Senin, 25 Juni 2007

Prof. Saleh Mangundiningrat dan Prof. Koestedjo
Oleh H. ROSIHAN ANWAR

SEORANG dokter dari generasi yang lebih tua tamatan Stovia, perlu saya sebutkan, Prof. Dr. KRMT Saleh Mangundiningrat dari Solo. Almarhum adalah contoh dokter yang tak keluar dari jalur profesinya.

Dalam ceramah saya mengenai "Dimensi Pendidikan Kedokteran" di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI), 22 Mei 2007, bercerita tentang dr. Abdul Rivai, dr. AK. Gani, dr. Abdul Halim, dr. Abu Hanifah yang selain jadi dokter pernah jadi wartawan, politikus, diplomat, menteri. Saya kemukakan ada pula dokter yang terus jadi dokter. Yaitu Dr. Saleh Mangundiningrat (1891-1962). Dia lulus sekolah Stovia tahun 1917.

Setelah bekerja sebagai dokter gubernemen di Jawa dan turut dalam usaha pemberantasan penyakit sampar (pest), ia dipindahkan ke kota tambang batu bara di Sumatera Barat yakni Sawah Lunto dan menjadi direktur rumah sakit umum di sana. Kemudian dia berangkat ke negeri Belanda bersama keluarganya belajar ilmu kedokteran di Universitas Utrecht, dan dia meraih gelar doktor. Ia tidak lagi di Indisch arts, tapi Europees arts. Sekembalinya ke Indonesia dia ditempatkan di Menado, Sulawesi Utara. Kemudian pindah ke Surabaya, seterusnya ke Solo, kemudian dia menjadi dokter pribadi Susuhunan Paku Buwono X yang menganugerahkan kepadanya gelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung (KRMT).

Dr. Saleh adalah ayah empat putra yang semuanya "jadi orang" dalam masyarakat. Yaitu Siti Wahyunah Poppy Sjahrir, S.H. tamatan Universitas Leiden, Dr. Soedjatmoko mantan Dubes RI di Washington , Rektor Universitas PBB di Tokyo, Prof. Miriam Budiardjo guru besar ilmu politik UI, dan Nugroho Wisnumurti, S.H. mantan Dubes Kepala Perwakilan RI di PBB. Dr. Saleh berasal dari keluarga santri dan kiai di daerah Balerejo, Madiun. Dia pandai mengaji Alquran di waktu remaja.

Semasa jadi dokter sebagaimana umumnya kaum intelektual di Hindia Belanda masa itu, dia terpengaruh oleh ajaran Theosofi dan Annie Besant dan memberikan kebebasan dalam pendidikan kepada anak-anaknya sehingga mereka kurang akrab dengan suasana kehidupan Muslim. Tapi di masa tua ia berbalik, lalu serius mendalami Alquran dan ajaran Islam. Prof. KRMT Saleh Mangundiningrat lalu menjadi Rektor Universitas Cokroaminoto di Solo sampai akhir hayatnya.

Dr. Saleh banyak membantu pasien yang berobat padanya. Ia dermawan. Sebagai intelektual didirikannya sekolah menengah darurat di tempat kediamannya, tatkala Solo diduduki tentara Belanda setelah aksi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, Dr. Saleh berusaha supaya pasien-pasiennya bisa melanjutkan studi. Mereka itu di antaranya itu adalah Prof. Dr. Sri Edi Swasono.

Kemudian dia aktif dalam mendirikan Universitas Cokroaminoto di Solo, yang salah satu mahasiswanya adalah kini Prof. Dr. Syafii Maarif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah. Dia filosof. Nasihatnya kepada saya ialah agar saya jangan pergi meditasi ke tempat sunyi, tapi tetap berada di tengah kehidupan ramai dan sibuk serta berbakti kepada rakyat. Meskipun dia mertua PM Sjahrir, pemimpin Partai Sosialis Indonesia (PSI), namun dia tidak ikut politik praktis. Dr. Saleh adalah murni seorang dokter. Tidak ada politik pada dirinya.

Dokter panutan

Ketika diadakan seminar di Fakultas Kedokteran UI berbarengan digelar pameran foto-foto zaman Stovia. Prof. Dr. R. Koestedjo dari Bandung diminta waktu itu memberikan keterangan mengenai foto-foto tersebut kepada pihak yang bertanya. Di antara foto-foto itu terdapat "Keluarga Dr. Saleh tahun 1917" pada hari wisuda tahun 1917.

Prof. Koestedjo berusia 91 tahun. Lahir tanggal 5 Agustus 1916 di Purbalingga, lulus sebagai dokter dari Ikadaigaku pada masa Jepang, sekitar awal 1944. Bersama dr. Djamaludin dan dr. Tiam, dia diterima sebagai dokter PETA (Pembela Tanah Air) di Bali dengan pangkat Eiseityudancho. Setelah kemerdekaan dia bergabung dengan BKR (Barisan Keamanan Rakyat), TKR (Tentara Keamanan Rakyat), TRI (Tentara Rakyat Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel. Tahun 1950 dia mengundurkan diri sebagai dokter tentara untuk mengikuti pendidikan ahli bedah di Semarang dan di Universitas Indonesia di Jakarta.

Sejak awal Januari 1957, dia menetap di Bandung. Dengan dibukanya Universitas Pajajaran (Unpad) terbuka lebar kesempatan untuk mendidik mahasiswa menjadi dokter umum. Baru pada tahun 1964 dimulai pendidikan calon ahli bedah yang ditangani oleh Ikabi (Ikatan Ahli Bedah Indonesia). Tahun 1971-1972 dia menjadi Dekan Fakultas Kedokteran Unpad. Dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Bedah di Unpad tahun 1968 dia mendapat follow ship dari DAAD (Deutsche Akademische Austausch Dienst) untuk meninjau beberapa universitas di Jerman Barat. Setelah pulang dia merasakan meningkatnya kepercayaan diri sendiri. "Dalam hati saya tidak mau kalah di bidang keterampilan dengan Ahli Bedah Barat," ujarnya.

Pada peringatan 60 tahun sebagai dokter pada tahun 2004, Prof. Dr. R. Koestedjo dinamakan oleh Dekan Fakultas Kedokteran Unpad waktu itu sebagai "seorang panutan yang sangat pantas untuk diteladani".

Prof. Kustedjo yang tinggal di Jalan Dago, Bandung di masa tuanya juga aktif di Lembaga Lansia (lanjut usia) mulai didirikan tahun 2003 dengan ketuanya Prof. Soegana. Inilah orang tua yang berkhidmat terus kepada bangsa dan tanah air Indonesia.***

Tidak ada komentar: