Selasa, 25 September 2007

Marinho Clelsea

Berpijak dari Kegagalan

Jose Maria dos Santos Mourinho Felix menjadi salah satu pelatih sepak bola "langka" karena mengawali karier sebagai interpreter, bukan terlahir dari pemain seperti kebanyakan pelatih lain. Mungkin karena latar belakang itu pula, Mourinho punya keyakinan diri begitu besar, yang oleh sebagian koleganya dinilai menyebalkan.

Pemerhati sepak bola ingat betul ketika pada akhir Desember 2006, Mourinho, yang Kamis (20/9) lalu mengundurkan diri dari jabatan pelatih Chelsea, berpolemik dengan Pelatih Manchester United (MU) Sir Alex Ferguson. Gara-garanya, terkait persaingan MU dan Chelsea di puncak klasemen Premiership, Mourinho sesumbar bahwa "The Red Devils" akan kehilangan poin di akhir kompetisi. Dan, itulah saat bagi Chelsea untuk menggaet keuntungan.

Celaka bagi "The Blues". Pada laga 27 Desember, mereka ditahan imbang 2-2 oleh Reading, sedangkan MU memukul Wigan 3-1. Ferguson yang sudah lama meradang dengan gaya Mourinho berkata kepada pers, "Jose pernah bilang, suatu hari kami akan kehilangan poin sebelum akhir kompetisi. Namun, dia tak perhitungkan bahwa dia kehilangan poin mulai saat ini hingga akhir kompetisi," kata Fergie.

Bukan Mourinho kalau tak jago ngeles. Ia berkilah, kemenangan MU bukan luar biasa. Pelatih kelahiran 26 Januari 1963 itu bahkan mengaku gembira masih bisa membuntuti MU di posisi runner-up, meski tanpa empat pemain inti yang cedera: Petr Cech, John Terry, Joe Cole, dan Arjen Robben. Kilah yang cerdas plus licik bukan main.

Situs berita olahraga ESPN mengelompokkan 11 pernyataan Mourinho selama ia membesut Chelsea, 2004 hingga 2007, dengan sebutan "Komentar-komentar Ngetop Mourinho". Salah satunya, dan sekaligus yang paling mendunia, tak lain pernyataan di hadapan wartawan Inggris sewaktu ia akan mulai bertugas di Stamford Bridge.

"Tolong jangan anggap saya arogan, tetapi saya ini pelatih dengan predikat juara Eropa, dan tergolong tokoh yang sangat spesial." Begitu kata Mourinho. Setelah pernyataan itulah Mourinho akrab disebut sebagai "the special one".

Gagal jadi pemain hebat

Meski ia anak kandung Felix Mourinho, mantan kiper tim nasional Portugal, sama sekali tak ada rekam jejak seputar aksi Mourinho di klub sepak bola ternama. Ia hanya disebutkan pernah bermain di sejumlah klub kecil Portugal dan berakhir tanpa prestasi mengesankan. Bisa dikatakan, ia gagal mengukir rekam jejak hebat sebagai pemain.

Yang menonjol justru bakatnya sebagai manajer data, plus kepiawaian dalam mengorganisasi staf klub sebelum, selama, dan seusai laga. Tak heran, begitu menyadari kiprahnya sebagai pemain sudah mentok, ia lalu bekerja sebagai periset dokumen di klub sang ayah. Pekerjaan ini ditunjang gelar sarjananya di bidang Pendidikan Fisik, dengan spesialisasi metodologi olahraga serta aktivitas mengajar di SMA.

Selepas mengabdi sebagai petugas klub di Estrela da Amadora dan klub kota kelahirannya, Vitoria de Setubal di awal 1990, Mourinho lalu akrab dengan julukan tradutor ketika ia bekerja sebagai interpreter pelatih top Sir Bobby Robson. Ketika itu, Robson yang eks pelatih tim nasional Inggris melatih Sporting Lisbon dan FC Porto.

Dia pun ikut hengkang ke Barcelona saat Robson hijrah ke klub Catalan, Spanyol, itu. Saat Sir Robson meninggalkan Barca, Mourinho memilih bertahan dan bekerja dengan pelatih pengganti, Louis van Gaal. Sikap percaya diri yang oke membuatnya secara perlahan makin mendapat tempat di bawah Van Gaal. Tak heran, dia mulai bekerja tak hanya sebagai interpreter, tetapi berpartisipasi dalam latihan dan rapat-rapat manajemen serta mulai melatih tim B Barcelona.

Mourinho pertama kali menangani tim senior saat membesut Benfica, tahun 2000. Namun, pengabdian perdana sebagai pelatih itu tak menorehkan prestasi signifikan. Setelah sempat singgah di Uniao de Leiria dan mengantar klub tersebut ke posisi ketiga klasemen Liga Portugal, dari sebelumnya langganan papan tengah, Mourinho hijrah ke klub yang membuat namanya melejit: FC Porto.

Menyulap Porto

Ia hadir di Porto dalam kondisi pemain yang miskin motivasi dan suasana tim yang serba murung. Porto ketika itu adalah Porto yang tak diperhitungkan bersaing dalam perebutan gelar Liga Portugal dan tak lolos kualifikasi kompetisi antarklub Eropa.

Musim 2002/2003, Mourinho mengantarkan Porto ke urutan ketiga klasemen akhir, dengan riwayat performa mengesankan dalam 15 kali tampil: 11 kali menang, dua kali seri, dan dua kali kalah. Pada saat itu pula, dia berjanji membawa Porto juara Liga Champions musim depan.

Untuk mewujudkan janji itu, dengan cepat Mourinho mengidentifikasi pemain-pemain inti yang dia yakini mampu menjadikan Porto sebagai tim tangguh: Vitor Baia, Ricardo Carvalho, Costinha, Deco, Dmitri Alenichev, dan Helder Postiga. Ia juga memanggil kembali Jorge Costa setelah enam bulan dipinjamkan ke Charlton Athletic.

Upayanya menghadirkan sejumlah pemain dari klub lain, seperti Nuno Valente dan Derlei (dari Leiria), Paulo Ferreira (Vitoria Setubal), Pedro Emanuel (Boavista), serta Edgaras Jankauskas dan Maniche yang saat itu lepas kontrak dari Benfica, membuat performa Porto lebih ofensif dari sebelumnya. Pendekatan Mourinho yang inovatif—bersandar pada peningkatan fisik pemain dan pendekatan ilmu pengetahuan—berbeda dengan gaya konservatif Portugal; membuat serangan Porto sulit dimatikan lawan.

Ketahanan fisik yang tangguh plus kemampuan menyerang bek dan gelandang Porto seperti Derlei, Maniche, dan Deco membuat lawan gampang kehilangan bola atau terpaksa memainkan umpan-umpan panjang yang mudah dihentikan.

Bersama FC Porto-lah Mourinho meraih dua kali gelar juara Liga Portugal dan sekali Liga Champions. Ia pun dilirik manajemen Chelsea dan mulai melatih "The Blues" sejak 2004. Persis dengan Porto, Chelsea pun dia pimpin hingga menjuarai Liga Inggris dua musim berturut-turut. Di Stamford Bridge, ia hadir sebagai "dirigen" ahli yang meramu kapasitas bintang seperti John Terry, Frank Lampard, Petr Cech, dan Didier Drogba.

Tahun 2007 menjadi pertaruhan prestasi Mourinho seiring dengan melambungnya harapan bos klub Roman Abramovich yang ingin Chelsea menjuarai Liga Champions, seperti ia raih bersama Porto tiga tahun sebelumnya. Celakanya, "The Blues" tersisih di semifinal turnamen antarklub Eropa itu oleh Liverpool sehingga meski saat itu Chelsea meraih Piala FA dan Piala Liga, performa Mourinho dinilai kurang memuaskan.

Bersamaan dengan itu, mencuat pula rumor hubungan kurang harmonis antara dirinya dan Abramovich. Salah satu penyulutnya, pemain yang direkrut atas intervensi Abramovich, seperti striker Andriy Shevchenko, gagal tampil impresif bersama "The Blues". Sheva, panggilan akrab penyerang Ukraina itu, gagal menghadirkan performa gemilang sebagaimana saat memperkuat AC Milan. Mourinho secara terbuka pernah mengungkapkan kekecewaan terhadap Sheva dengan kalimat, "Sebenarnya saya ingin dia bisa bermain seperti (baca: segemilang) Drogba."

Mourinho sebenarnya masih punya asa untuk meraih trofi Liga Champions 2007/2008. Setidaknya itu tersirat dari pernyataan "the special one", yang menegaskan bahwa tak ada beda pendapat sedikit pun antara dirinya dan Abramovich. Semua problem teratasi dalam pertemuan dari hati ke hati sebelum musim kompetisi 2007/2008 bergulir.

Akan tetapi, hasil seri 1-1 melawan Rosenborg (Swedia) pada penyisihan Grup B Liga Champions di Stamford Bridge menambah pening kepala Mourinho. Betapa tidak? Rosenborg sama sekali bukan klub mapan di daratan Eropa. Bahwa Chelsea berhasil dipaksa main imbang di kandang sendiri sama artinya "The Blues" tak punya taji yang tajam untuk bersaing di turnamen para juara itu. Sadar bahwa Chelsea sulit memenuhi harapan klub, ia mundur sejak Kamis, 20 September 2007. (ADI PRINANTYO)

Tidak ada komentar: