Selasa, 06 Mei 2008

Berpikir Kritis Irshad Manji

KOMPAS/ILHAM KHOIRI / Kompas Images
Minggu, 4 Mei 2008 | 01:19 WIB

Ninuk Mardiana Pambudy & Ilham Khoiri

Nama Irshad Manji (40) mungkin belum dikenal luas di Indonesia, meskipun bukunya yang berjudul asli ”The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change” (2003) telah diterjemahkan di 30 negara.

Buku dalam terjemahan bahasa Indonesia, Beriman Tanpa Rasa Takut, Tantangan Umat Islam Saat Ini yang diterbitkan Koalisi Perempuan Indonesia dan Nun Publisher diluncurkan di Perpustakaan Nasional Jakarta, Selasa (22/4).

”Ini kunjungan pertama saya ke Indonesia dan insya Allah bukan yang terakhir,” kata Irshad ketika ditemui hari Senin (21/4) di Jakarta.

Selain untuk peluncuran buku, Irshad juga ingin mengenal lebih jauh toleransi beragama bangsa Indonesia yang menurut dia dapat menjadi contoh bagi dunia. Dia melakukan diskusi dengan kalangan akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, bertemu dengan ormas perempuan di Pesantren Krapyak, dan seniman di Yogyakarta.

”Sebelum terbang ke Jakarta, saya memberi wawancara tentang Proyek Keberanian Moral di New York University yang saya ketuai. Saya katakan, saya akan ke Indonesia untuk peluncuran buku. Saya sampaikan, seharusnya dunia melihat ke Indonesia, bukan hanya ke Timur Tengah, untuk mencari tanda Islam yang lebih progresif—kadang tidak terlalu progresif, tetapi kerap progresif—mencari tanda bagaimana kaya dan kompleksnya Islam,” kata Irshad.

Setelah diterbitkan tahun 2003, terjemahan buku tersebut dalam bahasa Urdu, Arab, Farsi, Malaysia, dan sekarang juga bahasa Indonesia, dapat diunduh cuma-cuma dari situs Irshad, www.irshadmanji.com. ”Dalam waktu 1,5 tahun setelah terbit terjemahannya, ada 500.000 pengunduh dalam bahasa Arab, Urdu, dan Farsi,” kata Irshad.

Irshad menulis bukunya ini seperti surat terbuka. Dia mengajak umat Muslim berpikir kritis dan selalu mempertanyakan informasi yang mereka terima dan mengecek dengan fakta dan menyuarakan pertanyaan itu.

Salah satu yang dia tekankan adalah pentingnya umat Islam terus melakukan ijtihad untuk menjawab tantangan yang dihadapi umat Islam saat ini. Dalam tradisi Islam, ijtihad selama ini dimaknai sebagai upaya ulama mencari gagasan baru dari Al Quran dan hadis demi menjawab persoalan di masyarakat.

Berpikir kritis

Menurut Anda, apa itu ijtihad?

Ijtihad memiliki arti berbeda-beda untuk beragam orang. Ada yang mengatakan hanya ulama dengan pengetahuan tertentu dapat melakukan ijtihad. Tetapi, menurut saya bukan hanya tradisi fikih (legal tradition) yang dapat melakukannya, tetapi juga semangat menggunakan akal kita, hal yang diizinkan Allah setiap orang menggunakannya.

Al Quran mengandung tiga kali lebih banyak ayat yang memerintahkan kita untuk berpikir, menganalisis, daripada ayat yang mengatakan ”ikuti”.

Jadi, hanya atas dasar itu saja, saya rasa benar bila saya katakan, berpikir bukan hanya hak kita sebagai manusia, tetapi tanggung jawab. Di dalam situs (internet) saya, saya membuat tulisan akademis bahwa dalam berabad sejarah Islam, ijtihad menjadi semangat utama kaum Muslim.

Misalnya, ada hadis yang mengatakan, jika kamu melakukan ijtihad dan kesimpulan yang didapat secara teknis salah karena kebajikanmu berpikir kamu akan mendapat satu pahala dari Allah. Dan, jika kesimpulanmu benar, kamu akan mendapat pahala dua kali. Intinya, terus berpikir, menganalisis, terus menginterpretasi dan reinterpretasi tempat-tempat baru, kebudayaan baru, lingkungan baru.

Tragisnya, banyak umat Islam saat ini yang hanya menelan tanpa berpikir kritis pendapat pemuka agama seakan-akan mereka Tuhan.

Karena itu menjadi tujuan hidup saya meyakinkan umat Islam, terutama kaum muda, kita bisa menjadi umat yang berpikir sekaligus beriman. Kita tidak harus memilih salah satunya.

Ada prinsip yang tidak bisa dan ada yang bisa ditawar.

Ada sejumlah prinsip dalam Islam yang tidak bisa ditawar-tawar, seperti konsep tauhid. Ada prinsip dalam Islam yang harus dilakukan semua umat Islam, yaitu prinsip tentang keadilan, kasih sayang, dan memaafkan.

Mengenai isu sosial, sangat tergantung dari konteks, situasi, tempat, dan waktu. Karena itu, saya sampai pada satu hal yang sering dilupakan banyak orang, yaitu justru karena Tuhan hanya satu maka hanya Tuhan yang Maha Tahu yang mana sepenuhnya benar tentang segala hal.

Karena itu, kita orang Muslim, karena kita adalah hamba-Nya, tidak boleh bertindak seolah-olah tahu segalanya. Itu sebabnya kita harus mau melibatkan diri dalam perdebatan dan berdiskusi secara damai.

Ketika kita berdebat dan berdiskusi, sesungguhnya kita sedang menjalani keyakinan agama kita karena dengan itu kita, manusia, memperlihatkan hanya Tuhan yang maha mengetahui segala kebenaran.

Mengapa orang Muslim membutuhkan ijtihad?

Karena saat ini banyak orang Muslim hidup dalam ketakutan, takut menyuarakan terbuka pikiran mereka. Ini bukan hanya pada masyarakat yang tradisional, tetapi juga kepada masyarakat Muslim modern seperti di Kanada dan Amerika Serikat.

Ketika berbicara di universitas di Kanada dan AS, saya mendapat banyak kemarahan dan celaan dari pendengar. Tetapi, saat penandatanganan buku setelah ceramah, anak-anak muda Muslim berbaris dan berbisik, terima kasih untuk yang saya katakan.

Saya tanyakan mengapa tidak mengatakannya terbuka. Jawaban yang mereka berikan dan sudah sering saya dengar, mereka tidak memiliki kesempatan dan kemewahan seperti yang saya miliki, yaitu berjalan keluar ruangan dengan bebas. Mereka tahu mereka akan diawasi dan tahu siapa yang mengawasi, mereka tidak ingin dimonitor karena mendukung gagasan saya.

Bukan hanya kekerasan yang membuat mereka takut. Mereka juga mengatakan, bila mendukung pikiran saya mengenai berpikir kritis, debat, dan melakukan reinterpretasi, keluarga mereka akan menuduh mereka mencoreng kehormatan keluarga dan mereka bilang, tidak sanggup membuat keluarga mereka tercoreng kehormatannya.

Ini terjadi pada generasi ketiga Muslim Amerika yang masih hidup dalam mentalitas budaya kesukuan Arab tentang kehormatan keluarga.

Itu sebabnya saya memberi penekanan pada buku saya tentang imperialisme yang jauh lebih besar yang menjajah pikiran banyak Muslim di dunia, termasuk juga di Indonesia saya berani berdebat mengenai ini, yaitu imperialisme kebudayaan Arab.

Ketika kita menentang imperialisme, tanya diri kita sendiri, mengapa kita selalu menganggap imperialisme datang dari Barat? Kita orang Muslim juga menghadapi imperialisme kebudayaan Arab.

Memilih Islam

Irshad menuturkan, cara pengajaran di madrasah yang dia hadiri setiap Sabtu ketika di Kanada tidak mampu memberi jawaban atas pertanyaan kritis seorang anak perempuan.

”Guru madrasah saya mengatakan, perempuan inferior dibandingkan laki-laki, tetapi pengalaman saya memperlihatkan hal lain. Ibu saya membesarkan tiga putrinya dengan baik dengan bekerja sebagai pembersih rumah orang lain. Bukankah itu membutuhkan keberanian dan kecerdasan? Tidak mungkin seorang yang inferior dari laki-laki dapat melakukan hal itu,” kata Irshad.

Dia memilih keluar dari madrasah ketika gurunya mengultimatum menerima saja ajaran dia atau keluar dari madrasah karena pertanyaan kritisnya kepada gurunya. Pengalaman pada usia 14 tahun itu sempat membuat Irshad berpikir apakah akan tetap menjadi Muslim.

”Tetapi, saya ingin adil, mungkin guru agama saya bukan guru yang baik, lalu mengapa keyakinan saya harus dihukum untuk kesalahan guru saya,” kata dia.

”Saya sepenuhnya yakin umat Muslim dapat berubah. Ini sebabnya saya tetap menjadi Muslim dan menjalani ajaran (practicing) Islam,” papar Irshad.

Irshad kemudian belajar sendiri dengan membandingkan berbagai buku mengenai Al Quran dan Islam di perpustakaan umum. Dia juga kerja paruh waktu untuk dapat membayar guru bahasa Arab yang membantu dia memahami Al Quran dalam bahasa aslinya.

”Hal paling menakjubkan dengan belajar tanpa guru agama adalah kebebasan informasi yang ditakuti guru madrasah saya akan membuat saya menjadi tidak Muslim, ternyata malah menyelamatkan keyakinan saya,” kata Irshad.

Dengan belajar sendiri itu pula Irshad mengetahui mengenai Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad, pebisnis kaya yang mempekerjakan Nabi Muhammad. Artinya, perempuan Muslim dapat bekerja di ruang publik dan punya penghasilan sendiri. Dia juga mengetahui tentang perempuan sufi, Rabiah Adawiyah, yang sangat dihormati dan memilih tidak menikah sepanjang hidupnya, pilihan yang menurut Irshad dibolehkan di dalam Al Quran.

Apa saran Anda untuk perempuan di negara Muslim?

Kenali apa yang diajarkan tentang interpretasi yang sempit dan dogmatis, belajar membaca sendiri dan memahami Al Quran dan Anda akan menemukan semua ayat yang berisi penghargaan pada perempuan. Anda juga akan menyadari hak setiap manusia untuk berpikir dan menggunakan akal adalah pemberian Allah.

Bila Anda menjadi pemimpin di kelompok, bebaskan bakat perempuan lain di kelompok Anda sehingga kelompok Anda tumbuh dari bakat-bakat itu seperti pada masa keemasan Islam ketika ijtihad tumbuh subur. Orang Muslim melahirkan apa yang di Barat sekarang diterima sebagai yang terberi, mulai dari gitar, kopi moka, hingga universitas pertama di Baghdad pada abad ke-9.

Seorang filsuf Arab, Ibn Rusyd, pada 1.000 tahun lalu mengatakan, mengapa kemampuan perempuan belum dimanfaatkan adalah karena kemampuan perempuan direduksi menjadi makhluk prokreasi dan membesarkan anak. Hal itu penting, tetapi bila perempuan diberi kesempatan mereka dapat melakukan lebih dari itu. Yang lebih penting, Ibn Rusyd mengatakan, mengapa kebudayaan-kebudayaan besar runtuh adalah karena mereka memperlakukan perempuan seolah-olah beban daripada sebagai ciptaan Tuhan yang dapat dimanfaatkan untuk kebaikan kemanusiaan.

Bayangkan, 1.000 tahun lalu, seorang Muslim mengakui hal itu. Di mana kita saat ini? Itu sebabnya bukan Islam yang harus berubah, tetapi umat Islam harus memiliki keberanian untuk bangkit ke semangat terbaik Islam, ijtihad, yang sudah ada dalam tradisi Islam.

Tidak ada komentar: