Kamis, 22 November 2007

Mengenang Pak Natsir


Oleh : Asro Kamal Rokan

Ratusan orang memenuhi auditorium Mahkamah Konstitusi pekan lalu. Banyak tokoh hadir dalam seminar dan pengukuhan panitia nasional Seabad M Natsir; di antaranya Jimly Asshiddiqie, AM Fatwa, Ketua Umum DDII Syuhada Bahri, Laode M Kamaludin, Lukman Hakiem, tokoh-tokoh politik, dan anak-anak muda. Sebagian di antara mereka memiliki kedekatan emosional dengan Pak Natsir, sebagian lainnya terutama anak-anak muda dan mahasiswa boleh jadi bertanya-tanya siapa Mohammad Natsir itu.

Anak-anak muda dan mahasiswa itu, yang dilahirkan pada zaman Orde Baru, adalah produk dari buku sejarah yang tidak jujur. Orde Baru menyingkirkan tokoh pejuang, perdana menteri, negarawan, dan intelektual Muslim itu dalam alam pikiran anak-anak muda. Nama Pak Natsir dan rangkaian perjuangannya termasuk mempersatukan kembali Indonesia yang pecah dalam negara-negara bagian semakin sayup. Ironisnya, tahun ini nama Pak Natsir pun dicoret dari daftar nama penerima gelar pahlawan.

Pak Natsir yang wafat pada 14 Maret 1993, merupakan tokoh penting dalam sejarah Indonesia modern. Sejarawan dari Cornell University Amerika Serikat, George Mc T Kahin, yang menulis buku tentang Pak Natsir, menjuluki pemimpin Masyumi ini sebagai the last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders raksasa terakhir di antara tokoh nasionalis dan pemimpin politik revolusioner Indonesia.

George Kahin, PM Jepang Takeo Fukuda, dan berbagai organisasi internasional menghormati tokoh santun dan bersuara lembut itu. Namun, Orde Lama dan Orde Baru menempatkannya sebagai tokoh yang harus dijauhi. Soekarno menahan Natsir selama enam tahun tanpa proses hukum karena terkait Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra Barat. PRRI adalah reaksi terhadap Soekarno yang dinilai otoriter dan di bawah pengaruh PKI. Natsir sangat menentang komunisme.

Orde Baru membebaskan Pak Natsir, namun mengucilkannya. Sebagai pemimpin Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress), Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, dan anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A'la al-'Alami li al-Masajid), Pak Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Ia dicekal, terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.

Meski diperlakukan demikian, Pak Natsir tetap tidak dendam. Ketika Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu Indonesia, Pak Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. ''Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonsia,'' kata Fukuda ketika itu. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI).

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi, intelektual, dan pejuang, sejarah yang diukir Natsir yang banyak dilupakan adalah menyatukan Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Gagasan dan perjuangan besar itu dikenal sebagai Mosi Integral Natsir. Ketika Belanda menahan Soekarno Hatta dan menduduki Yogyakarta sebagai ibu kota Negara, Van Mook -akil Belanda di Indonesia membentuk 17 negara bagian, termasuk di antaranya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Yogyakarta, Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, dan Negara Madura.

Negara-negara bagian itu tidak mudah disatukan. Bahkan, beberapa negara menolak gagasan untuk meleburkan diri dalam RIS. Alasannya, posisi RIS dan negara bagian itu sama. Perang antarnegara bagian bisa saja terjadi. Melalui perdebatan di parlemen, Pak Natsir tampil dengan gagasannya: Semua negara bagian, termasuk RIS, meleburkan diri dalam NKRI.

Mosi Integral Natsir pada 2 April 1950 itu diterima parlemen. Namun, tak mudah meyakinkan negara-negara bagian itu, termasuk Mr Assad, pejabat presiden RIS. Berkat usaha tak kenal lelah dan perundingan terus-menerus, Pak Natsir berhasil meyakinkan pimpinan negara-negara bagian untuk meleburkan diri dalam NKRI dan dalam kepemimpinan Soekarno-Hatta.

Mosi Integral Natsir ini, oleh sejumlah sejarawan, disebut sebagai Proklamasi kedua yang menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan setelah Proklamasi 17 Agustus 1945. Setelah NKRI terbentuk, Soekarno menetapkan Natsir sebagai Perdana Menteri (1950-1951). Beliau perdana menteri pertama NKRI.

Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi yang gigih memperjuangkan dan mempertahankan prinsip-prinsip Islam dalam bernegara Pak Natsir memperkenalkan zaken kabinet. Beliau melibatkan pemimpin partai Kristen dan Katolik dalam kabinetnya, di antaranya Johanes Leimena (Partai Kristen), FS Haryadi (Partai Katolik), Herman Johannes, dan MA Pallaupessy, selain kalangan sosialis. Bagi Pak Natsir, negara ini harus diurus bersama. ''Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,'' kata Pak Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor tahun 1988.

Penggemar karya-karya Mozart dan Ludwig van Beethoven itu telah lama tiada. Beliau tokoh besar dalam sejarah bangsa ini. Namun, namanya tidak ditulis di buku-buku resmi sejarah, tidak diajarkan di sekolah-sekolah. Namun, Pak Natsir tetap ada. Almarhum pahlawan bagi para aktivis Islam. Pemikiran, sikap, perjuangan, dan kenegarawan Pak Natsir adalah pohon berakar kuat, berdaun hijau, dan berbuah banyak. Buah itu menjadi bibit yang terus berkembang. Berbuah dan berkembang lagi, berbuah dan berkembang lagi. Tanpa henti.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Saya termasuk orang yang beruntung masih sempat mengikuti ceramah beliau secara langsung di Makassar sekitar tahun 1966