Senin, 11 Februari 2008 | 02:55 WIB
Stefanus Osa Triyatna
Sebagian orang mungkin akan menertawakan dan menyebut mereka bodoh. Tawaran di depan mata, mulai dari iming-iming gaji besar, beasiswa untuk meraih gelar perguruan tinggi, hingga jaminan hidup keluarga, tak jua membuat hati mereka tergerak meraih tawaran menggiurkan itu. Alasannya, semangat nasionalis Indonesia.
Satu tahun terakhir ini betul-betul membuat hati Dudung dan Romi risau. Kedua lelaki ini menumpahkan segala kerisauannya akibat klaim batik yang sudah dipatenkan Malaysia di mata internasional.
Betapa tidak. Mereka sebagai generasi keempat perajin batik di Pekalongan, Jawa Tengah, bakal malu tak mampu mempertahankan kekayaan khazanah batik Indonesia. Padahal, batik merupakan warisan yang sudah diturunkan dari para pendahulu mereka.
”Pekalongan memang hanya kota kecil. Akan tetapi, kerajinan seni membatik bisa menunjukkan Indonesia ini masih punya martabat tinggi,” ujar Romi, bernama lengkap HM Romi Oktabirawa (35), di rumahnya di Pekalongan, awal Februari.
Perajin batik di pesisir utara Jateng itu menceburkan diri dalam dunia batik sejak masih di SMA Muhammadiyah 1, Pekalongan, tahun 1992. Prestasi yang dia peroleh dari dunia internasional seakan tak berarti lagi jika dunia mengakui klaim batik Malaysia.
Oleh karena itulah, Romi berupaya mengumpulkan berbagai referensi dari dalam dan luar negeri. Berbagai buku dia pelajari demi meyakinkan dunia internasional bahwa batik adalah kekayaan Indonesia.
Dari begitu banyak referensi yang dikumpulkan, Romi mengandalkan temuan sahabatnya di Belanda. Buku ejaan lama terbitan 1934 itu berjudul Recept Batik: Dari Kaen Poetih Sampe Djadi Batik Jang Bagoes. Karya Liem Boen Hwat yang diterbitkan Drukkerij Fortuna Pekalongan itu terdiri dari dua jilid. Jilid kedua diterbitkan pada 1937 berjudul Recept Batik: Babaran Roepa-roepa Kleur Antero Model Jang Paling Baroe dan Practis.
Bahkan, ada juga referensi berjudul Batik and How to Make Them karya Pieter Mijer yang diterbitkan di New York tahun 1919. Masih ada lagi buku-buku yang diyakini akan memperkuat pembuktian batik Indonesia.
Bicara klaim Malaysia, Romi mengaku geregetan untuk berupaya membuktikan bahwa batik milik Indonesia. Persoalannya, kata ”batik” itu sendiri adalah brand Indonesia.
”Boleh saja proses membatiknya serupa dengan yang dilakukan perajin batik di Pekalongan, Lasem, Yogyakarta, atau Solo, bahkan Madura. Tetapi, tolonglah Malaysia tidak menyebutnya sebagai batik karena itu brand Indonesia,” ujarnya.
Di sela-sela kesibukannya mencari bukti-bukti, Romi pun mengisahkan perjalanan kematangannya menekuni dunia batik. Tahun 1996 Romi semakin getol menekuni batik. Ini mungkin karena kakeknya adalah perajin batik di Pekalongan, begitu juga ayahnya.
Pemilik merek Wirokuto Batik itu mengatakan, proses belajar batik dilakukan dengan mempelajari motif-motif batik kuno, dan belakangan ia juga mempelajari motif batik modern. ”Dari situlah saya meredefinisi motif, warna, dan desain dalam implementasi pembuatan batik,” ujarnya.
Prestasi demi prestasi yang ditandai dengan berbagai penghargaan yang diperolehnya membuat Malaysia membidik Romi untuk menghasilkan batik yang kelak menjadi batik negeri jiran. Dia menolak semua iming-iming yang diberikan pengusaha asal Malaysia.
Romi bercerita, temannya sesama perajin batik menerima tawaran pengusaha Malaysia karena bayaran yang sangat tinggi. Bahkan, temannya itu menantang. ”Zaman sekarang siapa yang berani membayar gaji tinggi untuk tetap mempertahankan batik di Indonesia?” ujar Romi menirukan ucapan kawannya.
”Mohon maaf, kalau saya harus menjual budaya bangsa sendiri, saya tidak bisa!” tegas Romi.
Generasi penerus
Semangat nasionalis itu pun diungkapkan Dudung Aliesyahbana (43). Perajin batik ini mengakui, tawaran-tawaran menggiurkan bagi wong ndeso terus berdatangan. Entah itu untuk menciptakan dan membuat batik ataupun mengajarkan seni membatik.
”Bagi saya, semua itu dilakukan semata-mata untuk mencapai ’desain’ yang lebih besar, yakni untuk mewujudkan pematenan batik yang sekarang bikin resah generasi penerus perajin batik Indonesia,” ujar Dudung.
Bagi Dudung, dunia batik sudah mendarah daging. Sejak masih di sekolah dasar, dasar-dasar batik sudah diraihnya mulai dari lingkungan keluarga sampai masyarakat sekitar. Bahkan, sejak duduk di bangku SMP, Dudung mengaku sudah membuat sarung batik sendiri. Tentunya, saat itu peran orangtua masih dominan.
Setelah sempat merantau ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan, Dudung menekuni pembuatan tie dye batik. Proses pembuatan tie dye ini serupa dengan membuat kain jumputan. Awalnya, kain dijahit menjelujur dengan jarum benang, kemudian kain itu dicelup ke dalam zat pewarna sehingga menampilkan warna-warna khas.
Tak puas dengan hasil tersebut, Dudung mengombinasikan dengan menggunakan batik cap maupun tulis. Sekali lagi, kombinasi ini pun hasil tangan terampilnya sendiri. Kini Dudung tidak sendirian karena 100 perajin ikut bekerja di lingkungan Tiedye Batik miliknya.
Keresahan
Romi maupun Dudung hanyalah dua perajin yang mengakui keresahannya. Mereka sepakat bahwa transformasi budaya batik di Malaysia identik dengan proses batik pada era 1970-an. Malaysia mempekerjakan perajin batik sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI).
”Maaf saja, kelas produknya hanyalah menengah ke bawah. Motifnya tidak jauh dengan batik-batik yang ada di pasaran. Konturnya sederhana dan mengandalkan bright color yang fungsinya hanya sebagai sarung pantai,” kata Romi.
Sekarang ini Malaysia mulai menyadari rendahnya kualitas batik-batik yang dipatenkan itu. Oleh karena itu, Malaysia mulai membidik juragan-juragan batik Indonesia.
Baik Romi maupun Dudung tidak merasa khawatir apabila desainer atau perajin mereka diboyong ke Malaysia untuk menciptakan desain batik. Kata Romi, bisa saja mereka diambil dan mulai mencontoh karya-karyanya.
Ia tak khawatir sebab seorang perajin batik sejati tetap memiliki kemampuan untuk menciptakan desain-desain batik yang berbeda dan berciri khas.
Dudung menuturkan, desain batik itu terlahir dari rasa, bukan sekadar hasil pemikiran sesaat. ”Justru kekuatan batik Indonesia itu ada pada desain yang lebih filosofis, bukan sekadar hitung-hitungan nilai ekonomis semata,” tegasnya.
Romi dan Dudung merupakan generasi keempat perajin batik di Pekalongan. Dudung bertahan dengan memadukan desain batik tulis dan batik cap, yang diproses sedemikian rupa dengan jumlah produksi terbatas. Sementara Romi lebih menekuni batik tulis klasik.
Apa pun ciri khas keduanya, maupun para perajin batik dari berbagai daerah lain di Indonesia, semua menunjukkan bahwa batik memang kekayaan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar