Senin, 19 November 2007

Bloomberg, Kebijakan "Bunuh Diri"

Luki Aulia

Kota New York pascaserangan teroris 11 September 2001 nyaris lumpuh. Gedung kembar World Trade Center yang ambruk menghentikan denyut kehidupan New York. Wall Street pun pernah dikabarkan akan pindah ke tempat yang lebih aman, seperti New Jersey atau Connecticut. Berbagai proyek rehabilitasi pasca-9/11 pada masa Wali Kota Rudolph W Giuliani habis-habisan menguras anggaran New York hingga defisit.

Pada kondisi itulah Michael Rubens Bloomberg (65) dilantik menjadi Wali Kota New York yang ke-108. Pada hari pelantikannya, 1 Januari 2002, miliarder ini sudah membayangkan apa yang bakal dia lakukan untuk membangun kembali New York.

Dia punya tiga pilihan, yakni mengurangi pelayanan publik, meningkatkan pajak, atau keduanya. Bloomberg lalu mengambil keputusan yang tak pernah berani diambil wali kota-wali kota New York sebelum dia, menaikkan pajak properti hingga 18 persen. Dia juga mengurangi banyak pengeluaran, termasuk menutup beberapa kantor pemadam kebakaran.

Ia juga mengambil alih sekolah-sekolah bermasalah dan memberlakukan larangan merokok di restoran dan bar. Selama ini New York dikenal sebagai kota yang "sulit diatur". Selain itu, kriminalitas, kepadatan penduduk, dan kemacetan hanya sebagian dari persoalan New York. Untuk menekan tingkat kriminalitas, Bloomberg dengan tegas mengendalikan peredaran senjata api. Ia bahkan pernah menuntut puluhan pedagang senjata api ke pengadilan.

Banyak pihak menilai kebijakan Bloomberg sama dengan bunuh diri politik. Dukungan untuk Bloomberg pun melorot hingga tersisa 14 persen. Namun, dia tetap menuai hasil. Tingkat kejahatan menurun hingga 30 persen, kelulusan dan jumlah perolehan nilai di sekolah meningkat, tingkat pengangguran menurun, proyek konstruksi meningkat, dan yang terpenting simpanan uang kota surplus. Sejak dua tahun terakhir dukungan untuk Bloomberg mencapai 70 persen. "Dia lebih mengutamakan menyelesaikan masalah, tidak mencari popularitas," sebut editorial harian The New York Times.

Sikap dan pandangan Bloomberg dianggap berbeda. Majalah Newsweek edisi 12 November 2007 bahkan menyebutnya tokoh revolusioner. Sikap dan pandangan dia dianggap berbeda, di antaranya karena mendukung pernikahan sesama jenis dan memilih pro-choice dalam menyikapi aborsi. Dia juga peduli terhadap isu kesehatan dan perubahan iklim. Karena itu, ia menandatangani hukum yang melarang penggunaan lemak di restoran cepat saji.

Khusus isu pemanasan global, majalah Time edisi 14 Juni 2007 memaparkan program PlaNYC Bloomberg yang bertujuan mengurangi 30 persen emisi gas rumah kaca pada 2030. Jalur sepeda akan diperbanyak dan semua taksi diganti dengan mobil hibrida. Untuk mengurangi polusi udara, suara, dan kemacetan, dia juga memberlakukan biaya kemacetan sebesar 8 dollar AS bagi setiap pengguna kendaraan pribadi yang melaju di Manhattan pada hari kerja.

Banyak yang pesimistis dan marah dengan aturan ini. Tetapi, lama-kelamaan orang "terpaksa" meninggalkan kendaraan pribadi dan memanfaatkan transportasi umum. Biaya kemacetan itu lalu digunakan untuk menyubsidi perbaikan transportasi umum.

Media finansial

Bagi siapa pun yang bergelut di bidang perekonomian, nama Bloomberg pasti tak asing. Perusahaan swasta penyedia data finansial seketika (real-time) Bloomberg L.P itu memiliki sedikitnya 165.000 pelanggan di dunia. Dia mulai membangun Bloomberg L.P dari hasil penjualan saham Salomon Brothers di Wall Street senilai 10 juta dollar AS.

Ketika bergabung dengan Salomon 1972-1981, Bloomberg dipasrahi mengawasi semua perdagangan saham Salomon berikut sistem informasinya. Berbekal pengalaman di Salomon itulah Bloomberg mulai mengembangkan sayap Bloomberg L.P di bisnis media tahun 1990 dengan meluncurkan kantor berita, televisi, radio, internet, dan penerbitan.

Tak pernah ada yang menyangka bocah laki-laki yang lahir di tengah keluarga kelas menengah atas Yahudi-Amerika di Medford, Massachusetts, 14 Februari 1942, itu kini berada di urutan ke-142 jajaran orang terkaya di dunia (Forbes).

Harian The Washington Post menyebutkan bahwa Bloomberg mengantongi kekayaan sedikitnya 5,5 miliar dollar AS. Kekayaan itulah yang sedikit banyak menolong dia memenangi pemilihan wali kota. Pada pemilihan kedua tahun 2005, ia merogoh kocek hingga 85 juta dollar AS untuk kampanye.

Menampik komentar miring orang-orang yang tak bersimpati kepadanya, Bloomberg dengan enteng berkata, "Jika mau mencalonkan diri menjadi aparat pemerintah, akan lebih baik jika menjadi miliarder dulu, sehingga bisa fokus dalam bekerja."

Bloomberg yang memperoleh gelar insinyur dari John Hopkins University dan Harvard Business School (lulus 1966) itu belajar banyak dari sang ayah yang bekerja keras sebagai pemegang buku di perusahaan susu setempat.

Mantan suami Susan Brown selama 19 tahun (telah bercerai) dan ayah dari dua anak perempuan, Emma (27) dan Georgina (24) itu pernah mengalami masa kecil yang tidak menyenangkan akibat diskriminasi hanya karena ia Yahudi.

"Orangtua saya pernah kesulitan mencari rumah karena tak ada yang mau menjual rumah kepada orang Yahudi. Ayah juga pernah dilarang menginap di sebuah hotel setelah dia ketahuan Yahudi," tutur Bloomberg kepada majalah Newsweek.

Pengalaman diskriminasi inilah yang membentuk Bloomberg menjadi pribadi yang egaliter dan lebih senang berbaur dengan siapa pun tanpa memandang perbedaan status, kelas, ras, etnis, dan agama. Interior kantor balaikota pun ia sulap menjadi ruangan tanpa sekat, seperti ruangan redaksi media. Meja dia berada di tengah-tengah meja 50 asistennya.

Berbekal pengalaman menjadi wali kota, banyak teman Bloomberg mendorongnya ikut menjadi kandidat presiden AS. Meski Bloomberg berkali-kali menolak, teman-teman dekatnya memperkirakan Bloomberg tergelitik dengan tawaran itu. Sebab, salah satu sifat Bloomberg adalah ingin mencoba sesuatu yang baru.

Menjawab dorongan itu, Bloomberg baru akan memutuskan tawaran itu awal tahun depan. Jika ikut, ia akan menjadi kandidat pertama yang tak berasal dari dua partai politik besar di AS. Dia akan berhadapan dengan dua kandidat lain yang juga berasal dari New York, yakni Rudolph W Giuliani (Republik) dan Hillary Rodham Clinton (Demokrat).

"Dalam dunia nyata, baik dunia bisnis maupun pemerintah, jika ingin sukses, maka segala sesuatu harus dilakukan setahap demi setahap. Jangan pernah menyerah. Kita toh tak bisa menghindari rintangan itu. So, let’s just do it!," kata Bloomberg yang berperan sebagai Wali Kota New York dalam film Sex and the City: The Movie itu.

Tidak ada komentar: