Selasa, 06 Mei 2008

Irsyad Manji

Diusir, Diancam, Dipuji
Minggu, 4 Mei 2008 | 01:24 WIB

Terima kasih, Idi Amin. Justru akibat diusir diktator Uganda itu, saya bisa memperoleh kesempatan hidup di dunia yang relatif bebas untuk menggunakan pikiran dan memberdayakan potensi sebagai perempuan muda Muslim.”

Begitu Irshad Manji memandang positif sejarah pengusiran yang jadi titik balik perjalanan hidupnya itu. Perempuan ini lahir di Uganda, Afrika Timur. Dia anak kedua dari tiga bersaudara. Keluarga ayahnya berasal dari Gujarat, India, sedangkan ibunya dari Mesir selatan.

Tahun 1972, Idi Amin mengusir ribuan pendatang nonkulit hitam yang dianggap menguasai ekonomi negeri itu. Saat berusia empat tahun, keluarganya mengungsi ke Vancouver, Kanada. Meski sudah pindah ke tempat baru, gadis kecil itu masih harus menghadapi perlakuan kasar ayahnya.

”Saat saya berusia sembilan tahun, Ayah mengejar saya keliling rumah dengan pisau, mengancam akan memotong telinga saya. Saya lari ke atap rumah,” kenang Irshad.

Ayah dan ibu Irshad akhirnya berpisah saat perempuan ini berusia sekitar 16 tahun. Sang Ibu membesarkan Irshad bersama dua saudarinya dengan bekerja sebagai pembersih rumah.

”Setiap bangun tidur, saya bersyukur dapat memperoleh kemerdekaan,” ujar dia.

Irshad keluar dari pendidikan madrasah saat usia 14 tahun setelah memprotes posisi perempuan yang inferior dalam Islam tradisional dan mengajukan berbagai pertanyaan kritis yang tidak direspons baik oleh guru madrasahnya. Selama 20 tahun berikutnya, gadis ini membenamkan diri di perpustakaan untuk mempelajari Islam dari Al Quran dan berbagai literatur lain.

Tahun 1990, setelah lulus S-1 dengan penghargaan untuk bidang sejarah pemikiran dari University of British Columbia, Irshad yang secara terbuka mengatakan dirinya lesbian lebih banyak berkecimpung dalam dunia jurnalistik. Dia jadi pembawa acara (host) di Vision TV, lantas jadi produser dan host di City TV, Toronto. Pada usia 24 tahun, dia jadi editor di koran terbesar di Kanada, Ottawa Citizen.

Sambil menekuni jurnalistik, Irshad semakin mematangkan gagasan reformasi Islam. Dia menyebut dirinya sebagai ”Muslim refusenik”: berpikiran independen, liberal, dan anti-fundamentalis. Pemikirannya banyak dipublikasikan lewat surat kabar, wawancara, dan situs internetnya.

Mulai Januari 2008 Irshad bergabung dengan New York University dan mendirikan serta memimpin The Moral Courage Project yang membantu generasi muda memperjuangkan kebenaran dan memberdayakan diri. Pemikirannya yang kritis terhadap Islam ortodoks dan perjuangannya membela hak-hak asasi manusia—terutama di kalangan perempuan Muslim—membuat aktivis ini memperoleh banyak dukungan.

”Mei ini saya memperoleh gelar doktor honoris causa dari Universtity of Washington,” kata Irshad.

Di sisi lain, sikap kritis itu harus ditebus dengan munculnya berbagai ancaman dari kalangan Muslim radikal. Sebagian besar ancaman berasal dari Pakistan, Mesir, dan kelompok Muslim di Eropa, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman.

”Di Kanada, jendela rumah saya antipeluru. Saya harus berhati-hati menggunakan telepon. Kehidupan saya sering ada dalam situasi bahaya sehingga saya memilih tidak menikah dan punya anak,” kata dia. (iam/nmp)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

walah...musuh kok dipuji-puji. ente tau ga sih tindak -tanduknya? dia sukanya : LIBERALISASI SYARIAT DENGAN MELAKUKAN PERUBAHAN METODOLOGI IJTIHAD YANG MENEKANKAN ASPEK KONTEKSTUAL HISTORIS, SEHINGGA HUKUM ISLAM MENJADI RELATIF DAN TIDAK ADA KEPASTIAN HUKUM ISLAM.
Jadi kita bisa ngawur menafsirkan Qur'an (liberal) tanpa pakem Islam. Tolak liberalisme (paham ngawur) dalam meafsirkan ayat Alloh yang suci! Pepen-UNS