Aufrida Wismi Warastri
Waktu sudah menjelang dini hari pertengahan tahun lalu. Hujan turun deras sekali. Listrik padam. Namun, belasan manusia mengenakan jas hujan seadanya menembus malam menuju Pembangkit Listrik GT 2.1, Sicanang, Belawan, Medan, Sumatera Utara. Selain wartawan dan petugas PLN Belawan, di situ ada Parlindungan Purba (45), anggota Dewan Perwakilan Daerah asal Sumut.
Malam-malam ia mengontak wartawan dan pimpinan PLN Pembangkit Sumut untuk melihat langsung, apakah benar GT 2.1 Sicanang rusak dan tengah diperbaiki. Kerusakan itu merugikan jutaan warga Medan dan sekitarnya karena listrik padam berbulan-bulan.
Dalam pembicaraan telepon, PLN sempat hendak menunda agar peninjauan mendadak itu dilakukan esok hari. Apalagi hujan deras sekali di Belawan. Namun, Parlindungan, bapak empat anak itu, bersikeras.
”Saya sudah bawa wartawan,” katanya. Kalimat itu efektif. Di tengah hujan deras dan saat jembatan Sicanang masih rusak sehingga untuk menuju lokasi pembangkit harus menyeberang dengan perahu, peninjauan dilakukan.
Itulah salah satu cara Parlin, panggilannya, mengemban tugas sebagai wakil rakyat. Setiap kali kunjungan ke kawasan yang bermasalah, dia menyetir sendiri mobilnya yang diisi wartawan. Beberapa wartawan bahkan sering tertinggal di belakang, tak bisa mengikuti langkah kakinya yang cepat.
”Saya benar-benar terbantu karena media massa,” ujar politisi yang mengaku sebagai politisi karbitan itu.
Hampir semua nama wartawan media massa di Medan ada dalam ponselnya. Baginya, media massa sangat efektif mendukung proses demokratisasi dan menyuarakan aspirasi rakyat. Maka, kerjanya bahu-membahu dengan media massa.
”Jurnalis tahu mana orang benar, mana tidak. Asal baik, jurnalis akan mendekat. Wartawan bodreks pasti tak mau dekat dengan saya,” katanya berseloroh.
Hidup baik, itulah yang dia pelajari dari orangtua. Bapaknya pekerja swasta, ibunya bidan. ”Sejak kecil kami biasa mendengar bayi pertama kali menangis sebab rumah kami juga menjadi rumah bersalin,” cerita Parlin.
Hidupnya ”lurus-lurus” saja sejak muda. Ia bercita-cita menjadi diplomat setelah mengikuti pertukaran pemuda di Korea. Namun, setelah lulus, ia bergabung dengan usaha keluarga di bidang kesehatan dan penyalur tenaga kerja.
Ia seolah ada hampir pada setiap masalah di Sumut. Seperti harga semen yang melambung, pungutan penerimaan calon pegawai negeri sipil, kelangkaan pupuk, bocornya ujian nasional, krisis listrik, krisis gas, asuransi kesehatan orang miskin, konflik tanah 25.000 warga Sarirejo dengan Angkatan Udara, hingga membantu warga yang terusir karena pembangunan Bandara Kuala Namu.
Cukup menelepon dirinya, menyerahkan bukti-bukti, ia akan meluncur. ”Sebagai anggota DPD saja saya menghadapi hambatan untuk menegakkan kebenaran, apalagi rakyat kecil yang tidak diadvokasi. Di situlah saya meletakkan diri saya, dengan seoptimal mungkin terlibat dan bermanfaat bagi orang lain,” tuturnya. Namun, ia tak mau terlibat dalam masalah korupsi. ”Itu tugas polisi,” jawabnya.
Sekrup kecil
Namun, bagi Parlin, hal yang paling menggembirakan adalah, seperti istilah dia, menjadi sekrup kecil. Misalnya, dalam kesepakatan PT Inalum yang akhirnya mau memasok listrik bagi warga Sumut.
Setiap hari Kamis ia sudah berada di Medan. Senin pagi ia bertolak ke Jakarta. Lain dengan kebiasaan sebagian anggota DPD yang dua bulan di Jakarta dan satu bulan di daerah. Untuk perjalanan itu ia keluarkan dana dari kocek sendiri.
Ia merasa apa yang dia lakukan itu sudah sewajarnya dan memang tugas wakil rakyat demikian. ”Saya berusaha sebaik mungkin, hasilnya bukan urusan saya,” ujarnya.
Para wakil rakyat yang lain pun ia yakini punya semangat untuk memperjuangkan nasib rakyat, meski sebagian masih berupa potensi, belum implementasi. Sebab, katanya, sebagai wakil rakyat, selain paham hukum, tata negara, dan perundang-undangan, juga harus turun ke lapangan.
Untuk menjalankan tugas, sering kali ia merasakan ada kebetulan-kebetulan yang menurut dia aneh. ”Kemarin waktu banjir di Jakarta. Pesawat saya adalah pesawat terakhir yang bisa mendarat di Bandara Seokarno-Hatta. Sesudah itu tak ada orang yang bisa masuk Jakarta,” ceritanya.
Kebetulan itu juga ia rasakan saat menjadi anggota DPD. Sejatinya ia kalah dalam pemilihan anggota DPD dan berada di urutan nomor lima, meskipun ia merasa lebih dari 100.000 suaranya dari Pulau Nias hilang. Ia sempat menggugat, namun kalah.
Ia resmi menjadi anggota DPD baru satu setengah tahun kemudian setelah anggota DPD asal Sumut yang juga mantan Gubernur Sumut, Raja Inal Siregar, tewas dalam kecelakaan pesawat Mandala di Bandara Polonia. ”Ada yang terlibat dalam langkahku. Saya tahu itu Yang Mahakuasa,” katanya.
Independen
Untuk kampanye pemilihan DPD, ia mengaku menghabiskan dana sekitar Rp 1 miliar. Dari jumlah itu, sekitar Rp 500 juta dari dana pribadi, dan sisanya bantuan teman-teman dan masyarakat umum. ”Saya tidak pernah ikut dalam partai politik, dan tidak akan pernah ikut,” ucapnya. Parlin memilih independen.
Kadang kala Parlin tampak sangat emosional ketika melihat hal-hal yang mudah namun dipersulit. Seperti masalah konflik tanah warga Sarirejo yang berada di sekitar Bandara Polonia. Surat DPD ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat yang sudah sebulan dilayangkan tidak ditanggapi. Bersama tiga anggota DPD asal Sumut lainnya, ia mendatangi BPN, namun tak mendapat jawaban memuaskan karena tidak ditemui Kepala BPN. ”Saya benar-benar kecewa,” tuturnya.
Ia melihat kemungkinan perjuangan warga Sarirejo gagal karena kurang tawakal. Maka ia meminta warga Sarirejo untuk berbuat bagi orang lain, tidak hanya menuntut. Warga pun sepakat melakukan donor darah.
Meskipun cita-cita masa kecilnya menjadi diplomat, ia masih harus belajar diplomasi untuk tidak emosional. Parlin lebih ingin menjadi motivator.
Selama menjadi anggota DPD ia melihat rakyat butuh keteladanan. PNS bekerja malas-malasan, sementara pekerja swasta saat pertengahan bulan sudah berpikir gaji habis. ”Tak usah jauh-jauh, untuk mengajak orang membersihkan parit saja kini sangat sulit,” tuturnya.
Banyak orang yang sudah kehilangan idealisme. Mereka merasa tak bisa menjadi diri sendiri. Namun, selalu masih ada harapan untuk memperbaiki semuanya menjadi lebih baik, seperti ditunjukkan Parlindungan Purba....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar