Selasa, 11 September 2007

Dunia Sunyi SK Trimurti


Maria Hartiningsih dan Ninuk Mardiana P

Tubuhnya terkulai di tempat tidur. Selang makan dipasang di lubang hidung. Matanya hampir selalu terpejam. Sesekali suara napasnya meningkahi sunyi ruang VIP Anggrek di RS PGI Cikini, Jakarta, tempat Soerastri Karma Trimurti (95) dirawat tiga pekan terakhir ini.

Ketika Sainah (46) memberi tahu ada yang berkunjung, Bu Tri, begitu ia disapa, mengeluarkan suara yang jelas, dalam bahasa Jawa, "Kowe sapa Ndhuk?" (Kalian siapa, Nak?)

Jawabannya tidak terlalu berarti karena tampaknya ia kembali tenggelam di dalam dunianya yang sunyi, entah di mana. Kadang, seperti diceritakan Sainah, yang mendampinginya 25 tahun terakhir, Bu Tri melantunkan tembang Sigra Milir, lagu Jawa yang syairnya berisi cerita tentang legenda Joko Tingkir.

Kali lain ia menyanyikan lagu-lagu dolanan bocah di Jawa, seperti Ilir-ilir, atau seperti ditirukan Sainah, "Saya lupa judulnya, itu lho... Aduh Yu Truno.. kathokku copot, enggal benekna." (Aduh Yu Truno, celanaku lepas, tolong dibetulkan).

Sesekali Bu Tri membuka matanya, tetapi lalu memejam lagi. Jari-jari tangannya masih bisa menggenggam tangan orang yang menyentuhnya.

Kata Sainah, Bu Tri suka berontak, dengan menggaruk-garuk tubuhnya, dan menarik selang makan. Mungkin karena itu kedua tangannya diikat longgar dengan kain. Posisi tidurnya telentang dengan dua tangan melencang.

Pejuang

Sudah dua tahun terakhir ini perempuan yang pernah menjadi Menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Syarifuddin I dan Kabinet Amir Syarifuddin II itu berada dalam kondisi seperti itu, setelah berkali-kali terjatuh. Kata putra bungsunya, Heru Baskoro (65), tahun 2000, Bu Tri jatuh sehingga harus dicangkok besi tulang pinggulnya.

Kerapuhan tubuh ibu dua anak, nenek dua cucu, dan buyut dari satu cicit ini, selain faktor usia, tampaknya juga dipengaruhi peristiwa tabrakan hebat pada tahun 1994. Menurut Heru, mobil sampai harus digergaji untuk mengeluarkan tubuh Bu Tri.

"Orang menyangka Ibu meninggal saat itu," kenang Heru. Bu Tri dirawat berbulan-bulan di rumah sakit, tetapi ia bertahan. Hanya, setelah itu, ia harus memakai tongkat kalau berjalan.

"Sebelum itu, Ibu masih pergi ke mana-mana. Pada usia 82 tahun Ibu masih naik bus," lanjut Heru. "Pekerjaan di rumah juga dilakukan sendiri, cuci piring, cuci baju," ujar Sainah.

Hidupnya sederhana. Sebagai mantan menteri, Bu Tri sebenarnya berhak atas rumah di kawasan Menteng, tetapi ia memilih Jalan Kramat Lontar. "Dekat kampung. Ibu lebih suka tinggal dekat rakyat, dan ia inginnya jadi rakyat biasa. Itu sebabnya, Ibu menolak ketika ditawari menjadi Menteri Sosial," tutur Heru.

Sejak dirawat di rumah sakit tahun 2005 selama setahun, Bu Tri harus dibantu semuanya. "Ibu mau makan?" Sainah menawari, "Aku durung luwe (Aku belum lapar)," jawab Bu Tri. "Kalau makan pakai selang cukup banyak. Kalau langsung, hanya sedikit sekali," lanjut Sainah.

Kata Heru, mengutip diagnosis dokter, di perut ibunya ada semacam varises. "Jantungnya bagus, paru-paru bagus. Ibu sakit tua," katanya.

Ingatan Bu Tri timbul tenggelam. Ia ingat anaknya, tetapi tak ingat cucunya, apalagi cicitnya. "Dia masih ingat Bung Karno dan Ali Sadikin," sambung Heru.

Nama SK Trimurti tercatat dalam sejarah perjuangan bangsa dan punya tempat khusus dalam sejarah pergerakan perempuan. Putri pasangan R Ngabehi Salim Banjaransari dan RA Saparinten binti Mangunbisomo yang dilahirkan di Boyolali, Jawa Tengah, tanggal 11 Mei 1912 itu tertarik masuk ke dunia pergerakan setelah mendengarkan pidato-pidato Bung Karno.

Ia mengikuti kursus kader yang diadakan Soekarno dan Partindo (Partai Indonesia) tahun 1933 setelah lulus dari Tweede Indlandche School atau Sekolah Ongko Loro dan sempat mengajar. Bu Tri menjadi pejuang militan, sampai dipenjarakan Belanda di Semarang tahun 1936 karena menyebarkan pamflet antipenjajah.

Ia kembali masuk penjara tahun 1939 karena tulisantulisannya di media massa dianggap membahayakan pemerintah kolonial. Saat itu ia baru setahun menikah dengan Sayuti Melik, tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi, dan mengetik naskah proklamasi.

Anak pertamanya, Moesafir Karma Boediman (meninggal tahun 2005), lahir dalam penjara. Bu Tri baru keluar dari penjara pada tahun 1943.

Dialah perempuan berkebaya yang membelakangi kamera di sebelah kanan Fatmawati Soekarno dalam foto pengibaran Sang Merah Putih seusai pembacaan naskah proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Hubungan Bu Tri dengan Bung Karno terganggu ketika Bung Karno menikahi Hartini. Bu Tri dikenal antipoligami. Namun, sikap itu tak menghalangi Soekarno memberikan Bintang Mahaputra Tingkat V kepadanya.

Tahun 1956 ia memimpin Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), cikal bakal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Ia pernah diutus Dewan Perancang Nasional (sekarang Bappenas) ke Yugoslavia untuk mempelajari manajemen pekerja. Kegiatannya hingga usianya mendekati 80 tahun masih penuh. Ia ikut menandatangani Petisi 50 tahun 1980.

Tidur tenang

Sebelum dirawat di RS Cikini, Bu Tri dirawat di RS MMC dan di RS Mitra Keluarga. "Waktu di Mitra Keluarga itu dibantu seluruhnya oleh Pak Fauzi Bowo," ujar Heru.

Biaya rumah sakit pada tahun 2005, menurut Heru, banyak dibantu oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dan Sekretariat Negara, selain bantuan Departemen Sosial. Ketika di RS MMC, keluarga mendapatkan bantuan dari Departemen Sosial sebesar Rp 10 juta.

"Biaya yang sekarang masih belum tahu," ujar Heru. Acara Peluncuran Buku 95 Tahun Perjuangan SK Trimurti yang dihadiri antara lain oleh Guruh Soekarnoputra dan Herawati Diah di Jakarta, beberapa waktu lalu, juga digunakan untuk mengumpulkan dana, dengan menjual edisi hard cover-nya seharga Rp 1 juta per buku.

Sayuti Melik berpulang tahun 1989. "Mungkin Ibu menangis di kamar, tetapi saya tak pernah melihat Ibu menangis di depan umum," ujar Heru.

Sekarang pun, Bu Tri terlihat tidur tenang, seperti tenggelam dalam dunianya sendiri. Hanya sesekali ia kembali dan menggumamkan tembang, lir ilir lir ilir...

Tidak ada komentar: