Jakarta, Kompas - Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso mengakui selama 10 tahun memimpin Ibu Kota banyak rintangan yang ia hadapi. Hanya karena dirinya memiliki konsep, berani memutuskan, dan berani melaksanakan kebijakan tak populer, Sutiyoso menyatakan, ia mampu mengatasi berbagai rintangan tersebut.
Satu hal yang ia sesali, menjelang berakhir masa jabatannya sebagai gubernur, adalah gagalnya konsep megapolitan masuk dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara. Padahal konsep besar yang menyatukan tata ruang Jakarta dengan wilayah sekitarnya amat penting untuk mengintegrasikan seluruh rencana pembangunan.
"Tapi, ya enggak apa-apa. Konsep dasar sudah saya letakkan. Tinggal dilanjutkan. Saya sendiri sedang mencari tantangan baru," kata Gubernur yang dipanggil Bang Yos itu, dalam percakapan dengan Kompas, di ruang kerjanya di Jakarta, Kamis (16/8).
Sutiyoso mulai memimpin Jakarta pada 1997, ketika APBD Jakarta 1997/1998 hanya Rp 1,7 triliun. Ia akan menyelesaikan jabatan yang kedua pada 7 Oktober, saat Ibu Kota memiliki APBD Rp 21 triliun. Sebelum dia, hanya Ali Sadikin yang pernah menjabat dua kali gubernur.
"APBD saat saya mulai memimpin Jakarta hanya bisa untuk membayar gaji pegawai," kata mantan Panglima Komando Daerah Militer Jakarta Raya itu.
Krisis ekonomi yang melanda Asia pada akhir 1997 berdampak luar biasa terhadap Indonesia. Jakarta merasakan akibatnya.
Multikrisis terus menerpa, termasuk krisis politik yang berujung pada pergantian kepemimpinan nasional. Jakarta kembali harus merasakan dampak besarnya karena pergantian pemimpin nasional itu diawali dengan kerusuhan. Gedung dibakar, toko dijarah, anarki di mana-mana. Jakarta porak-poranda.
"Saya mulai memimpin Jakarta dengan kondisi sangat memprihatinkan. Masyarakat sedang eforia dengan kebebasan. Saya sendiri harus mengubah gaya kepemimpinan dari militer ke sipil," ujarnya.
Sutiyoso menyatakan, pascakerusuhan itu Jakarta harus dikembalikan sebagai kota jasa yang bergairah meski pertumbuhan ekonomi Ibu Kota merosot drastis, menjadi minus 17,49 persen.
Setelah kerusuhan, kesenjangan kaya-miskin pun menjadi persoalan. Sutiyoso mengatakan, ia lalu menempuh dua jalur penyelesaian, secara fisik melalui jalur hukum dan nonfisik melalui pendekatan persuasif.
Malam hari Sutiyoso masuk ke kantong-kantong orang kaya Jakarta, meyakinkan mereka agar membantu rakyat miskin. Hasilnya, katanya, berbagai jenis bantuan mengalir. "Siang hari saya bersama para donatur masuk ke kantong-kantong kemiskinan, membawa bantuan itu. Kepada rakyat yang menerima saya sampaikan siapa yang membantu mereka," ujarnya.
Upaya pemulihan itu terus dilakukan sampai akhirnya Pemilihan Umum (Pemilu) 1999 digelar. Itu dianggap ujian oleh Sutiyoso. Pemilu 1999 berjalan aman, dengan tingkat partisipasi mencapai 99,7 persen.
Dengan kondisi aman saat Pemilu 1999 dan seterusnya, kata Sutiyoso, kepercayaan para investor tumbuh, investasi masuk, dan itu berarti pembangunan kembali berjalan.
Masa kepemimpinannya pada periode 1997-2002 itu disebut Sutiyoso sebagai "masa survival". Pada tahun 2002 APBD DKI Jakarta sudah mencapai Rp 9,6 triliun. "Saya orang yang happy menghadapi tantangan," ujar lulusan Akademi Militer Nasional 1968 itu.
Pendekatan megapolitan
Saat terpilih kembali sebagai gubernur tahun 2002, menurut Sutiyoso, ia mengawalinya dengan tekad mengubah Jakarta agar nyaman ditinggali warganya dan tidak kalah dengan kota besar lain di dunia. Oleh karena itu, program-program strategis pun disusun.
Sutiyoso menyebut sejumlah masalah besar yang harus dibenahinya, seperti transportasi, banjir, sampah, pendidikan, permukiman, dan kemiskinan.
Penanganan beberapa masalah itu di antaranya, menurut Sutiyoso, tidak bisa lepas dari keterlibatan daerah sekitar, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Karena itu, penanganan Jakarta harus dalam konsep megapolitan.
"Karena itu saya jadi bingung saat konsep itu tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Ibu Kota Negara yang baru. Saya tidak habis pikir," katanya.
Sutiyoso lalu menyebut penanganan banjir yang tidak hanya bisa ditangani dengan pembenahan 13 sungai di Jakarta. Banjir di Jakarta tidak bisa hanya ditangani dengan pembangunan Banjir Kanal Timur, untuk melengkapi keberadaan Banjir Kanal Barat. Penanganan banjir di Ibu Kota tentu harus melibatkan pula Kabupaten Bogor karena sungai-sungai bermuara di daerah pegunungan di selatan Jakarta itu.
Demikian pula masalah transportasi, menurut Sutiyoso, mustahil dibenahi tuntas tanpa melibatkan Botabek. Untuk angkutan umum bus transjakarta, misalnya, dia berangan-angan nantinya dapat tersambung hingga Tangerang, Depok, dan Bekasi. Subway yang akan dimulai dari Blok M hingga Harmoni juga dapat tersambung hingga Bogor. Demikian pula monorel yang akan menyambungkan wilayah timur (Bekasi) dan hingga barat (Tangerang).
Jika terwujud, hal itu dapat mengurangi pemakaian kendaraan pribadi warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta. Ibu Kota pun tak akan lagi penuh sesak kendaraan seperti sekarang ini.
Sutiyoso menyadari konsep pembenahan transportasi, juga sektor lain, akan mendapat tantangan segala kalangan. "Sebelum saya memutuskan, para profesor membuat konsep pembenahan itu. Saya yang lalu memutuskan untuk menjalankan. Pemimpin harus berani dan punya konsep," katanya.
Kritik pedas saat busway diterapkan dia abaikan karena dia yakin pembenahan untuk kepentingan masyarakat banyak harus dilakukan. Sutiyoso menyebutnya itu sebagai tindakan tidak populer yang harus dijalankan dan menjadi risiko ke arah perubahan lebih baik.
Masa depan
Tentang program-programnya yang belum bisa mengubah total Jakarta, Sutiyoso mengatakan, "Itu bukan gagal, tetapi belum berhasil karena semuanya perlu waktu."
Tugas gubernur baru untuk melanjutkan, kata Sutiyoso, yang menganggap keberhasilan penyelenggaraan pilkada sebagai "PR" terakhirnya.
Tentang rencana masa depannya, Sutiyoso menyatakan mungkin akan terjun ke bisnis.
Menanggapi keinginan agar dia maju dalam Pemilihan Presiden 2009, Sutiyoso mengatakan, "Kalau yang sekarang didukung rakyat dan berhasil, harus di-support habis."
Namun, Sutiyoso menyatakan dirinya orang yang terbuka dan siap menerima tantangan baru jika suasana menghendakinya. "Realistis saja karena menjadi pemimpin itu amanah," tutur Sutiyoso. (mul/nwo/vik)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar