Selasa, 01 April 2008

TAJUK RENCANA

Selasa, 1 April 2008 | 00:44 WIB

Bangsa Butuh Solusi

Pola relasi DPR dan Presiden mulai digugat. Efektivitas sistem presidensial yang dinyatakan dalam konstitusi juga mulai dipertanyakan.

Sejumlah ahli politik dan hukum tata negara menengarai bahwa ketidakjelasan sistem presidensial dalam undang-undang dan parlementer dalam praktik ikut memicu lahirnya sistem pemerintahan oleh parlemen. Penolakan DPR terhadap calon gubernur Bank Indonesia yang diajukan Presiden menunjukkan pemerintahan presidensial, tetapi dilaksanakan oleh parlemen.

Perubahan UUD 1945 telah mendesain sebuah pemerintahan presidensial yang kuat. Namun, Perubahan UUD 1945 juga mencegah hadirnya seorang presiden yang bisa bertindak sewenang-wenang. Penguatan sistem presidensial itu ditunjukkan dengan pasal yang mengatur soal pemilihan presiden/wakil presiden secara langsung; masa jabatan presiden yang tetap, serta pemakzulan presiden melalui proses politik yang tidak mudah. Adapun kontrol hadirnya presiden yang bisa berkuasa begitu lama, seperti pada era Orde Baru, sudah dibatasi dengan masa jabatan yang ditetapkan selama dua periode.

Kita melihat ada dua hal yang ikut membuat ketidakjelasan sistem presidensial-parlementer yang berjalan selama ini. Pertama, munculnya undang-undang di bawah konstitusi yang mereduksi sistem presidensial itu sendiri. Kedua, praktik politik politisi di DPR dan juga termasuk presiden.

Lahirnya sejumlah undang-undang yang mengharuskan seleksi pejabat publik meminta persetujuan DPR, misalnya pemilihan Panglima TNI, Kepala Polri, dan Gubernur Bank Indonesia, jelas merupakan reduksi atas kekuasaan presiden dalam bidang pemerintahan. Dalam konteks untuk memurnikan sistem presidensial, keharusan seleksi pejabat publik yang melibatkan DPR sebagai pemberi kata akhir, yang keharusan itu tak tercantum dalam konstitusi, perlu dipikirkan ulang.

Hal kedua yang kita ingin sampaikan adalah praktik politik DPR, termasuk Presiden. Sesuai konstitusi, Presiden mempunyai hak mengangkat menteri dan memberhentikan menteri. Namun, dalam praktiknya, Presiden yang mendapatkan dukungan 62 persen suara rakyat masih harus berkompromi dengan partai politik dalam pembentukan kabinet. Penunjukan menteri juga didasarkan pada keterwakilan parpol yang mewujud dalam sebuah koalisi besar. Namun, dalam praktiknya, menteri-menteri itu tidak disiplin dalam menjaga barisan koalisi.

Problem legal dan praktikal memang ada dan itu harus diselesaikan. Namun, kita mau mengajak elite bangsa ini memahami sulitnya kondisi rakyat yang diterpa krisis global. Kemiskinan yang akut, merosotnya daya beli masyarakat, belum terjawabnya masalah pengangguran, adalah sebuah masalah yang patut menjadi perhatian para wakil rakyat. Sensibilitas politik diperlukan.

Kuasa wicara, the power of speech, yang dimiliki DPR, harus didedikasikan untuk meningkatkan martabat mereka yang memilihnya, yaitu rakyat. Solusi untuk rakyat lebih diharapkan daripada suatu kontradiksi!

***


Tidak ada komentar: