Selasa, 01 April 2008

Dith Pran, Sang Pejuang Kamboja



Selasa, 1 April 2008 | 00:49 WIB

Pantang menyerah adalah prinsip hidup Dith Pran (65), wartawan foto New York Times, saksi hidup kekejaman rezim Khmer Merah di Kamboja tahun 1975-1979. Prinsip itulah yang mengantarkan Dith bertahan dari kelaparan dan siksaan pada masa itu.

Dith pun bertekad tidak akan menyerah pada kanker pankreas yang dideritanya sejak akhir tahun 2007. Namun, Dith akhirnya kalah dan menyerah pada penyakitnya. Dia meninggal dunia Minggu (30/3) pagi di Rumah Sakit New Brunswick, New Jersey, AS.

Adalah Dith yang pertama kali mencuatkan istilah killing field atau ladang pembantaian untuk menggambarkan tumpukan tulang-belulang korban kekejaman Khmer Merah yang dilihatnya saat berusaha membebaskan diri. Pengalaman hidupnya mendasari pembuatan film layar lebar berjudul The Killing Field (1984) yang menyabet tiga penghargaan Oscar. Film ini dibintangi Sam Waterston sebagai Sydney Schanberg, wartawan New York Times, dan Haing S Ngor, salah seorang korban Khmer Merah yang selamat, sebagai Dith Pran.

Dith lahir di Siem Reap, 27 September 1942. Mengenyam pendidikan bahasa Inggris dan Perancis, dia bekerja sebagai penerjemah bagi para pejabat AS di Phnom Penh, ibu kota Kamboja.

Tahun 1972, Dith bertemu Schanberg. Mereka bekerja bersama untuk meliput perang sipil Kamboja, konflik yang meluber dari Vietnam. Laporan Schanberg mengenai perang itu mendapat penghargaan Pulitzer tahun 1976.

”Pran adalah saudara saya, itulah cara kami saling memanggil. Kami memiliki misi yang sama, yaitu untuk mengatakan kepada dunia apa yang terjadi dengan rakyat Kamboja,” kata Schanberg.

Mereka terpisah saat Dith dibawa ke kamp di pedesaan Kamboja yang dikenal sebagai ladang pembantaian tersebut. Selama empat tahun dia menderita kelaparan dan siksaan. Dia kemudian berhasil melarikan diri ke kamp pengungsi di perbatasan Thailand tahun 1979.

Begitu mengetahui Dith berada di Thailand, Schanberg segera terbang ke negara itu untuk menemuinya. Dith kemudian pindah ke Amerika Serikat dan mulai bekerja untuk New York Times sebagai fotografer lepas.

Dith selalu menyuarakan tentang genosida Kamboja dan berkampanye untuk membawa para mantan petinggi Khmer Merah ke pengadilan. Dia memimpin organisasi Proyek Penyadaran Holocaust Dith Pran untuk memberi pengetahuan mengenai periode gelap Kamboja. Dith juga ditunjuk sebagai Duta Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR).

Semasa rezim Khmer Merah, Dith kehilangan ayah, tiga saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuan. Keluarganya yang berhasil selamat antara lain rekannya, Bette Parslow; mantan istrinya, Meoun Ser Dith; saudara perempuannya, Samproeuth Dith Nop; tiga anak laki-laki, Titony, Titonath, Titonel; anak perempuan Hemkarey Dith Tan; enam cucu; dan dua cucu tiri.

”Sebagian hidup saya adalah menyelamatkan kehidupan. Saya hanyalah pembawa pesan. Jika Kamboja ingin bertahan hidup, dia memerlukan banyak suara,” kata Dith suatu kali.

Sebagai wartawan foto, rekan- rekannya menilai Dith sebagai pahlawan. ”Bagi kami semua yang pernah bekerja sebagai wartawan asing di tempat-tempat mengerikan, Pran mengingatkan kita tentang heroisme jurnalistik,” kata Pemimpin Redaksi New York Times Bill Keller.

”Pran adalah pejuang kebenaran dan pejuang rakyatnya,” kata Schanberg.

Mengenai penyakit yang merenggut jiwanya, Dith mengatakan, ”Orang Kamboja percaya kami hanya meminjam tubuh ini. Tubuh ini hanyalah rumah bagi jiwa, dan saat rumah itu sudah penuh rayap, saatnya untuk pergi.” (ap/afp/reuters/fro)

Tidak ada komentar: