenti menjadi ajudan setelah Bung Karno dipindahkan ke Wisma Yaso, diasingkan dari teman-teman, kerabat, dan keluarga. Ia sempat diminta menjadi ajudan keluarga penguasa yang baru, tetapi ditolaknya. "Semua orang waktu itu melihat kami dengan pandangan jijik. Untuk apa saya bekerja di situ?"

Protes atas perlakuan terhadap Bung Karno dan keluarganya, ia lakukan dengan menyatakan berhenti sebagai polwan. "Kalau Bung Karno, Bapak Bangsa dan Proklamator saja bisa diperlakukan seperti itu, apalagi orang seperti saya?"

Setelah itu Nitri sempat tinggal di rumah Ibu Fatmawati dan menyaksikan dari dekat kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarga Bung Karno. Ia sempat bertemu lagi dengan Bung Karno, ketika mantan presiden itu mendapat izin menghadiri upacara perkawinan Guntur dengan dikawal ketat. "Mukanya bengkak, topinya menceng-menceng dan sudah banyak lupa," ungkap Nitri mengenang.

Kepada Bung Karno, ia sempat meminta nama untuk anak sulungnya. "Nama itu ditulis di secarik kertas kecil, disembunyikan Mbak Mega di bawah alas sepatu. Pemeriksaan waktu itu sangat ketat, meski yang datang menengok anggota keluarga dekat. Bung Karno memberi nama anak saya, Fajar Rohita. Sekarang usianya 39 tahun."

Melanjutkan hidup

Meski situasi sudah jauh lebih baik, bahkan Megawati pernah menjadi Presiden RI, menurut Nitri, ada bagian sejarah yang tak bisa diubah dan harus diingat, agar bangsa ini belajar dari apa yang dilakukan terhadap orang yang berjasa melahirkan negeri ini.

"Sampai saat ini masih sulit buat saya menerima perlakuan terhadap Bung Karno pada hari-hari terakhir beliau," ujarnya.

Nitri menjalani kehidupan berkeluarga yang penuh dinamika. Sempat tinggal di Bandung, Nitri kembali ke Bali. Ia melukis, menjadi eksportir kerajinan Bali dan menari. Sebagian lukisannya yang beraliran surealis tergantung di dinding rumahnya yang sederhana.

Beberapa tahun terakhir ini, ketika enam dari tujuh anaknya sudah mandiri, Nitri mengembangkan tanaman langka Bali di lahan yang ia kontrak selama 30 tahun.

"Mulanya saya hanya ingin makan buah-buahan asli Bali yang biasa saya makan waktu masih kecil. Selain jeruk bali besar merah, juga mangga amplemsari, itu mangga asli Bali yang sudah langka," ujarnya.

Setiap hari ia bangun pukul empat pagi, lalu ke pasar, belanja untuk warung makan kecil yang dijalankan pembantunya. Setelah itu, seharian ia berada di kebun. Nitri menjalani hidupnya seperti orang kebanyakan, tetapi dengan kesadaran bahwa dari setiap langkah yang terayun, ada ingatan yang tertinggal. Itulah jejak sejarah.

2 komentar:

Widi A. mengatakan...

Saya Berharap lbih bnyak lagi orang yang membaca artikel ini, dan menyadarkan mereka...

Awignam Astu

Widi A. mengatakan...

Saya menemukan Artikel ini setelah membaca postingan ini :

Tahu kamu kalau aku ngomong blak-blakan. Aku yakin akan terjadi perang saudara. Kalau perang
dengan bangsa lain, kita bisa membedakan fisiknya.
Tapi dengan bangsa sendiri, itu sangat sulit. Lebih baik aku robek diriku sendiri, aku yang mati daripada rakyatku yang perang. Aku tidak sudi minta suaka ke negeri orang.
Bung Karno, dibisikkan kepada Putu Sugianitri ajudannya sebelum ajal.

di http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4996422

dan kemudian saya cari di google