Senin, 25 Juni 2007

Otto Hasibuan:
Menginginkan advokat pro wong cilik

oleh : S. Hadysusanto

Tidak mudah beracara di pengadilan, dan tidak semua orang mampu melakukan hal itu. Sekalipun menyandang gelar sarjana hukum, belum tentu mereka andal membela perkara. Sedikit sekali advokat atau pengacara memiliki talenta untuk itu.

Membela perkara atau beracara di muka sidang punya seni tersendiri, sama seperti halnya pekerja teater, pemeran film atau pelaku karya seni dan budaya lainnya.

Tidak bedanya pekerja seni yang kadang melenceng dari kejujuran atas tuntutan karya seni, advokat pun banyak yang mbalelo dari ketentuan-ketentuan hukum yang notebene diketahuinya.

Tentu saja hal itu akan merugikan pencari keadilan yang umumnya adalah rakyat kecil. Sementara itu, mereka yang dari kaum rakyat besar selalu merasakan keadilan karena mampu 'membayar' perkara.

Kenyataan itu tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Tindakan tercela advokat seperti itu harus ditekan bahkan kalau perlu dihilangkan. Jika penegak hukum saja sudah bertindak melenceng, bagaimana kondisi negara yang berdaulat atas hukum?

Itu sebabnya, 11 organisasi advokat pada 2004 bersatu untuk membentuk wadah tunggal bernama Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) dan menunjuk Doctor of Legal Science Universitas Gajah Mada Otto Hasibuan sebagai ketua umum.

Mantan 'anak buah' advokat senior Adnan Buyung Nasution itu dinilai mampu menekan perangai para pembela kasus yang kurang baik. Bukan hanya itu, meski belum terlihat secara signifikan, dia mampu mengajak advokat di Peradi membela rakyat miskin secara cuma-cuma.

Yang sudah terlihat nyata atas pembelaan tersebut selama ini adalah yang dilakukan oleh anggota Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin).

Organisasi yang juga dipimpin lelaki kelahiran Pematang Siantar 1955 itu sejak 2003 ba-nyak berperan membantu masyarakat kurang mampu.

Sanksi cabut izin

Bahkan, seperti pengakuannya, Ikadin punya aturan sendiri bagi anggotanya untuk berkewajiban membela rakyat kecil serta tidak berperilaku tercela ketika menjalankan profesinya.

"Sanksinya, mulai dari teguran hingga pencabutan izin praktik beracara di pengadilan. Nah, jika advokat tidak punya izin lagi, tentu tidak bisa beracara di pengadilan," kata Otto yang juga anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia periode 2006-2011.

Peringatan itu, jelas dia, diingatkan kembali kepada anggota Ikadin yang menggelar Munas ke IV 2007 di Hotel Novotel Balikpapan pekan lalu.

"Saya tidak menoleransi oknum advokat tercela. Saya juga akan menindak tegas mereka tidak membantu masyarakat kurang mampu," tegas ayah empat putra itu.

Menurut Otto, advokat idealnya memprioritaskan masyarakat kurang mampu sehingga keadilan bukan hanya milik golongan ekonomi atas. Rakyat kecil pun harus dibela.

Otto membenarkan pemberian jasa pembelaan hukum di pengadilan oleh advokat terbatas kepada yang mampu membayar tinggi saja, sedangkan masyarakat kecil lebih memilih lembaga bantuan hukum (LBH) karena layanan yang diberikan gratis.

Pandangan buruk itu diharapkan bisa dihapus setelah terbentuknya wadah tunggal Peradi, serta diberlakukannya UU No.18 tentang Advokat. Memang tidak semudah membalik telapan tangan, tapi setidaknya kesatuan organisasi itu bisa menekan perilaku oknum advokat.

"Setidaknya, dalam konteks penegakan hukum, para advokat dapat memberikan layanan jasa profesinya secara cuma-cuma kepada rakyat miskin yang membutuhkan pertolongan," kata Ketua Umum Ikadin terpilih untuk periode 2007-20011.

Otto menambahkan ketentuan yang sudah disepakati bersama-sama anggota Ikadin kini tengah digodok di Peradi, dan akan menjadikan kewajiban bagi advokat anggota Peradi membela masyarakat kurang mampu yang tengah mencari keadilan.

"Nantinya setiap angota Peradi berkewajiban membela rakyat kecil. Seperti halnya jasa yang dilakukan penegak hukum lainnya, yakni jaksa dan polisi," kata Otto yang pernah mendalami Comparative Law di Univercity of Technology Sydney, Australia (1990).

Sarjana hukum jebolan Universitas Gajah Mada itu saat ini memang dipercaya oleh banyak advokat di negeri ini. Termasuk beberapa organisasi di luar hukum.

Pada Munas Ikadin ke IV di Balikpapan dia kembali dipercaya untuk memimpin organisasi itu mengungguli advokat senior lainnya seperti Henry Yosodiningrat dan Teguh Samudera, yang masing-masing mendapat suara 19 dan 5. Sebanyak 80 dari 105 Dewan Pimpinan Cabang Ikadin, 71 suara di antaranya memilih Otto.

Artinya, advokat yang ingin memosisikan diri sebagai penegak hukum sangat berharap Otto kembali memimpin, meneruskan perjuangan yang tengah digalang sejak beberapa tahun belakangan ini.

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT

Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya berhak mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" dan menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??

David
HP. (0274)9345675