Sabtu, 22 Desember 2007

Lee Myung-bak, Penjual Es Jadi Presiden


Jika pada dekade 1990-an lalu Korea Selatan pernah dinyatakan sebagai salah satu negara yang ajaib karena pertumbuhan ekonominya tinggi, maka Lee Myung-bak adalah produk dari negara ajaib itu. Sama seperti Korea Selatan yang bangkit dari kehancuran Perang Korea (1950-1953), Lee adalah presiden yang pernah menjual es.

Lee tak segan untuk mengatakan keajaiban bukanlah suatu yang mustahil untuk diraih. Keajaiban merupakan impiannya. Ya, orang-orang pun pernah menjulukinya sebagai arsitek bisnis yang berkeajaiban yang membuat grup Hyundai menjadi terkenal di Korea Selatan, Asia, dan kini di dunia.

Lee disebutkan meraih sukses dalam bisnis karena ketekunan dan faktor keberuntungan. "Akan tetapi, saya memiliki penjelasan berbeda atas sukses. Sumber sukses saya adalah semangat dan tindakan yang tak mengenal hasil yang tanggung," kata Lee dalam autobiografinya berjudul Tak Ada yang Mustahil yang diluncurkan tahun 1995. Semua pekerjaan harus kelar, tidak bisa ditunda. Karena itu, Lee pun dijuluki sebagai Si Buldoser.

Apakah Lee akan menghasilkan keajaiban baru bagi Korea Selatan (Korsel) setelah menang pemilu presiden pada hari Rabu (19/12)? Kita tunggu saja. Namun, ia sudah mencanangkan program "747". Ia akan mendongkrak pertumbuhan produksi domestik bruto (PDB) ke angka 7 persen per tahun, meningkatkan pendapatan per kapita dari 24.000 dollar AS sekarang ini menjadi 40.000 dollar AS, dan mengusahakan Korsel menjadi kekuatan ekonomi nomor tujuh di dunia. Ia pun mencanangkan pembangunan jalan bawah tanah dari Seoul-Busan.

Melihat kisah perjalanan hidup yang pahit namun berakhir bahagia, ditambah semangat berapi-api ala Korea, tak mustahil Lee mencatatkan keajaiban baru. Ia sudah mencatatkan sejarah baru, menjadi pebisnis pertama yang menjadi presiden.

Idola buruh

Lee punya banyak julukan. Ia dijuluki pahlawan buruh karena memberi inspirasi bagi banyak orang. Menjadi karyawan yang mengandalkan gaji bulanan juga kemudian bisa menjadi kaya raya. Ia memang bukan malaikat. Musuh politik menuduh Lee sebagai taipan koruptor.

Nyatanya warga Korsel memilihnya dengan suara 48,7 persen. Saingan terdekatnya, Chung Dong-young, hanya meraih suara 26,1 persen. Ia menyapu bersih suara di 13 dari 16 wilayah. Ini adalah selisih terbesar sepanjang sejarah pemilu presiden Korsel.

Rakyat pun bersukaria. "Saya sangat bahagia dan rasanya seperti berada kembali di era demokrasi setelah satu dekade Korsel berada di era liberal," kata Park Mi-won, seorang ibu rumah tangga, yang berusia 50-an.

Lee bukan orang asing di Korsel, khususnya Seoul. Ia menjawab Wali Kota Seoul periode 2002-2006. Sejumlah proyek membuat kota Seoul berkembang dan makin modern. Para pemirsa televisi Korsel juga akrab dengan Lee yang kisah hidupnya dijadikan sebagai sinetron, ia digambarkan sebagai pahlawan bisnis yang membangun Korsel dari kehancuran perang.

Makanan sisa

Semasa kecil, Lee hidup miskin. Ia lahir di Osaka, Jepang, 19 Desember 1941, dari ayah yang bekerja di pertanian. Ia anak kelima dari tujuh anak (empat putra dan tiga putri). Pada tahun 1945, setelah Korsel lepas dari penjajahan Jepang, keluarganya hijrah ke kota Pohang. Dalam perjalanan, kapal yang mereka tumpangi tenggelam. Semua penumpang selamat, tetapi barang-barang bawaan tenggelam. Sesampainya di Pohang, kini dijuluki sebagai kota baja, keluarga Lee harus berjuang.

Pernah, di masa kecil, Lee terpaksa berkeliling menjajakan kue dan es. Ini tidak cukup. Keluarga Lee terpaksa makan ampas dari perusahaan pengolahan biji-bijian yang diproses untuk membuat minuman alkohol.

Bahan alkohol di makanan ampas itu membuat wajah Lee sering memerah. Pernah, gurunya menyangka ia adalah anak nakal yang candu alkohol. "Kemiskinan melilit keluarga kami hingga saya berusia 20 tahun," kata Lee.

Lee terancam tak bisa sekolah. Ia meyakinkan ayahnya bisa meraih beasiswa. Lee memang selalu juara satu di SMA di Pohang. Di kota ini dua saudaranya tewas akibat pengeboman tentara AS selama perang Korea.

Kepahitan hidup di Pohang membuat keluarga Lee berangkat ke Seoul pada tahun 1959. Keadaan tidak kunjung berubah pula. Ibunya menjual sayur di kaki lima. Lee jadi kuli bangunan.

Namun, otak yang encer membuat Lee bisa masuk Universitas Korea. Biaya kuliah ia dapat dari pekerjaan menyapu jalanan. Di universitas ia berusaha meraih beasiswa. Minatnya pada politik sudah terlihat ketika terpilih sebagai ketua dewan mahasiswa. Keterlibatan Lee dalam demonstrasi antipemerintahan Park Chung-hee membuatnya sempat dipenjara pada tahun 1964.

Ini menjadi masalah baginya ketika melamar ke Rekayasa dan dan Konstruksi Hyundai (Hyundai Engineering and Construction). Ia pun menyurati Park Chung-hee, yang membuat Hyundai menerima Lee.

Ia mulai meraih kepercayaan bos Hyundai ketika bisa mengatasi para bandit di proyek konstruksi Hyundai di Malaysia. Ia kemudian turut mengotaki pembangunan jalan dan gedung pencakar langit di Korsel.

Bapak dari empat anak ini memiliki sikap percaya diri. Sebagian menuduhnya arogan. Ia pun sering dituduh melakukan bisnis ilegal.

Lee menarik perhatian Chung Ju-yung, pendiri Hyundai. Ia memiliki karier yang terus melejit. Ia meraih untung dari proyek konstruksi, juga karena berhasil melobi Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Lee Kuan Yeuw (Singapura), Jiang Zemin (China), dan Mikhail Gorbachev.

Setelah berada di Hyundai selama 27 tahun, ia menjadi anggota parlemen pada 1992. Namun, pada tahun 1998 ia mundur karena melanggar pendanaan kampanye pemilu. Ia pergi ke AS untuk kembali lagi pada tahun 1999. Ia kemudian terlibat bisnis saham yang spekulatif, di mana ia sedang terjerat kasus manipulasi. Ia akan resmi menjabat pada 25 Februari. Presiden Roh Mo-hyun sedang menggelar rencana pengusutan. "Saya akan mundur jika terbukti bersalah," kata Lee.

"Apa pun itu, rakyat telah memiliki ekonomi ketimbang moral," demikian harian bisnis Maeil menuliskan, Kamis (20/12).

Ia memang di saat yang tepat, ketika orang mendambakan perekonomian ketimbang ideologi. Korsel bosan dengan moral yang tak kunjung membuat perekonomian berhasil membawa Korsel lebih maju.

"Semua politisi adalah maling," kata Chung Jun-muk (64), pensiunan pekerja konstruksi, pendukung Lee sebagaimana dikutip The New York Times, Kamis (20/12). "Setidaknya Lee cerdas. Bisa saja ia maling, tetapi ia sukses di bisnis dan politik."

(REUTERS/AP/AFP/MON)

Tidak ada komentar: