Setiap Konflik Bisa Diatasi
Budi Suwarna
Nama Martti Ahtisaari mulai dikenal secara luas di Indonesia sejak berlangsung perundingan damai antara Pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki, Finlandia, tahun 2005. Dialah tokoh yang memediasi perundingan tersebut. Tanpa bantuan Martti mungkin belum ada perundingan di Aceh saat ini.
Selain di Aceh, mantan Presiden Finlandia ini juga terlibat sebagai mediator di berbagai belahan dunia, mulai Kosovo hingga beberapa negara di Afrika. Saat ini dia juga mulai ambil bagian dalam upaya mendamaikan fraksi-fraksi yang bertikai di Irak. Tanggal 3 September lalu, dia berhasil membawa pemimpin Syiah dan Sunni untuk memulai perundingan di Helsinki. Dia yakin semua konflik, tak terkecuali konflik Irak, bisa diatasi.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Martti yang berlangsung 6 September lalu di kantornya yang sederhana, Crisis Management Initiative (CMI), di Helsinki.
Apa yang memotivasi Anda terlibat dalam mediasi konflik?
Mungkin ini ada hubungannya dengan masa kecil saya. Saya lahir di kota Viipuri—kini menjadi bagian Rusia—pada tahun 1937 atau dua tahun sebelum Uni Soviet menyerang Finlandia. Akibat serangan itu, sekitar 400.000 orang kehilangan tempat tinggal. Saya merasakan betul betapa susahnya menjadi rakyat ketika konflik terjadi. Saya bersama ibu saya harus pergi menuju bagian timur Finlandia untuk menghindari perang. Saya kemudian ditampung komunitas petani sebagai pengungsi selama beberapa bulan. Setelah itu, saya memulai karier internasional pada tahun 1960 dan saya banyak terlibat dalam upaya perdamaian. Jadi, perdamaian sangat melekat di hati saya.
Jadi, pengalaman hidup mendorong Anda untuk menjadi mediator perdamaian?
Ya. Hingga kini saya masih diminta (untuk menjadi mediator). Saya telah bekerja 30 tahun bersama PBB sejak tahun 1977 hingga sekarang dan saya telah bekerja sama dengan lima sekjen PBB.
Apa tujuan utama yang ingin Anda dicapai dalam setiap proses negosiasi damai?
Saya kira seorang mediator harus tahu pintu masuk untuk memulai sebuah negosiasi. Dalam kasus Aceh, sangat jelas bahwa Pemerintah Indonesia menawarkan otonomi khusus. Kami kemudian meminta penjelasan apa makna otonomi itu. Dengan demikian, pihak lain dapat mengetahui masyarakat macam apa di Aceh yang bisa didukung pemerintah. Kami memulai dengan cara itu sehingga kami tidak menghabiskan banyak waktu. Anda tahu, saat itu kami sedang didesak waktu karena ada bencana tsunami.
Apa syarat yang harus dimiliki seorang mediator?
Syaratnya bisa berbeda untuk setiap kasus. Saya kira kebanyakan dari kita bisa mengerjakan hal ini jika diberi kesempatan sebab mediasi berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di tempat kerja dan di dalam keluarga. Saya sendiri mulai terlibat dalam mediasi (konflik) ketika saya melatih tim basket sekitar 50 tahun lalu.
Tetapi ada orang yang bisa menjadi mediator yang ulung, ada yang tidak....
Tidak juga. Saya kira seorang mediator hanya perlu mencoba menyederhanakan masalah. Jangan membuat masalah menjadi lebih rumit. Anda harus bisa menyampaikan masalah apa yang paling penting untuk diselesaikan karena kadang-kadang orang membawa begitu banyak isu ke meja perundingan.
Berdasarkan pengalaman Anda, apakah model perdamaian di Aceh bisa diterapkan di wilayah konflik lain di dunia seperti di Irak?
Ini sangat bergantung pada situasi sebab setiap kasus memiliki kekhususan. Dalam kasus Aceh, ada pemerintah baru di Indonesia yang menginginkan penyelesaian konflik secara damai. Selain itu, konflik Aceh terkonsentrasi di sejumlah daerah. Sebaliknya, konflik di Irak jauh lebih kompleks dan masyarakatnya terbelah dalam kelompok Sunni, Syiah, Kurdi, dan lain-lain. Selain itu, ada banyak aktor independen. Saya tidak berani mengatakan bahwa prinsip-prinsip perdamaian Aceh bisa diterapkan di Irak.
Anda berhasil membawa pemimpin Sunni dan Syiah Irak bertemu di Helsinki. Apakah itu bisa menjadi awal negosiasi damai?
Saya harap begitu. Seluruh proses (pertemuan) itu dimulai ketika saya mengunjungi Afrika Selatan dalam kapasitas saya sebagai Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Kosovo. Saat itu, teman-teman saya di sana bertanya apakah mungkin membawa pemimpin Irak ke Helsinki guna memulai proses negosiasi. Saya meminta informasi lebih banyak dari mereka, lalu saya berbicara dengan Pemerintah Finlandia, dan pemerintah memberi lampu hijau. Saya kemudian menawarkan CMI sebagai saluran. Pertemuan pun terjadi. Orang-orang Afsel dan Irlandia Utara didatangkan untuk membagi pengalaman kepada pemimpin Irak bagaimana membuat perdamaian. Kemudian, para pemimpin Irak duduk bersama. Saya pikir mereka telah memanfaatkan waktu mereka dengan baik di sini dan kantor saya (CMI) akan membantu mengatur beberapa pertemuan dengan mediator dari Afsel dan Irlandia Utara.
Mengapa Anda tidak mengajak Indonesia untuk menyelesaikan konflik Irak?
Saya kira Indonesia tidak punya banyak pengalaman seperti Afsel dan Irlandia Utara. Lagi pula tidak baik membawa terlalu banyak pihak luar di awal perundingan.
Apa persoalan terbesar yang bisa menghalangi negosiasi damai antara Sunni dan Syiah Irak?
Saya bukan ahli masalah Irak, tetapi penting bagi mereka untuk memperbaiki pembagian kekuasaan antara Sunni, Syiah, dan Kurdi. Ini bergantung pada mereka, bukan pihak luar.
Menurut saya, penyelesaian masalah Irak bergantung pada kebijakan luar negeri AS. Kalau pandangan Anda sendiri bagaimana?
Saya kira hampir semua orang ingin pasukan asing keluar dari Irak. Tetapi mereka juga tahu bahwa penarikan pasukan tidak bisa dilakukan begitu saja sebab ada masalah keamanan di sana. Tantangan utama saat ini adalah bagaimana mulai membangun masyarakat Irak, bagaimana menenangkan situasi, mencegah pertikaian internal, dan mencegah pasukan asing mencampuri urusan internal Irak.
Bagaimana Anda menghadapi AS yang masih mendominasi urusan Irak?
Ini bukan masalah orang AS saja. Dunia punya kepentingan untuk memastikan pembangunan di Irak berlanjut. Saya kira peran sentral harus diserahkan kepada rakyat Irak sebab mereka yang harus berpikir untuk membuat kesepakatan dan menyelesaikan masalah mereka sendiri.
Apakah upaya Anda mendamaikan Irak secara total terpisah dari upaya AS?
Ya. Di sini tidak ada satu pun pemerintahan yang ikut terlibat dalam negosiasi. Pemerintah Finlandia, misalnya, hanya memberikan fasilitas seperti memberi visa dan membantu pemimpin Irak hadir di sini. Inilah prinsip kami sebab kami tidak sedang mengorganisasi pihak-pihak yang bertikai, kami hanya memfasilitasi. Orang-orang (Irak) yang ada di sini sendiri ingin memulai proses (perundingan). Ini adalah pertanda baik sebab orang-orang dengan pandangan berbeda bisa duduk bersama dan berdebat.
Beberapa kawasan di dunia rentan terhadap konflik, seperti Sahara Barat, Sudan, Afganistan, dan tentu saja Timur Tengah. Apakah kawasan itu akan tetap menjadi titik api konflik pada masa mendatang?
Saya cenderung mengatakan bahwa setiap konflik sekarang ini bisa diatasi. Kuncinya adalah kita bisa mengurangi kemiskinan, menyelesaikan masalah kemanusiaan, dan memperbaiki demokrasi di mana pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar