James Gwee dengan Ide-ide Bisnisnya
ST SULARTO
Positive Business Ideas, begitu dia awali setiap acara Smart Business Talk di Radio Smart FM. "James Gwee selalu kaya dengan ide yang praktis dan mudah dijalankan," komentar Hermawan Kertajaya, pakar marketing dari Surabaya. "Buku ini memang sederhana, tetapi tips-tips yang disampaikan James Gwee sangat aplikatif," tulis Andrie Wongso, motivator laris dengan semboyan success is my right.
Buku berukuran saku, Positive Business Ideas (193 halaman), terbitan Gramedia yang dikomentari Hermawan Kertajaya dan Andrie Wongso hanya jendela kecil ceramah-ceramah James Gwee. Selain dibukukan dan dimasukkan CD, gagasan-gagasan bisnis dia sampaikan lewat radio dalam acara Smart Business Talk di Radio Smart FM. "Lewat acara itu kita merasakan denyut jantung James yang mencintai Indonesia," komentar pemilik Radio Smart FM, Fachry Mochamad.
Saat berceramah, pria bernama lengkap James Gwee Thian Hoe ini suka berjalan hilir mudik, naik turun podium, menyapa peserta dan melontarkan ide-ide bisnis, bak sedang bermain drama, bahkan berakrobat.
Motivator yang lahir dan besar di Singapura, tetapi lebih dari 19 tahun tinggal di Indonesia, itu berkisah panjang lebar tentang "cara isi bensin" otaknya dengan ide-ide praktis training yang dilakukan. "Para pendengar training saya adalah narasumber saya," katanya.
Cara menggali bahan dari narasumber dilakukannya dengan menemui para klien. Dia bertanya detail, apa yang menjadi problem mereka, isu apa yang mereka inginkan, perubahan apa yang diharapkan dan akan dilakukan. Dari jawaban-jawaban itu, Gwee mendapatkan ide yang jelas tentang situasi secara menyeluruh.
"Ini sungguh membantu saya membuat desain isi ceramah yang relevan. Saya lantas tahu apa yang harus saya katakan, apa yang tak boleh saya katakan, dan bagaimana memotivasi bahkan menyentil mereka."
Menurut Gwee, ide-ide bisnis yang positif berkeliaran di sekitar kita. Kefasihannya memadu bahasa Indonesia dan Inggris membuatnya bisa menghayati sisi-sisi kultur dan kebiasaan orang Indonesia. Para pendengar ceramahnya mengomentari ide-idenya membumi, realistis. Contoh-contoh dipungut dari pengalaman sehari-hari para pendengar, di kantor, di rumah, dan dalam masyarakat.
Kesibukan dia memberikan training—selama 15 tahun terakhir untuk lebih dari 1.000 organisasi di Indonesia dan 300.000 peserta pelatihan, dari Lhok Seumawe, Manado, hingga Bali—membuatnya hampir tak punya waktu tersisa. Jelajah training-nya juga sampai di India, Thailand, Rusia, Malaysia, dan Singapura.
Kelemahan dan kekurangan
Mengenai kebiasaan-kebiasaan suku bangsa, Gwee membantah pendapat bahwa kultur orang Singapura lebih baik dari orang Indonesia. "Orang Singapura dan orang Indonesia memang beda, ya. Tetapi, keliru kalau yang satu lebih baik dari yang lain. Masing-masing punya kelemahan dan kekuatan. Kunci keberhasilan adalah mengoptimalkan kekuatan masing-masing, dan mendesain sistem dalam organisasi untuk meminimalisir kelemahan masing-masing".
Di antara suku-suku bangsa, menurut pengamatannya, lebih banyak kemiripan daripada kebedaan. Itu terlihat antara lain dari tanggapan audiensnya. "Mereka tertawa mendengar lelucon saya, dan memberi jawab dengan cara yang sama," kata Gwee.
Pendengar ceramah yang dijumpainya di Jakarta mirip dengan apa yang dialaminya di New Delhi, Mumbay, atau Moskwa. "Very similar! Mereka pun akrab dengan tantangan dan kesulitan yang sama dengan yang dihadapi orang-orang Indonesia."
Meski demikian, dia mengakui audiens dari perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, dan PNS di Indonesia berbeda-beda dalam penampilan dan sikap. Audiens perusahaan swasta relatif lebih dinamis dan termotivasi. Hal itu disebabkan kultur dan kepemimpinan masing-masing lembaga. Sangat mungkin melakukan perubahan kebiasaan dan kultur, tetapi itu menuntut kepemimpinan yang jelas, tertentu, dan konsisten. Dalam hal ini ia memuji Rhenald Khasali dalam buku Change maupun Re-code yang menunjukkan cara mengatasinya.
Kultur, pembawaan, lingkungan, memengaruhi tindakan dan kelakuan orang. Setiap kebudayaan itu berbeda-beda. Cara orang China mengasuh anak mereka berbeda dengan orang India. Anak-anak melihat contoh yang berbeda dari orangtua mereka. Orangtua mengajarkan nilai-nilai yang berbeda-beda pula. Sebagian orangtua mengatakan no venture no gain, tetapi yang lain bilang be happy and grateful with what you have.
Nilai-nilai yang berbeda berdampak pada cara berpikir anak muda, lalu kebiasaan hidup mereka di kemudian hari. Manajer dan orang penjualan harus mengerti ini, dan menggunakannya untuk pendekatan yang berbeda-beda. Different fish different bait—lain ladang lain ikannya. Selagi kita melakukan tawar-menawar dengan manusia, kekhasan ini perlu dipahami.
Menjadi motivator bisnis membuatnya harus mengenali perilaku dan kebiasaan masyarakat. Dia merasa bukan psikolog, bukan antropolog, bukan filsuf; tetapi pekerjaan memotivasi orang membuatnya paham segala disiplin ilmu sebagai bagian dari pendekatan bisnis.
"Saya punya pengalaman sebagai karyawan bagian penjualan, manajer, direktur, juga wiraswasta." Usaha bisnisnya dimulai dari nol, berkembang hingga menjadi bisnis besar, tetapi bangkrut. Dia memulai lagi dengan bisnis waralaba.
Mengenai pertemuannya dengan orang-orang bisnis, Gwee—saat ini Direktur Academia Education & Training—melukiskannya sebagai bagian dari bisnis. Bisnis selalu cepat berubah, dengan tingkat naik-turun amat rentan. Misalnya, pada usia 28 tahun dia hilir mudik dengan Jaguar 4000 cc di Singapura sebagai salah satu hasil usaha, tetapi di Indonesia dia harus memulai usaha dari nol. Mobil sehari-harinya Daihatsu charade tua, dan pelan-pelan usahanya pun berkembang.
"Pengalaman sukses dan gagal dalam bisnis, karier, dan kehidupan, saya kaya."
Bacaannya? Setiap pakar manajemen dan pemasaran punya kelebihan dan kekhasan. "Saya mengambil sisi-sisi kelebihan mereka," ucap Gwee.
"Norman Vincent Peale, Dale Carnegie, Steven Covey memberi saya peta jalan, Robert Kiyosaki mengubah pandangan saya dan membuatkan peta lebih jelas. Buku-buku John Gray, Allan & Barbara Pease sangat saya nikmati, juga John Maxwell dan Jack Welch," tutur Gwee yang membaca buku Mark Twain sebagai selingan. "Untuk roti kehidupan saya baca Injil," tambah penyuka masakan sunda, penggemar laksa, penikmat musik klasik, dan pemetik gitar ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar