Kamis, 11 September 2008

Pujian Amerika, Senyuman Musdah Mulia

Hidayatullah.com—Meronalah wajah Siti Musdah Muliah. Ia mengaku terperanjat mendengar namanya disebut-sebut Amerika. Bukan apa-apa, siapa tak kenal Amerika? Kampiun demokrasi, sang polisi dunia yang sangat ternama.

“Saya hanya diberi waktu satu hari untuk mengurus visa dan berbenah sebelum terbang ke Amerika," ujarnya dikutip Antara di Washington DC, sesaat sebelum menerima penghargaan dari Menteri Luar Negeri Amerika, Condoleezza Rice.

Senang dan terkejut mungkin campur jadi satu. Apalagi ketika kedutaan Amerika Serikat di Jakarta menghubunginya dan mengatakan, dirinya dianggap terpilih menjadi satu-satunya wanita di Indonesia yang mendapatkan penghargaan dari Amerika Serikat.

Ia, katanya dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan 'pembaruan hukum Islam' –termasuk-- undang-undang perkawinan.

Karena itulah, pada Hari Perempuan Dunia tanggal 8 Maret kemarin, Musdah menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington.

Tapi Musdah bukan satu-satunya penerima penghargaan. Masih banyak wanita lain menerimanya. Diantaranya dari kawasan Asia Pasifik. Ada yang dari Zimbabwe, Latvia, Arab Saudi, Argentina, Maladewa, dua orang dari Afganistan, dan dua dari Iraq.

Penghargaan tahunan tersebut pertama kali diberikan pemerintah Amerika Serikat kepada perempuan dunia. Katanya, 'yang dianggap berani membuat perubahan demi kemajuan perempuan di negaranya'.

Musdah, adalah salah satua dari 100 wanita yang terpilih dari 100 nama yang diusulkan di seluruh dunia. "Saya hanya ingin mengembalikan prinsip Islam, yang humanis dan ramah terhadap perempuan," kata Musdah seolah merendah.

Dalam pidato sambutannya, Condoleezza Rice mengatakan, perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan jender tidak mudah. Negara demokrasi, seperti, Amerika Serikat pun, membutuhkan waktu lebih dari 130 tahun untuk memberikan hak pilih bagi perempuan.

Bergerilya

Siti Musdah Mulia adalah salah satu tokoh Islam Liberal yang pernah bikin heboh di Indonesia ketika mengusulkan counter legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) sekitar tahun 2004.

Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam ini dinilai banyak kaum Muslim 'melabrak' pemahaman tentang hukum perkawinan, waris, dan wakaf dalam Islam.

Diantara teks-teks krusial yang diusulan Tim Musdah Mulia ketika itu antara lain; disebutkan bahwa pernikahan bukan ibadah, perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri, poligami haram, boleh nikah beda agama, boleh kawin kontrak, ijab kabul bukan rukun nikah dan anak kecil bebas memilih agamanya sendiri. Pendekatan gender, pluralisme, HAM dan demokrasi bukanlah pendekatan hukum Islam.

Tentu saja bukan sepi masalah. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut draft ini sebagai bid’ah (penyimpangan) dan taghyir (perubahan) dari hukum Islam. MUI menyebut CLD-KHI sebagai upaya memanipulasi nash-nash Al-Qur’an.

Tak urung, kasus ini membuat Menteri Agama saat itu, Prof. DR. H. Said Agiel Al Munawar, menyampaikan teguran keras kepada Tim Penulis Pembaruan Hukum Islam, melalui suratnya tanggal 12 Oktober 2004, No.: MA/271/2004, untuk tidak lagi mengulangi mengadakan seminar atau kegiatan serupa dengan mengatasnamakan tim Departemen Agama dan semua Draft CLD-KHI agar diserahkan kepada Menteri Agama RI.

Bahkan Menteri Agama RI yang baru, Maftuh Basyuni langsung membatalkan CLD-KHI pada tanggal 14 Februari 2005. Dan Siti Musdah Mulia sebagai Ketua Tim Penyusun CLD-KHI dilarang pemerintah menyebarluaskan gagasannya.

Berhentikah Musdah? Tentu saja tidak. Ia bersama kawan-kawannya yang se ide–tentu saja dibantu The Asia Foundation lembaga donasi dari Amerika yang sering mendukung gagasan liberalisme-- terus mengasongkan gagasannya. Ia bahkan muncul kembali bersama para penulis buku Fiqih Lintas Agama. Yang oleh sebagian kaum Muslim dianggap banyak membuang makna teks dan menggunakan aspek konteks secara amburadul.

Dengan pujian Amerika yang baru saja ia sandang, nampaknya menjadi spirit baru Musdah untuk terus bergerilya. Walau, ia sesungguhnya tau, dampaknya, ia harus berhadapan dengan kaum Muslim di Negerinya sendiri.

"Pemahaman saya sering dicap terlalu kebarat-baratan dan saya tidak akan terkejut, sekembali dari Amerika Serikat, saya akan dicap sebagai antek Amerika," kata Musdah seolah telah siap dengan segala resikonya.

Tenar Setelah “Menghujat”

Kasus Musdah Mulia bukanlah hal baru. Khususnya Amerika dan Barat, pujian-pujian serupa ibarat permen yang akan terus diberikan disaat dibutuhkan.

Sebelum Musdah, ada nama Salman Rusdie dengan The Satanic Verses nya. Juga Irshad Manji, seorang warga Muslim asal Kanada yang kini tinggal di Belanda. Namanya begitu tenar setelah gagasannya yang mengatakan, cendekiawan Barat seharusnya tidak takut lagi mengkritik Islam.

Irsyad Manji adalah seorang aktivis yang juga penganut lesbianisme. Manji begitu tenar dan dipuja sebagai pahlawan di dunia Barat karena kritik agresif mereka terhadap Islam. Meski Manji begitu menyakit perasaan kaumnya sendiri, di dunia Muslim.

Bagi pers asing, Manji dianggap ‘seorang provokator berjalan untuk Islam tradisional’. Tahun 2003 ia mempublikasikan bukunya "The Trouble with Islam Today". Isinya banyak menghujat Islam.

Sebelumnya ada nama Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual muslim asal Mesir. Nasr Hamid Abu Zayd adalah pemikir liberal Mesir yang dihukumi 'murtad' oleh 2000 ulama Mesir atas beberapa pemikirannya yang cukup berbahaya. Ia kemudian lari di tampung di Negeri Belanda. Di sana, ia kemudian diberi puja-puji. Dan semakin liarlah pemikirannya.

Tapi itu hanya permulaan, kata cendekiawan Muslim Adian Husaini. Sebab, masih akan banyak nama yang akan menerima penghargaan oleh Amerika dan Barat di masa depan. Mengutip pepatah Arab, Adian mengatakan, “Khaalif, tu’raf!.” Jika ingin terkenal, gampang saja. Berfikirlah nyleneh!. Nah, boleh jadi Amerika juga akan mengundang Inul sebagaimana Musdah Mulia. [cholis akbar/hidayatullah.com]

Senin, 08 September 2008

Lonceng Natsir

Zaim Uchrowi

Nama daerah itu makin terlupakan. Sama dengan sosok besar yang dilahirkan di dataran tinggi nan sejuk di Sumatra Barat ini. Lembah Gumanti kini lebih dikenal sebagai Alahan Panjang. Di situlah seratus tahun silam, tepatnya 17 Juli 1908, sang pengukir peradaban Islam itu berasal. Ia Mohammad Natsir.

Tak sedikit tokoh umat yang terinspirasi (atau merasa terinspirasi) oleh Natsir. Tokoh-tokoh yang pernah melejit sebagai 'intelektual muda Islam', hampir selalu pernah dianggap sebagai Natsir muda. Yusril Ihza Mahendra, misalnya. Juga Amien Rais. Anwar Ibrahim dari Malaysia pun tak luput dari masa dianggap sebagai Natsir muda. Tentu banyak nilai-nilai Natsir yang diserap para tokoh itu. Tapi, tak semua mampu mengikuti seluruh sisi Natsir. Ada yang gagal meneladani kesederhanaan dan kerendahatian Natsir. Ada yang kurang sesabar sosok ini.

Natsir juga bukan sosok yang selalu sabar. Sesekali ia juga masih tampak marah. Tetapi, dalam konteks membangun umat dan bangsa, ia seorang pendakwah sejati. Seorang yang selalu berpegang pada prinsip-prinsip kesantunan dan kesabaran dalam melangkah. Prinsip itu selalu dijaganya. Dengan kesantunan dan kesabaran ia jaga keutuhan bangsa dan umat ini. Baginya, bangsa dan umat bagai dua sisi berbeda dari keping mata uang yang sama. Langkah-langkahnya hampir selalu diperuntukkan bagi bangsa dan umat sekaligus.

Natsir sempat berpolemik panjang dengan Soekarno soal landasan bernegara. Tentu ia juga berseberangan aliran dengan Kasimo yang Katolik. Tapi, buat Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim ini, ia duduk dan berbagi pandang dengan mereka. Ketika bangsa ini terancam terbelah-belah, Natsir mengajukan 'mosi' yang mengukuhkan kesatuan Indonesia sebagai republik. Langkah yang sangat menguntungkan Soekarno dalam memimpin. Natsir pun tak risau ketika tak lama kemudian Soekarno seperti tak mengingat jasanya. Bahkan, menjebloskannya ke tahanan.

Hal serupa terjadi semasa Soeharto. Ia telah membantu Soeharto menata kembali negeri ini setelah carut-marut G30S/PKI. Setidaknya dialah yang menjadi kunci pembukaan hubungan kembali dengan Malaysia. Tapi, ia mendapat perlakuan yang tak semestinya ia dapatkan sebagai negarawan. Buat Natsir itu bukan soal. Ia berbuat dan berbuat semata untuk kebaikan bangsa dan negara. Bukan buat kegagahan, kekuasaan, dan harta sebagaimana kebanyakan kita. Ia, sekali lagi, seorang pendakwah sejati. Seorang yang mensyukuri setiap keadaan yang dihadapinya. Seberapa pun buruk keadaan itu. Ia akan antusias memperbaikinya. Ia seorang yang akan melihat gelas yang separuhnya berisi air sebagai 'setengah penuh'. Bukan 'setengah kosong'.

Dalam berpolitik untuk umat, Natsir telah mengukir karya yang hingga sekarang belum ada tandingannya. Baginya, keislaman akan selalu berjalan seiring dengan intelektualitas, profesionalitas. Partai Masyumi yang dibangunnya adalah representasi cara pandang itu. Baginya, berpartai bukan buat kedudukan dan harta. Berpartai adalah buat memperjuangkan nilai-nilai kabangsaan dan keislaman yang mencakup intelektualitas-profesionalitas. Ini sisi lemah bangsa dan umat ini, hingga tertinggal dari bangsa lain. Banyak tokoh bangsa dan umat kita saat ini yang lemah dalam intelektualitas. Apalagi profesionalitas. Padahal, tak akan ada bangsa dan umat yang dapat maju tanpa itu.

Lima belas tahun silam sang pribadi itu meninggalkan hiruk-pikuk dunia ini untuk menghadap-Nya. Seabad kelahirannya sekarang seperti lonceng yang mengingatkan: tidakkah ini saat tepat buat merenung sejenak, belajar dari Natsir.

Rabu, 03 September 2008

Eto'o & Huntelaar Buruan Baru City



Foto: iat
MANCHESTER - Pembenahan terus dilakukan Manchester City. Setelah mendatangkan Robinho dari Real Madrid, kini The Citizen membidik striker Barcelona Samuel Eto'o dan penyerang Ajax Amsterdam Klaas Jan Huntelaar. Rencana membeli pemain itu merupakan instruksi pemilik klub baru Dr Sulaiman Al Fahim.

City akan mengajukan penawaran 32 juta poundsterling kepada Barcelona untuk meminang Eto'o. Kemudian, City juga menyiapkan angka sama kepada Ajax Amsterdam untuk menggaet Klaas Jan Huntelaar

Untuk itu, pria 31 tahun tersebut meminta kepada fans Inggris agar berhenti bermimpi dan rencana ini adalah pasti. Al Fahim terus melakukan koordinasi dengan pelatih, pemain dan tim ofisial.

"Saya tahu fan City mungkin dihadapkan kondisi tersulit di masa lau. Tapi, saya ingin memberi tahu mereka semuanya ini menjadi awal baru klub," kata Al Fahim seperti dilansir AP Rabu (3/9/2008).

"Ini nyata, bukan mimpi. Ini jangka waktu panjang dan menjadi komitmen bagi kami. Kami berambisi bertengger di empat besar musim ini, memenangkan liga musim depan, dan tiga tahun dari sekarang kami akan meraup mahkota Liga Champions," imbuhnya.

Bahkan Al Fahim menyimpan ambisi mengumpulkan para pemain top dunia. Nama Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Kaka, Cesc Fabregas, Fernando Torres, Ronaldinho, dan Dimitar Berbatov menjadi pemain yang memikat hati AL Fahim.
(fmh)

Al-Fahim Bangun Dinasti City




Foto: AP
MANCHESTER - Roman Abrmovich memang telah membangun dinasti di klub Chelsea. Namun, musim ini ia akan mendapat seteru sepadan. Adalah sang pemilik Manchester City, Dr Sulaiman Al-Fahim, yang mengaku akan membangun dinasti baru guna menyaingi taipan Rusia itu.

Sulaiman Al-Fahim telah memulai dengan kejutan mendatangkan Robinho pekan ini. Namun hal itu belum dianggapnya selesai. Pemilik saham Abu Dhabi United Grup (ADUG) itu langsung menargetkan Cristiano Ronaldo pada transfer kedua Januari nanti.

"Ronaldo mengatakan bahwa dia ingin bermain dengan klub terbesar didunia, jadi kami akan melihat pada Januari nanti jika dia memang serius," ujar Al-Fahim kepada Arabian Business magazine, Selasa (2/9/2008).

"Real Madrid telah menganggarkan USD160 juta namun bagi seorang pemain seperti dia tentu saja membutuhkan uang lebih, saya pikir USD240 juta," tambahnya.

Al-Fahim rupanya memang serius ingin menjadikan Manchester City sebagai pendobrak The Big Four. Bahkan tak hanya itu, menjadikan City sebagai klub terbaik didunia telah menjadi mimpinya yang ingin segera diwujudkan.

"Kami sedang berusaha menjadi klub terbesar di dunia, lebih besar dibanding Real Madrid dan Manchester United," ujar taipan Uni Emirat Arab.

Rupanya tak sampai disitu, dalam MoU antara ADUG dan City, Al-Fahim juga memasukan nama Fernando Torres dan Cesc Fabregas dalam incarannya di bursa transfer kedua, Januari nanti. Namun ambisi Al-Fahim tentu tidak mudah. Terbukti, City baru saja gagal mendapatkan Dimitar Berbatov yang lebih memilih Manchester United musim ini.

Saat disinggung mengenai target The City musim ini, Al-Fahim mengaku sangat yakin Mark Hughes akan segera memberikan gelar tropi musim ini. Tropi terakhir yang direbut Manchester City adalah Piala Liga yang mereka dapatkan pada tahun 1976.
(tok)

Al-Fahim: Saya Abramovich Baru


Selasa, 2 September 2008 - 14:37 wib





Foto: ist


MANCHESTER - Pemilik baru Manchester City Sulaiman Al-Fahim mengharapkan klub barunya dapat mengikuti jejak Chelsea yang langsung meroket setelah dibeli Roman Abromovich lima tahun lalu. Perusahaan Al-Fahim, Abu Dhabi United Group (ADUG) telah mengambil alih kepemilikan saham City dari Thaksin Shinawatra, Senin (1/9/2008).

Chelsea dua kali juara Premier League, satu kali Piala FA, serta melenggang ke partai final Liga Champion setelah Abromovich mengambil alih klub tersebut.

City belum pernah memenangkan gelar apapun setelah menjadi juara Piala Liga 1976 silam. Namun Al-Fahim yakin suntikan dana baru untuk klub asuhan Mark Hughes tersebut akan membuat penantian panjang mereka akan gelar juara segera berakhir.

Ketika ditanya bagaimana pembelian City oleh ADUG ini dapat dibandingkan dengan pembelian Chelsea oleh Abramovich, Al-Fathim memberikan jawaban lugas. "Saya pikir kejadiannya akan sama. Kami ingin melihat City berjuang memperoleh tropi di setiap turnamen," ungkapnya seperti dilansir sportinglife, Selasa (2/9/2008).

Selain suntikan dana, klub yang bermarkas di Eastland itu pun makin percaya diri dengan bergabungnya pemain Brasil, Robinho. Transfer Robinho segera memecahkan rekor transfer baru di Inggris dengan nilai 40 juta euro.

Jika ingin melihat apakah Manchester City dapat mengikuti jejak Chelsea, tunggu saja pertemuan keduanya pada Premier League di Eastland, Minggu (7/9/2008).
(fmh)

Ode untuk Ciil, Suamiku

Rabu, 3 September 2008 | 03:00 WIB 

Kartini Sjahrir

Ciil itu ibarat air, mengalir tak henti. Dia tidak memandang di mana berada, dan tak mempermasalahkan dengan siapa dia berhadapan.

Bagi dirinya, semua orang adalah sama. Status sosial tak terlalu dipedulikan. Ia bergaul dengan siapa saja dan dari berbagai kalangan. Seperti air, ia pun tidak terkotak-kotak dan mengotakkan diri pada satu atau beberapa aliran pemikiran dalam ilmu pengetahuan.

Mencintai dunia akademis

Ketika masih kuliah di Harvard, ia amat mengagumi Samuel Huntington dan pemikirannya. Semua buku Huntington, dia lalap dengan cepat. Saya bahkan terkena imbasnya, disuruh (jika tak hendak mengatakan di-”paksa”) membacanya saat saya mengambil mata kuliah antropologi politik di Boston University. Namun, pada saat sama, ia juga mengkritik pandangan Huntington yang disampaikan langsung kepadanya.

Dia juga mengagumi Prof Stanley Hoffman, pakar politik ekonomi Rusia dan Eropa Timur. Ia belajar mengenai pembuatan policy dari Prof Jack Montgomery, ahli kebijakan publik (public policy), di mana Ciil sendiri pernah menjadi asistennya selama tiga tahun. Ciil juga berguru kepada Prof Richard Musgrave tentang public finance. Ia juga menyukai Francis Fukuyama dalam buku The Great Disruption, seperti kekagumannya terhadap tulisan dan buku Kenneth Galbraith seperti The Affluent Society. Saya rada yakin Ciil hafal titik koma isi buku itu.

Pada awal tahun 2000, ia berteman dengan Prof Paul Krugman, kolumnis ekonomi The New York Times, dan profesor ekonomi dari Princeton. Ciil bahkan mengundang Krugman dua kali datang ke Indonesia untuk berceramah bersama antara lain Marie Pangestu. Ia juga menyukai pikiran ”kiri” Richard Robinson, seperti halnya ia tertarik dengan jalan pikiran Hal Hil dan Ann Booth dari Australia.

Cukup banyak mazhab dalam ilmu ekonomi yang membuat Ciil menatap kagum meski ia mungkin berbeda pendapat dengan sejumlah mazhab itu. Baginya yang terpenting bukan mempelajari perbedaan yang ada, tetapi mengupayakan bagaimana mengelola perbedaan itu bagi kepentingan pembuatan kebijakan publik. Lima tahun terakhir, pemikirannya banyak dipengaruhi pemenang hadiah Nobel Ekonomi Amartya Sen. Hampir semua buku Amartya dikoleksi dan dibaca berulang-ulang, diulas, dikomentari, dan didiskusikan.

Pada dasarnya, Ciil amat mencintai dunia akademis. Ia menyukai peran sebagai dosen dan penulis. Setiap kali ada ide menarik, ia ingin segera melukiskannya. Ide itu dapat datang kapan saja dan di mana saja. Biasanya ia mendikte ide itu langsung dari tempat dia berada: dari mobil, restoran, atau dari Bakoel Coffee, tempat favoritnya untuk minum kopi pada sore hari.

Berikut ilustrasi saat Ciil menelepon Poppy, sekretarisnya, ”Hallo Poppeke, di mana posisi? di kantor? Ok, tolong segera di komputer, aku mau dikte–cepetan! Jangan lebih lama dari 5 menit. Siap? Sekarang aku mulai….” Mulailah ide keluar seperti air mancur. Begitu selesai: ”Ada yang terlewat Pop? Ok kan semua? Tolong print out-kan ya. Aku balik kantor satu jam lagi….” Begitu Ciil kembali ke kantor, draf tulisan sudah siap dikoreksi. Ciil sendiri tidak pandai mengetik meski amat ingin karena jari-jari tangannya lebih besar daripada tuts komputer.

Perbedaan itu indah

Ibarat air mengalir, Ciil adalah sebuah mosaik. Bermacam ide, pikiran, dan aktivitas menjadi satu dalam tubuhnya yang subur. Ia memiliki karakter yang saya sebut ”pluralistik”.

Menurut Ciil, semua orang adalah sama dan perbedaan bukan untuk dipertentangkan, dikelola saksama. Perbedaan itu indah karena membentuk berbagai corak dan warna dalam suatu sinergi yang serasi. Ia sering mengutip istilah dari sahabatnya, Rocky Gerung, yang mengatakan, orang diukur berdasarkan ”ayat konstitusi” dalam suatu negara demokratis. Bukan dari ”ayat- ayat suci”. Bagi Ciil, agama adalah sesuatu yang teramat suci yang tidak boleh ditransaksikan secara politik. Hubungan seseorang dengan pencipta-Nya adalah sesuatu yang amat pribadi dan sakral.

Sikapnya yang amat mendukung kemajemukan inilah yang kemudian mendorong Ciil membangun Partai Perjuangan Indonesia Baru pada tahun 2002, selain pemahaman tentang pentingnya kemakmuran ekonomi berlandaskan keadilan sosial, seperti pemikiran Amartya Sen. Dengan mesin politik ini, menurut Ciil, teman-teman yang sepaham mau dan bersedia keluar dari ”sarang nyaman” (comfort zone) untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik dan berkeadilan. Pada Pemilu 2004, ia memberikan kesempatan bagi kaum perempuan dan minoritas Tionghoa untuk menduduki kursi nomor 1 dan 2. Hingga tak mengherankan, anggota-anggota DPRD 1 dan 2 Partai PIB banyak yang perempuan dan Tionghoa.

Keluarga

Ciil adalah anak tunggal dari keluarga yang ayah-ibunya bercerai. Pengalaman pahit masa kecil begitu membekas sehingga membuat dia bertekad untuk membangun keluarga yang bahagia. Saya dan anak-anak betul- betul dilimpahi kasih sayang dan perhatian dengan segala kelucuan dan kekonyolan khas Ciil. Baginya, keluarga adalah segala-galanya. Ciil menjadi guru dan mentor utama bagi pendidikan kedua anak kami: Pandu dan Gita. Ia melatih anak-anak berdebat dan berdiskusi sejak kecil. Setiap tahun sambil berlibur, ia melakukan swot meeting dengan anak- anak dan saya. SWOT adalah S: strength (kekuatan), W: weakness (kelemahan), O: opportunities (kesempatan) dan T: threat (ancaman).

Dalam swot meeting, ia membahas berbagai hal dengan anak- anak, mulai soal di sekolah sampai pergaulan anak muda. Ciil juga membuka diri untuk dikritik secara terbuka oleh anak-anak. Saya ingat, kritik anak-anak kepada Ciil setiap tahun adalah ”ayah terlalu gemuk”, ”ayah terlalu mau ngatur semua”, atau ”ayah kayak kepala suku, semua orang mau diurusin”, atau saat anak- anak mulai besar, mereka bilang ”ayah terlalu baik dan terlalu percaya bahwa semua orang seperti ayah....”

Meski sesudah anak-anak besar dan menempuh studi S-2, ia juga mengeluh kepada saya bahwa anak-anak, terutama Gita, amat pandai mendebat dan dia sering kewalahan menjawab. Saya menangkap ada rasa bangga di dalamnya. Berulang kali dia sampaikan, saat kami duduk berdua berbincang-bincang, bahwa sebetulnya tidak ada lagi yang dia cari dalam hidupnya. Bagi Ciil, achievement dia yang terbesar adalah keberhasilan dari pendidikan dan pembentukan karakter kedua anak kami.

Air itu berhenti mengalir pada Senin, 28 Juni 2008, pukul 09.08 di Rumah Sakit Mt Elizabeth, Singapura. Jam Ciil berhenti berdetak. Perjuangannya melawan sakit yang tiba-tiba datang menyergap usai sudah. Wajahnya tenang dan damai dalam pelukan kami: Pandu, Abdul (calon menantu), dan saya, seolah berkata: ”… aku mengalir terus dalam jiwa dan semangat, dalam cita-cita dan pengharapanku….”

Empat puluh hari kau telah meninggalkan kami. Selamat jalan Ciil….

Kartini Sjahrir Istri (alm) Dr Sjahrir;
Antropolog lulusan Boston University, AS; Ketua Umum Partai PIB