Rabu, 15 Agustus 2007

Eep Saifollah Fatah

Analisis di Balik Benang Interpelasi

Ini Sebuah Kompetisi Perebutan Populeritas
Interpelasi DPR menjadi bola api yang memanaskan panggung politik nasional. Momentum tersebut menjadi ajang rebutan popularitas politik antara dua kutub kekuasaan. Yakni partai politik yang termanifestasikan dalam lembaga legislatif (DPR), melawan pejabat politik publik yang ’nangkring’ di eksekutif. Bagaimana kalkulasi politik atas dinamika itu? Apa resiko politik yang akan ditangguk kedua belah pihak menuju 2009? Inilah pandangan pakar politik UI Eep Saifulloh Fatah.



Bagaimana Anda memahami fenomena di balik dinamika interpelasi?

Ini konsekuensi logis dari dinamika politik 2009 yang sudah mendekat. Itu gejala yang sangat logis terjadi. Karena itu ada beberapa catatan. Pertama, dinamika ini belum tentu menandakan adanya gerakan oposisi yang genuin, terlembaga, dan punya basis politik yang kuat untuk berhadapan dengan pemerintah. Boleh jadi ini sekadar pemasaran politik (political marketing) menuju 2009. Kedua, fenomena ini bisa jadi merekfleksikan faksionalisme yang mengemuka dan memperlihatkan dirinya dalam partai-partai. Karena sebagai entitas politik, partai tidak akan homogen, pasti heterogen. Dari tubuh partai muncul banyak kelompok dan banyak pertikaian.


Apa contoh konkretnya?

Contohnya di internal Partai Golkar yang muncul beragam sikap dan tanggapan. Tapi intinya, Golkar tidak mungkin membangun oposisi karena Ketum-nya wakil presiden. Sikap Yuddy Chrisnandy misalnya, itu bisa dipahami dari berbagai sudut pandang. Saya melihat itu sebagai politik dua muka. Satu pihak bertugas menggempur kebijakan pemerintah, sementara partainya menjadi bagian dari pembuat kebijakan itu sendiri. Kemungkinan kedua, Yuddy dkk mewakili faksi tertentu yang tidak sepaham dengan Jusuf Kalla. Yang manapun kemungkinannya, sikap individual politisi di Senayan itu akan dikanalisasi oleh partai dan fraksi masing-masing. Kalau itu sudah terjadi, Golkar tidak segarang ini.


Apakah sikap Senayan ini adalah reaksi kekecewaan pasca reshuffle kabinet?

Kalaupun ada partai yang paling kecewa atas reshuffle, adalah PBB. Partai lain tidak. Jadi tidak terlalu tepat kalau gonjang-ganjing politik ini dilihat sebagai ekspresi kekecewaan reshuffle. Ini hanya perang popularitas. Dan politisi yang pandai memanfaatkan momentum, akan menangguk banyak keuntungan, yakni popularitas itu sendiri. Saya melihat ini sebagai kompetisi rebutan popularitas, antara partai politik yang direpresentasikan DPR dan pejabat publik di eksekutif, terutama presiden. Jadi apa ada resiko politik bagi SBY? Semua tergantung ujung dari proses politik di balik interpelasi. Kalau interpleasi berujung pada antiklimaks, misalnya Parpol berubah pendapat, yang asalnya vocal menjadi melempem. Reaksi itu justru akan menjadi hantaman balik yang keras bagi Parpol. Tapi belum tentu presiden bisa menangguk keuntungan. Kalau SBY menganggap ini sebagai pertarungan politik, maka yang harus dia lakukan adalah merebut momentum dari di tangan legislatif.


Bagaimana cara merebutnya?

Salah satu caranya, datang dengan gagah lalu memenangkan pertarungan (perdebatan, Red) di legislatif. Meski forum interpelasi DPR berjalan liar dan amburadul, presiden tetap berpeluang memenangkan poin popularitas itu. Misalnya, karena terlalu liarnya forum DPR hingga tak terkendali lalu presiden harus menghentikan jawabannya karena DPR, maka keuntungan sudah berada di tangan presiden. Publik akan berkata, ’gila ya DPR tidak bisa diatur dengan tertib laiknya manusia yang layak’. Apalagi jika forum terkendali, presiden juga lebih mudah mendapat keuntungan. Tetapi memang butuh keikhlasan presiden SBY untuk mau berada dalam posisi yang tidak nyaman. Celakanya, presiden SBY bukan tipe itu. Terbukti saat berpidato di depan anak-anak di Senayan, mereka ramai, SBY merasa terganggu dan menegurnya. Itu contoh kecil dari karakter pribadi presiden. Kalau SBY bisa memperbaiki karakter ini, maka keuntungan dari pertarungan politik ini ada di tangannya.


Banyaknya serangan Parpol pada pemerintah ini menandakan bergesernya peta dukungan pemerintah?

Ini bukan petanya yang bergeser, tapi hanya waktunya yang bergeser. Prinsipnya, dalam lima tahun waktu pemerintahan bisa dibagi dalam tiga periode. Pertama, waktu untuk konsolidasi awal. Keadaannya, partai yang diakomodasi di kabinet akan senang, yang tidak diakomodasi akan oposan. Fase itu sudah lewat. Fase kedua adalah fase transisi. Situasinya, konsolidasi sudah lewat tapi masa pemilu mendatang belum dekat. Ketiga, fase konstalasi menuju pemilu selanjutnya. Di pertengahan tahun pemerintahan ini, berbagai tanda menuju prosesi Pemilu 2009 sudah terasa. Semua partai bergerak, termasuk partai kecil. Mereka mulai berani bersikap tegas kepada presiden, sembari bicara ’Anda boleh besar sekarang, tapi 2009 belum tentu memegang kekuasaan’.


Artinya peta dukungan pemerintah tidak berubah?

Sejak awal peta aliansi bersifat temporer, ad hock, dan cair. Koalisi hanya terbangun oleh dinamika waktu, isu, dan konteksnya. Jadi gerakan politik menentang pemerintah ini bukan oposisi yang terlembagakan. Cirinya jelas, oposisi ini berbasis isu. Karena karakter oposisi yang terlembagakan itu akan berpindah dari sekadar isu ke wilayah platform. Kalau ada kebijakan yang melawan platform, mereka akan melawan.

Ciri kedua dari oposisi yang tidak terlembagakan adalah bersifat ad hock. Hari itu oposisi terbangun, hari itu oposisi pula bubar. Karena oposisi yang terlembagakan akan bisa menjaga aspek-aspek tertentu secara permanen. Mereka memiliki parameter tertentu untuk beroposisi. Ciri ketiga, disebut oposisi terlembagakan kalau agendanya tidak sekadar jangka pendek.


Dari dinamika politik ini, pihak mana yang paling diuntungkan?

Yang paling diuntungkan adalah yang bisa mengolah isu dengan baik. Misalnya presiden tidak mau datang dan mengirim menterinya. Itu persoalan. Menurut saya, tugas, kewajiban, dan kewenangan menjawab interpelasi DPR memang bisa diwakilkan. Yang tidak bisa diwakilkan dalam sistem presidensial manapun adalah akuntabilitas presiden. Pada dasarnya, interpelasi tidak sekadar sekadar bertanya dan menjawab, tapi lebih pada persoalan akuntabilitas kebijakan presiden. Kalau presiden mau bertitik tolak pada sistem presidensial yang terjaga, maka dia harus datang. Sebaliknya, kalau DPR bisa mengolah isu ketidakhadiran presiden itu dengan baik, maka DPR diuntungkan.


Apa saran Anda kepada presiden?

Jika presiden politisi yang cerdas, maka dia akan bertanya apakah benar partai punya konstituen? Anggota DPR itu sudah dikerangkeng dalam sistem pemilu, dan partai itu menjadi instrumen penting untuk menentukan kedudukan mereka. Karena itu ada recalling. Selain harus datang langsung, presiden juga bisa mengambil keuntungan dengan mengulur waktu. Karena pada akhirnya, anggota DPR akan tunduk pada kebijakan partainya. Partai tak mungkin terpecah belah, kecuali dia mau tercitrakan buruk. Saat itu presiden mulai bisa menghitung kekuatan partai. Misalnya Golkar sudah bisa dipastikan di kubu pemerintah, PBB juga karena Ketum-nya di eksekutif, lalu PAN masak tidak berpihak?, dan lainnya. Jadi presiden bisa manfaatkan kelemahan DPR ini dengan menghitung secara cermat.


Dari berbagai gempuran politik ini, mengapa kesan JK (Jusuf Kalla) terselamatkan?

Ini konsekuensi dari sistem presidensial, sekalipun Wapres dipilih dalam paket bersama presiden. Tapi tetap akuntabilitas kekuasaan tidak bisa dipindahkan. Akibatnya presiden tetap menjadi sasaran tembak utama. Jadi ada prinsip politik, kalau ingin mempunyai masa depan cerah di politik meski dengan tidur nyenyak, maka jadilah wakil presiden. Karena ketika presiden ’berakhir’, maka dia akan sangat berpeluang menggantikannya.


Apakah peluang itu juga bisa dimiliki JK sebagai modal ke Pilpres 2009?

Publik mempersepsikan pemerintahan ini mengalami miss-manejemen, kepemimpinan yang lemah, dukungan yang berubah-ubah, dan lainnya. Jadi sulit dibayangkan JK bisa memisahkan diri dari entitas pemerintahan ini. Karena dia bagian intergral. Yang bisa dilakukan JK adalah, mengatur ’politik dua muka’. Gunakan teori yang dipopulerkan Moerdiono, yakni ’teori pegang burung’. Kalau terlalu lemah burung terbang, kalau terlalu keras burung mati.

Karakter oposisi ini harus dipegang Golkar untuk menang. Kalau Golkar terlalu keras, maka JK ikut mati. Kalau memegangnya lemah, burung lepas. Artinya, Partai Golkar akan disamakan dengan Partai Demokrat. Jika ada kegagalan, Golkar akan masuk draf pembuat kegagalan itu sendiri. Jadi wajar, dalam batas tertentu, JK senang ada kader Golkar yang berwajah oposisi di parlemen.


Dari tekanan politik yang tertubi ini, apakah SBY akan tetap punya hal yang laku dijual pada 2009?

Pertaruhannya SBY ada di periode 2008-2009. Itu kesempatan terakhir pemerintah mengubah arah grafik popularitasnya. Selama pemerintahan tidak bisa mengeluarkan kebijakan menyentak dan menghasilkan kejutan di masyarakat, maka popularitasnya tidak akan tertolong. Bidang kerja yang harus dijadikan fokus kebijakan adalah terkait kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Celakanya, itu membutuhkan mobilisasi yang cukup besar.


Kebijakan macam apa?

Cara strategis yang bisa ditempuh adalah membuat gebrakan kebijakan populis yang memiliki muatan memori jangka pendek. Sehingga rakyat mudah mengingat dalam dua tahun terakhir ini pemerintah telah berakhir baik. Atau khusnul khotimah. Kedua, SBY harus cermat mengawasi orang di sekitarnya. Akhir kinerja pemerintah buruk atau tidak itu tergantung agenda politik orang-orang yang ada di pemerintahan sekarang. Sebab belum tentu JK senang kalau pemerintah terlalu sukses. Karena untuk menghadapi kontestasi Partai Demokrat dan SBY, Golkar harus mengurangi kredibilitas politik Partai Demokrat dan SBY dari hasil sukses yang terlalu mengesankan. (Ahmad Khoirul Umam)

Tidak ada komentar: